Seni Barongsai dan Liong: Perwujudan Kekuatan, Keberuntungan, dan Harmoni Budaya

I. Pendahuluan: Membedah Tarian Suci dari Timur

Seni pertunjukan Barongsai dan Liong adalah salah satu warisan budaya Tiongkok yang paling spektakuler dan paling dikenal di dunia. Keduanya bukan sekadar tontonan visual yang memukau, melainkan manifestasi mendalam dari sejarah panjang, mitologi kuno, dan filosofi Taoisme serta Buddhisme. Pertunjukan ini selalu menjadi puncak perayaan, terutama saat Tahun Baru Imlek, festival peresmian, atau acara penting yang menuntut kehadiran simbol keberuntungan dan pengusir energi negatif.

Meskipun sering disamakan atau dikelompokkan bersama, Barongsai (Tarian Singa) dan Liong (Tarian Naga) memiliki karakteristik, teknik, dan makna simbolis yang sangat berbeda. Barongsai mewakili kekuatan singa, makhluk mitologis yang dihormati sebagai pelindung, bergerak lincah dengan ekspresi wajah yang beragam. Sementara itu, Liong melambangkan naga—roh tertinggi, penguasa air dan cuaca, serta simbol kekuasaan kekaisaran. Liong menuntut koordinasi puluhan penari untuk menciptakan ilusi gerakan yang mengalir dan tak terputus, mencerminkan kekuatan alam yang luas.

Artikel ini akan mengupas tuntas kedua seni pertunjukan ini, mulai dari akar sejarahnya di daratan Tiongkok kuno, anatomi detail kostumnya yang sarat makna, variasi gaya tarian yang berkembang di berbagai wilayah, hingga perjalanan panjang akulturasinya, khususnya di Indonesia, di mana ia telah menjadi bagian integral dari mozaik budaya Nusantara yang kaya.

II. Akar Sejarah dan Mitologi Kuno

Asal-usul Barongsai dan Liong dapat ditelusuri kembali ribuan tahun ke masa Dinasti Han (206 SM – 220 M), meskipun bentuk kontemporer yang kita kenal saat ini mulai mapan selama Dinasti Tang (618–907 M). Catatan sejarah menunjukkan bahwa pertunjukan singa pada awalnya muncul dalam ritual pengadilan kekaisaran dan sebagai bagian dari upacara keagamaan Buddha yang dibawa dari Asia Tengah melalui Jalur Sutra. Singa sendiri bukanlah satwa asli Tiongkok; kehadirannya dalam budaya didasarkan pada kisah-kisah dan hadiah dari kerajaan-kerajaan asing, menjadikannya makhluk eksotis yang disucikan dan dianggap mampu menangkal roh jahat.

A. Kelahiran Barongsai: Singa Pelindung

Barongsai, atau Wǔ Shī, sering dikaitkan dengan legenda yang berpusat pada kegembiraan dan pengusiran bencana. Salah satu kisah populer menyebutkan bahwa singa muncul secara tak terduga di sebuah desa yang diserang oleh roh jahat atau makhluk buas. Para penduduk desa, dengan kostum sederhana, meniru gerakan singa untuk menakuti makhluk tersebut. Kisah ini menekankan peran Barongsai sebagai pembawa kabar baik dan pelindung komunitas. Evolusi Barongsai dipengaruhi kuat oleh seni bela diri (Wushu), di mana para penari seringkali adalah praktisi bela diri yang menggunakan kekuatan, keseimbangan, dan fokus yang terlatih untuk menghidupkan karakter singa.

B. Liong: Manifestasi Roh Kosmik

Liong, atau Wǔ Lóng, memiliki sejarah yang jauh lebih tua dan lebih fundamental dalam mitologi Tiongkok. Naga Tiongkok adalah entitas yang dihormati, mewakili kekuatan langit, hujan, sungai, dan kekuasaan kaisar (Anak Langit). Tarian Naga pada mulanya dilakukan untuk memohon hujan selama musim kemarau panjang, menghubungkan gerakan naga yang bergelombang dengan gerakan air dan ombak di lautan. Naga, tidak seperti naga dalam mitologi Barat, adalah makhluk baik hati yang membawa kemakmuran dan pengendalian alam. Tarian Liong dengan panjangnya yang luar biasa (terkadang mencapai 100 meter) dimaksudkan untuk memvisualisasikan kekuatan kosmik yang agung dan tak terbatas.

Pada dasarnya, Barongsai lebih berfokus pada interaksi dan drama di tingkat lokal atau komunitas (seperti pertarungan, tidur, bangun, dan makan), sedangkan Liong adalah representasi ritual yang lebih luas, berfokus pada gerakan kolektif dan pencapaian spiritual melalui pengejaran mutiara kebijaksanaan.

III. Anatomi Detail Barongsai: Kepala, Ekspresi, dan Warna

Barongsai dibagi menjadi dua gaya utama: Selatan (Foshan dan Hok San) dan Utara (Beijing). Perbedaan terbesar terletak pada kostum, dan yang paling penting, ekspresi wajah singa. Kostum Barongsai, yang membutuhkan dua orang penari, lebih dari sekadar penutup; ia adalah sebuah karya seni yang dipenuhi simbolisme.

A. Struktur Kepala dan Simbolisme

Kepala Barongsai adalah pusat emosi dan ritual. Secara tradisional, kepala singa dibuat dari bambu, kertas, dan kain, dan seringkali membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk diselesaikan. Beberapa elemen kunci pada kepala singa meliputi:

  1. Cermin di Dahi: Ditempatkan di bagian tengah dahi singa, cermin berfungsi untuk memantulkan kembali roh jahat. Ketika singa menunduk, cermin ini dipercaya mengirimkan energi negatif kembali ke asalnya.
  2. Tanduk/Gigi: Meskipun singa, kepala Barongsai sering memiliki struktur tanduk yang lembut atau gigi yang menonjol. Ini melambangkan kekuatan mistis dan kemampuan untuk melindungi.
  3. Mata yang Berkedip: Mata yang dapat digerakkan, biasanya dikendalikan oleh penari depan, memberikan Barongsai ekspresi hidup. Kedipan lambat menunjukkan pemikiran atau istirahat, sementara mata yang membelalak menunjukkan kegembiraan atau kemarahan.
  4. Warna dan Karakter: Warna kepala menentukan karakter singa.
    • Merah (Liu Bei): Melambangkan keberanian dan kepahlawanan. Sering dikaitkan dengan karakter jenderal atau pemimpin yang bijaksana.
    • Kuning/Emas (Huang Zhong): Mewakili kebijaksanaan, usia tua, dan kemakmuran.
    • Hitam/Biru (Zhang Fei): Melambangkan sifat yang cepat marah, muda, atau impulsif, seringkali membutuhkan disiplin.
    • Hijau: Melambangkan persaudaraan dan penyembuhan.

B. Gaya Selatan vs. Gaya Utara

Dua gaya utama Barongsai memiliki perbedaan signifikan dalam penampilan dan teknik:

Barongsai - Tarian Singa
Fig. 1: Skema visualisasi sederhana Kepala Barongsai Selatan, melambangkan keberanian dan kekuatan pelindung.

IV. Teknik Kunci dan Ritual Pertunjukan Barongsai

Pertunjukan Barongsai adalah gabungan kompleks antara seni bela diri, tarian, dan akting teatrikal. Penari harus memiliki kekuatan inti yang luar biasa, fleksibilitas, dan sinkronisasi mutlak, terutama saat melakukan gerakan yang menantang gravitasi.

A. Ritual Pembukaan: Kebangkitan Singa

Sebelum pertunjukan dimulai, Barongsai sering kali dalam keadaan 'tidur' atau diam. Ritual awal adalah 'memberi mata' (Diǎn Jīng) yang dilakukan oleh seorang tokoh terhormat (seperti pemimpin komunitas atau pejabat). Dengan kuas yang dicelupkan ke tinta merah, titik-titik vital pada kepala singa—mata, tanduk, telinga, dan mulut—diberi sentuhan, dipercaya untuk memasukkan roh ke dalam kostum. Setelah ritual ini, singa 'bangun' dengan serangkaian gerakan menguap, merenggangkan tubuh, dan membersihkan diri—semuanya dilakukan dengan irama musik yang lambat dan khidmat.

B. Petik Hijau (Cǎi Qīng)

Ini adalah ritual paling ikonik dan penting. Cǎi Qīng secara harfiah berarti 'memetik hijau', merujuk pada sayuran hijau (biasanya selada, sheng cai) yang digantung bersama dengan amplop merah (angpao) berisi uang, diletakkan di tempat yang sulit dijangkau. Selada melambangkan kemakmuran. Gerakan Cǎi Qīng menuntut Barongsai untuk menampilkan serangkaian gerakan, seperti rasa ingin tahu, takut, dan akhirnya, keberanian untuk mencapai tujuan. Keberhasilan singa memakan selada dan mengambil angpao dianggap membawa keberuntungan bagi rumah atau bisnis yang didatangi.

C. Tarian di Atas Tiang (Gāo Tái Qīng)

Teknik akrobatik yang ekstrem ini menjadi ciri khas kompetisi Barongsai modern. Penari melompat dan menyeimbangkan singa di atas serangkaian tiang baja atau kayu (jīnggōng), yang bisa mencapai ketinggian tiga meter atau lebih. Kunci keberhasilan terletak pada penari belakang yang harus menjadi fondasi kokoh dan penari depan yang harus menunjukkan ekspresi wajah yang tepat saat melintasi rintangan. Lompatan antar tiang melambangkan keberanian singa dalam mengatasi kesulitan hidup.

D. Ekspresi Emosional dan Gerakan Dasar

Gerakan Barongsai diambil dari gerakan seni bela diri dan imitasi perilaku kucing besar. Setiap gerakan memiliki nama spesifik dan harus selaras dengan ketukan musik:

V. Liong: Keagungan Naga dan Tarian Angin

Jika Barongsai adalah seni yang berfokus pada detail dan drama individu, Liong (Tarian Naga) adalah seni yang berfokus pada kolektivitas dan kekuatan kolektif. Liong adalah pertunjukan yang harus dilakukan oleh minimal 8 hingga puluhan penari, masing-masing memegang tiang penyangga pada segmen tubuh naga.

A. Struktur dan Panjang Liong

Naga Liong seringkali sangat panjang, melambangkan sungai atau Tembok Besar Tiongkok. Tubuhnya terbuat dari bingkai ringan (bambu atau aluminium) yang ditutupi kain berwarna cerah, seringkali emas, merah, atau hijau, dengan sisik yang berkilauan. Panjang Liong sangat penting; secara tradisional, naga harus memiliki jumlah ruas yang ganjil (9, 11, 13, dst.) karena angka ganjil dipercaya membawa keberuntungan dan kesempurnaan. Kepala naga, yang paling besar, biasanya memiliki mata besar, tanduk rusa, janggut ikan mas, dan mulut buaya, menggabungkan karakteristik dari banyak hewan lain, menunjukkan dominasinya atas semua makhluk.

B. Mutiara Kebijaksanaan (Dragon Pearl)

Elemen kunci dalam Tarian Liong adalah Bola Naga, atau Mutiara Kebijaksanaan (Lóng Zhū). Bola ini dipegang oleh penari terdepan, yang memimpin naga. Seluruh tarian naga adalah pengejaran tanpa henti terhadap mutiara ini. Mutiara melambangkan pengejaran kebenaran, kebijaksanaan, kekayaan, dan pencerahan. Gerakan naga—menggelombang, melingkar, dan meliuk—melambangkan perjuangan dan tekad dalam mencapai tujuan spiritual dan material. Semakin lincah naga mengejar mutiara, semakin besar keberuntungan yang diyakini akan dibawa.

Liong - Tarian Naga Mengejar Mutiara
Fig. 2: Ilustrasi gerakan Liong yang bergelombang, dengan fokus pada Mutiara Kebijaksanaan.

VI. Teknik Gerakan Kolektif Tarian Liong

Tarian Liong adalah ujian kesatuan tim. Tidak ada ruang untuk individualisme; setiap penari harus bergerak secara serentak untuk menjaga ilusi bahwa naga adalah satu entitas yang hidup. Kesalahan satu orang dapat merusak seluruh formasi. Pelatihan Liong sangat menuntut stamina dan disiplin.

A. Formasi dan Pola Dasar

Gerakan Liong didasarkan pada formasi geometris yang melambangkan pola alam, seperti awan, air, atau pusaran badai:

  1. The Wave (Gelombang): Gerakan dasar di mana naga bergerak naik dan turun, meniru ombak. Ini adalah gerakan yang membutuhkan sinkronisasi vertikal sempurna.
  2. The Coiling Dragon (Naga Melingkar): Naga melingkari dirinya sendiri, seringkali untuk membentuk lingkaran yang rapat. Ini melambangkan perlindungan dan persiapan untuk menyerang atau terbang.
  3. Chasing the Pearl (Mengejar Mutiara): Inti dari tarian. Penari memimpin mutiara secara lincah, memaksa bagian tubuh naga di belakangnya untuk melakukan manuver cepat, berputar, dan melompat.
  4. The Spiral (Pusaran): Digunakan untuk menunjukkan kekuatan naga yang sedang mengumpulkan energi atau menahan badai.

B. Dragon Fire (Api Naga)

Dalam beberapa pertunjukan modern, khususnya pada malam hari, naga dihiasi dengan lampu LED atau menggunakan efek api yang aman untuk menciptakan visualisasi naga yang bernapas api. Ini meningkatkan aspek spektakuler dan mistis dari pertunjukan, mengingatkan penonton akan kekuatan kosmik naga.

VII. Irama Jantung Pertunjukan: Musik Pengiring Wushuu

Tidak ada Barongsai atau Liong tanpa musik pengiringnya. Musik ini, yang merupakan bagian dari tradisi musik Wushuu (seni bela diri), tidak hanya berfungsi sebagai iringan, tetapi juga sebagai panduan ritme, penentu suasana hati, dan pemberi aba-aba bagi para penari. Sinkronisasi antara gerakan fisik dan ketukan musik haruslah sempurna.

A. Trio Instrumen Wajib

Musik Barongsai secara tradisional didominasi oleh trio instrumen perkusi:

  1. Genderang (Gǔ): Jantung dari musik. Genderang memberikan irama dasar dan menentukan kecepatan. Pukulan keras dan cepat sering kali melambangkan kemarahan, pertarungan, atau momen klimaks. Pukulan yang melambat dan lembut menandakan singa sedang tidur, berhati-hati, atau mendekati rintangan.
  2. Gong (Luó): Gong memberikan penekanan dan otoritas. Bunyi gong yang rendah dan dalam sering digunakan untuk memulai atau mengakhiri suatu fase gerakan, memberikan bobot ritual pada pertunjukan.
  3. Simbal (Bō): Simbal memberikan tekstur ritmis dan keceriaan. Bunyi simbal yang tajam dan berulang mendominasi saat singa sedang berinteraksi, bergoyang gembira, atau saat sedang melompat.

B. Keterkaitan Musik dan Emosi

Penari dan pemain musik berlatih bersama selama berjam-jam sehingga mereka dapat membaca pikiran satu sama lain. Ritme 'Tiga Bintang' misalnya, yang merupakan pola ketukan umum, dapat dimodifikasi untuk menghasilkan variasi emosi:

Simbal Gendang Gong Instrumen Performa Wushuu
Fig. 3: Visualisasi Instrumen Utama (Genderang, Gong, Simbal) yang menjadi penentu ritme Barongsai dan Liong.

VIII. Perjalanan Barongsai dan Liong di Nusantara: Akulturasi dan Kebangkitan

Di Indonesia, Barongsai dan Liong memiliki sejarah yang unik dan berliku. Kedatangan pertunjukan ini dibawa oleh para imigran Tiongkok yang mulai berdatangan dalam gelombang besar sejak era kolonial. Mereka membawa serta tradisi keagamaan, kuliner, dan kesenian sebagai cara untuk mempertahankan identitas budaya di tanah rantau.

A. Barongsai Sebagai Alat Integrasi

Selama berabad-abad, Barongsai dan Liong menjadi bagian tak terpisahkan dari festival lokal komunitas Tionghoa-Indonesia di berbagai kota seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan Singkawang. Namun, pertunjukan ini tidak hanya berhenti di lingkungan komunitas Tionghoa. Di beberapa daerah, terjadi akulturasi yang menarik. Misalnya, di Jawa, beberapa irama musik Barongsai mulai dipengaruhi oleh musik gamelan, atau kostum singa menggunakan pola atau warna lokal. Barongsai pun turut meramaikan festival non-Tionghoa sebagai simbol kegembiraan umum, menegaskan posisinya sebagai kesenian nasional.

B. Era Pembatasan dan Pelarangan

Salah satu fase paling kritis dalam sejarah Barongsai di Indonesia terjadi selama Orde Baru. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, semua ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik dilarang. Selama masa ini, Barongsai dan Liong terpaksa bersembunyi. Praktik kesenian hanya dapat dilakukan secara tertutup, di dalam kelenteng atau perkumpulan seni bela diri, jauh dari mata publik. Hal ini menyebabkan kemunduran signifikan dalam transfer pengetahuan dan teknik kepada generasi muda.

C. Kebangkitan Setelah Reformasi

Titik balik terjadi pada tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres 14/1967, yang kemudian diperkuat oleh pengakuan Imlek sebagai hari libur nasional. Sejak saat itu, Barongsai dan Liong mengalami kebangkitan luar biasa. Generasi baru, yang sebelumnya tidak dapat belajar seni ini secara terbuka, membanjiri sekolah-sekolah Wushu dan klub Barongsai. Kesenian ini meledak di panggung nasional, tidak hanya sebagai ritual, tetapi juga sebagai olahraga kompetitif yang berprestasi.

Di Indonesia saat ini, Barongsai dan Liong tidak lagi dilihat semata-mata sebagai seni etnis Tionghoa, melainkan sebagai aset kekayaan budaya Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya tim Barongsai yang terdiri dari anggota berbagai suku bangsa, membuktikan bahwa semangat naga dan singa adalah semangat persatuan.

IX. Makna Filosofis dan Spiritual yang Mendalam

Di balik gemerlap kostum dan riuh genderang, Barongsai dan Liong membawa muatan filosofis yang berat, berakar kuat dalam ajaran Tao, Konfusianisme, dan Buddhisme.

A. Lima Elemen dan Lima Warna

Dalam Barongsai, seringkali warna singa dikaitkan dengan konsep Wu Xing (Lima Elemen):

Perpaduan warna ini dalam tarian menciptakan harmoni kosmik, memastikan bahwa pertunjukan tidak hanya menyenangkan secara visual tetapi juga selaras dengan energi alam semesta.

B. Pengusiran Bala dan Penciptaan Keseimbangan

Tujuan utama dari Barongsai dan Liong adalah ritual pengusiran roh jahat (bala) dan menarik energi positif (Qi). Suara keras dari genderang, gong, dan simbal dipercaya dapat menakut-nakuti dan mengusir roh-roh negatif. Gerakan Liong yang memutar dan berputar melambangkan penciptaan keseimbangan antara Yin dan Yang—antara langit dan bumi, atau antara air dan api. Dengan menciptakan keseimbangan ini, diharapkan komunitas akan menerima panen yang melimpah, kesehatan yang prima, dan kemakmuran yang berkelanjutan.

C. Etika Tim dan Ketekunan

Filosofi Konfusianisme yang menekankan hirarki dan disiplin sangat tercermin dalam tarian ini. Barongsai dan Liong membutuhkan etika kerja tim yang ketat. Penari harus menempatkan kepentingan tim di atas ego pribadi. Khususnya dalam Liong, di mana puluhan orang harus bergerak sebagai satu kesatuan, mengajarkan pentingnya ketaatan pada pemimpin (pemegang mutiara) dan sinkronisasi mutlak, nilai-nilai yang dianggap fundamental bagi keberhasilan dalam kehidupan masyarakat.

X. Disiplin Fisik dan Mental: Proses Pelatihan

Menjadi penari Barongsai atau Liong adalah komitmen fisik dan mental yang besar, menuntut dedikasi yang sama tingginya dengan atlet seni bela diri profesional. Sebagian besar tim Barongsai dan Liong berafiliasi dengan sekolah Wushu (Kung Fu), karena gerakan tarian didasarkan pada kuda-kuda dan teknik bela diri.

A. Kekuatan Kuda-Kuda dan Stamina

Latihan dimulai dengan penguatan dasar, terutama kuda-kuda (mǎ bù). Penari Barongsai, terutama penari belakang, harus mampu menopang beban penari depan dan kepala singa dalam posisi kuda-kuda rendah selama periode yang lama. Latihan ini bisa berlangsung berjam-jam setiap hari, membangun kekuatan paha, betis, dan inti tubuh (core strength) yang luar biasa, vital untuk melakukan lompatan di tiang tinggi tanpa goyah.

B. Sinkronisasi Tanpa Kata

Untuk Barongsai, penari depan dan belakang harus berfungsi sebagai satu otak. Komunikasi mereka dilakukan melalui sentuhan punggung, gerakan kaki, atau perubahan tekanan tubuh—tanpa bicara. Mereka harus mampu mengantisipasi gerakan masing-masing, terutama saat melakukan gerakan akrobatik seperti mengangkat, memutar, atau melompat antar tiang. Hal ini memerlukan latihan yang berulang-ulang hingga gerakan menjadi refleks alami.

C. Pelatihan Ekstra Liong

Pelatihan Liong berfokus pada daya tahan kardiovaskular. Menjaga ilusi naga yang mengalir membutuhkan sprint pendek yang eksplosif dan koordinasi gerakan vertikal-horizontal yang terus menerus. Latihan ini sering dilakukan di bawah tekanan irama yang sangat cepat untuk melatih kecepatan reaksi dan ketahanan fisik seluruh tim.

XI. Tantangan Modern dan Masa Depan Kesenian

Seiring berjalannya waktu, Barongsai dan Liong telah bertransisi dari ritual murni menjadi seni pertunjukan dan olahraga kompetitif. Transisi ini membawa tantangan dan peluang baru bagi para praktisi di seluruh dunia.

A. Barongsai Sebagai Olahraga Internasional

Kompetisi Barongsai modern, seperti Kejuaraan Dunia Tarian Singa, menuntut tingkat teknis yang semakin tinggi. Penilaian didasarkan pada kesulitan akrobatik (ketinggian tiang, kerumitan transisi), sinkronisasi dengan musik, dan kualitas ekspresi emosi singa. Standarisasi peraturan telah membantu menyebarkan dan memprofesionalkan seni ini, menjadikannya tontonan yang menarik bagi penonton global.

B. Inovasi Material dan Desain

Desainer kostum terus berinovasi. Penggunaan material ringan seperti aluminium dan serat karbon untuk rangka kepala singa dan tubuh naga memungkinkan gerakan yang lebih cepat dan lompatan yang lebih tinggi. Lampu LED dan efek khusus juga semakin sering diintegrasikan, terutama dalam pertunjukan malam, memastikan kesenian ini tetap relevan dan memukau bagi audiens kontemporer.

C. Pelestarian Nilai Ritual

Salah satu tantangan terbesar adalah menyeimbangkan tuntutan kompetisi modern dengan pelestarian nilai-nilai ritual tradisional. Dalam kompetisi, fokus seringkali beralih ke akrobatik semata. Namun, banyak komunitas dan guru senior yang bersikeras bahwa Barongsai dan Liong harus tetap mempertahankan ritual awalnya—penghormatan terhadap dewa-dewa, upacara pembukaan, dan esensi dari Cǎi Qīng—agar tidak kehilangan jiwanya.

XII. Epilog: Jembatan Budaya yang Tak Lekang Waktu

Barongsai dan Liong adalah lebih dari sekadar tarian; mereka adalah perwujudan energi, keberanian, dan semangat komunitas yang tak kenal menyerah. Dari asal-usulnya di istana kuno Tiongkok hingga panggung kompetisi modern di seluruh dunia, kedua kesenian ini telah membuktikan kemampuan mereka untuk beradaptasi sambil tetap memegang teguh akar filosofisnya.

Di Indonesia, Barongsai dan Liong telah menjadi simbol yang kuat dari akulturasi dan toleransi. Kesenian yang pernah dilarang ini kini dirayakan secara terbuka, memperkuat ikatan antara berbagai kelompok masyarakat. Melalui setiap dentuman genderang, setiap ayunan naga yang anggun, dan setiap lompatan singa yang gagah di atas tiang tinggi, warisan ini terus mengingatkan kita akan kekuatan persatuan, kedisiplinan, dan harapan akan masa depan yang dipenuhi kemakmuran dan keberuntungan.

Meskipun tekniknya semakin maju dan pertunjukannya semakin spektakuler, inti dari Barongsai dan Liong tetap sama: sebuah persembahan sukacita yang bertujuan untuk membersihkan lingkungan, mengusir kegelapan, dan menyambut cahaya keberuntungan bagi semua yang menyaksikannya.

🏠 Homepage