Misteri dan Keagungan Barongan Tulungagung: Jejak Sang Singa dalam Tradisi Jawa Timur

Seni pertunjukan Barongan adalah manifestasi budaya yang kuat dan penuh daya magis di Jawa, khususnya di Jawa Timur. Di antara berbagai varian yang tersebar, Barongan Tulungagung menempati posisi yang unik, merefleksikan akulturasi mendalam antara mitologi kuno, spiritualitas lokal, dan kreativitas artistik masyarakat setempat. Pertunjukan ini bukan sekadar tontonan, melainkan sebuah ritual yang menghidupkan kembali kisah kepahlawanan, pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, serta penghormatan terhadap kekuatan alam yang disimbolkan oleh sosok Singo Barong yang perkasa.

Tradisi Barongan Tulungagung, yang sering kali dipertunjukkan bersama dengan kesenian Jathilan (Kuda Lumping) dan penari celeng gembes, telah menjadi identitas kultural yang melekat erat pada Kabupaten Tulungagung. Kehadirannya selalu dinantikan, tidak hanya karena geraknya yang dinamis dan irama musiknya yang khas, tetapi juga karena aura mistis yang menyelimuti setiap pementasan. Memahami Barongan Tulungagung berarti menelusuri lapisan-lapisan sejarah dan filosofi yang membentuk jati diri masyarakat di kaki Gunung Wilis.

I. Akar Historis Barongan Tulungagung

Untuk memahami esensi Barongan Tulungagung, kita harus melihat konteks sejarah Jawa Timur yang kaya. Meskipun Barongan secara umum sering dikaitkan dengan Reyog Ponorogo, versi Tulungagung memiliki garis perkembangan mandiri dan adaptasi lokal yang khas. Beberapa sejarawan budaya percaya bahwa Barongan merupakan warisan tradisi pra-Hindu Buddha yang kemudian berasimilasi dengan cerita-cerita epik yang datang kemudian.

Asal Mula Mitologis Singo Barong

Sosok Singo Barong, sang singa besar berkepala raksasa yang menjadi pusat perhatian Barongan, adalah simbol dari kekuatan yang tak tertandingi. Dalam konteks Jawa Timur, Singo Barong sering dihubungkan dengan figur mitologis yang muncul dalam cerita rakyat masa Kerajaan Kediri atau Majapahit. Ada spekulasi bahwa bentuk singa ini merupakan representasi dari tokoh Arya Singa atau figur lain yang memiliki kekuatan supranatural dan keagungan. Cerita ini kemudian menyebar melalui jalur perdagangan dan spiritual, hingga menemukan format pementasan yang stabil di wilayah Tulungagung.

Perbedaan Struktural Lokal

Walaupun secara visual memiliki kesamaan dengan Reyog, Barongan di Tulungagung memiliki penekanan yang berbeda. Pengaruh Islam yang kuat pasca-Majapahit juga membentuk etika pementasan, meskipun elemen sinkretis tetap dominan. Di Tulungagung, fokus pertunjukan sering kali lebih menekankan pada interaksi antara Singo Barong dengan kelompok Jathilan (penunggang kuda kepang) dan peran sentral para pembarong (pemain barongan) yang dituntut memiliki kemampuan spiritual tertentu untuk mengendalikan energi mistis yang muncul selama pertunjukan. Kekhasan ini menjadikan barongan tulung agung sebuah warisan yang patut dikaji mendalam.

Fungsi Awal Pertunjukan

Pada awalnya, Barongan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan. Fungsi utamanya adalah ritualistik. Pertunjukan ini sering dipentaskan sebagai bagian dari upacara bersih desa, tolak bala, atau meminta hujan. Keyakinan bahwa Singo Barong mampu mengusir roh jahat atau membawa kesuburan sangat kuat di masyarakat agraris Tulungagung. Seiring perkembangan zaman, meskipun fungsi hiburan semakin menonjol, unsur sakral ini tidak pernah sepenuhnya hilang, terutama terlihat saat klimaks pertunjukan ketika pemain mengalami trance (kesurupan).

II. Anatomia Barongan: Estetika dan Perlengkapan Wujud

Kekuatan visual Barongan Tulungagung terletak pada kerajinan detail dan simbolisme yang tersembunyi dalam setiap elemen kostum. Proses pembuatan Singo Barong adalah seni yang membutuhkan keahlian turun temurun dan pemahaman filosofis yang mendalam. Ukuran Barongan Tulungagung cenderung besar, membutuhkan dua orang untuk memanggul dan menggerakkannya, menciptakan ilusi makhluk raksasa yang hidup dan bernapas.

A. Kepala Singo Barong (Kedok)

Kepala Barongan, yang disebut kedok atau topeng, adalah pusat dari segalanya. Di Tulungagung, topeng ini dibuat dari kayu yang kuat, biasanya kayu nangka atau randu, yang dipercaya memiliki energi alami yang baik. Proses pengukiran membutuhkan ketelitian luar biasa. Detail mata yang melotot, taring yang tajam, dan lidah yang menjulur panjang merupakan representasi dari keganasan dan kekuasaan absolut.

Topeng Singo Barong
Gambaran Artistik Kepala Singo Barong yang Melambangkan Kekuatan dan Keagungan Raja Hutan.

alt: Ilustrasi SVG topeng kepala Barongan Tulungagung yang besar dengan taring tajam dan warna merah hitam yang intens.

B. Rambut dan Jubah (Gimbal dan Gembong)

Rambut Singo Barong, yang disebut gimbal atau gembong, adalah ciri khas yang paling dramatis. Rambut ini dibuat dari serat tumbuhan, bulu binatang (terkadang kuda atau kambing), atau yang modern menggunakan tali rafia yang diurai. Panjangnya bisa mencapai dua hingga tiga meter, menjuntai ke belakang. Gerakan gimbal inilah yang menciptakan efek visual liar dan dinamis saat penari Barongan melakukan gerakan memutar atau mengibaskan kepala.

Filosofi di balik rambut yang panjang dan lebat ini adalah representasi dari energi primal dan alamiah. Rambut yang bergerak bebas dan tak terkendali mencerminkan kekuatan alam yang harus dihormati. Pemeliharaan rambut Barongan juga sering dikaitkan dengan ritual tertentu, memastikan bahwa energi yang tersimpan di dalamnya tetap kuat dan sakral. Dalam tradisi barongan tulung agung, kualitas dan volume gimbal menjadi penentu kualitas visual sebuah pertunjukan.

C. Pakaian Penari dan Simbolik Warna

Pemain Barongan, terutama para Jathilan dan penari lainnya, mengenakan pakaian tradisional Jawa yang telah dimodifikasi. Umumnya menggunakan celana pendek, stagen, dan kain penutup kepala (iket). Warna pakaian yang digunakan juga tidak sembarangan:

Kostum ini dirancang tidak hanya untuk estetika tetapi juga untuk mobilitas, mengingat intensitas gerakan dan potensi terjadinya trance (kesurupan) di mana penari harus dapat bergerak tanpa hambatan fisik.

III. Filosofi Gerak, Irama, dan Fenomena Trance

Barongan Tulungagung bukan sekadar tarian; ia adalah sebuah meditasi gerak yang melibatkan interaksi antara manusia, seni, dan entitas spiritual. Setiap langkah, ayunan kepala Singo Barong, hingga suara gamelan yang menggelegar, semuanya memiliki makna filosofis yang mendalam, mencerminkan pandangan hidup masyarakat Jawa.

A. Simbolisme Gerakan Singo Barong

Gerakan Singo Barong, yang dimainkan oleh dua orang (penarik depan dan penarik belakang), dibagi menjadi beberapa fase. Fase awal menampilkan gerakan yang agung dan lambat, melambangkan kebangkitan sang raja. Kemudian, gerakan berubah menjadi cepat, liar, dan agresif, terutama saat terjadi interaksi dengan penari Jathilan atau Celeng Gembes.

Gerak Kibasan Kepala: Kibasan kepala yang cepat dan mengamuk melambangkan upaya Singo Barong untuk mengusir roh-roh negatif atau membersihkan area pementasan dari energi buruk. Ini adalah momen klimaks yang paling ditunggu. Gerakan ini juga memperlihatkan kekuatan dan kemampuan Barongan untuk menguasai medan. Pemain harus memiliki stamina dan sinkronisasi yang luar biasa untuk menjaga ilusi bahwa Singo Barong adalah satu kesatuan makhluk.

B. Musik Pengiring: Gamelan Reyog Khas Tulungagung

Irama adalah jantung dari Barongan. Gamelan yang digunakan di Tulungagung memiliki perbedaan minor dari Gamelan Reyog Ponorogo, terutama dalam hal kecepatan dan penekanan ritme. Instrumen kunci meliputi:

  1. Kendang: Memimpin ritme dan tempo. Dentuman kendang yang cepat dan bertalu-talu berfungsi sebagai katalisator untuk memicu semangat dan energi para penari, dan sering kali menjadi pemicu utama fenomena trance.
  2. Angklung dan Kenthong: Memberikan melodi pengisi yang ringan namun khas, menciptakan kontras dengan suara keras dari Reog dan Gong.
  3. Gong: Penanda setiap akhir frasa musik, memberikan penekanan dan otoritas pada irama. Gong juga dipercaya memiliki unsur sakral yang kuat.
  4. Terompet Reyog: Instrumen tiup yang menghasilkan suara melengking, dramatis, dan dominan, memberikan suasana magis dan heroik.

Harmoni yang diciptakan oleh ansambel gamelan ini tidak hanya enak didengar, tetapi dirancang untuk menciptakan gelombang energi getaran yang membantu penari dan pembarong mencapai kondisi kesurupan atau ndadi. Irama Barongan Tulungagung dikenal memiliki pola yang tegas, seolah memanggil kekuatan dari dimensi lain.

C. Fenomena Trance (Ndadi)

Fenomena trance atau ndadi adalah elemen spiritual yang tak terpisahkan dari Barongan, baik pada pemain Jathilan maupun Barongan itu sendiri. Ini adalah momen ketika penari dipercaya dirasuki oleh roh atau kekuatan yang mereka simbolkan (kuda, celeng, atau Singo Barong). Dalam kondisi ini, mereka menunjukkan kekuatan fisik luar biasa, seperti mengupas kelapa dengan gigi, makan beling, atau kebal terhadap pukulan.

Fenomena ndadi dalam konteks Barongan Tulungagung adalah validasi spiritual. Ia bukan sekadar akting, tetapi bukti otentik dari interaksi antara dunia manusia dan dunia tak kasat mata, yang diyakini menjaga kelangsungan tradisi dan keberkahan desa. Peran Bopo (pemimpin spiritual) sangat krusial dalam mengendalikan dan mengembalikan kesadaran penari yang sedang ndadi, menjamin bahwa pertunjukan berjalan aman dan sesuai etika ritual.
Kendang Gong
Komponen Gamelan yang Memberikan Irama Magis dan Dinamis pada Barongan.

alt: Ilustrasi SVG instrumen Kendang dan Gong, inti dari musik pengiring Barongan Tulungagung.

IV. Struktur Pertunjukan Khas Barongan Tulungagung

Pementasan Barongan Tulungagung adalah sebuah drama panjang yang terbagi menjadi beberapa babak. Urutan ini penting karena membangun ketegangan naratif dan energi spiritual yang dibutuhkan untuk klimaks pertunjukan. Meskipun inti utamanya adalah Singo Barong, karakter pendukung memiliki peran penting dalam menyajikan humor, konflik, dan transisi ritual.

A. Pembukaan: Tarian Pembuka (Gambuhan)

Pertunjukan dimulai dengan tarian lembut atau musik Gamelan yang bersifat pembuka, bertujuan untuk membersihkan suasana dan menarik perhatian penonton. Bagian ini sering diisi oleh tarian putri-putrian yang anggun, melambangkan keindahan dan harmoni sebelum munculnya kekacauan yang dibawa oleh Singo Barong.

B. Jathilan (Kuda Lumping)

Jathilan adalah komponen yang wajib ada. Penari Jathilan, yang menunggangi kuda kepang dari anyaman bambu, melambangkan pasukan berkuda yang gagah berani. Gerakan Jathilan sangat dinamis dan sinkron, sering kali merupakan kelompok penari yang pertama kali mengalami ndadi. Di Tulungagung, Jathilan sering diposisikan sebagai pengawal atau prajurit Singo Barong, yang menunjukkan kesetiaan dan pengabdian.

Interpretasi Gerak Jathilan sangat detail. Gerakan meniru kuda yang berlari kencang, melompat, dan menendang. Ketika Jathilan mengalami trance, gerakan mereka menjadi lebih agresif dan tidak terduga, menunjukkan kekuatan yang tidak manusiawi. Interaksi antara Jathilan yang kesurupan dengan Singo Barong yang juga bersemangat menciptakan medan energi yang sangat intens di panggung.

C. Tokoh Pelengkap: Celeng Gembes dan Bujang Ganong

Tokoh pelengkap berfungsi sebagai bumbu yang memberikan narasi dan humor, serta sebagai antagonis ringan yang memicu Singo Barong untuk bergerak lebih agresif:

1. Celeng Gembes (Babi Hutan)

Celeng Gembes adalah karakter babi hutan yang sering kali digambarkan sebagai sosok nakal, serakah, atau pengganggu. Sosok ini memberikan unsur komedi, namun dalam interpretasi spiritual, Celeng Gembes bisa melambangkan hawa nafsu duniawi yang harus dikendalikan atau ditaklukkan oleh Singo Barong. Tarian Celeng Gembes sangat lincah dan jenaka, sering memancing tawa penonton.

2. Bujang Ganong (Patih/Abdi)

Meskipun lebih dikenal dalam Reyog Ponorogo, Bujang Ganong atau varian lokalnya (seperti Klono Sewandono atau Ganongan) sering muncul sebagai patih atau penasehat yang cekatan dan lincah. Wajahnya yang bermuka merah dan berhidung panjang melambangkan kecerdasan dan kelincahan. Tugasnya adalah menjembatani interaksi antara Singo Barong yang agung dengan Jathilan dan penonton.

D. Puncak Pertunjukan dan Ritual Pengendalian

Puncak pertunjukan adalah saat Singo Barong menunjukkan kekuatannya secara penuh, sering kali terlibat dalam pertempuran simbolis melawan Celeng Gembes atau berinteraksi secara energik dengan Jathilan yang sudah ndadi. Pada tahap ini, intensitas musik mencapai puncaknya. Jika elemen spiritual sangat kuat, Singo Barong juga bisa mengalami trance, ditandai dengan gerakan yang sangat agresif, menggigit, atau bergerak tanpa kontrol logis dari pemainnya.

Setelah klimaks, Bopo atau dukun panggung masuk untuk melakukan ritual penyadaran. Ritual ini melibatkan mantra, air suci, atau sentuhan yang ditujukan untuk mengembalikan kesadaran para penari. Keberhasilan ritual penyadaran adalah penutup yang krusial, menandakan bahwa kekuatan telah dihormati dan dikembalikan ke tempatnya, dan pertunjukan dapat diakhiri dengan selamat.

V. Warisan Seni Kriya: Pembuatan Kepala Barongan

Aspek kriya dalam Barongan Tulungagung adalah bagian integral dari warisan budaya yang harus dilestarikan. Topeng Barongan bukan dibuat oleh sembarang tukang kayu, tetapi oleh seniman yang memahami anatomi mitologis Singo Barong serta tuntutan spiritual yang menyertai penggunaannya. Proses ini melibatkan ritual, ketelitian ukir, dan pemilihan bahan yang sakral.

A. Pemilihan Material Kayu

Kayu yang paling sering digunakan adalah kayu nangka atau kemuning. Pemilihan kayu ini didasarkan pada dua alasan: durabilitas yang tinggi dan keyakinan spiritual. Kayu yang dipilih harus yang ‘bertuah’ atau telah melalui proses pembersihan tertentu, seringkali diambil dari pohon yang tumbuh di lokasi keramat atau pada hari-hari baik menurut penanggalan Jawa.

Proses pemotongan kayu pun tidak dilakukan sembarangan. Terdapat ritual doa yang harus dilakukan sebelum pohon ditebang, sebagai bentuk penghormatan terhadap roh pohon. Setelah itu, kayu dijemur dan dipersiapkan untuk proses ukir. Ukuran rata-rata topeng Barongan Tulungagung menuntut balok kayu yang besar, mencerminkan besarnya tenaga dan waktu yang diinvestasikan dalam pembuatannya.

B. Teknik Ukir dan Pewarnaan Tradisional

Pengukir akan memulai dengan membentuk garis besar wajah Singo Barong. Detail paling rumit adalah pada bagian mata, hidung, dan taring. Mata harus diukir sedemikian rupa sehingga terlihat melotot dan menakutkan, taring harus menonjol keluar, dan dahi harus berkerut, memberikan ekspresi kemarahan yang agung. Teknik ukir yang digunakan adalah teknik ukir dalam dan timbul, memberikan dimensi tiga yang nyata pada topeng.

Pewarnaan dan Simbolisme Lapisan

Pewarnaan dilakukan dengan cat minyak atau cat kayu tradisional. Urutan pelapisan warna sangat penting. Lapisan dasar seringkali hitam, melambangkan kegelapan atau alam bawah sadar, diikuti oleh warna merah yang intens pada wajah, dan sentuhan warna emas (prada) pada hiasan mahkota dan pinggiran. Warna-warna ini tidak hanya memperindah tetapi juga memperkuat aura magis topeng tersebut. Seniman Barongan memahami bahwa setiap sapuan kuas adalah penambahan energi pada wujud yang mereka ciptakan.

C. Proses Pemasangan Gembong (Rambut)

Rambut Barongan adalah bagian yang membutuhkan volume dan panjang. Tradisionalnya, rambut ini diikat pada bingkai kayu yang disebut kembang sawur. Rambut dari ijuk atau serat alami dipilih karena ringan dan mudah bergerak ketika diayunkan. Pemasangan rambut harus rapat dan tebal, karena rambut (gembong) ini merupakan representasi visual dari aura dan energi Singo Barong yang berlimpah. Dalam beberapa kasus, pemasangan rambut juga disertai dengan ritual khusus, memastikan bahwa topeng tersebut 'hidup' dan siap digunakan dalam pertunjukan sakral.

VI. Barongan Tulungagung dalam Pusaran Modernitas

Seperti banyak seni tradisional lainnya, Barongan Tulungagung menghadapi tantangan adaptasi di era modern. Meskipun demikian, kesenian ini menunjukkan ketahanan yang luar biasa, berkat upaya kolektif para seniman, pemerintah daerah, dan komunitas pecinta budaya.

A. Kontribusi terhadap Identitas Lokal

Barongan telah menjadi ikon Tulungagung. Kehadirannya dalam festival seni lokal, upacara penyambutan tamu penting, dan bahkan dalam kurikulum sekolah lokal, memperkuat rasa bangga masyarakat terhadap warisan mereka. Ini bukan hanya sebuah pertunjukan, tetapi simbol ketangguhan dan spiritualitas masyarakat Tulungagung.

Kelompok-kelompok seni Barongan kini tersebar di berbagai kecamatan, masing-masing membawa ciri khas minor mereka sendiri. Misalnya, kelompok dari daerah pegunungan mungkin menekankan unsur ritualistik yang lebih kuat, sementara kelompok di wilayah kota lebih menonjolkan aspek koreografi dan visual yang menarik bagi audiens yang lebih luas. Keragaman ini memperkaya khazanah barongan tulung agung secara keseluruhan.

B. Upaya Revitalisasi dan Konservasi

Konservasi Barongan melibatkan dua aspek utama: pelestarian bentuk asli (pakem) dan adaptasi agar tetap relevan. Banyak sanggar seni kini aktif mengajarkan generasi muda teknik menari, menabuh gamelan, dan memahami filosofi di balik Barongan.

C. Tantangan Globalisasi dan Komersialisasi

Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kesakralan Barongan di tengah tuntutan komersialisasi. Ketika Barongan dipentaskan untuk tujuan hiburan murni, ada risiko bahwa elemen ritualistik dan spiritualnya terkikis. Para sesepuh Barongan selalu menekankan pentingnya menjaga etika panggung, terutama terkait fenomena trance, agar tidak dianggap sebagai tipuan belaka.

Oleh karena itu, pendidikan filosofis bagi para penari dan pembarong menjadi kunci. Mereka harus memahami bahwa mereka adalah penjaga tradisi, dan bukan sekadar penghibur. Keseimbangan antara pertunjukan yang menarik (profan) dan penghormatan terhadap unsur sakral (religius) adalah garis batas yang harus terus dijaga oleh pegiat seni barongan tulung agung.

Simbol Gerakan Tarian Trance
Gerakan Dinamis yang Melambangkan Energi dan Kondisi Trance (Ndadi) Penari.

alt: Ilustrasi SVG abstrak yang menunjukkan garis-garis lengkung dinamis melambangkan energi gerakan tarian Barongan dan Jathilan.

VII. Analisis Mendalam: Estetika Ukir dan Makna Material

Untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang Barongan Tulungagung, kita perlu membedah lebih jauh bagaimana proses kriya (kerajinan tangan) secara langsung memengaruhi daya magis dan filosofis dari topeng Singo Barong. Setiap detail ukiran adalah keputusan estetika sekaligus spiritual yang tidak boleh diabaikan.

A. Teknik Ukir Taring dan Gigi

Taring Barongan selalu menjadi fokus utama. Taring diukir tajam, panjang, dan seringkali dicat putih bersih atau kuning pucat kontras dengan wajah merah. Secara filosofis, taring melambangkan kemampuan Singo Barong untuk 'menggigit' atau menaklukkan bahaya. Dalam beberapa tradisi Tulungagung, taring yang terbuat dari gading atau tulang binatang yang dipercaya memiliki kekuatan magis sering disisipkan, meskipun kini lebih umum menggunakan kayu yang diukir sangat detail.

Gigi Barongan, meskipun sering tersembunyi, diukir secara lengkap dan tidak rapi, menandakan kebuasan. Seniman ukir Barongan harus menciptakan kesan bahwa gigi tersebut mampu merobek dan mengunyah, berbeda dengan topeng dewa yang giginya diukir rapi dan simetris. Asimetri ini adalah kunci estetika keganasan pada Barongan.

B. Penggunaan Cermin dan Kain Pelapis

Beberapa Barongan Tulungagung dihiasi dengan pecahan cermin kecil atau potongan kaca berwarna di sekitar mahkota atau di bagian telinga. Penggunaan cermin ini bersifat reflektif dan magis. Cermin dipercaya mampu memantulkan balik energi negatif (tolak bala) dan juga menarik perhatian mata penonton, memberikan kilauan yang dramatis di bawah cahaya panggung. Selain itu, bagian dalam topeng dilapisi kain beludru atau kain merah tebal, bukan hanya untuk kenyamanan pembarong, tetapi juga untuk 'menjaga panas' atau energi spiritual di dalam topeng agar tidak mudah lepas.

C. Dimensi Sosial: Tukang Ukir Barongan

Tukang ukir Barongan di Tulungagung adalah tokoh yang dihormati. Mereka tidak hanya dianggap sebagai artisan tetapi juga sebagai pemegang kunci tradisi. Mereka harus melalui puasa atau ritual tertentu saat memulai proyek ukiran, terutama untuk Barongan yang dipesan oleh kelompok seni yang sangat mementingkan aspek spiritual. Hubungan antara pembarong (penari) dan pengrajin topengnya seringkali sangat erat, berdasarkan kepercayaan bahwa energi pembarong harus sesuai dengan energi yang ditanamkan oleh pembuat topeng.

VIII. Kedalaman Ritme: Komponen dan Peran Gamelan Barongan

Gamelan pengiring barongan tulung agung, meskipun berbasis Reyog, memiliki ciri khas dalam penggunaan instrumen yang lebih menekankan pada tempo tinggi dan irama yang repetitif, bertujuan menciptakan atmosfer hipnotik. Analisis terhadap masing-masing instrumen menunjukkan peran unik mereka dalam keseluruhan ritual.

A. Peran Sentral Kendang: Pemicu Trance

Kendang (gendang) adalah pemimpin orkestra. Di Barongan Tulungagung, kendang dimainkan dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada kendang dalam Gamelan Jawa klasik. Pemain kendang harus memiliki kekuatan fisik luar biasa dan kepekaan ritme yang tinggi. Pola tabuhan kendang seringkali meniru detak jantung yang berdebar kencang atau langkah kuda yang berlari, berfungsi sebagai sinyal bagi penari Jathilan untuk memasuki kondisi ndadi. Tanpa kendang yang kuat dan bersemangat, energi Barongan akan terasa hampa.

B. Terompet Reyog: Suara Panggilan

Terompet Reyog (atau Saronen) adalah instrumen tiup yang suaranya paling melengking dan sering terdengar dominan di atas hiruk pikuk instrumen pukul. Suara terompet ini sering dianalogikan sebagai panggilan dari dunia spiritual atau suara auman Singo Barong yang sesungguhnya. Melodi terompet biasanya bersifat improvisatif, mengikuti alur dramatik tarian, memberikan respons emosional terhadap gerakan para penari.

C. Kethuk, Kenong, dan Kempul: Struktur dan Batasan

Instrumen penentu struktur seperti Kethuk, Kenong, dan Kempul bertanggung jawab untuk menjaga kerangka ritmis agar musik tidak berantakan meskipun tempo sangat cepat. Mereka memberikan ‘jeda’ atau ‘batas’ pada setiap kalimat musik. Kethuk memberikan pola ketukan yang stabil dan cepat, sementara Kenong dan Kempul (gong kecil) memberikan penekanan pada frasa-frasa penting, memastikan bahwa Gamelan tersebut tetap menjadi penopang ritual, bukan sekadar kebisingan.

Keseluruhan ansambel Gamelan ini dirancang untuk menciptakan 'getaran kolektif' yang menyatukan pembarong, penari Jathilan, Bopo, dan bahkan penonton, dalam pengalaman komunal yang intens. Musik ini adalah mediator antara realitas duniawi dan dimensi spiritual yang dipanggil oleh Singo Barong.

IX. Komparasi Barongan Tulungagung dengan Tradisi Reyog Jawa Timur Lain

Meskipun memiliki akar yang sama dengan seni Reyog yang populer di Jawa Timur, Barongan Tulungagung mengembangkan karakteristik yang membedakannya secara signifikan dari varian Ponorogo atau Kediri. Perbedaan ini terletak pada fokus narasi, detail topeng, dan intensitas spiritual.

A. Perbedaan Estetika Topeng

Secara umum, topeng Singo Barong di Tulungagung cenderung lebih fokus pada ekspresi keganasan dan kekuasaan absolut. Sementara Reyog Ponorogo menonjolkan keagungan dan ukuran raksasa (seringkali dihiasi merak), Barongan Tulungagung sering kali lebih brutal dan primitif dalam ukirannya. Matanya lebih melotot, taringnya lebih tegas, dan rambutnya (gembong) lebih liar dan kurang terstruktur dibandingkan dengan bulu merak di Ponorogo. Fokus di Tulungagung adalah pada kekuatan primal Singo Barong sebagai raja hutan yang tak tertaklukkan, bukan sebagai kendaraan raja.

B. Fokus Narasi dan Karakter

Reyog Ponorogo memiliki narasi inti yang jelas terkait dengan kisah Prabu Kelono Sewandono dan Dewi Songgolangit, dengan Dadak Merak sebagai ikon sentral. Sebaliknya, Barongan di Tulungagung lebih fleksibel dalam narasi. Meskipun elemen pahlawan-prajurit (Jathilan) tetap ada, fokusnya seringkali bergeser ke pertarungan spiritual atau ritual penyucian desa (bersih desa). Interaksi dengan Celeng Gembes (antagonis komedi) juga lebih menonjol di beberapa kelompok Tulungagung, memberikan keseimbangan antara ketegangan magis dan humor rakyat.

Peran Jathilan: Di Tulungagung, penari Jathilan memiliki peran yang sangat sentral dalam memicu dan mempertahankan energi trance. Mereka seringkali lebih menonjolkan aksi-aksi kesaktian saat ndadi, dibandingkan dengan Jathilan di Ponorogo yang lebih fokus pada koreografi dan keserasian barisan.

C. Intensitas Ritual dan Trance

Elemen trance di barongan tulung agung dianggap lebih intens dan kurang dikomersialkan dibandingkan beberapa wilayah lain. Kesurupan dianggap sebagai bukti keampuhan Singo Barong dan kekuatan spiritual para pemain. Ritual sebelum dan sesudah pertunjukan sangat ketat, melibatkan pembacaan mantra dan pemberian sesajen (persembahan) kepada roh penjaga seni tersebut. Ini mencerminkan kedekatan masyarakat Tulungagung dengan kepercayaan animisme dan dinamisme yang berpadu dengan Hinduisme-Jawa.

X. Barongan Sebagai Cermin Kosmologi Jawa

Pada tingkat filosofis tertinggi, Barongan Tulungagung adalah cerminan dari kosmologi Jawa, yang percaya pada keseimbangan antara mikrokosmos (diri manusia) dan makrokosmos (alam semesta). Singo Barong melambangkan energi besar yang ada di alam semesta—kekuatan, keganasan, tetapi juga keagungan dan perlindungan.

A. Manunggaling Kawulo Gusti dan Trance

Kondisi ndadi (trance) dapat diinterpretasikan sebagai upaya mencapai manunggaling kawulo gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya/Kekuatan Agung), meskipun dalam konteks seni. Ketika penari Jathilan menjadi kuda atau Singo Barong, mereka melepaskan identitas diri mereka dan membiarkan energi spiritual alam mengambil alih. Proses ini adalah pengakuan bahwa manusia adalah bagian kecil dari kekuatan alam yang jauh lebih besar.

B. Simbolisasi Pertarungan Abadi

Pertarungan antara Singo Barong dengan musuh-musuhnya (Celeng Gembes, misalnya) adalah simbol pertarungan internal yang dihadapi setiap manusia: pertarungan antara kebaikan (kesadaran spiritual Singo Barong) dan kejahatan atau nafsu (simbol Celeng). Setiap pementasan adalah pengulangan ritual penyucian diri dan komunitas, mengingatkan bahwa keseimbangan harus selalu dipertahankan.

Dengan segala lapisan sejarah, kriya, dan spiritualitasnya, Barongan Tulungagung bukan hanya warisan yang harus dijaga, tetapi sumber pemahaman yang tak habis tentang kekayaan filosofis masyarakat Jawa Timur. Dari ukiran taring yang menakutkan hingga irama kendang yang memacu adrenalin, Barongan terus mengaum, menjadi pengingat abadi akan kekuatan dan keagungan tradisi yang hidup dan bernapas.

Kesenian ini terus berevolusi, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, memastikan bahwa auman Singo Barong akan terus terdengar, menjaga spirit budaya Tulungagung tetap menyala di tengah arus perubahan zaman yang deras.

Penelusuran mendalam terhadap setiap lekuk ukiran pada topeng Barongan menunjukkan sebuah dedikasi yang melampaui batas seni kerajinan biasa. Pengrajin, yang dikenal sebagai ahli pembuat kedok di Tulungagung, seringkali harus melakukan puasa dan laku spiritual selama berminggu-minggu sebelum memulai proses pengecatan dan pewarnaan. Ini memastikan bahwa topeng yang dihasilkan tidak hanya indah secara visual, tetapi juga menyimpan 'roh' yang kuat, siap untuk menjadi wadah bagi energi Singo Barong saat pementasan. Komitmen totalitas ini, dari pemilihan jenis kayu terbaik—yang seringkali adalah kayu jati atau nangka yang diyakini paling 'bertuah'—hingga pemasangan setiap helai rambut ijuk yang melambangkan surai liar sang singa, menjadikan setiap topeng Barongan Tulungagung sebuah artefak sakral yang unik. Keunikan ini semakin diperkuat oleh ritual penjamasan (pembersihan) topeng yang dilakukan secara berkala, biasanya pada bulan Suro dalam kalender Jawa, sebuah ritual yang memperkuat ikatan spiritual antara kelompok seni dengan warisan mistis mereka. Praktik-praktik ini memastikan bahwa seni barongan tulung agung tetap hidup sebagai manifestasi spiritual, bukan sekadar komoditas hiburan, menjadikannya pilar kebudayaan yang kokoh di Jawa Timur.

Lebih jauh lagi, analisis terhadap pola tabuhan Gamelan yang menyertai Barongan Tulungagung mengungkapkan kompleksitas ritmis yang luar biasa. Tidak hanya Kendang yang memimpin, tetapi instrumen seperti Slenthem dan Demung juga memainkan peran vital dalam memberikan lapisan melodi yang kadang terasa suram, kadang heroik. Pola-pola ritmis yang berulang, atau yang dalam istilah Jawa disebut gebyogan, sengaja dirancang untuk membangun resonansi energi. Ketika penari Jathilan mulai bergerak ritmis, diikuti oleh ayunan kepala Singo Barong, irama Gamelan bertransisi dari fase ngelik (melodi pengantar) menuju fase ndadi (klimaks trance). Transisi ini tidak mendadak, melainkan bertahap, memberikan waktu bagi penari untuk mempersiapkan diri secara mental dan spiritual. Penelitian etnografi menunjukkan bahwa variasi minor dalam tabuhan Gamelan ini sering kali menjadi penanda asal usul kelompok Barongan di Tulungagung, apakah mereka berasal dari wilayah utara yang lebih agraris atau wilayah selatan yang cenderung pesisir. Perbedaan ini menunjukkan betapa detail dan terperinci tradisi lisan dan praktik seni barongan tulung agung telah dijaga selama berabad-abad.

🏠 Homepage