Simbol persatuan pemikiran Islam dan kearifan lokal
Dalam lanskap keislaman di Indonesia, nama Buya Hamka dan KH. Ahmad Chudori (Abah Anom) seringkali disebut sebagai dua tokoh yang memberikan kontribusi tak ternilai. Meskipun gaya dakwah dan latar belakang keilmuan mereka mungkin memiliki perbedaan, keduanya memiliki benang merah yang kuat: pemahaman mendalam tentang ajaran Islam yang terintegrasi dengan kearifan lokal Nusantara. Keduanya bukan sekadar ulama besar, melainkan juga cendekiawan yang mampu menjembatani nilai-nilai universal agama dengan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia.
Buya Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, adalah seorang ulama, sastrawan, dan intelektual muslim yang lahir di Sumatera Barat. Beliau dikenal luas melalui karya-karyanya yang mendalam dan menyentuh, terutama tafsir Al-Azhar dan novel-novelnya yang sarat akan nilai moral dan spiritual. Buya Hamka memiliki kemampuan luar biasa dalam merangkai kata, membuat ajaran Islam yang kompleks menjadi mudah dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat.
Salah satu kekuatan Buya Hamka adalah kemampuannya untuk mengaitkan ajaran Islam dengan adat istiadat dan budaya Minangkabau. Ia tidak melihat adanya pertentangan antara Islam dan budaya lokal, melainkan bagaimana keduanya dapat saling menguatkan. Dalam pandangannya, adat yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat adalah bagian dari Islam itu sendiri. Pendekatan ini membuat Islam terasa lebih akrab dan relevan bagi masyarakat. Karya-karyanya tidak hanya menjadi bacaan wajib di Indonesia, tetapi juga diapresiasi di kancah internasional, membuktikan bahwa pemikiran Islam yang berakar pada budaya lokal memiliki daya tarik universal.
Sementara itu, KH. Ahmad Chudori, yang lebih dikenal sebagai Abah Anom, adalah seorang ulama kharismatik dari Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN) yang memiliki jutaan pengikut. Abah Anom lebih menekankan pada aspek spiritualitas dan pembinaan akhlak melalui praktik tarekat. Namun, di balik kesederhanaan dan kerendahan hatinya, tersembunyi kedalaman pemahaman agama yang bersinergi dengan kearifan lokal Sunda.
Abah Anom mengajarkan bahwa Islam bukan hanya sekadar ritual ibadah, tetapi juga tentang bagaimana membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan alam semesta. Pendekatan beliau yang lembut dan penuh kasih sayang, serta kemampuannya untuk menyentuh hati jamaahnya, menjadikan ajaran TQN sangat populer. Ia juga dikenal sebagai sosok yang menghargai tradisi dan adat istiadat Sunda, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pengintegrasian spiritualitas tarekat dengan nilai-nilai budaya lokal ini menjadikan ajarannya mudah diterima dan dijalankan oleh masyarakat, terutama di Jawa Barat.
Keduanya, Buya Hamka dan Abah Anom, menjadi contoh nyata bagaimana Islam dapat berdialog dengan budaya dan tradisi lokal tanpa kehilangan jati dirinya. Di era globalisasi yang serba cepat ini, seringkali kita dihadapkan pada benturan nilai. Namun, warisan pemikiran kedua tokoh ini mengingatkan kita akan pentingnya kearifan lokal sebagai jembatan untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Buya Hamka dengan kejeniusan sastranya mampu menerjemahkan konsep-konsep Islam ke dalam bahasa yang mudah dipahami dan relevan dengan konteks budaya. Sementara Abah Anom, dengan kepemimpinannya dalam tarekat, menunjukkan bagaimana spiritualitas dapat terjalin erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, serta menghargai nilai-nilai luhur yang telah mengakar. Keduanya membuktikan bahwa Islam di Indonesia memiliki corak yang khas, yang kaya akan nuansa budaya dan kearifan lokal, menjadikannya rahmatan lil 'alamin dalam arti yang sesungguhnya. Mempelajari dan merenungkan pemikiran mereka adalah cara yang baik untuk memperkaya pemahaman kita tentang Islam yang toleran, berbudaya, dan membumi.