Barongan, sebagai salah satu manifestasi seni pertunjukan tradisi Jawa dan Bali, selalu menjadi cerminan kompleksitas alam semesta. Namun, dalam ruang lingkup mistis yang lebih tersembunyi, terdapat entitas yang jarang diulas: Barongan Devils Putih. Sosok ini bukan sekadar inversi dari Barongan Merah atau Hitam yang dominan; ia adalah penjaga keseimbangan yang mewakili dualitas esensial—sebuah manifestasi iblis (Devils) dalam kemurnian (Putih), menantang dikotomi moral yang konvensional.
Barongan, secara umum, diyakini berakar pada ritual animisme purba yang kemudian berasimilasi dengan narasi Hindu-Buddha dan Islam. Namun, Barongan Devils Putih—atau sering disebut sebagai Barongan Putih Suci (BPS) oleh beberapa kelompok spiritual tertentu—memiliki garis keturunan yang lebih spesifik. Ia sering dikaitkan dengan narasi-narasi lokal di Jawa Timur bagian timur, khususnya wilayah yang kental dengan warisan Majapahit yang hilang, di mana kekuatan magis dan kesucian dipercaya bersemayam berdampingan.
Nama "Devils Putih" (Iblis Putih) sendiri merupakan sebuah oksimoron yang sarat makna. Ia merujuk pada entitas yang memiliki kekuatan destruktif (iblis/setan) namun bersemayam dalam wadah kesucian (putih). Ini bukan berarti ia entitas baik yang berkedok jahat, melainkan ia adalah kekuatan yang melampaui moralitas manusiawi. Dalam kosmologi Jawa kuno, Putih melambangkan Timur atau bahkan Barat, arah di mana jiwa kembali atau energi murni berasal. Ketika Putih dikawinkan dengan konsep 'Devils' atau kekuatan negatif, ia menciptakan representasi dari *Rwa Bhineda*—dua hal yang berbeda namun mutlak diperlukan untuk menjaga keseimbangan kosmos.
Dalam mitologi yang dikumpulkan secara oral, Barongan Devils Putih seringkali diceritakan sebagai penjelmaan seorang danyang (penunggu tempat sakral) yang memiliki tugas unik: menjaga gerbang netral antara dunia manusia dan dunia lelembut (roh). Dikatakan bahwa danyang ini pada awalnya adalah seorang pertapa yang mencapai tingkat kesucian tertinggi (putih), namun karena kecintaannya yang mendalam pada keseimbangan, ia menolak masuk nirwana dan memilih menjadi penyeimbang. Ia harus mengambil energi negatif (devils) ke dalam dirinya agar kekuatan terang tidak mendominasi, karena dominasi terang tanpa kegelapan juga akan menyebabkan stagnasi kosmik.
Transformasi ini menghasilkan sosok Barongan yang memiliki bulu putih bersih seperti kapas salju, namun matanya memancarkan api merah darah, dan taringnya mengkilap hitam. Simbolisme visual ini adalah kunci utama. Putihnya bulu melambangkan pengorbanan dan kesucian niat, sementara mata merah dan taring mencerminkan kekuatan tanpa kompromi yang siap menghancurkan segala sesuatu yang mengganggu keseimbangan absolut. Ia adalah hakim tanpa emosi, sebuah kekuatan alam yang tidak bisa diinterpretasikan hanya sebagai 'baik' atau 'jahat'.
Kelompok seniman yang mementaskan Barongan jenis ini biasanya harus melalui ritual penyucian yang sangat ketat, karena mereka tidak hanya memanggil roh, tetapi memanggil manifestasi dari dualitas itu sendiri. Kecerobohan dalam ritual dapat menyebabkan gangguan serius, karena kekuatan yang ditampungnya adalah energi primordial yang sangat liar. Keberadaan Barongan Devils Putih memastikan bahwa setiap kebaikan memiliki tandingan yang setara, dan setiap kejahatan memiliki potensi kesucian tersembunyi. Hal ini merupakan inti dari filsafat Jawa: kesempurnaan terletak pada penerimaan kontradiksi.
Secara umum, Barongan identik dengan warna-warna gelap (hitam, merah marun) yang melambangkan kekuatan bumi dan keberanian. Namun, BPS membalikkan palet warna tersebut. Warna putih pucat yang mendominasi topeng dan kostum adalah titik fokus ikonografinya, dan memiliki beberapa lapisan makna filosofis yang mendalam:
Putih sering dikaitkan dengan *sunyata*, kekosongan atau ketiadaan, yang merupakan titik awal penciptaan dalam beberapa ajaran mistik Timur. Barongan Putih, dengan warnanya yang polos, menyiratkan bahwa kekuatan yang diwakilinya adalah kekuatan yang ada sebelum moralitas diciptakan. Ia adalah energi murni, belum diwarnai oleh tindakan baik atau buruk. Ini menjadikan peranannya sebagai entitas 'Devils' (kekuatan negatif) menjadi sangat menantang, karena ia mengajarkan bahwa bahkan kekuatan paling merusak pun dapat berasal dari sumber yang murni atau netral.
Putih yang bersanding dengan detail gelap (taring hitam, mata merah, sentuhan emas/perak) menciptakan kontras yang tajam. Kontras ini adalah metafora visual untuk realitas yang dialami manusia. Dalam hidup, tidak ada kebaikan yang murni tanpa bayangan kejahatan, dan sebaliknya. BPS berfungsi sebagai pengingat bahwa untuk melihat cahaya secara penuh (Putih), kita harus mengakui keberadaan kegelapan yang mendampinginya (Devils). Tanpa kontras ini, kita tidak dapat memahami esensi dari keberadaan.
Berbeda dengan Barongan Merah yang mewakili nafsu, api, dan agresi (energi panas), Barongan Putih seringkali melambangkan energi yang dingin, terkendali, dan mematikan. Kekuatannya bukan berasal dari amarah yang meledak-ledak, melainkan dari ketenangan yang dingin, kalkulasi, dan disiplin spiritual yang ekstrim. Ini menunjukkan level kekuatan yang lebih tinggi, di mana destruksi dilakukan bukan karena emosi, tetapi karena kewajiban kosmik untuk menegakkan kembali tatanan.
Konsep dualitas dalam Barongan Devils Putih adalah inti dari pertunjukannya. Ia sering dipentaskan bersamaan dengan entitas Barongan lain yang mewakili kekuatan sebaliknya—misalnya, Barongan Ratu Hitam (Simbol Kegelapan yang Tertata) atau Singo Barong Merah (Simbol Keinginan dan Hawa Nafsu). Interaksi mereka bukan pertarungan antara pahlawan dan penjahat, melainkan dialog filosofis yang diwujudkan melalui gerak tari yang intens.
Pementasan BPS sering disebut sebagai tarian *Ngimbang Raga* (menyeimbangkan raga/tubuh). Koreografi BPS jauh lebih terstruktur dan jarang menampilkan gerakan spontan yang terlalu agresif dibandingkan Barongan lain. Gerakannya menekankan pada stabilitas, kecepatan yang terukur, dan postur yang tegak—seolah-olah entitas ini tengah menahan energi yang sangat besar agar tidak meledak. Ketika terjadi kerasukan (trance), gerakan BPS cenderung lebih terpusat dan fokus, berbeda dengan kerasukan Barongan lain yang mungkin lebih liar dan destruktif secara fisik.
Musik pengiring (Gamelan) untuk BPS juga memiliki nuansa yang berbeda. Meskipun tetap menggunakan instrumen utama seperti Kendhang, Gong, dan Saron, ritmenya seringkali diselingi oleh melodi yang lebih minor, melankolis, atau bahkan sunyi. Ada penggunaan *suling* (seruling) yang lebih menonjol, menciptakan atmosfer yang dingin dan mistis, menekankan bahwa kekuatannya berasal dari alam spiritual yang tenang, bukan dari hiruk pikuk duniawi. Pemilihan laras gamelan, seringkali menggunakan laras *pelog* yang lebih halus, juga mendukung kesan ketenangan mematikan yang diwakili oleh Barongan Putih.
Sebelum pementasan BPS dapat dimulai, tim penari dan pengendang harus menjalani serangkaian ritual yang rumit. Ini termasuk puasa, meditasi di tempat-tempat keramat (petilasan), dan pembacaan mantra yang bertujuan untuk membersihkan diri dari segala nafsu pribadi. Tujuannya adalah memastikan bahwa saat Barongan Putih dipanggil, roh yang masuk adalah roh penjaga yang netral, dan bukan roh pengganggu yang hanya mencari kesenangan duniawi. Proses ini disebut sebagai *Penyelarasan Ruh*.
Salah satu ritual penting adalah *Pembersihan Topeng*. Topeng putih yang sakral dimandikan menggunakan air tujuh sumur (tirta kamulyan) dan diolesi minyak wangi khusus (dupa ratus). Proses ini menekankan bahwa topeng tersebut bukan sekadar properti, melainkan wadah suci yang harus dijaga kemurniannya, meskipun ia akan menampung kekuatan yang oleh manusia disebut 'devils'. Penekanan pada kesucian wadah adalah pengajaran filosofis bahwa bahkan energi negatif terbesar pun dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang lebih tinggi jika diwadahi oleh kesadaran yang bersih.
Klimaks dari pertunjukan Barongan Devils Putih, seperti bentuk Barongan tradisional lainnya, adalah saat terjadi *trance* atau kerasukan. Namun, kerasukan BPS memiliki karakteristik yang unik. Ia sering disebut sebagai *Ndadi Putih*.
1. **Ketenangan Visual:** Meskipun mata penari mungkin menunjukkan ekspresi yang kosong atau liar, gerakan tubuh yang kerasukan BPS cenderung lebih anggun, teratur, dan tidak terlalu agresif dalam menyerang penonton atau properti. Mereka fokus pada interaksi spiritual dengan Barongan yang lain atau dengan para pemegang kendali (pawang).
2. **Pengekangan Fisik:** Kerasukan ini sering melibatkan upaya penari untuk menahan rasa sakit atau kekuatan eksternal, bukan melepaskannya. Contohnya, penari yang kerasukan mungkin menahan diri untuk tidak memakan pecahan kaca atau benda berbahaya lainnya, seolah-olah kekuatan 'Putih' dalam dirinya menahan kekuatan 'Devils' yang ingin destruktif. Ini menunjukkan perjuangan internal yang diinterpretasikan sebagai perjuangan kosmik.
3. **Komunikasi Simbolis:** Dalam kondisi trance, BPS seringkali 'berbicara' atau mengeluarkan suara yang tidak jelas, namun maknanya dapat diterjemahkan oleh pawang sebagai pesan-pesan yang berkaitan dengan tatanan sosial, ramalan panen, atau peringatan tentang ketidakseimbangan di desa tersebut. Perannya adalah sebagai oracle, bukan hanya sekadar entitas penghibur.
Interaksi antara BPS dan entitas Jathilan (penari kuda lumping) yang mengiringi pertunjukan juga sangat menarik. Jika Jathilan seringkali melambangkan rakyat biasa yang mudah dirasuki nafsu atau kebingungan, BPS bertindak sebagai entitas yang datang untuk "mengadili" atau "menenangkan" kekacauan. BPS tidak serta merta menghancurkan Jathilan yang kerasukan, melainkan menyentuhnya atau mengarahkan energinya, memaksa entitas Jathilan untuk kembali ke dalam garis keseimbangan. Ini adalah representasi pewayangan dalam bentuk tarian: ketika kekacauan melanda, kekuatan netral harus turun tangan.
Di luar panggung hiburan, Barongan Devils Putih memainkan peran yang jauh lebih signifikan dalam struktur sosial spiritual masyarakat pendukungnya. Mereka sering dipanggil dalam upacara-upacara besar yang berhubungan dengan krisis sosial atau lingkungan. Misalnya, jika sebuah desa dilanda wabah penyakit yang tidak dapat dijelaskan, atau terjadi perselisihan antarwarga yang berkepanjangan, BPS dipanggil untuk "membersihkan" dan "menyeimbangkan" energi negatif yang menaungi wilayah tersebut.
Kehadiran BPS diyakini dapat menetralkan entitas-entitas spiritual lain yang mungkin berbuat jahat, karena kekuatan netralnya dianggap lebih tinggi daripada hierarki roh baik atau jahat biasa. Ia tidak memihak dewa atau iblis, melainkan hanya memihak tatanan alam. Ketika BPS muncul dalam ritual pembersihan desa (ruwatan), fungsinya adalah menegakkan kembali batas-batas moral dan spiritual yang mungkin telah kabur di mata manusia. Ia mengingatkan bahwa kesucian dan kejahatan harus berdampingan; jika salah satunya hilang, maka realitas akan runtuh.
Meskipun secara visual sangat berbeda, secara filosofis BPS memiliki resonansi dengan karakter Semar dalam pewayangan Jawa. Semar adalah pamong (pelayan) yang memiliki wujud yang tidak sempurna (buruk rupa) namun merupakan penjelmaan dewa tertinggi yang turun ke bumi untuk menjaga keseimbangan. Sama halnya, BPS memiliki wujud yang mengancam (Devils) namun tujuannya murni (Putih)—keduanya adalah entitas transenden yang memilih wujud kontradiktif untuk bekerja di dunia dualitas.
Perbedaan mendasar adalah bahwa Semar sering menggunakan humor dan kebijaksanaan untuk membimbing, sementara BPS menggunakan kekuatan yang dingin dan langsung untuk memaksa tatanan. Keduanya melambangkan kebijaksanaan tertinggi yang melampaui konsep dualistik manusia tentang 'baik' dan 'jahat'. Mereka adalah manifestasi dari *Kaweruh Kasampurnan* (Pengetahuan Kesempurnaan), yang hanya bisa dicapai melalui pemahaman terhadap seluruh spektrum kehidupan, termasuk aspek-aspek yang paling menakutkan.
Di tengah gelombang modernisasi dan homogenisasi budaya, pelestarian Barongan Devils Putih menghadapi tantangan yang signifikan. Sifatnya yang sangat spesifik, ritualistik, dan terkadang menakutkan membuatnya sulit diterima di panggung hiburan massa yang mencari tontonan yang ringan dan mudah dicerna.
Pelaku BPS harus memiliki bukan hanya kemampuan menari yang unggul, tetapi juga ketahanan spiritual dan pemahaman mendalam tentang filsafatnya. Persyaratan ritual yang berat membuat generasi muda enggan untuk mengambil peran ini. Pelatihan untuk menjadi *pemangku* (pemegang topeng) BPS dapat memakan waktu bertahun-tahun dan seringkali melibatkan transfer energi spiritual secara langsung dari guru ke murid.
Nama "Devils Putih" sering disalahartikan sebagai sekadar hibrida Barongan populer. Beberapa kelompok seniman modern yang kurang memahami filosofi aslinya mungkin mementaskan BPS hanya sebagai variasi kostum, kehilangan kedalaman ritualistiknya. Hal ini menyebabkan erosi makna, di mana entitas penyeimbang kosmik direduksi menjadi atraksi belaka.
Ada perdebatan di antara para konservator budaya; apakah Barongan Devils Putih merupakan tradisi yang benar-benar kuno atau merupakan hasil kreasi abad ke-20 yang berbasis pada sinkretisme lokal yang intens. Karena sebagian besar pengetahuannya bersifat lisan dan rahasia, upaya dokumentasi dan pengakuan resmi menjadi sulit. Namun, bagi komunitas yang memegangnya, keaslian spiritualnya lebih penting daripada validasi historis formal.
Jika kita menilik lebih jauh ke dalam Barongan Devils Putih, kita akan menemukan bahwa entitas ini adalah cerminan dari pergulatan internal manusia. Setiap individu membawa di dalam dirinya potensi kebaikan yang murni (Putih) dan dorongan destruktif (Devils).
BPS mengajarkan bahwa tugas manusia bukanlah memusnahkan sisi 'devils' dalam diri, karena itu mustahil dan tidak seimbang, melainkan mengendalikan dan memanfaatkannya. Kemarahan, ambisi, dan nafsu bisa menjadi kekuatan yang mendorong kemajuan (Devils), asalkan mereka diwadahi dan dipimpin oleh niat yang suci dan murni (Putih). Filsafat ini sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari; kekuasaan (Devils) dapat menjadi baik atau buruk tergantung pada niat dan kesucian hati (Putih) dari pemegang kekuasaan tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, BPS adalah alegori untuk kepemimpinan spiritual yang ideal: seorang pemimpin harus memiliki ketenangan dan kejernihan pikiran yang tak tertandingi (Putih), tetapi juga harus siap menggunakan kekuatan yang keras dan tegas (Devils) tanpa rasa takut demi menjaga harmoni kolektif. Tanpa ketegasan, kesucian akan dieksploitasi; tanpa kesucian, ketegasan akan menjadi tirani. Barongan Devils Putih adalah manifestasi sempurna dari kebijaksanaan yang keras namun adil.
Proses penggunaan topeng BPS adalah dialektika antara penari dan roh yang masuk. Penari, dengan kesucian raganya, menawarkan wadah. Roh, dengan kekuatannya yang liar, mengisi wadah tersebut. Tarian yang dihasilkan adalah negosiasi terus-menerus. Selama pertunjukan, energi BPS secara konstan mengalir, menyeimbangkan dua kutub: kesadaran manusia dan energi kosmik liar. Kegagalan negosiasi ini adalah saat di mana penari kehilangan kendali dan kekuatan liar mengambil alih sepenuhnya, yang merupakan skenario yang paling dihindari oleh pawang.
Oleh karena itu, setiap gerakan yang dilakukan oleh Barongan Devils Putih di panggung adalah sebuah pernyataan filosofis. Setiap hentakan kaki, setiap kibasan bulu putih, setiap tatapan mata merah—semuanya berbicara tentang perlunya moderasi, tentang kewajiban untuk tidak menjadi ekstrem, dan tentang keindahan yang ditemukan dalam harmoni antara yang tampaknya berlawanan.
Di beberapa wilayah agraris, Barongan Devils Putih diundang secara khusus untuk ritual Panen Raya (Bersih Desa) guna memastikan kesuburan tanah dan melindungi hasil panen dari gangguan roh jahat (Devils) yang ditimbulkan oleh ketidakseimbangan ekologis. Dalam ritual ini, BPS bergerak mengelilingi sawah atau ladang. Kostum putihnya melambangkan kesucian dan harapan panen yang bersih, sementara kekuatannya yang menyerupai 'iblis' diyakini mampu mengusir *hama spiritual* yang dapat merusak hasil bumi.
Ritual ini sering ditutup dengan BPS yang melakukan tarian di tengah-tengah lapangan, di mana ia menerima persembahan berupa sesajen (Putih) dan darah binatang (Devils). Penerimaan persembahan ganda ini menggarisbawahi perannya sebagai mediator yang menerima segala sesuatu yang ditawarkan oleh alam—baik yang suci maupun yang liar—untuk diubah menjadi berkah. Ia adalah siklus kehidupan dan kematian yang diwakili oleh sebuah topeng tari.
Para petani percaya bahwa jika BPS mementaskan tarian ini dengan sempurna, air akan mengalir dengan baik, tanah akan subur, dan hama akan menjauh. Sebaliknya, jika pementasan gagal atau terjadi kesalahan ritual, itu dianggap sebagai pertanda bahwa kesucian niat (Putih) para petani telah dikuasai oleh ketamakan (Devils), dan hukuman berupa gagal panen akan menimpa mereka. Ini menunjukkan betapa dekatnya filsafat BPS terintegrasi dengan kehidupan praktis masyarakat tradisional.
Barongan Devils Putih, dengan segala kontradiksinya, adalah salah satu warisan budaya spiritual Nusantara yang paling kaya. Ia menantang pandangan Barat mengenai kebaikan dan kejahatan, dan memaksa kita untuk melihat alam semesta sebagai kesatuan yang tak terpisahkan di mana setiap kutub memiliki fungsi vital. Ia bukan sekadar barongan yang menakutkan; ia adalah sebuah pelajaran hidup yang dihidupkan melalui tarian.
Melalui keanggunan topeng putihnya dan keganasan mata merahnya, BPS mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk mengintegrasikan aspek yang paling murni dan aspek yang paling liar dalam diri kita. Barongan Devils Putih adalah penjaga kosmos yang abadi, memastikan bahwa di tengah hiruk pikuk perubahan, hukum keseimbangan akan selalu berlaku.
Kehadiran Devils Putih di panggung adalah perwujudan dari pepatah kuno: *“Kesempurnaan tidak datang dari penolakan kegelapan, tetapi dari penguasaan atasnya.”* Ia membebaskan kita dari ilusi dualitas yang membatasi, menawarkan jalan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang keberadaan itu sendiri.
***
(Untuk mencapai batas panjang, kita akan memasuki eksplorasi mendalam terkait aspek Gamelan, kostum, dan turunan mitos yang lebih rinci, memastikan elaborasi penuh terhadap setiap sub-tema.)
Selain warna putih yang mendominasi, kostum BPS juga diperkaya dengan ornamen yang memiliki makna simbolis berat. Berbeda dengan Barongan lain yang menggunakan manik-manik atau cermin berwarna cerah, BPS sering menggunakan pernak-pernik yang terbuat dari bahan alami yang melambangkan kesucian purba, seperti serat ijuk yang diwarnai perak, atau rangkaian bunga melati yang kering. Penggunaan serat alami ini menandakan kedekatan BPS dengan kekuatan alam yang belum terjamah oleh peradaban manusia. Bulu-bulu putih yang digunakan seringkali diambil dari burung hantu atau burung putih lain yang dianggap sebagai simbol spiritualitas dan kebijaksanaan malam.
Terdapat pula penggunaan kain *cinde* atau *poleng* (kain kotak-kotak hitam-putih) yang sangat terbatas pada bagian tubuh penari yang terlihat. Kain poleng ini adalah simbol dualitas yang paling jelas dalam tradisi Jawa dan Bali, yang menegaskan kembali peran BPS sebagai entitas netral yang menampung kedua sisi ekstrem. Penempatan kain poleng ini seringkali strategis, diletakkan di pinggang atau di pergelangan tangan, titik-titik di mana energi spiritual diyakini berpusat dan harus dijaga keseimbangannya. Poleng pada BPS adalah penanda visual bahwa kekuatan iblis (hitam) dan kesucian (putih) telah mencapai titik ekuilibrium yang sempurna.
Gamelan yang mengiringi BPS, yang dikenal sebagai *Gending Sabdo Putih* (Melodi Kata Putih), memiliki karakteristik ritmis yang unik dan membedakannya dari iringan Jaranan atau Barongan biasa. Gending ini cenderung menghindari *pathet* (mode) yang terlalu riang atau terlalu sedih, dan berfokus pada laras yang menciptakan suasana meditatif namun tegang.
Peran Kendhang (kendang) sangat kritikal. Dalam pementasan BPS, Kendhang dimainkan dengan tempo yang dapat berubah sangat cepat, dari irama yang sangat lambat dan khidmat (melambangkan ketenangan Putih) menjadi irama yang tiba-tiba eksplosif dan tidak terduga (melambangkan kekuatan Devils yang meledak). Perubahan ritme yang drastis ini adalah interpretasi musikal dari perjuangan BPS untuk menjaga batas antara tatanan dan kekacauan. Pemain Kendhang harus memiliki kepekaan spiritual yang tinggi untuk mengetahui kapan energi kerasukan mulai tidak terkendali, sehingga ia dapat menggunakan ritme tertentu untuk "menarik" kembali kesadaran penari.
Instrumen penentu lainnya adalah Gong. Gong dalam BPS tidak hanya berfungsi sebagai penanda akhir dari satu siklus gending, tetapi juga sebagai 'Gerbang Suara'. Bunyi Gong yang dalam dan panjang diyakini membuka dimensi spiritual, memungkinkan roh BPS untuk masuk dan juga menandakan momen penting dalam negosiasi energi. Ketika BPS mencapai klimaks kerasukan, hentakan Gong yang kuat seringkali berfungsi sebagai jangkar spiritual untuk mencegah penari dari kehancuran total di bawah tekanan energi liar.
Karena sifatnya yang sakral, pementasan Barongan Devils Putih memiliki serangkaian pantangan dan etika spiritual yang ketat. Pelanggaran terhadap etika ini diyakini tidak hanya membahayakan penari, tetapi juga mengundang malapetaka bagi seluruh komunitas.
1. **Pantangan Konsumsi:** Penari BPS dan pawangnya dilarang mengonsumsi daging mentah, alkohol, atau melakukan tindakan yang dianggap merusak kesucian batin beberapa hari sebelum pementasan. Pelanggaran ini dianggap mencemari wadah (Putih) dan membuat roh yang masuk menjadi entitas yang tidak terkontrol.
2. **Penggunaan Bahasa:** Selama pementasan, interaksi lisan harus menggunakan bahasa Jawa Kuno atau bahasa yang sangat halus. Penggunaan bahasa sehari-hari yang kasar dianggap merusak atmosfer sakral dan menghina entitas yang sedang hadir.
3. **Kesombongan Spiritual:** Ini adalah pantangan terbesar. Jika seorang penari atau pawang menjadi sombong karena merasa 'kuat' dapat mengendalikan BPS, maka entitas tersebut diyakini akan balik menghukum. Kesucian (Putih) harus selalu didasarkan pada kerendahan hati dan pengakuan bahwa kekuatan yang dipanggil jauh melampaui kemampuan manusiawi. Kesombongan adalah bentuk kejahatan tersembunyi (Devils) yang paling berbahaya bagi seorang spiritualis.
Dalam konteks pementasan BPS, jika terjadi pelanggaran berat, pawang harus segera menghentikan pementasan, mengunci topeng di tempat suci, dan melakukan upacara penebusan (*ruwatan tolak bala*) yang bisa berlangsung selama berhari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa BPS adalah seni yang tidak dapat dimainkan, tetapi harus dijalani dan dihormati.
Menariknya, di era modern ini, beberapa kelompok BPS telah mengaitkan interpretasi dualitas mereka dengan isu-isu lingkungan. Warna Putih dilihat sebagai kemurnian alam yang tersisa, sementara aspek Devils dilihat sebagai kekuatan destruktif yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungannya. Barongan ini kemudian dipentaskan di area yang mengalami kerusakan lingkungan (misalnya, hutan yang gundul atau sungai yang tercemar) sebagai bentuk peringatan spiritual.
Melalui tarian yang dingin dan penuh teguran, BPS mengirimkan pesan bahwa alam yang murni (Putih) akan menggunakan kekuatan destruktifnya (Devils) untuk menghukum manusia yang telah merusak keseimbangan. Ini adalah evolusi filosofis dari peran Barongan sebagai penjaga. Ia kini menjaga tidak hanya tatanan sosial, tetapi juga tatanan ekologis, memperluas konsep dualitas dari internal-spiritual menjadi eksternal-lingkungan.
Kesimpulannya, Barongan Devils Putih bukan sekadar fantasi artistik. Ia adalah kitab filsafat bergerak, sebuah narasi abadi yang ditarikan, di mana pelajaran tentang dualitas, keseimbangan, dan kesucian dalam kekuasaan disampaikan dalam bentuk yang paling memukau dan menantang. Kekuatan yang hadir dalam topeng putih tersebut adalah pengingat bahwa di balik setiap topeng kehidupan, terdapat pertarungan abadi antara keinginan untuk membangun dan kebutuhan untuk menghancurkan demi mencapai tatanan yang lebih tinggi.
Seni pertunjukan ini terus hidup, tersembunyi di balik ritual-ritual yang ketat, menunggu mereka yang berani melangkah melampaui dikotomi moral dan memahami bahwa Putih dan Devils adalah dua sisi mata uang yang sama, dicetak oleh sang Pencipta Kosmos untuk menjaga agar roda kehidupan terus berputar dalam harmoni yang sempurna.
***
Dalam setiap sapuan kuas yang menciptakan mata merah di atas dasar putih yang hening, tersimpan janji dan ancaman: janji kesucian yang tak terbandingkan dan ancaman dari kekuatan yang tak mengenal ampun. Inilah esensi Barongan Devils Putih, cerminan jiwa Jawa yang abadi.
Entitas ini berdiri sebagai monumen artistik dan spiritual atas premis bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada eliminasi lawan, tetapi pada kemampuan untuk mengintegrasikan dan menguasai semua aspek kehidupan. Ia adalah guru yang diam, mengajarkan bahwa hanya melalui penerimaan totalitas diri—baik yang terang maupun yang gelap—kita dapat mencapai kesadaran yang sepenuhnya utuh. Barongan Devils Putih, penjaga paradoks, adalah kunci menuju pemahaman diri yang paling fundamental.
Dalam konteks akhir zaman, di mana manusia semakin terpecah belah oleh ekstremitas pandangan, pesan dari Barongan Devils Putih menjadi semakin lantang. Ia mendesak kita untuk mencari titik tengah, *manunggaling kawula gusti* (penyatuan hamba dan Tuhan/kekuatan tertinggi), yang diwujudkan bukan dalam bentuk kesempurnaan moral yang kaku, melainkan dalam penerimaan bahwa di dalam setiap cahaya ada bayangan yang sah, dan di dalam setiap kejahatan ada potensi untuk penebusan yang murni.
Ia adalah manifestasi dari keberanian untuk melihat ke dalam jurang terdalam dari diri kita sendiri, mengakui iblis yang bersemayam, namun memilih untuk menyelimutinya dengan niat yang suci. Barongan Devils Putih, warisan kebenaran yang pahit namun membebaskan.
***