BARONGAN TRESNO BUDOYO: SIMFONI GANAS PENJAGA BUDAYA LELUHUR
I. PENDAHULUAN: MEMAHAMI SPIRIT BARONGAN TRESNO BUDOYO
Barongan, sebuah pertunjukan seni tradisi yang mendominasi panggung rakyat Jawa, utamanya di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur, bukanlah sekadar tontonan biasa. Ia adalah manifestasi spiritual, narasi sejarah, dan medium penyaluran energi kolektif. Di antara ribuan kelompok yang tersebar, nama Barongan Tresno Budoyo muncul sebagai salah satu pilar utama yang teguh memegang pakem (aturan baku) sekaligus adaptif terhadap perkembangan zaman. Nama 'Tresno Budoyo' sendiri secara harfiah berarti 'Cinta Budaya', sebuah janji filosofis yang mereka emban: menjaga kecintaan terhadap warisan leluhur melalui gerak, bunyi, dan raga.
Pertunjukan Barongan, yang seringkali diasosiasikan dengan Reog atau Jaranan, memiliki kekhasan tersendiri, terutama dalam dominasi karakter singa raksasa yang diyakini sebagai perwujudan kekuatan kosmik penjaga keseimbangan. Kelompok Barongan Tresno Budoyo telah melampaui batas pertunjukan seremonial; mereka menjadikannya sebuah pendidikan, pelestarian, dan sumber identitas komunal. Fokus utama artikel ini adalah mengupas tuntas mengapa Tresno Budoyo mampu bertahan dan bagaimana mereka merawat api tradisi ini agar tetap menyala di tengah gempuran budaya global.
Seni Barongan merupakan sintesis dari beberapa elemen seni: wiraga (gerak), wirama (musik), dan wirasa (rasa atau penghayatan spiritual). Tresno Budoyo memastikan ketiga unsur ini terintegrasi sempurna, menghasilkan sebuah tarian yang tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga menggugah batin penonton. Untuk memahami kedalaman Barongan Tresno Budoyo, kita harus menyelam ke dalam sejarah mitologisnya, mempelajari anatomi pertunjukannya yang kompleks, memahami peran Gamelan pengiring, dan menelaah mekanisme regenerasi yang mereka terapkan. Ini adalah perjalanan menuju jantung kebudayaan Jawa yang paling liar dan paling sakral.
Barongan sebagai Entitas Budaya Multidimensi
Barongan bukan sekadar singa menari. Di dalamnya terkandung lapisan-lapisan makna yang mencerminkan pandangan hidup masyarakat Jawa kuno. Ia mencerminkan dualitas: keindahan yang diwakili oleh penari Jathil yang lembut, dan keganasan alamiah yang diwakili oleh Barongan itu sendiri. Tresno Budoyo secara konsisten menafsirkan dualitas ini dalam setiap pertunjukan. Mereka mengakui bahwa Barongan adalah media komunikasi lintas dimensi, menghubungkan dunia manusia dengan kekuatan tak kasat mata (disebut juga dunyo ndadari) yang dipercayai eksis di sekitar kita. Oleh karena itu, persiapan ritual sebelum pertunjukan adalah bagian integral dari identitas Tresno Budoyo, membedakan mereka dari sekadar kelompok hiburan komersial.
II. AKAR HISTORIS DAN MITOLOGIS BARONGAN
Untuk melacak jejak Barongan Tresno Budoyo, kita harus kembali ke sumber mitologis dan historisnya. Meskipun memiliki kesamaan dengan Barong Bali atau Barongsai Tiongkok, Barongan Jawa (khususnya yang dipertunjukkan oleh kelompok seperti Tresno Budoyo) memiliki silsilah dan narasi yang sangat terikat pada sejarah lokal Kerajaan Kediri, Majapahit, atau bahkan era pra-Islam di Jawa.
Asal-Usul Barongan dan Keterkaitannya dengan Singa Barong
Secara umum, Barongan berasal dari kisah mistis dan legenda Panji. Salah satu versi yang paling kuat mengaitkannya dengan Singo Barong, sebuah karakter yang muncul dalam Babad Panji. Singo Barong digambarkan sebagai makhluk buas yang perkasa, menjadi simbol kekuatan Raja atau tokoh yang berwibawa. Dalam konteks Jawa Timur, Barongan sering dikaitkan erat dengan epos Reog Ponorogo, di mana Singo Barong adalah salah satu elemen kunci, yaitu kepala raksasa yang dihiasi bulu merak.
Namun, Barongan yang diusung oleh Tresno Budoyo seringkali memiliki fokus yang lebih mandiri, menekankan aspek ndadi (kesurupan/trance) dan tarian maskulin yang gagah. Topeng Barongan mereka cenderung lebih primitif dan sangar (ganas), terbuat dari kayu yang dipilih secara khusus, seperti kayu nangka atau dadap serep, yang diyakini memiliki energi spiritual tinggi. Pemilihan bahan ini bukanlah kebetulan; ia merupakan bagian dari ritual pembukaan dan penghidupan topeng yang dilakukan oleh sesepuh kelompok.
Genealogi Tresno Budoyo
Tresno Budoyo, yang konon didirikan pada pertengahan abad ke-20 di sebuah wilayah pedalaman Jawa, bermula dari keinginan para petani dan seniman lokal untuk memiliki sebuah medium ekspresi yang merefleksikan spirit tanah mereka. Berbeda dengan kelompok yang fokus pada aspek pertunjukan murni, Tresno Budoyo menekankan fungsi Barongan sebagai ritual tolak bala (penangkal bencana) dan permintaan kesuburan. Pendiri awal mereka, Mbah Karto, dikenal sebagai seorang Warok atau sesepuh yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Beliau menetapkan ‘pakem’ yang ketat:
- Kesakralan Topeng: Topeng Barongan (disebut juga Dadak Merak dalam konteks Reog, atau Caplokan dalam konteks Jaranan buto) harus diperlakukan sebagai pusaka, tidak boleh disentuh sembarangan, dan harus diberi sesaji rutin (sajen).
- Disiplin Spiritual: Penari utama (pembarong) dan pemusik harus menjalani puasa dan laku spiritual sebelum tampil, untuk menjaga kejernihan batin dan memudahkan proses ndadi.
- Iringan Tradisional Murni: Menghindari modernisasi alat musik yang berlebihan, memprioritaskan instrumen Gamelan kuno seperti Kendang, Kenong, dan Gong.
Filosofi ini telah diwariskan turun-temurun, membuat Tresno Budoyo dihormati bukan hanya sebagai penghibur, tetapi sebagai institusi penjaga moral dan spiritualitas lokal. Mereka bukan sekadar menampilkan tarian, melainkan menghadirkan kembali roh leluhur ke hadapan publik.
Peran Topeng dalam Simbolisme Spiritual
Topeng Barongan yang digunakan oleh Tresno Budoyo umumnya memiliki karakteristik yang sangat spesifik, menekankan aspek Wisa (racun atau kekuatan gaib). Terdapat beberapa elemen simbolis:
- Mata Melotot (Mripat Plolong): Melambangkan kewaspadaan dan kekuatan supranatural yang mampu melihat hal-hal gaib. Mata ini sering dicat merah atau putih kontras.
- Janggut (Jenggot): Terbuat dari rambut ijuk atau rafia yang tebal, melambangkan kebijaksanaan dan usia tua Barongan sebagai penjaga.
- Mahkota (Jamang): Sering dihiasi ukiran naga atau pola geometris, menunjukkan status Barongan sebagai makhluk bangsawan atau dewa yang turun ke bumi.
Pemilihan topeng sangat vital. Dalam Tresno Budoyo, tidak semua orang diizinkan mengenakan topeng utama. Hanya penari yang telah menjalani serangkaian ritual penyucian dan memiliki ‘darah’ kesenian yang kental yang diperbolehkan menjadi Pembarong (penari Barongan utama). Hal ini memastikan bahwa energi yang keluar selama pertunjukan benar-benar murni dan sesuai dengan pakem yang dijaga ketat oleh kelompok.
III. FILOSOFI GERAKAN DAN ANATOMI PERTUNJUKAN TRESNO BUDOYO
Pertunjukan Barongan Tresno Budoyo adalah sebuah epos mini yang dipentaskan melalui tarian. Setiap elemen, mulai dari komposisi Gamelan hingga urutan tarian, memiliki fungsi naratif dan ritual. Durasi pertunjukan bisa berlangsung berjam-jam, tergantung pada hajatan atau ritual yang menyertainya.
Wiraga dan Wirasa: Gerak Keseimbangan Barongan
Gerakan Barongan (pembarong) dalam Tresno Budoyo menuntut stamina luar biasa, karena beban topeng dan kostum yang berat (dapat mencapai 30-40 kilogram), ditambah dengan kebutuhan untuk menari dalam posisi membungkuk atau jongkok. Gerakan utamanya disebut obah wirot, yaitu gerakan menggelengkan kepala Barongan secara cepat dan ritmis, menirukan singa yang sedang mengamuk atau membersihkan diri.
Filosofi gerak ini adalah representasi dari alam semesta yang dinamis dan tak terduga. Barongan melompat (njondil), berlari cepat, dan berguling di tanah. Ketika pembarong mengalami ndadi (trance), gerakan menjadi lebih spontan dan berbahaya, bahkan dapat memakan benda-benda keras seperti kaca, bara api, atau pecut, sebagai simbol kekebalan dan kekuatan gaib. Tresno Budoyo sangat menjaga keaslian gerakan ndadi, memastikan bahwa kesurupan yang terjadi adalah murni, bukan sekadar akting.
Struktur Pementasan Pokok
Pertunjukan Barongan Tresno Budoyo memiliki alur yang baku, meskipun detailnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan acara. Urutan baku tersebut adalah:
1. Tari Pembuka (Tari Jathil Awal)
Tarian ini biasanya dibawakan oleh penari wanita atau pria berpakaian wanita (Jathil). Jathil melambangkan keindahan, kehalusan, dan sisi feminin kehidupan. Mereka menari dengan kuda kepang (anyaman bambu). Musik pengiringnya lembut dan ritmis, menciptakan suasana yang kontemplatif sebelum keganasan Barongan muncul. Tugas Jathil adalah memanggil semangat dan menyiapkan panggung spiritual.
2. Kemunculan Barongan (Caplokan)
Barongan utama muncul secara dramatis, biasanya diiringi tabuhan Kendang yang cepat dan jeritan senggak dari sinden. Kemunculan ini melambangkan kekacauan atau tantangan yang datang ke dalam harmoni yang telah dibangun oleh Jathil. Interaksi awal antara Barongan dan Jathil sering kali bersifat komikal, namun perlahan berubah menjadi ketegangan.
3. Adegan Inti: Perang dan Kekuatan Supranatural
Bagian ini adalah puncak dari pertunjukan, di mana interaksi antara berbagai karakter (Pujang Anom/Ganongan, Jathil, dan Barongan) mencapai klimaks. Pujang Anom, dengan topeng monyetnya, sering menjadi jembatan antara dunia manusia dan Barongan, bertindak sebagai pengganggu atau penasehat. Pada bagian ini, proses ndadi mulai terjadi pada penari Barongan dan kadang-kadang juga pada Jathil atau penari pendukung lainnya.
Mekanisme Trance (Ndadi) dalam Tresno Budoyo: Proses ndadi adalah inti spiritual Barongan. Dalam Tresno Budoyo, proses ini diyakini dipicu oleh ritme Gamelan tertentu (biasanya irama Srepegan atau Playon yang dimainkan cepat dan berulang) dan aroma dupa. Kelompok ini memiliki Waranggana (pawang) khusus yang bertugas mengendalikan penari yang sedang kerasukan, memastikan mereka tidak membahayakan diri sendiri atau penonton, serta melakukan ritual 'pemulihan' (nyadhang) di akhir proses.
4. Adegan Penutup (Kembali ke Harmoni)
Setelah energi Barongan mencapai puncaknya, Waranggana akan melakukan ritual penenangan. Musik Gamelan melambat, kembali ke irama Ladrang atau Ketawang yang tenang. Barongan akan 'ditidurkan' atau 'dikembalikan' rohnya ke dalam topeng, dan penari yang kesurupan disadarkan. Penutup ini adalah simbol kemenangan harmoni atas kekacauan, sebuah pesan filosofis yang selalu dibawa oleh Barongan Tresno Budoyo.
Peran Musik Gamelan dan Irama Kunci
Iringan musik Barongan berbeda dengan Gamelan Keraton. Gamelan Barongan lebih keras, cepat, dan ritmis, menekankan Kendang sebagai instrumen utama yang memimpin tempo. Tresno Budoyo menggunakan susunan Gamelan yang klasik namun energetik:
- Kendang (Induk Ritme): Bertugas memberi komando gerak dan memulai proses trance. Tabuhan Kendang Gedhe (besar) dan Kendang Cilik (ketipung) menciptakan dialog ritmis yang intens.
- Kenong dan Kempul (Penentu Batas): Menentukan batas frasa musik (gongsuwuk). Bunyinya yang tegas membantu penari dan pemusik menjaga struktur lagu meskipun dalam kecepatan tinggi.
- Saron dan Demung (Melodi Pokok): Membawa melodi dasar (balungan) lagu, tetapi sering dimainkan dengan gaya yang lebih repetitif dan bertenaga.
- Gong Ageng (Puncak dan Penutup): Ditabuh pada akhir satu putaran lagu, memberikan jeda dan napas dalam kelelahan pertunjukan.
Musik dalam pertunjukan Barongan Tresno Budoyo adalah jembatan spiritual, bukan hanya latar belakang. Keberhasilan proses ndadi sangat bergantung pada sinkronisasi sempurna antara penari dan penabuh Kendang.
IV. TRESNO BUDOYO DALAM KONTEKS KOMUNITAS DAN REGENERASI
Kelompok Tresno Budoyo tidak hanya berfungsi sebagai pelaku seni, tetapi juga sebagai lembaga sosial yang mengikat komunitas. Di daerah asalnya, sanggar mereka menjadi pusat kegiatan budaya bagi segala usia. Keberlanjutan Barongan sangat bergantung pada kemampuan kelompok seperti ini untuk menarik generasi muda, sebuah tantangan yang dijawab Tresno Budoyo melalui metode unik.
Struktur Organisasi dan Kepemimpinan
Tresno Budoyo dipimpin oleh seorang Sesepuh atau Ketua Umum yang seringkali merupakan pewaris garis spiritual pendiri. Di bawahnya terdapat struktur yang jelas:
- Pimpinan Spiritual (Warok): Bertanggung jawab atas semua ritual, keselamatan penari selama ndadi, dan pemeliharaan pusaka (topeng).
- Pimpinan Teknis (Pelatih): Mengatur koreografi, tata panggung, dan disiplin latihan fisik.
- Bendahara dan Logistik: Mengurus manajemen keuangan pertunjukan (tanggap/job) dan perawatan kostum serta alat musik.
Model kepemimpinan yang berbasis spiritualitas dan manajemen ini memungkinkan Tresno Budoyo tetap profesional tanpa mengorbankan nilai-nilai sakralnya. Keputusan untuk menerima tawaran pentas, misalnya, tidak hanya didasarkan pada biaya, tetapi juga pada kecocokan waktu suci dan kesiapan spiritual kelompok.
Tantangan dan Solusi Regenerasi
Ancaman terbesar bagi seni tradisi adalah hilangnya minat generasi muda yang beralih ke hiburan modern. Tresno Budoyo mengatasi ini melalui beberapa strategi kreatif dan edukatif:
- Pendekatan Inklusif: Merekrut anggota sejak usia dini (sejak sekolah dasar) dengan memperkenalkan tarian Jathil dan menabuh alat musik ringan (seperti Kenong atau Saron). Hal ini menumbuhkan rasa kepemilikan sejak awal.
- Integrasi dengan Kurikulum Lokal: Bekerja sama dengan sekolah-sekolah setempat untuk memasukkan latihan Barongan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib, memastikan pengetahuan dasar seni ini tidak terputus.
- Memperkenalkan Nilai 'Keren' dalam Tradisi: Menggunakan media sosial dan platform digital untuk mendokumentasikan penampilan mereka. Mereka memastikan bahwa kostum dan kualitas pertunjukan tetap prima, sehingga menarik bagi mata modern tanpa mengurangi keotentikan. Video-video Barongan Tresno Budoyo diunggah dengan kualitas tinggi untuk menjangkau audiens global.
Regenerasi di Tresno Budoyo tidak hanya soal mencari penari baru, tetapi juga mencari penerus penabuh Kendang andal dan calon Warok masa depan yang mampu menguasai ilmu spiritual Barongan. Proses ini membutuhkan waktu bertahun-tahun penuh dedikasi dan bimbingan langsung dari sesepuh.
Ekonomi Seni Pertunjukan
Mempertahankan Barongan Tresno Budoyo secara finansial adalah tantangan berat. Kelompok ini sering kali bergantung pada undangan hajatan (pernikahan, khitanan, bersih desa) dan subsidi komunitas. Tresno Budoyo telah mengembangkan model ekonomi yang berkelanjutan:
- Pentas Ritual (Bersih Desa): Pertunjukan yang dibiayai oleh kas desa, yang sering kali menuntut ketaatan penuh pada pakem dan ritual sakral. Biayanya mungkin lebih rendah, tetapi nilai spiritual dan sosialnya tinggi.
- Pentas Komersial (Hajatan): Pertunjukan yang disesuaikan untuk hiburan publik, dengan durasi yang lebih pendek dan fokus pada adegan-adegan yang paling menarik (seperti adegan ndadi atau tarian Jathil yang meriah). Biaya yang didapatkan digunakan untuk operasional sanggar dan kesejahteraan anggota.
- Pendanaan Kreatif: Menjual merchandise, mengadakan workshop tari dan Gamelan, serta mencari dukungan dari pemerintah daerah dan program kebudayaan nasional.
Dengan manajemen yang transparan dan semangat kolektif yang kuat, Tresno Budoyo memastikan bahwa setiap anggota, mulai dari penabuh gong hingga pembarong utama, mendapatkan bagian yang adil, sehingga mempertahankan motivasi mereka untuk terus berkarya.
V. ANALISIS ESTETIKA DAN MAKNA SIMBOLIS BARONGAN
Estetika Barongan Tresno Budoyo terletak pada perpaduan kontras: keagungan yang ganas (Barongan) berhadapan dengan keindahan yang lincah (Jathil). Analisis mendalam menunjukkan bahwa pertunjukan ini adalah representasi dari pergulatan batin dan spiritualitas Jawa.
Simbolisme Warna dan Atribut Kostum
Warna yang dominan dalam Barongan Tresno Budoyo adalah Merah, Emas, dan Hitam, yang masing-masing memiliki makna filosofis:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, nafsu (amarah), dan kekuatan fisik yang tak terkalahkan. Warna merah sangat dominan pada wajah Barongan.
- Emas/Kuning (Jingga): Digunakan pada mahkota atau hiasan surai Barongan, melambangkan keagungan, kejayaan, dan sinar matahari sebagai sumber kehidupan.
- Hitam (Ireng): Digunakan pada ijuk Barongan atau pakaian dasar penari, melambangkan misteri, kekuatan alam bawah sadar, dan koneksi dengan bumi (pertiwi).
Kostum Jathil, sebaliknya, cenderung menggunakan warna yang lebih cerah dan lembut (hijau, biru, atau ungu) yang melambangkan air, kelembutan, dan kemurnian jiwa. Kontras visual ini sengaja diciptakan untuk mempertegas narasi pertarungan antara kebaikan dan keburukan, yang pada akhirnya harus mencapai keseimbangan.
Dialektika Karakter Utama
Setiap karakter dalam Barongan Tresno Budoyo mewakili arketipe dalam masyarakat Jawa:
Barongan: Manifestasi dari kekuatan purba, alam liar yang belum tersentuh, dan terkadang diartikan sebagai perwujudan Raja Singa yang menjaga hutan. Ia adalah simbol kekuatan yang harus dikendalikan.
Jathil: Simbol dari keindahan estetika dan etika, mewakili kelembutan yang mampu meredam keganasan. Tarian mereka adalah upaya spiritual untuk menenangkan jiwa yang bergejolak.
Pujang Anom (Ganongan): Si Topeng Monyet atau Kera. Ia adalah representasi rakyat jelata yang nakal, cerdas, dan sering kali menjadi pelawak (punakawan). Ganongan bertindak sebagai katalisator, mengundang tawa sekaligus memecah ketegangan ritual, menunjukkan bahwa spiritualitas tidak harus selalu tegang.
Interaksi Ganongan dengan Barongan sangat penting. Saat Barongan sedang mengamuk (ndadi), Ganongan sering 'mengganggu'nya, sebuah tindakan yang secara filosofis menunjukkan bahwa meskipun kekuatan alam liar itu besar, ia tetap terikat dan berinteraksi dengan dunia manusia yang penuh canda dan dinamika.
Interpretasi Gerak Supranatural (Ndadi)
Proses ndadi atau kesurupan dalam Barongan Tresno Budoyo bukanlah sekadar pameran mistis, tetapi sebuah puncak ritualistik. Tresno Budoyo melihat ndadi sebagai momen di mana penari mencapai kekosongan batin (suwung), memungkinkan entitas leluhur atau roh penunggu topeng untuk mengambil alih raga. Hal-hal yang biasa dilakukan penari saat ndadi adalah:
- Memakan Kaca atau Benda Tajam (Nguntal): Melambangkan kekebalan raga dan penolakan terhadap bahaya duniawi.
- Menggigit Rotan atau Pecut: Simbol dominasi atas alat kendali, menunjukkan bahwa Barongan adalah kekuatan yang tidak bisa dipecut atau diperbudak.
- Gerak Liar dan Tidak Terduga: Penari bisa berlari keluar area panggung, naik ke tempat tinggi, atau melakukan gerakan akrobatik tanpa rasa sakit, yang secara visual menegaskan bahwa kekuatan yang bekerja bukanlah kekuatan manusia biasa.
Kehadiran Waranggana yang terlatih sangat vital di sini. Mereka memastikan bahwa energi yang tersalurkan tetap positif dan dapat ditarik kembali setelah ritual selesai. Proses ini adalah cerminan dari keyakinan Jawa bahwa manusia dan roh harus hidup berdampingan, dan seni adalah salah satu cara untuk memfasilitasi komunikasi tersebut.
VI. BARONGAN TRESNO BUDOYO DI PANGGUNG NASIONAL DAN INTERNASIONAL
Meskipun berakar kuat pada tradisi lokal, Barongan Tresno Budoyo menyadari pentingnya adaptasi dan promosi. Mereka telah berhasil membawa seni ini melampaui batas desa, menunjukkan bahwa kesakralan tradisi dapat bersanding dengan modernitas dokumentasi dan pertunjukan panggung yang lebih terstruktur.
Strategi Adaptasi Panggung
Saat tampil di festival seni modern atau acara budaya besar, Tresno Budoyo harus melakukan penyesuaian tanpa menghilangkan esensi Barongan:
- Manajemen Waktu: Mengompres pertunjukan yang tadinya berjam-jam menjadi durasi 15-30 menit, memilih adegan-adegan paling visual dan energetik. Fokus ditempatkan pada tarian Barongan dan sedikit adegan ndadi yang terkontrol.
- Penyajian Narasi: Menambahkan narator atau teks pengantar untuk menjelaskan mitologi dan simbolisme karakter kepada penonton non-Jawa.
- Tata Lampu dan Suara Modern: Memanfaatkan tata cahaya profesional untuk menonjolkan detail kostum dan dramatisasi pertunjukan, yang biasanya hanya diterangi oleh obor atau lampu sederhana di desa. Namun, mereka tetap menolak penggunaan alat musik elektrik, mempertahankan kemurnian suara Gamelan akustik.
Adaptasi ini adalah upaya strategis Tresno Budoyo untuk mendefinisikan diri mereka sebagai penjaga warisan yang relevan. Mereka membuktikan bahwa otentisitas dan modernitas promosi dapat berjalan seiring.
Konservasi dan Dokumentasi Digital
Tresno Budoyo aktif menggunakan teknologi sebagai alat konservasi. Mereka menyadari bahwa rekaman visual berkualitas adalah cara terbaik untuk mewariskan pakem gerak dan irama Gamelan kepada generasi mendatang, terutama karena banyak pengetahuan yang dulunya diwariskan secara lisan.
Proyek konservasi mereka meliputi:
- Archiving Audio: Merekam seluruh repertoar musik Gamelan mereka (gending-gending) dalam format digital, lengkap dengan notasi tradisional (kepatihan) dan deskripsi fungsi setiap irama (misalnya, kapan irama Srepegan wajib dimainkan untuk memicu trance).
- Video Tutorial Gerak: Membuat video panduan langkah demi langkah untuk tarian Jathil dan gerakan dasar Barongan, memastikan bahwa detail seperti posisi tangan, ayunan kaki, dan cara membawa kuda kepang dipahami dengan benar.
- Dokumentasi Biografis: Mencatat sejarah hidup dan kontribusi para sesepuh dan penari legendaris kelompok, termasuk Mbah Karto, pendiri mereka, agar kisah perjuangan mereka tidak hilang.
Langkah-langkah digitalisasi ini menjadikan Tresno Budoyo sebagai model bagaimana kelompok seni tradisi dapat memanfaatkan abad ke-21 untuk memperkuat fondasi sejarah mereka.
Melawan Komersialisasi Berlebihan
Salah satu dilema terbesar yang dihadapi Barongan modern adalah komersialisasi, di mana aspek ritualistik dihilangkan demi hiburan instan. Tresno Budoyo berpegangan teguh pada prinsip bahwa ritual dan pertunjukan harus seimbang. Mereka menolak pentas yang secara eksplisit meminta penghilangan ritual sesaji atau doa pembuka.
Ketegasan ini adalah bentuk pertahanan budaya. Bagi Tresno Budoyo, Barongan adalah pusaka hidup yang energinya harus dihormati. Jika mereka berkompromi terlalu jauh, mereka percaya bahwa kekuatan spiritual yang ada di dalam topeng akan hilang, dan pertunjukan akan menjadi hampa, sekadar tarian singa yang kosong dari makna. Prinsip inilah yang membedakan mereka dan mendapatkan pengakuan dari para pemerhati budaya.
VII. ASPEK RITUAL DAN BUDAYA TRADISI TRESNO BUDOYO
Jauh di balik panggung yang gemerlap, kegiatan utama Tresno Budoyo berfokus pada ritual pelestarian yang sering luput dari perhatian publik. Ritual-ritual ini adalah kunci kekuatan dan keberlanjutan spiritual kelompok.
Upacara Jamasan (Pencucian Pusaka)
Setiap tahun, biasanya pada bulan Suro (Muharram) dalam kalender Jawa, Tresno Budoyo mengadakan upacara Jamasan atau pencucian pusaka. Pusaka utama adalah topeng Barongan, Gamelan, dan Pecut (cambuk) yang digunakan saat ndadi. Proses jamasan ini tidak hanya membersihkan secara fisik tetapi juga menyucikan secara spiritual.
Topeng Barongan dicuci menggunakan air kembang tujuh rupa dan diberi minyak khusus (misalnya, minyak cendana atau misik). Ritual ini dipimpin langsung oleh Warok. Selama jamasan, anggota kelompok, tua dan muda, diwajibkan hadir untuk menumbuhkan rasa hormat dan koneksi spiritual terhadap warisan yang mereka emban. Upacara ini sering diiringi dengan pembacaan mantra-mantra Jawa kuno dan persembahan sesaji (nasi tumpeng, jajanan pasar, dan kopi pahit/manis).
Laku Prihatin (Latihan Spiritual)
Menjadi penari Barongan utama di Tresno Budoyo bukan hanya soal fisik. Seorang pembarong harus menjalani laku prihatin, yaitu serangkaian latihan spiritual yang bertujuan membersihkan hati dan menguatkan batin. Laku ini bisa berupa puasa weton (puasa pada hari kelahiran), puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air), atau meditasi (semedi) di tempat-tempat yang dianggap sakral, seperti makam leluhur atau sendang (mata air). Laku ini bertujuan agar penari memiliki daya tahan batin yang kuat dan siap menampung energi Barongan ketika proses ndadi terjadi, memastikan energi yang masuk terkendali dan positif.
Tanpa laku prihatin, Tresno Budoyo percaya bahwa penari akan mudah dikuasai oleh roh yang ganas atau justru tidak akan pernah bisa mencapai kondisi ndadi yang autentik. Inilah yang membedakan sekolah tari mereka dengan pelatihan tarian modern; di sini, spiritualitas adalah prasyarat utama sebelum kemampuan teknis.
Filosofi Persaudaraan (Seduluran)
Tresno Budoyo sangat menjunjung tinggi konsep seduluran (persaudaraan). Kelompok ini berfungsi sebagai keluarga besar. Jika ada anggota yang sakit, atau mengalami kesulitan ekonomi, anggota lain wajib membantu. Kekompakan ini diterjemahkan di atas panggung melalui sinkronisasi yang nyaris sempurna antara penari dan Gamelan. Gagalnya seorang penari untuk mencapai wirama yang tepat akan mempengaruhi penabuh, dan sebaliknya. Oleh karena itu, latihan Gamelan di Tresno Budoyo selalu ditekankan pada mendengarkan, bukan hanya memainkan instrumen, sebuah filosofi yang mencerminkan harmoni sosial yang mereka cita-citakan.
Filosofi persaudaraan ini meluas hingga ke hubungan mereka dengan kelompok Barongan lain. Meskipun terdapat persaingan dalam hal popularitas, Tresno Budoyo selalu mengedepankan etika saling menghormati dan berbagi pengetahuan, memastikan bahwa seni Barongan secara keseluruhan tetap lestari, bukan hanya kelompok mereka sendiri. Mereka aktif dalam forum-forum paguyuban seni tradisi, bertukar pengalaman dan solusi atas tantangan modernisasi.
VIII. KEUNIKAN REPERTOAR TRESNO BUDOYO DAN VARIAN BARONGAN
Barongan memiliki banyak varian regional. Tresno Budoyo dikenal karena kekayaan repertoar mereka yang mencampuradukkan beberapa gaya utama, namun tetap mengakar kuat pada gaya Jawa Timuran yang eksplosif dan penuh energi.
Gaya Barongan Buto (Raksasa)
Tresno Budoyo sering menampilkan varian Barongan Buto (Raksasa) selain Barongan Singo utama. Barongan Buto memiliki topeng yang lebih menyeramkan, dengan gigi taring yang sangat besar dan hiasan rambut yang lebih liar. Tarian Buto biasanya lebih agresif dan brutal, seringkali melibatkan pertarungan epik dengan karakter Jathil atau Ganongan.
Makna filosofis dari Buto adalah representasi dari hawa nafsu dan keserakahan manusia (buta ijo atau raksasa hijau) yang harus dikalahkan. Pertunjukan Barongan Buto oleh Tresno Budoyo menjadi cermin bagi masyarakat untuk introspeksi, bagaimana mereka mengendalikan "buto" di dalam diri mereka sendiri. Ritme Gamelan untuk Barongan Buto biasanya paling cepat dan paling keras, memaksa penonton untuk merasakan energi kegelapan yang sedang dipertarungkan.
Inovasi Tari Jathil Lanjutan
Meskipun Barongan adalah bintang utama, Tresno Budoyo telah berinovasi dalam pengembangan tari Jathil. Mereka menambahkan elemen akrobatik dan koreografi kelompok yang lebih kompleks dibandingkan Jathil tradisional. Jathil Tresno Budoyo tidak hanya menari dengan anggun tetapi juga menunjukkan kekuatan dan ketangkasan, melambangkan emansipasi dan kekuatan perempuan (atau energi feminin) dalam menghadapi tantangan.
Pengembangan ini penting untuk menarik minat penonton muda. Inovasi koreografi, seperti formasi tarian yang dinamis dan penggunaan properti tambahan, dilakukan selama tidak melanggar pakem dasar Gamelan dan esensi spiritual pertunjukan. Penari Jathil mereka dilatih khusus untuk dapat berpindah dari keanggunan tari ke kondisi trance secara tiba-tiba, menunjukkan fleksibilitas batin yang luar biasa.
Gending Baru yang Tetap Tradisional
Tresno Budoyo juga dikenal karena menciptakan gending (komposisi musik Gamelan) baru. Walaupun mereka menghormati gending klasik seperti Gending Kebo Giro atau Gending Singo Barong, mereka juga merangkai gending-gending kontemporer yang tetap menggunakan laras (tangga nada) dan instrumen tradisional. Gending baru ini biasanya dinamai sesuai dengan peristiwa sosial atau tokoh lokal, menjadikannya relevan dengan konteks kehidupan masyarakat saat ini.
Penciptaan gending baru ini adalah bukti bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang mati, melainkan organisme hidup yang terus berkembang. Inovasi ini selalu harus disetujui oleh Warok, memastikan bahwa frekuensi suara (wirama) tetap memiliki daya panggil spiritual yang sama dengan gending kuno. Ini adalah garis tipis antara inovasi dan penghancuran pakem, yang berhasil dijaga oleh Barongan Tresno Budoyo.
IX. KONTRIBUSI TRESNO BUDOYO TERHADAP KETAHANAN BUDAYA JAWA
Peran Barongan Tresno Budoyo melampaui pentas seni; mereka adalah garda terdepan ketahanan budaya Jawa di era disrupsi digital. Mereka mengajar generasi penerus untuk tidak hanya bangga pada warisan mereka, tetapi juga untuk melindunginya secara aktif.
Mempertahankan Bahasa dan Kosakata Kuno
Dalam pertunjukan Barongan, banyak istilah dan dialog yang masih menggunakan Bahasa Jawa Kuno atau varian dialek yang hampir punah. Tresno Budoyo memastikan bahwa para penari dan sinden mereka memahami dan menggunakan kosakata ini dengan benar. Ini adalah upaya untuk melestarikan linguistik sebagai bagian integral dari budaya Barongan. Misalnya, penggunaan istilah Ndadari (kerasukan) yang lebih sakral, daripada hanya menyebutnya "trance", atau penggunaan seruan kuno yang hanya dipahami oleh para sesepuh.
Melalui latihan yang ketat, anggota muda Tresno Budoyo secara tidak langsung diajarkan linguistik dan etika Jawa (unggah-ungguh) yang sering terabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Sanggar mereka menjadi semacam sekolah budaya informal yang mengajarkan sopan santun dan tata krama, yang merupakan pondasi dari peradaban Jawa.
Barongan sebagai Alat Integrasi Sosial
Di daerah yang multietnis atau rentan terhadap konflik, Barongan Tresno Budoyo berperan sebagai alat integrasi. Pertunjukan Barongan selalu menarik minat dari berbagai kalangan, dari anak-anak hingga orang tua, dan dari latar belakang agama yang berbeda. Ketika masyarakat berkumpul untuk menyaksikan sebuah ritual yang mereka yakini bersama, perbedaan di antara mereka memudar.
Ritual bersih desa yang dipimpin oleh Tresno Budoyo, misalnya, melibatkan seluruh warga desa dalam persiapan, mulai dari membuat sesaji hingga membersihkan area pementasan. Ini menciptakan rasa kebersamaan (gotong royong) yang krusial untuk menjaga kerukunan sosial. Barongan, dalam konteks ini, berfungsi sebagai perekat sosial yang tak tergantikan, membuktikan bahwa seni tradisi memiliki fungsi praktis yang mendalam.
Masa Depan dan Visi Global
Visi Tresno Budoyo untuk masa depan adalah menjadikan Barongan sebagai warisan tak benda dunia yang diakui secara internasional, tanpa harus mengorbankan kesakralannya. Mereka bercita-cita untuk berkolaborasi dengan seniman internasional, menggabungkan elemen-elemen Barongan (seperti irama Kendang yang unik atau desain topeng) ke dalam karya seni kontemporer global.
Namun, mereka berpegangan pada satu premis: Barongan adalah Jawa, dan Jawa adalah Barongan. Inti dari kekuatan spiritual dan filosofi Barongan Tresno Budoyo harus tetap dipertahankan. Mereka adalah penjaga api, memastikan bahwa di tengah badai perubahan, esensi budaya leluhur tetap membara dan siap diwariskan kepada seribu generasi yang akan datang.
Oleh karena itu, Tresno Budoyo bukan sekadar kelompok seni pertunjukan. Mereka adalah pahlawan budaya yang berjuang setiap hari melalui tabuhan Kendang, lompatan singa yang ganas, dan keindahan gerak Jathil, demi melanggengkan identitas bangsa.
X. KESIMPULAN AKHIR: WARISAN YANG TAK TERGANTI
Barongan Tresno Budoyo adalah sebuah studi kasus sempurna tentang bagaimana seni tradisi dapat bertahan dan berkembang dalam era modern. Melalui komitmen terhadap pakem historis, disiplin spiritual yang ketat, dan manajemen regenerasi yang cerdas, mereka telah memastikan bahwa narasi epik Barongan—yang penuh dengan mitos, kekuatan, dan keindahan—akan terus diceritakan.
Mereka berdiri sebagai mercusuar budaya, mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada teknologi dan kemajuan materi, tetapi juga pada koneksi mendalam dengan akar spiritual dan sejarah kita sendiri. Setiap pertunjukan Barongan Tresno Budoyo adalah sebuah ritual perayaan kehidupan, sebuah simfoni ganas yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memanggil kembali roh-roh penjaga budaya untuk melindungi masa kini dan masa depan.