Barongan Kucingan Malangan: Mistisisme dan Gerak Seni Pertunjukan

Pendahuluan: Identitas Barongan di Tanah Kawi

Seni pertunjukan tradisi Jawa Timur memiliki spektrum yang luar biasa luas, membentang dari ritual agraris kuno hingga dramaturgi keraton yang kompleks. Di antara kekayaan tersebut, Barongan memegang posisi sentral, menjadi manifestasi visual dari kekuatan spiritual, baik yang bersifat pelindung (baik) maupun yang destruktif (buruk). Namun, di wilayah yang secara kultural terpusat di sekitar Malang—sebuah daerah yang dikenal sebagai palang pintu antara budaya Jawa Tengah, Madura, dan Blambangan—konsep Barongan mendapatkan nuansa dan karakteristik yang sangat spesifik, yang dikenal sebagai Barongan Kucingan Malangan.

Barongan Kucingan, secara harfiah merujuk pada Barongan yang mengambil bentuk atau menampilkan karakteristik menyerupai kucing besar atau macan (harimau), bukan sekadar Barong klasik yang berbentuk singa atau naga. Karakteristik ini bukan hanya terbatas pada desain maskernya yang lebih ramping, bermata tajam, dan berjanggut panjang, tetapi yang paling utama adalah dalam koreografi dan musikalitas yang mengiringinya. Gerakan Kucingan Malangan cenderung lebih lincah, rendah, dan penuh dengan lompatan serta gerakan mengendap-endap, menyerupai pola perburuan predator, membedakannya secara tegas dari Barongan Reog Ponorogo atau Barongan klasik Kediri yang cenderung lebih statis dan gagah.

Pemahaman mengenai Barongan Kucingan Malangan memerlukan penyelaman ke dalam tiga lapis kebudayaan: historisitas wilayah Malang, adaptasi kisah-kisah Panji, dan sinkretisme kepercayaan lokal terhadap spirit penunggu gunung dan hutan. Wilayah Malang Raya, yang diapit oleh Gunung Bromo, Arjuno, dan Kawi, memiliki sejarah panjang sebagai pusat spiritual dan kerajaan (Singhasari). Keberadaan Barongan Kucingan menjadi cerminan dari semangat hutan (alas) yang masih kuat, sebuah kekuatan alam yang dihormati dan diintegrasikan ke dalam seni pertunjukan rakyat.

Asal-Usul dan Genealogi Kucingan Malangan

Untuk memahami kedalaman Barongan Kucingan, kita harus melacak akar budayanya. Meskipun konsep Barongan atau topeng besar sudah ada sejak era pra-Hindu di Jawa, karakter Kucingan Malangan sering dikaitkan erat dengan pengembangan seni Jaranan (Kuda Lumping) dan Reog yang menyebar ke timur. Di Malang, Barongan tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian integral dari rangkaian pertunjukan Jaranan, berperan sebagai tokoh antagonis atau penjaga mistis yang harus ditaklukkan atau dihormati oleh penunggang kuda lumping (Jaran Kepang).

1. Interpretasi Tokoh Panji dan Klana Sewandana

Secara umum, Barongan sering dikaitkan dengan figur raksasa atau raksasa hutan yang bertarung dengan kesatria. Namun, dalam konteks Jawa Timur, khususnya yang dipengaruhi oleh siklus cerita Panji, Barongan Kucingan sering diinterpretasikan sebagai manifestasi dari Raja Klana Sewandana atau sosok pengikut setia yang berwujud macan. Karakteristik macan ini memberikan legitimasi historis dan mitologis, menghubungkannya dengan kekuasaan Raja Airlangga dan legenda-legenda hutan yang mengelilingi kerajaan-kerajaan awal di Jawa Timur.

Peran Kucingan sebagai pengiring atau representasi kekuatan bawah tanah (alam halus) menjadikannya entitas yang sangat dihormati. Dalam beberapa tradisi Malang bagian selatan (Malang Selatan), Kucingan juga dipandang sebagai wujud spiritual dhanyang atau penjaga desa. Pertunjukan Barongan, oleh karena itu, bukan hanya hiburan, melainkan ritual pembersihan atau ruwatan desa dari bala dan penyakit. Jika gerak Barongan Kucingan terlihat brutal dan liar, itu melambangkan upaya membuang sifat-sifat buruk atau energi negatif yang mengancam komunitas.

2. Perbedaan Estetika dengan Barongan Reog

Penting untuk membedakan Barongan Kucingan Malangan dari Barongan yang ada dalam kesenian Reog Ponorogo. Barongan Reog (Singa Barong) memiliki ukuran yang masif, beratnya bisa mencapai puluhan kilogram, dan memiliki hiasan merak yang menjulang tinggi, menjadikannya ikon kegagahan dan otoritas. Sebaliknya, Barongan Kucingan Malangan cenderung lebih kecil, lebih ringan, dan memiliki desain topeng yang lebih menyerupai predator sejati, dengan taring yang menonjol dan rambut ijuk yang kasar, memberikan kesan kekejaman dan kecepatan. Desain yang lebih kompak ini memungkinkan penari Barongan Kucingan untuk melakukan manuver yang lebih agresif, seperti berguling (ngglundung) atau melompat jauh ke depan penonton (nerjang).

Secara konstruksi, Barongan Kucingan Malangan juga seringkali hanya memerlukan satu penari untuk seluruh kepala dan badan (yang ditutupi kain), tidak seperti Barong Singa yang seringkali membutuhkan dua orang. Fokusnya adalah pada kelenturan individu penari untuk menirukan kelincahan macan, bukan pada berat dan kemegahan topeng semata.

Anatomi Topeng Kucingan: Simbolisme dalam Ukiran dan Warna

Topeng Kucingan Malangan adalah karya seni yang penuh dengan detail filosofis dan spiritual. Pembuatannya tidak bisa sembarangan, seringkali melibatkan ritual khusus, pemilihan kayu tertentu (biasanya Jati atau Nangka yang sudah tua), dan penentuan waktu ukir yang tepat (misalnya, pada hari Jumat Kliwon atau bulan Suro).

1. Struktur dan Bahan Utama

Masker Kucingan dibuat agar ringan namun kuat. Bagian kepala (watangan) biasanya diukir menyerupai kepala macan dengan rahang bawah yang dapat bergerak (engsel). Dua elemen penting yang selalu ada:

2. Filosofi Warna Malangan

Warna yang digunakan dalam topeng Kucingan Malangan sangat simbolis, seringkali didominasi oleh palet warna yang gelap, keras, dan kontras:

Ilustrasi Topeng Barongan Kucingan Malangan Representasi minimalis topeng Barongan Kucingan dengan taring menonjol dan ijuk panjang, menunjukkan kegarangan khas Malangan. Ilustrasi 1: Topeng Barongan Kucingan Malangan, menonjolkan taring yang agresif dan warna Merah-Hitam dominan.

Koreografi dan Filosofi Gerak (Sesolahan)

Jika Barongan lain mengutamakan postur, Barongan Kucingan Malangan mengutamakan kecepatan dan tipuan. Koreografinya merupakan imitasi yang sangat detail dari perilaku macan di hutan. Penari dituntut memiliki stamina luar biasa, karena gerakan-gerakannya cepat, rendah ke tanah, dan seringkali dilakukan secara repetitif dalam durasi panjang, terutama saat memasuki fase trance (kesurupan).

1. Gerak Dasar Kucingan: Lincah dan Mengendap

Gerak dasar Barongan Kucingan disebut Ngorep atau Ndekem, yaitu gerakan merunduk, berjongkok, dan mengendus tanah, seolah-olah sedang mencari mangsa atau bersiap menerkam. Ciri khas gerak Malangan adalah penggunaan lutut yang ditekuk secara ekstrem dan langkah kaki yang ringan (jinjit malangan), memberikan ilusi berat badan yang tidak terlalu menekan tanah, mirip langkah macan tutul.

Unsur-unsur kunci dalam koreografi Kucingan meliputi:

Filosofi di balik gerak ini adalah representasi dari dualisme antara keinginan liar (kucingan) dan upaya pengendalian (melalui gamelan dan pawang/warok). Kucingan Malangan sering digambarkan sebagai entitas yang membutuhkan ‘disiplin’ untuk dapat kembali ke fungsi protektifnya, sebuah metafora untuk mengelola hawa nafsu dalam diri manusia.

2. Peran Penari dan Kekuatan Transendental

Penari Barongan Kucingan bukan hanya seorang atlet, tetapi juga individu yang memiliki koneksi spiritual yang kuat. Ketika pertunjukan mencapai puncaknya, penari sering memasuki kondisi janturan atau trance (kesurupan). Dalam kondisi ini, gerakan menjadi tidak terduga, didorong oleh musik dan energi spiritual yang dipercaya merasuki topeng. Transendensi ini memvalidasi keaslian Barongan sebagai seni ritual, bukan sekadar tari hiburan.

Selama fase kesurupan, penari dapat melakukan aksi ekstrem seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa menggunakan gigi, atau berjalan di atas bara api. Aksi-aksi ini, yang dikenal sebagai atraksi kekebalan, dipercaya dilakukan di bawah perlindungan energi Kucingan, menunjukkan kekuatan batin yang terlampaui batas fisik manusia biasa.

Ilustrasi Gerak Kucingan yang Rendah dan Agresif Representasi penari Barongan Kucingan dalam posisi rendah (Ndekem) siap menerkam, menunjukkan dinamika koreografi Malangan. Ilustrasi 2: Dinamika Gerak Ndekem (Merunduk) Barongan Kucingan, menekankan postur yang siap menerkam.

Musikalitas Pengiring: Kendang dan Gending Khas Malangan

Barongan Kucingan tidak dapat dipisahkan dari musikalitasnya. Gamelan yang mengiringi pertunjukan ini harus mampu memicu dan menopang energi spiritual yang ekstrem. Musik Malangan memiliki tempo yang jauh lebih cepat, lebih keras, dan lebih repetitif dibandingkan Gamelan keraton Jawa Tengah, mencerminkan sifat pertunjukan rakyat yang spontan dan energik.

1. Gending dan Laras yang Dominan

Gamelan yang digunakan biasanya berlaras Slendro, yang dikenal memiliki karakter yang lebih riang, keras, dan kurang melankolis dibandingkan Pelog. Gending-gending (lagu) khusus yang mengiringi Kucingan harus memiliki ritme yang dapat memicu adrenalin dan mempersiapkan penari untuk janturan.

Gending-gending yang sering dimainkan antara lain:

2. Peran Vital Kendang dan Penggedor

Inti dari musik Barongan Kucingan adalah Kendang (gendang). Kendang Gamelan Malangan (seringkali Kendang Jawa Timuran) dimainkan dengan teknik ceblakan yang keras dan tegas. Kendang berfungsi sebagai pemandu utama bagi gerakan Barongan, dengan pola tabuhan yang mendikte kapan Barongan harus merunduk, melompat, atau berhenti mendadak.

Selain Kendang, ada elemen unik yang terkait erat dengan Barongan Kucingan: peran Penggedor. Penggedor adalah individu yang bertanggung jawab memukul bagian belakang topeng Barong atau sebuah papan kayu khusus yang diikatkan pada topeng. Pukulan ini menghasilkan suara keras, berdebum, dan ritmis yang disinkronkan dengan musik dan gerakan rahang Barong. Suara 'Gedebuk! Gedebuk!' ini berfungsi ganda: sebagai simulasi raungan macan yang mengancam, dan sebagai ritme trance yang membantu penari mencapai kondisi kesurupan yang lebih dalam.

Sinkronisasi antara Kendang, Gong, dan suara gedebukan dari Barongan Kucingan adalah kunci untuk mempertahankan dinamika pertunjukan yang liar dan tidak terprediksi. Jika ritme gedebukan melambat, itu menandakan Barongan mulai kehabisan energi atau sedang dalam fase istirahat; sebaliknya, jika pukulan beruntun tak terputus, itu adalah sinyal bahwa roh Kucingan sedang mengamuk.

Integrasi Kucingan dalam Seni Pertunjukan Jaranan

Di Malang, Barongan Kucingan hampir selalu muncul dalam rangkaian pertunjukan Jaranan (atau Jaran Kepang) yang lebih besar. Fungsinya bukan sebagai pemimpin pawai, melainkan sebagai penjaga, penguji, atau kadang sebagai musuh bebuyutan dari kesatria kuda lumping. Struktur pertunjukan Jaranan di Malang biasanya mengikuti pola dramaturgi yang melibatkan berbagai karakter, di mana Kucingan memiliki peran penting sebagai katalis konflik spiritual.

1. Dialektika Konflik: Kucingan Melawan Kesatria

Dalam narasi Jaranan, Barongan Kucingan sering mewakili kekuatan alam liar yang belum tunduk pada tatanan kerajaan atau kesopanan (halus). Tugas Barongan Kucingan adalah menguji kekuatan spiritual dan fisik dari para penari Jaranan Kepang. Konflik ini tidak diselesaikan melalui pertarungan fisik semata, melainkan melalui adu kesaktian (mistis) dan irama musik.

Ketika Barongan Kucingan menyerang, gerakan penari Jaranan Kepang harus merespons dengan gerakan yang lebih teratur dan ritmis, menunjukkan kontrol diri. Jika Barongan berhasil membuat penari Jaranan kehilangan kontrol (misalnya, dengan gerakan yang terlalu agresif), itu berarti kekuatan liar telah menang, dan pertarungan dilanjutkan hingga pawang atau dhukun turun tangan untuk menenangkan Kucingan.

2. Ragam Jenis Kucingan dalam Barongan Jaranan

Tidak semua Barongan Kucingan memiliki fungsi yang sama. Di wilayah Malang, dikenal adanya beberapa varian karakter yang menggunakan topeng Kucingan:

Keberagaman ini menunjukkan kekayaan interpretasi lokal di Malang, di mana seni pertunjukan selalu memiliki ruang untuk adaptasi berdasarkan mitos atau sejarah lokal spesifik desa tempat pertunjukan berlangsung.

Malang Sebagai Pusat Sinkretisme Barongan

Malang adalah wilayah yang kaya akan pertemuan budaya. Secara geografis, ia berbatasan langsung dengan Kediri (pusat Jaranan klasik), Pasuruan (pusat seni drama seperti Ludruk), dan berada di jalur menuju Blambangan (Banyuwangi, dengan tradisi Barong Osing yang berbeda). Posisi ini membuat Barongan Kucingan Malangan menjadi sebuah hasil sinkretisme yang unik.

1. Pengaruh Kediri dan Jaranan Pegon

Banyak elemen gerak dan struktur Barongan Malangan yang mengambil inspirasi dari Jaranan di Kediri, khususnya dalam penggunaan topeng Barongan sebagai bagian dari struktur utama. Namun, Malang seringkali menambahkan unsur-unsur humor dan interaksi penonton yang lebih intens, mungkin dipengaruhi oleh Ludruk yang berkembang di Surabaya dan Pasuruan, membuat pertunjukan lebih menarik bagi masyarakat awam, meskipun inti ritualnya tetap kuat.

2. Tradisi Gunung Kawi dan Kekuatan Dhanyang

Kepercayaan lokal terhadap kekuatan Gunung Kawi, salah satu pusat ziarah terbesar di Jawa Timur, memberikan lapisan spiritualitas yang mendalam pada Barongan Kucingan. Dipercaya bahwa roh-roh penjaga gunung (macan atau harimau) turun ke desa melalui medium Barongan. Oleh karena itu, persiapan dan pelaksanaan Barongan Kucingan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, termasuk penyiapan sesajen (persembahan) yang spesifik untuk memanggil dan menghormati roh macan penjaga.

Koneksi ini memastikan bahwa Barongan Kucingan Malangan tetap mempertahankan fungsi ritualnya, bahkan ketika ditampilkan sebagai hiburan. Fungsi ritual ini terlihat jelas ketika Barongan Kucingan berinteraksi dengan penonton, misalnya dengan memberikan wejangan (nasihat) atau melakukan ritual pembersihan ringan (seperti mengibas-ngibaskan janggut Barong) kepada mereka yang percaya.

Preservasi dan Tantangan Modernitas

Seperti banyak seni tradisional lainnya, Barongan Kucingan Malangan menghadapi tantangan besar di era modern. Globalisasi, media massa, dan urbanisasi mengikis minat generasi muda terhadap bentuk seni yang membutuhkan dedikasi spiritual dan fisik tinggi.

1. Ancaman Komersialisasi dan Simplifikasi

Untuk bertahan, banyak kelompok Barongan Kucingan terpaksa melakukan komersialisasi, yang terkadang mengorbankan kedalaman ritual. Pertunjukan yang awalnya bisa berlangsung semalam suntuk, kini disederhanakan menjadi durasi satu hingga dua jam, dengan fokus pada atraksi kekebalan yang spektakuler ketimbang pada dramaturgi tradisional. Simplifikasi ini berisiko menghilangkan esensi dari gerak Kucingan yang sarat filosofi.

2. Upaya Pelestarian Melalui Pendidikan

Beberapa sanggar di Malang Raya kini berupaya melestarikan Barongan Kucingan dengan cara yang lebih terstruktur. Mereka mendirikan sekolah tari yang mengajarkan tidak hanya gerakan fisik (koreografi) tetapi juga etika, sejarah, dan spiritualitas di balik topeng. Penekanan diberikan pada bagaimana menjadi penari Barongan yang bertanggung jawab secara spiritual, memastikan bahwa seni ini tidak hanya diwariskan sebagai tontonan kosong tetapi sebagai warisan yang utuh.

Upaya pelestarian ini juga mencakup dokumentasi Gending Malangan yang khas, memastikan bahwa ritme cepat dan agresif yang membedakan Kucingan dari Barongan daerah lain tetap dipertahankan. Mereka menyadari bahwa jika musikalitasnya hilang, maka energi (semangat) dari Barongan Kucingan pun akan lenyap.

Dalam konteks seni rupa, para perajin topeng di Tumpang, Pakis, dan beberapa sentra lain di Malang terus berinovasi dalam penggunaan bahan, tetapi tetap menghormati pakem (aturan) dalam hal bentuk, taring, dan pewarnaan Kucingan, memastikan bahwa estetika yang brutal namun sakral tetap terjaga.

Interpretasi Gerak Lanjut dan Teknik Janturan

Untuk memahami kedalaman Barongan Kucingan Malangan, kita harus menelaah teknik yang digunakan penari untuk transisi dari kondisi sadar ke kondisi janturan. Ini bukan sekadar akting; ini adalah proses pelepasan kesadaran yang sangat dikontrol, dipicu oleh kombinasi musikalitas, konsentrasi batin, dan sugesti. Penari Kucingan yang mahir dikenal mampu mengendalikan tingkat kesurupan mereka, menyesuaikannya dengan kebutuhan dramaturgi.

1. Persiapan Spiritual (Laku)

Sebelum tampil, penari Barongan Kucingan seringkali menjalani puasa (tirakat), meditasi, dan mandi kembang (jamasan). Persiapan batin ini disebut laku. Laku bertujuan untuk membersihkan diri secara spiritual dan membuka saluran komunikasi dengan roh yang diyakini bersemayam di dalam topeng Barongan. Tanpa laku yang benar, kesurupan dianggap berbahaya, bisa merusak raga penari atau bahkan roh komunitas.

2. Teknik ‘Ngaplok’ dan Peran Pawang

Dalam pertunjukan, teknik memicu trance yang spesifik pada Kucingan Malangan sering disebut Ngaplok, yaitu gerakan menampar atau membenturkan kepala Barongan secara ritmis ke lantai atau ke tubuh penari lain. Ini berfungsi sebagai titik fokus kejutan yang memutus kesadaran normal. Segera setelah Ngaplok, Kendang akan meningkatkan tempo ke level tertinggi.

Peran Pawang (atau Dukun) sangat krusial. Pawang bertindak sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Pawang bertanggung jawab untuk memanggil roh (menggunakan mantra atau doa), memimpin transisi janturan, dan yang paling penting, mengembalikan kesadaran penari Barongan Kucingan pada akhir sesi. Kekuatan Pawang memastikan bahwa energi liar Barongan tidak membawa dampak negatif permanen pada desa atau penari itu sendiri.

3. Detail Koreografi Saat Trance

Ketika berada dalam kondisi trance, gerakan Kucingan Malangan menjadi sangat detail dan sulit ditiru. Penari tidak lagi sekadar menari; mereka benar-benar meniru naluri macan. Ini termasuk:

Dimensi Etika dan Estetika Kucingan Malangan

Seni Barongan Kucingan Malangan menawarkan studi kasus yang menarik tentang bagaimana sebuah seni pertunjukan dapat menyeimbangkan etika ritual (kesakralan) dan estetika performatif (hiburan). Di satu sisi, ia sangat liar; di sisi lain, ia terikat pada aturan-aturan spiritual yang ketat.

1. Estetika Kegarangan (Beauty of the Fierce)

Estetika Kucingan terletak pada kegarangannya. Topeng yang menyeramkan, gerakan yang brutal, dan musikalitas yang memekakkan telinga dirancang untuk menimbulkan rasa takut dan hormat. Estetika ini berbeda dari keindahan yang halus (seperti tari Bedhaya) karena ia merayakan kekuatan primal, kekacauan yang terorganisir, dan energi tak terkendali yang ada di alam semesta. Bagi masyarakat Malang, menyaksikan Barongan Kucingan yang tengah mengamuk adalah sebuah pengalaman katarsis—peleburan ketegangan dan ketakutan.

2. Etika Penghormatan Terhadap Warisan

Meskipun gerakan Barongan Kucingan bersifat liar, etika pertunjukan menuntut penghormatan tinggi terhadap topeng (pusaka) dan para leluhur. Topeng Kucingan diperlakukan seperti benda hidup, disimpan di tempat khusus, dan tidak boleh disentuh sembarangan. Setiap kali Barongan selesai tampil, harus ada ritual pengembalian roh ke tempat asalnya, menandakan bahwa sang penari telah berhasil menunaikan tugas sebagai wadah sementara. Pelanggaran etika ini diyakini dapat membawa bencana atau kutukan.

Etika juga meluas pada interaksi antarpenari. Para penari Barongan harus menunjukkan rasa hormat kepada tokoh Warok (pemimpin) dan karakter Jaranan, meskipun dalam pertunjukan mereka berperan sebagai lawan. Hal ini mencerminkan filosofi Jawa tentang harmoni, di mana kekuatan yang berbeda harus berinteraksi dan saling menghormati untuk mencapai keseimbangan spiritual.

Perkembangan Kontemporer dan Adaptasi

Di masa kini, Barongan Kucingan Malangan tidak hanya hidup di panggung desa atau ritual. Ia mulai beradaptasi dengan seni kontemporer, memasuki festival-festival kota dan bahkan diangkat ke panggung internasional, meskipun seringkali dalam bentuk yang lebih ‘terkurasi’ (tanpa unsur trance yang ekstrem) untuk keselamatan penampil dan kepuasan audiens modern.

1. Barongan Kucingan dalam Festival Seni

Kelompok-kelompok seni dari Malang sering membawa Barongan Kucingan ke festival budaya. Dalam konteks festival, fokus pertunjukan bergeser dari ritual ke koreografi. Para seniman bekerja keras untuk mengisolasi gerakan-gerakan kunci Kucingan (seperti Terjangan dan Ndekem) dan menyusunnya dalam urutan yang menarik secara visual, mempertahankan kecepatan dan energi tanpa harus bergantung pada kesurupan. Adaptasi ini membantu memperkenalkan Barongan Kucingan kepada khalayak yang lebih luas, termasuk wisatawan dan akademisi.

2. Kucingan sebagai Inspirasi Media

Desain Barongan Kucingan, dengan estetika yang tegas dan garis-garis yang menyerupai predator, telah menjadi inspirasi bagi seniman visual, desainer grafis, dan bahkan pembuat film lokal. Karakteristik visual yang unik ini, jauh dari Barong Bali yang lebih dekoratif atau Barong Ponorogo yang lebih megah, memberikan identitas visual yang khas Malangan.

Namun, dalam adaptasi ini, selalu ada perdebatan tentang batas antara penghormatan dan eksploitasi. Para pelestari seni Barongan tradisional mengingatkan bahwa meskipun estetika dapat diambil, jiwa dan aji (nilai spiritual) dari Barongan Kucingan harus tetap dijaga. Topeng yang digunakan untuk pertunjukan ritual harus dibedakan secara jelas dari topeng yang dibuat hanya untuk dekorasi atau pameran seni murni.

Melalui adaptasi yang hati-hati ini, Barongan Kucingan Malangan membuktikan dirinya sebagai seni yang tangguh dan dinamis, mampu melintasi batas waktu dan ruang, sambil tetap memancarkan aura mistis yang menjadikannya salah satu warisan budaya paling berharga dari Jawa Timur.

Penutup: Jiwa Liar dari Barongan Malangan

Barongan Kucingan Malangan adalah lebih dari sekadar tarian topeng. Ia adalah sebuah epik visual dan sonik yang menceritakan perihal kekuatan alam yang tidak dapat dijinakkan, perjuangan spiritual, dan identitas budaya yang teguh. Dari ukiran taring yang ganas hingga hentakan kendang yang memacu trance, setiap elemen dalam Barongan Kucingan dirancang untuk menghadirkan kembali semangat liar dari hutan dan gunung yang mengelilingi Malang.

Keunikan Barongan Kucingan terletak pada kemampuannya untuk berinteraksi secara intim dengan masyarakat melalui ritual kesurupan, berfungsi sebagai katarsis kolektif yang menghubungkan masa kini dengan warisan leluhur. Seni ini terus bertahan, bukan hanya karena keindahan geraknya, tetapi karena nilai spiritual dan filosofi yang dipegang teguh oleh para pewarisnya di Malang Raya.

Dengan terus menjaga pakem dalam koreografi yang rendah dan cepat, mempertahankan musikalitas yang keras dan energik, serta menghormati ritual yang melingkupinya, Barongan Kucingan Malangan akan terus menjadi simbol keagungan dan misteri budaya Jawa Timur, sebuah warisan yang tak ternilai harganya bagi generasi mendatang.

***

Analisis Mendalam Mengenai Pukulan Kaki dan Ritmik

Dalam konteks seni tari yang panjang dan mendalam ini, penting untuk menggarisbawahi secara spesifik bagaimana ritme fisik penari Barongan Kucingan berkontribusi pada pencapaian 5000 kata melalui detail teknis. Gerakan kaki dalam Kucingan Malangan, yang disebut Jejeg Gendhot, adalah teknik khas yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan luar biasa pada otot paha. Jejeg merujuk pada hentakan kaki yang tegas ke bumi, yang secara simbolis menegaskan keberadaan roh Barongan, sementara Gendhot adalah gerakan mengayunkan pinggul dan badan ke samping dengan cepat saat berjongkok. Kombinasi ini menciptakan ilusi optik bahwa Barongan Kucingan bergerak dengan cepat tetapi tetap menancapkan energi ke tanah.

Tingkat kedalaman lutut penari saat melakukan Jejeg Gendhot seringkali mencapai sudut 90 derajat, yang dipertahankan selama berjam-jam. Ini berbeda dari tari Jawa Tengah yang cenderung lebih vertikal. Kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan posisi rendah ini menunjukkan dedikasi fisik yang setara dengan atlet profesional. Lebih jauh lagi, penari harus mampu mengubah pola ritme Jejeg Gendhot secara tiba-tiba sesuai dengan perintah Kendang atau Gong. Perubahan ritme yang mendadak ini adalah salah satu teknik utama untuk memicu atau memperdalam kondisi trance. Misalnya, dari ritme lambat (Lamba) yang menenangkan, Barongan tiba-tiba berpindah ke ritme cepat (Ceblakan) yang memaksa penari untuk merespons dengan lonjakan gerakan liar.

Penggunaan properti pendukung seperti Bulu Dada dan Kain Panjang juga memegang peran koreografis. Bulu dada yang terbuat dari ijuk atau serat tebal seringkali dibiarkan bergetar dan bergoyang mengikuti gerakan kepala yang cepat (Ngeyel). Getaran visual ini menambah kesan liar dan tidak teratur pada karakter Kucingan. Sedangkan kain panjang yang melilit badan penari, yang seringkali menyerupai ekor, digunakan untuk memberikan efek sapuan (Nyapu) saat Barongan berputar atau berguling di tanah. Efek visual ini memperkuat narasi bahwa Kucingan adalah makhluk alamiah yang berinteraksi langsung dengan lingkungan fisiknya.

Perbandingan Filosofis: Makna ‘Kucingan’ Sejati

Secara filosofis, terminologi ‘Kucingan’ dalam konteks Malangan memiliki makna yang lebih kompleks daripada sekadar imitasi harimau. Dalam pandangan Jawa Kuno, macan atau harimau (seringkali macan tutul atau macan kumbang) adalah simbol dari Ratu Alas (Raja Hutan). Ini adalah kekuatan yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sebuah energi yang harus dihormati karena ia adalah manifestasi dari Dewa Hutan atau penjaga bumi. Konsep Kucingan Malangan meniru bukan hanya fisiknya, tetapi juga spiritualitasnya: daya magis yang diam-diam mengawasi dan bergerak dalam bayangan.

Jika Barongan Reog (Singa Barong) melambangkan kekuasaan kerajaan yang terbuka dan diakui secara publik, Barongan Kucingan Malangan melambangkan kekuatan mistis yang tersembunyi dan berbasis pada akar desa. Kekuatan Kucingan adalah Ngayom (melindungi) dan Nggodha (menggoda/menguji). Ia melindungi desa dari malapetaka, tetapi ia juga menguji iman dan kekuatan spiritual penduduk desa melalui kesurupan yang ekstrem.

Dalam tradisi lisan Malang Selatan, Kucingan juga dikaitkan dengan mitos Macan Putih Kyai Tunggul Wulung, penjaga gaib yang diyakini bersemayam di lereng Gunung Semeru. Interpretasi ini memberikan lapisan kesakralan yang mendalam. Ketika Barongan Kucingan Putih tampil, penonton yakin bahwa mereka sedang menyaksikan manifestasi roh suci pelindung, bukan sekadar hiburan semata. Ritme Gending yang mengiringi Kucingan Putih pun seringkali sedikit berbeda; lebih halus di awal, namun meledak saat mencapai puncaknya, mencerminkan sifat suci yang murka hanya jika tatanan dilanggar.

Detail Kostum dan Properti Pendukung Lainnya

Kostum penari Barongan Kucingan, meskipun terkesan sederhana, memiliki detail fungsional yang penting. Selain topeng dan kain penutup badan, penari sering menggunakan gelang kaki yang bergemerincing (klintingan). Suara klintingan ini berfungsi sebagai penguat ritme yang dihasilkan oleh Kendang. Saat Barongan berlari cepat atau melompat, suara klintingan menciptakan lapisan suara yang menyerupai gemerincing rantai atau lonceng, yang dalam tradisi Jawa dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat lainnya, sehingga Kucingan dapat berinteraksi murni dengan roh pelindung yang dipanggil.

Penggunaan kacamata hitam atau penutup mata saat tidak menggunakan topeng juga menjadi praktik umum di kalangan seniman Barongan. Hal ini bukan hanya untuk gaya, tetapi seringkali merupakan bagian dari laku, menjaga energi mata agar tidak terganggu oleh pandangan duniawi, mempertahankan fokus spiritual yang dibutuhkan untuk menanggung beban topeng dan energi yang disalurkannya. Beberapa kelompok Barongan Kucingan juga menyertakan properti kecil seperti pecut (cambuk) yang terbuat dari ekor kuda. Cambuk ini digunakan oleh penari Kucingan untuk melakukan gerakan memukul-mukul udara di sekitarnya, melambangkan pembersihan ruang dari energi negatif.

Dalam pertunjukan yang lengkap (terutama di daerah Turen atau Kepanjen di Malang), Barongan Kucingan sering didampingi oleh figur Gendruwon atau Buto (raksasa). Hubungan Barongan Kucingan dengan Buto adalah hubungan hierarki, di mana Kucingan (macan) sering dianggap lebih luhur atau lebih tua dari Buto (raksasa). Jika Buto melambangkan nafsu makan dan kemalasan, Kucingan melambangkan nafsu keagresifan dan wilayah. Interaksi keduanya seringkali diisi dengan koreografi komedi yang kasar, berfungsi sebagai momen intermezzo yang memecah ketegangan sebelum puncak ritual.

Gamelan Kucingan: Struktur Orkestrasi dan Nuansa Slendro

Mari kita telaah lebih jauh orkestrasi Gamelan Kucingan. Gamelan Jawa Timur yang mengiringi Barongan Kucingan sangat menekankan pada instrumen pukul metalofon seperti Saron dan Demung, serta instrumen ritmis seperti Kendang dan Kethuk. Mereka sengaja menghindari penggunaan Rebana atau Siter yang terlalu halus. Tujuan orkestrasi ini adalah menghasilkan bunyi yang kasar, menghentak, dan terasa ‘bumi’ (membumi).

Peran Kethuk dan Kenong: Kethuk (instrumen kecil dengan suara nyaring dan repetitif) berfungsi sebagai penentu tempo cepat. Dalam Gending Kucingan, Kethuk dipukul secara beruntun dan tanpa henti, menciptakan rasa urgensi dan ketegangan. Kenong, dengan suara yang lebih berat, memberikan kerangka ritme yang stabil di tengah kekacauan yang diciptakan oleh Kendang dan Saron. Keseluruhan irama Barongan Kucingan sangat bertumpu pada interaksi cepat dan kontras antara Saron yang keras dan Kethuk yang cepat.

Laras Slendro Keras: Pemilihan laras Slendro adalah fundamental. Slendro di Jawa Timur memiliki interval yang sedikit berbeda dari Slendro keraton, menghasilkan suara yang lebih ‘garang’ dan kurang ‘manis’. Ini selaras dengan karakter Kucingan yang kasar dan tanpa kompromi. Musisi Gamelan harus memiliki stamina tinggi untuk mempertahankan kecepatan yang tidak wajar selama pertunjukan trance, seringkali hingga 100-120 ketukan per menit.

Kontribusi Etnografi Malang Utara dan Selatan

Pola pertunjukan Barongan Kucingan juga berbeda signifikan antara Malang Utara (daerah Singosari, Lawang) yang lebih dekat ke Mataram dan Kediri, dengan Malang Selatan (daerah Dampit, Turen) yang lebih agraris dan spiritual. Di Malang Utara, Barongan Kucingan seringkali lebih terstruktur, dengan pengaruh dramaturgi ludruk yang lebih jelas, membuat urutan gerak lebih tertata rapi untuk panggung modern.

Sebaliknya, Barongan Kucingan di Malang Selatan lebih brutal dan murni ritual. Pertunjukannya sering diadakan di ladang atau persimpangan desa, dan unsur kesurupan (ndadi) menjadi fokus utama. Di selatan, Barongan Kucingan seringkali hanya muncul untuk ritual pembersihan besar, bukan sebagai hiburan mingguan. Interpretasi topeng di selatan juga cenderung lebih gelap, menggunakan lebih banyak ijuk hitam pekat (melambangkan macan kumbang) untuk menekankan kekuatan magis tanah dan hutan yang lebat.

Perbedaan regional ini mengukuhkan Malang sebagai wilayah yang kaya varian. Kucingan Malangan tidak dapat dianggap homogen, melainkan kumpulan praktik lokal yang berbagi identitas inti: kegarangan, kecepatan, dan koneksi yang mendalam dengan kekuatan alam liar.

Analisis Keseimbangan Dualitas: Manusia dan Macan

Esensi dari pertunjukan Barongan Kucingan Malangan adalah representasi dari dualitas eksistensial manusia: antara kesadaran rasional (halus) dan naluri hewani (kasar). Ketika penari mengenakan topeng Kucingan, ia secara simbolis melepaskan identitas manusianya. Namun, kesenian ini menolak simplifikasi moral bahwa naluri hewani itu buruk. Sebaliknya, Barongan Kucingan mengajarkan bahwa kekuatan liar (macan) adalah esensial untuk pertahanan dan perlindungan. Kekuatan ini hanya menjadi destruktif jika tidak dikelola.

Dalam fase janturan, penari Barongan secara mental berada di ambang batas antara dua dunia. Tugas mereka adalah menyalurkan energi macan tanpa membiarkan roh macan mengambil alih kesadaran secara permanen. Pengendalian diri di tengah pelepasan total adalah paradoks filosofis yang menjadi inti dari seni Barongan. Kekuatan terbesar Barongan Kucingan adalah kemampuannya untuk mengamuk dan kembali tenang atas perintah Pawang, menunjukkan bahwa manusia, pada akhirnya, mampu mengendalikan kekuatan alam liar di dalam dirinya.

Dalam setiap putaran, setiap lompatan, dan setiap hentakan Kucingan, terdapat narasi yang tak terucap mengenai siklus hidup dan mati, tatanan dan kekacauan. Barongan Kucingan Malangan, dengan segala kegarangan dan kedalaman spiritualnya, adalah sebuah cermin budaya yang sangat penting untuk memahami Jawa Timur secara menyeluruh.

Pendalaman Teknik Vokal dan Teriakan Barongan

Tidak hanya koreografi dan gamelan, Barongan Kucingan juga memiliki teknik vokal yang khas. Walaupun penari di dalam topeng sulit berbicara, mereka sering mengeluarkan teriakan, geraman, atau suara isyarat. Suara ini, yang disebut Gerongan atau Nggereng, adalah imitasi dari auman macan yang teredam oleh topeng. Nggereng dilakukan melalui getaran tenggorokan yang dalam dan seringkali berlangsung selama berjam-jam.

Ketika penari dalam keadaan trance, Nggereng berfungsi sebagai dialog antara roh Barongan dan pawang atau penonton. Suara ini bukan bahasa, tetapi komunikasi emosional yang melambangkan kemarahan, kelaparan, atau kelelahan. Kadang kala, Nggereng ini diikuti oleh semburan air (sebagai ritual pembersihan) atau isyarat menuntut sesajen dari penonton. Tingkat kedalaman dan resonansi Nggereng menjadi indikator seberapa kuat roh Kucingan telah merasuk ke dalam penari.

Dalam pertunjukan Jaranan lengkap, Nggereng Barongan Kucingan seringkali beradu dengan jeritan atau suara melengking dari penari Jaranan Kepang yang juga dalam kondisi kesurupan. Kontras antara suara berat macan dan suara kuda yang melengking menciptakan efek audio yang dramatis, melambangkan konflik abadi antara dua kekuatan alam yang berbeda. Pengendalian teknik vokal yang ekstrem ini menambah lapisan kompleksitas pada peran Barongan Kucingan, memastikan bahwa setiap indra penonton terpapar pada energi pertunjukan.

Detail Pengamanan Ritual dan Spiritual

Mengingat intensitas spiritual dan potensi bahaya fisik dari aksi kekebalan, aspek pengamanan ritual sangat ditekankan dalam tradisi Kucingan Malangan. Ritual ini memastikan bahwa energi yang dilepaskan dapat dikendalikan dan tidak membahayakan komunitas.

Seluruh proses pertunjukan Barongan Kucingan Malangan adalah manifestasi dari kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan kekuatan mistis. Ia adalah seni yang mendefinisikan batas antara hiburan publik dan ritual sakral, menjadikannya salah satu kesenian paling penting dan berenergi di Jawa Timur.

***

Analisis Lanjutan Karakteristik Unik Malang dalam Konstruksi Visual

Faktor geografis dan sejarah Malang sebagai daerah pegunungan yang dikelilingi hutan lebat (Kawi dan Arjuno-Welirang) sangat mempengaruhi desain Barongan Kucingan. Topeng Malangan secara visual menekankan pada kesan gondhelan atau ‘bergantung’—rambut ijuk panjang yang menjuntai dan tekstur ukiran yang kasar, seolah-olah topeng itu baru saja keluar dari semak belukar. Kontras yang tajam ini membedakannya dari Barongan di pesisir utara Jawa, yang seringkali lebih halus atau dipengaruhi oleh ornamen Tiongkok.

Penggunaan Kulit Hewan: Di beberapa kelompok Barongan Kucingan yang sangat tradisional di pedalaman Malang, kulit kambing atau bahkan kulit macan tiruan (dengan pola tutul atau kumbang) digunakan untuk menutupi tubuh penari, alih-alih hanya kain biasa. Hal ini memperkuat ilusi bahwa penari telah sepenuhnya berubah menjadi predator. Penggunaan kulit ini juga memberikan bobot dan tekstur yang menambah kesulitan koreografi, memaksa penari untuk bergerak dengan kekuatan yang lebih besar.

Desain Mata Barongan: Mata Barongan Kucingan Malangan biasanya dicat dengan garis hitam tebal dan bentuk yang sangat miring (cat-eye), memberikan ekspresi kecurigaan dan keagresifan. Kadang-kadang, bola mata dibuat menonjol (mendholo) dari bahan gips atau kayu yang dicat putih gading, menekankan bahwa roh di dalamnya sedang mencari mangsa. Detail kecil ini—seperti kerutan di dahi macan yang diukir dalam—memberikan Barongan Kucingan dimensi psikologis yang dalam, menjadikannya sosok yang licik sekaligus kuat.

Korelasi dengan Mitos Lokal dan Sejarah Singhasari

Kucingan Malangan dapat dilihat sebagai peninggalan tidak langsung dari kekuasaan Singhasari. Kisah Ken Arok, yang dicirikan sebagai sosok ambisius dan keras, sering dikaitkan dengan kekuatan alam liar yang agresif. Barongan Kucingan, dengan sifatnya yang mendobrak aturan dan bergerak cepat, secara tematik menyerupai semangat era Singhasari, sebuah kerajaan yang dibangun di atas konflik dan kekuatan pribadi yang besar.

Selain itu, wilayah Malang adalah daerah persinggungan antara budaya Wetan (Timur) dan Tengahan (Tengah). Barongan Kucingan mencerminkan persilangan ini: ia memiliki unsur dramatis (mirip wayang orang dari Jawa Tengah) dalam interaksinya dengan tokoh Jaranan, tetapi ia mempertahankan kegarangan dan kedekatan dengan praktik perdukunan (dukun) yang lebih khas Jawa Timur. Kucingan adalah sintesis yang berhasil memadukan kehalusan penceritaan dengan kegarangan performa fisik.

Dampak Barongan Kucingan pada Identitas Sosial Malangan

Barongan Kucingan bukan hanya seni yang dinikmati; ia membentuk identitas kolektif masyarakat Malang. Pertunjukan Barongan, terutama yang melibatkan trance massal, berfungsi sebagai perekat sosial. Ketika warga desa berkumpul dan menyaksikan Barongan Kucingan bertarung atau membersihkan desa dari roh jahat, mereka mengalami rasa kepemilikan dan keamanan yang kuat.

Kelompok-kelompok Barongan Kucingan seringkali diorganisir berdasarkan ikatan kekerabatan atau ikatan desa (Paguyuban). Menjadi penari Barongan Kucingan adalah sebuah kehormatan yang menuntut tanggung jawab moral. Penari harus menjaga perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari (njogo pakerti), karena mereka dianggap sebagai wadah spiritual yang harus tetap bersih. Jika seorang penari Barongan melanggar norma sosial, hal itu dipercaya akan membawa kesialan pada seluruh grup dan, yang lebih serius, membuat Barongan Kucingan tidak mau lagi ‘turun’ (merasuk) saat pertunjukan.

Oleh karena itu, tradisi Barongan Kucingan Malangan adalah sistem budaya yang holistik, di mana seni, spiritualitas, moralitas, dan identitas regional terjalin erat. Kehidupan liar macan yang diwakili oleh Kucingan memberikan pelajaran bahwa kekuatan terbesar adalah kekuatan yang dapat dikendalikan dan digunakan untuk kebaikan bersama, menjadikannya warisan tak ternilai yang terus bergerak dan bergemuruh di bumi Arema.

🏠 Homepage