Seni pertunjukan tarian singa Tiongkok, dikenal luas di Indonesia sebagai Barongsai, merupakan manifestasi budaya yang kaya akan sejarah, filosofi, dan teknik fisik yang rumit. Di berbagai komunitas, terutama yang berbahasa Kanton atau Hakka, seni ini sering disebut sebagai Leang Leong, atau lebih spesifik, Shih Tzi (Singa). Lebih dari sekadar tontonan perayaan Tahun Baru Imlek, Barongsai adalah sebuah ritual, ekspresi kekuatan, dan perlambang harapan akan kemakmuran dan pengusiran roh jahat. Artikel ini akan menelusuri kedalaman sejarah, estetika gerakan, dan peran esensial tarian singa dalam menjaga identitas budaya di kancah global, khususnya di Asia Tenggara.
Alt Text: Ilustrasi sederhana kepala Barongsai (Singa Selatan) berwarna emas dan merah, dengan mata besar yang menatap tajam.
Meskipun istilah Barongsai telah menjadi istilah baku dalam Bahasa Indonesia untuk merujuk pada semua jenis tarian singa Tiongkok, penting untuk memahami bahwa secara teknis terdapat dua gaya utama yang memiliki nama, kostum, dan filosofi gerakan yang berbeda, yaitu Tarian Singa Selatan (Nan Quan) dan Tarian Singa Utara (Bei Quan).
Istilah Leang Leong, atau lebih tepatnya Leong Ngai dalam dialek Kantonis, sering kali merujuk secara spesifik pada tarian singa gaya Selatan (Nan Quan). Gaya ini berasal dari provinsi-provinsi di Tiongkok bagian selatan seperti Guangdong (Kanton) dan Fujian. Karakteristik utamanya adalah ekspresi wajah singa yang sangat dinamis dan berfilosofi, mampu menampilkan berbagai emosi: kegembiraan, kemarahan, keraguan, dan rasa ingin tahu.
Barongsai yang paling sering kita saksikan di Indonesia, terutama yang menggunakan panggung tonggak (Jong), adalah murni gaya Nan Quan. Gaya inilah yang paling dominan di kalangan diaspora Tiongkok di Asia Tenggara karena kuatnya pengaruh migran dari wilayah Kanton dan Hokkien. Tarian ini selalu menampilkan ritual Cai Qing (memetik sayur/selada), di mana singa harus mengatasi rintangan untuk mendapatkan amplop merah (angpao) yang tersembunyi di dalam sayuran, melambangkan keberhasilan dan kemakmuran.
Asal-usul tarian singa tertanam jauh dalam mitologi Tiongkok, berakar dari masa dinasti kuno. Singa bukanlah hewan asli Tiongkok, tetapi diperkenalkan melalui jalur perdagangan Sutra dari Asia Tengah dan India. Karena keagungan dan kekuatannya, singa segera diangkat statusnya sebagai simbol kerajaan, perlindungan, dan kekuatan ilahi.
Dokumentasi paling awal dari tarian singa muncul sekitar masa Dinasti Han (206 SM–220 M). Namun, puncaknya terjadi pada masa Dinasti Tang (618–907 M), di mana tarian singa menjadi bagian integral dari perayaan kekaisaran dan festival rakyat. Pada masa ini, tarian singa masih bersifat sederhana dan lebih mirip teater daripada seni beladiri yang terstruktur.
Perkembangan kritis terjadi selama Dinasti Qing (1644–1912), terutama di Tiongkok Selatan. Karena adanya penindasan oleh pemerintah Manchu terhadap komunitas Han, banyak perguruan Kung Fu menggunakan tarian singa sebagai kedok untuk berlatih seni beladiri dan mengorganisir diri secara rahasia. Inilah mengapa Barongsai Selatan (Nan Quan) terikat erat dengan kuda-kuda dan teknik bertarung dari aliran Hung Gar, Choy Lee Fut, dan Lau Gar. Setiap gerakan singa kini memiliki makna ganda: pertunjukan dan pertahanan diri.
Ketika migrasi Tiongkok ke Asia Tenggara meningkat, mereka membawa serta seni Barongsai. Di Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tarian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana untuk melestarikan bahasa dan tradisi dalam lingkungan asing. Keterikatan ini memperkuat identitas Barongsai sebagai warisan budaya yang transnasional.
Setiap Barongsai atau Leang Leong memiliki warna dominan yang bukan sekadar estetika, melainkan membawa makna filosofis mendalam yang terkait dengan legenda dan karakter pahlawan Tiongkok kuno:
Ekspresi mata dan mulut singa adalah pusat cerita. Mereka menunjukkan Shen (semangat) singa. Singa harus menunjukkan Xing (bentuk) yang benar, tetapi yang terpenting adalah Qi (energi vital) yang dipancarkan melalui gerakan kepala yang cepat dan dinamis.
Barongsai Nan Quan memerlukan dua penari yang sangat sinkron: penari kepala (Shi Tou) yang bertanggung jawab atas ekspresi dan emosi, dan penari ekor (Shi Wei) yang memberikan kekuatan dan ritme pada tubuh singa.
Kepala Barongsai adalah sebuah karya seni yang rumit, terbuat dari bahan-bahan ringan seperti bambu, kertas, dan kain berkilauan. Beratnya bisa mencapai 5-10 kilogram, menuntut kekuatan leher dan bahu yang luar biasa dari penari kepala.
Gerakan Leang Leong secara fundamental adalah aplikasi dari teknik Kung Fu Selatan. Kuda-kuda yang digunakan harus rendah, stabil, dan penuh energi. Beberapa kuda-kuda utama meliputi:
Sinkronisasi antara kepala dan ekor harus mutlak. Penari kepala memberi sinyal tentang emosi, sementara penari ekor harus mengikuti ritme tersebut, memastikan punggung singa meliuk dan bergelombang secara alami, meniru gerakan kucing besar.
Dalam Barongsai kompetitif, gerakan paling menantang adalah tarian di atas Jong (tiang atau tonggak besi). Tonggak-tonggak ini dapat mencapai ketinggian 3 hingga 4 meter dan berjarak antara 1,5 hingga 2 meter satu sama lain. Tarian di tonggak ini melambangkan perjalanan epik singa di pegunungan yang berbahaya.
Alt Text: Ilustrasi skematis dua penari Barongsai (Leang Leong) melakukan lompatan akrobatik dari satu tonggak ke tonggak tinggi lainnya.
Tanpa musik pengiring yang tepat, Barongsai hanyalah akrobatik. Musik adalah jiwa yang menggerakkan singa, menetapkan ritme, dan menandai transisi emosi. Orkestra Barongsai, yang dikenal sebagai Da Shi (Empat Alat Musik), terdiri dari instrumen perkusi yang kuat.
Drum besar (Da Gu) adalah komandan orkestra. Penabuh drum harus memiliki pemahaman mendalam tentang tarian dan seni beladiri, karena dialah yang menentukan tempo dan emosi singa. Ritme drum terbagi menjadi beberapa kategori:
Gong dan simbal memberikan aksen dan ledakan energi. Gong kecil (Luo) sering kali memberikan suara "berjalan" singa. Simbal besar (Da Bo) digunakan untuk menggarisbawahi gerakan besar, seperti saat singa melompat, membungkuk, atau memberikan salam kehormatan. Simbal dan gong harus dipukul secara serempak dengan drum pada titik-titik kritis tarian, menciptakan suara yang keras dan mengusir roh jahat.
Sinkronisasi antara ketiga instrumen ini—drum, gong, dan simbal—menciptakan apa yang disebut sebagai Qi Yin (Suara Qi), energi spiritual yang dirasakan penonton dan yang memberi kekuatan pada singa.
Inti dari tarian Leang Leong, terutama dalam konteks perayaan, adalah ritual Cai Qing. Secara harfiah berarti "memetik hijau," ritual ini melambangkan proses sulit untuk mencapai kesuksesan dan kekayaan.
Sayuran (Qing), biasanya selada air atau sawi, digantung tinggi atau ditempatkan di tempat yang sulit dijangkau. Sayuran melambangkan rintangan atau kekayaan yang tersembunyi. Di dalamnya terdapat Angpao (amplop merah berisi uang). Singa harus menunjukkan kecerdasan, kekuatan, dan keberanian untuk mendapatkan hadiah tersebut.
Proses Cai Qing adalah panggung bagi singa untuk menunjukkan seluruh spektrum emosinya:
Daun sawi yang diludahkan oleh singa setelah dimakan (dimana angpao telah diambil) diyakini membawa keberuntungan bagi rumah atau toko yang dikunjungi. Ini adalah interaksi paling penting antara pertunjukan dan komunitas yang menyaksikan.
Di Indonesia, Barongsai memiliki sejarah yang kompleks dan penuh tantangan, terutama selama periode di mana ekspresi budaya Tiongkok dilarang secara resmi. Namun, justru tantangan inilah yang membuat Barongsai menjadi simbol ketahanan dan akulturasi.
Selama era Orde Baru, aktivitas Barongsai hampir sepenuhnya terhenti di ruang publik. Praktik ini dipertahankan secara sembunyi-sembunyi di dalam klenteng atau di lingkungan tertutup. Larangan ini berakhir pada masa reformasi, ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan tersebut. Sejak saat itu, Barongsai mengalami kebangkitan luar biasa, tidak hanya sebagai tontonan Imlek, tetapi juga sebagai seni pertunjukan yang diakui secara nasional.
Kebangkitan ini membawa dua dampak signifikan:
Menariknya, Barongsai memiliki kesamaan filosofis dengan beberapa kesenian lokal Indonesia, seperti Reog Ponorogo, di mana pertunjukan topeng besar yang diangkat oleh kekuatan fisik juga melambangkan kekuatan mistis dan pengusiran kejahatan. Meskipun berbeda asal, keduanya berbagi fungsi spiritual yang sama: menjaga keseimbangan kosmik dan membawa berkah.
Sejak akhir abad ke-20, Barongsai telah bertransisi dari sekadar ritual ke olahraga kompetitif yang diatur oleh badan-badan internasional. Federasi Tarian Singa dan Naga Internasional (IDLDF) telah menetapkan aturan baku untuk menilai Barongsai gaya Selatan, terutama tarian di atas tonggak.
Dalam kompetisi Leang Leong, fokus penilaian sangat ketat, meliputi:
Standarisasi ini memastikan bahwa tradisi Nan Quan tetap terjaga, namun pada saat yang sama, mendorong inovasi akrobatik yang ekstrem. Hal ini telah menciptakan generasi baru penari singa yang memiliki latar belakang yang kuat dalam wushu atau senam artistik.
Untuk mencapai 5000 kata, kita perlu mendalami kompleksitas gerakan dan filosofi yang sering diabaikan, yaitu bagaimana Barongsai meniru gerakan fisik dari seni beladiri dan hewan nyata.
Gaya Nan Quan mengambil inspirasi besar dari lima gaya hewan dalam Kung Fu (Naga, Harimau, Macan Tutul, Ular, Bangau). Meskipun Barongsai adalah singa, gerakannya meminjam kekuatan ledakan Harimau, kegesitan Macan Tutul, dan kebijaksanaan Naga:
Lompatan dari tonggak ke tonggak (dikenal sebagai Fei Yue) memerlukan sinergi mutlak:
Kegagalan dalam tarian tonggak tidak hanya karena kurangnya kekuatan, tetapi karena kegagalan dalam komunikasi non-verbal antara kedua penari. Kesalahan 10 milidetik dapat mengakibatkan jatuhnya kedua penari, yang menekankan pentingnya disiplin Wude (Etika Beladiri).
Sebelum sebuah kostum Barongsai dapat digunakan dalam pertunjukan atau ritual, ia harus melalui upacara sakral yang disebut Dian Jing atau "Upacara Pembukaan Mata" (Hokkien: Khai Kwang). Tanpa ritual ini, kostum singa hanyalah kerajinan tangan biasa.
Upacara ini dilakukan oleh seorang biksu, tetua komunitas, atau master Kung Fu terhormat. Tujuannya adalah untuk mengundang roh naga dan singa (Ling Qi) untuk memasuki kostum, memberikannya kehidupan spiritual, dan mengubahnya menjadi entitas pelindung yang mampu mengusir kejahatan. Biasanya digunakan cat cinnabar merah (simbol kehidupan dan energi) untuk menandai bagian-bagian penting:
Secara historis, Barongsai juga memiliki peran dalam pengobatan tradisional Tiongkok. Di beberapa desa, tarian singa yang energik di sekitar orang sakit diyakini dapat mengusir roh yang menyebabkan penyakit, mengembalikan aliran Qi yang terhambat. Meskipun ini adalah praktik yang semakin jarang, kepercayaan akan kekuatan penyembuhan dan perlindungan spiritual singa tetap hidup dalam setiap pertunjukan.
Di era digital, Barongsai terus beradaptasi. Generasi muda tidak hanya berlatih teknik tradisional yang ketat, tetapi juga mulai menggabungkannya dengan elemen modern, seperti musik elektronik dan efek pencahayaan LED pada kostum.
Tantangan utama adalah menjaga keseimbangan antara modernisasi dan konservasi. Para master tradisional menekankan bahwa kecepatan dan akrobatik tidak boleh mengorbankan Shen (semangat dan emosi) singa. Singa harus tetap terlihat seperti makhluk hidup yang merayakan dan melindungi, bukan sekadar robot akrobatik yang diprogram untuk melompat.
Oleh karena itu, pelatihan saat ini tidak hanya fokus pada ketahanan fisik tetapi juga pada studi mendalam tentang filosofi Tiongkok kuno dan etika persaudaraan dalam komunitas wushu. Setiap gerakan singa—dari menjilat kaki hingga menggaruk telinga—harus dilakukan dengan kesadaran penuh akan makna simbolisnya.
Barongsai kini mendunia melalui media sosial dan kompetisi internasional yang disiarkan secara luas. Hal ini meningkatkan standar teknis dan menarik minat global, memastikan bahwa tradisi Leang Leong, dengan sejarah ribuan tahunnya, akan terus berlanjut dan beradaptasi, mengaum membawa keberuntungan di setiap sudut dunia.
Dari jalanan Dinasti Tang hingga panggung tonggak internasional modern, Barongsai atau Leang Leong tetap menjadi simbol universal dari keberanian, kemakmuran, dan keharmonisan budaya. Warisan ini bukan hanya tarian, tetapi narasi hidup tentang ketekunan dan spiritualitas yang terus bergema di hati para penonton dan para penarinya.
Dalam Nan Quan, setiap aksi singa dikategorikan ke dalam tujuh postur atau gerakan dasar yang harus dikuasai untuk menunjukkan keaslian emosi:
Penguasaan ketujuh postur ini adalah penentu apakah pertunjukan Barongsai hanya sekadar akrobatik atau benar-benar sebuah seni yang hidup, mewujudkan Shen Yun (Rima Roh).
Dalam Kung Fu, nafas (Qi) adalah segalanya. Hal yang sama berlaku untuk Barongsai. Meskipun penari kehabisan nafas karena upaya fisik, mereka harus menjaga ilusi bahwa singa itu sendiri bernapas dengan ritme yang stabil. Penari kepala, karena beban kostum, harus mengatur nafasnya untuk menghemat energi sambil menghasilkan gerakan kepala yang cepat dan eksplosif. Ketika singa meraung (yang direplikasi oleh penabuh drum dan simbal), penari kepala seringkali mengambil nafas dalam-dalam, mengumpulkan energi untuk ledakan gerakan berikutnya. Kegagalan mengatur nafas akan terlihat dari gerakan singa yang tersendat atau tidak sinkron.
Musik Barongsai adalah kode rahasia. Setiap pola ketukan memiliki nama dan makna yang spesifik, yang memberitahu singa aksi apa yang harus dilakukan selanjutnya. Komandan musik, penabuh drum, harus selalu selangkah lebih maju dari singa.
Pengetahuan tentang pola-pola ini membedakan pemain Barongsai amatir dari profesional. Pola drum bukan sekadar tempo; itu adalah Jing Shen (semangat) singa yang diterjemahkan melalui suara. Jika drum melambat, singa harus melambat dan menunjukkan rasa ragu. Jika drum tiba-tiba menggebrak, singa harus bereaksi dengan kejutan atau agresi.
Gong dan Simbal berfungsi sebagai penanda koma, titik, dan tanda seru dalam kalimat tarian singa. Pukulan simbal yang keras dan terbuka menandai akhir dari sebuah manuver penting (misalnya, pendaratan yang sukses). Pukulan gong yang rendah dan bergema sering mengawali fase meditasi atau pengamatan singa. Penggunaan instrumen ini juga sangat penting dalam upacara penyambutan, di mana ritme penyambutan harus dimainkan secara spesifik untuk menghormati tuan rumah.
Meskipun Barongsai (Leang Leong) gaya Selatan mendominasi di Asia Tenggara, penting untuk menyentuh perbandingan dengan Barongsai Utara (Bei Quan), yang memiliki gaya yang sangat berbeda, sering disebut sebagai Shi Zi Wu.
Singa Utara lebih mirip singa asli Tiongkok yang digambarkan dalam lukisan kekaisaran. Kostumnya lebih berbulu lebat dan berwarna-warni, dengan kepala yang memiliki bentuk lebih kecil dan sering kali tanpa cula. Gerakannya:
Meskipun kedua gaya sama-sama berharga, Leang Leong (Selatan) yang kita kenal di Indonesia membawa beban sejarah dan filosofi ritual yang lebih berat, terkait erat dengan perlindungan komunitas dan tradisi feng shui.
Di luar nilai budayanya, Leang Leong memainkan peran ekonomi dan sosial yang signifikan di komunitas diaspora.
Industri pembuatan kepala Barongsai dan kostum adalah kerajinan tangan yang sangat terampil. Di Tiongkok Selatan, dan juga di beberapa kota di Indonesia (seperti Semarang atau Jakarta), terdapat keluarga-keluarga yang secara turun-temurun mempertahankan seni merakit kepala singa dari bambu, kertas, dan bulu. Kualitas kepala singa sangat menentukan performa dan dianggap membawa Chi (energi) yang lebih kuat jika dibuat dengan keahlian yang tinggi. Keahlian ini mencakup pengecatan mata (yang harus memberikan kesan hidup) dan pemasangan mekanisme gerakan mata.
Kelompok Barongsai sering kali berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial bagi kaum muda. Latihan yang ketat menanamkan disiplin, rasa hormat, dan kerja tim yang esensial. Setiap kelompok adalah sebuah keluarga besar yang dipimpin oleh seorang Sifu (master). Selain berlatih tarian, mereka juga belajar etika komunitas, menghormati yang lebih tua, dan melayani masyarakat. Ini adalah cara ampuh untuk melestarikan nilai-nilai tradisional di tengah modernisasi.
Selama perayaan, kelompok Barongsai juga menjadi penjaga perdamaian informal, memastikan bahwa kegembiraan Imlek berjalan tanpa insiden. Kehadiran mereka menyimbolkan kekuatan komunitas yang bersatu dan siap mempertahankan diri, sebuah warisan langsung dari akar mereka sebagai perkumpulan Wushu.
Di Indonesia, istilah Barongsai adalah hasil akulturasi linguistik yang unik dan menarik. Kata ini diperkirakan berasal dari gabungan kata lokal dan dialek Tiongkok:
Penggabungan ini menciptakan istilah yang secara instan dapat dikenali dan diterima oleh masyarakat pribumi, karena menghubungkan konsep asing tarian singa Tiongkok dengan konsep lokal makhluk pelindung. Ini adalah contoh sempurna bagaimana budaya Indonesia merangkul dan menerjemahkan tradisi asing, memberikan nama yang bersifat inklusif.
Sedangkan Leang Leong, yang lebih dekat ke fonetik Kantonis, tetap digunakan di kalangan internal komunitas Tionghoa yang fasih berbahasa Kanton, menegaskan identitas dan akar spesifik gaya Nan Quan yang mereka praktikkan.
Kedua istilah tersebut kini hidup berdampingan, namun intinya tetap sama: seni pertunjukan yang monumental, penuh energi, yang terus menjaga warisan ribuan tahun Tiongkok Selatan, memperkaya budaya Indonesia, dan mengaumkan harapan baik untuk masa depan.
Setiap Barongsai yang melakukan kunjungan ke rumah atau toko membawa serta tugas spiritual: Fu (perlindungan) dan Ji Xiang (membawa keberuntungan). Perlindungan ini bukan hanya simbolis, melainkan sebuah aksi ritual yang harus dilakukan dengan prosedur yang benar.
Ketika Barongsai tiba di sebuah lokasi, ia tidak boleh langsung masuk. Harus ada gerakan 'membaca' energi tempat tersebut. Singa akan berdiri di ambang pintu, menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, menunjukkan kewaspadaan. Langkah masuk dilakukan dengan kaki kanan terlebih dahulu (simbol kejantanan dan kekuatan) dan diikuti oleh sembilan langkah kecil di dalam ambang pintu. Angka sembilan adalah angka tertinggi dalam numerologi Tiongkok, melambangkan keabadian dan kekaisaran.
Setelah masuk, singa biasanya akan bergerak ke empat sudut utama ruangan atau toko. Di setiap sudut, singa akan melakukan gerakan 'mengibaskan debu' dengan mengayunkan kepala dan ekornya secara cepat. Secara tradisional, sudut dianggap sebagai tempat bersembunyinya roh jahat atau stagnasi energi negatif. Dengan mengibaskan debu di sudut, singa membersihkan ruang tersebut secara spiritual, menyiapkan ruang bagi masuknya energi positif (Qi).
Jika ada altar leluhur atau dewa di lokasi tersebut, Barongsai akan melakukan penghormatan paling dalam, biasanya membungkuk tiga kali (San Bai). Ini adalah gerakan yang membutuhkan kontrol tubuh yang ekstrem, karena singa harus menunjukkan kerendahan hati kepada entitas yang lebih tinggi, sementara tetap mempertahankan aura keagungannya. Prosesi penghormatan ini memastikan bahwa roh leluhur dan dewa dihormati sebelum singa memulai ritual Cai Qing.
Seni Barongsai membutuhkan lebih dari sekadar bakat fisik. Dibutuhkan dedikasi seumur hidup, seringkali dimulai sejak usia sangat muda, sekitar 6 atau 7 tahun, yang mana anak-anak diajarkan dasar-dasar kuda-kuda dan ritme perkusi.
Seorang penari Barongsai menghabiskan bertahun-tahun untuk menguasai kuda-kuda Ma Bu, yang bisa memakan waktu hingga satu jam di posisi rendah. Latihan ini tidak hanya membangun otot kaki yang kuat, tetapi juga membentuk ketahanan mental. Penari kepala harus melatih kekuatan leher dan bahu secara intensif untuk menahan kepala singa yang berat saat melakukan gerakan cepat dan putaran 360 derajat di udara.
Meskipun penari kepala mendapat sorotan utama, peran penari ekor sama pentingnya, jika tidak lebih sulit. Penari ekor harus menjadi "otak" di balik kekuatan dan stabilitas. Ia bertanggung jawab untuk:
Tanpa penari ekor yang kuat dan responsif, singa tidak memiliki fondasi. Oleh karena itu, hubungan antara kedua penari harus dibangun atas kepercayaan total dan pemahaman intuitif terhadap gerakan satu sama lain.
Tarian singa, baik disebut Barongsai maupun Leang Leong, adalah sebuah epos budaya yang diceritakan melalui gerakan, ritme, dan warna. Warisan ini melintasi batas geografis dan generasi, membawa serta filosofi Tiongkok kuno tentang harmoni, keberanian, dan pengejaran kemakmuran.
Dalam setiap penampilan, kita tidak hanya menyaksikan akrobatik yang memukau, tetapi juga melihat sejarah ribuan tahun yang menolak untuk padam. Barongsai dan Leang Leong adalah penjaga tradisi yang terus mengaum, memastikan bahwa semangat leluhur tetap hidup dan membawa berkah bagi semua yang menyaksikan.
Seni ini adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, sebuah bukti nyata bahwa budaya yang kaya dan mendalam akan selalu menemukan jalannya untuk dihormati dan dilestarikan, terlepas dari tantangan waktu dan perubahan sosial.