Pengantar Menuju Tradisi Seni Murni (TSM) Barongan
Barongan, sebuah entitas seni pertunjukan yang monumental dan menakjubkan, adalah cerminan kompleksitas budaya Jawa Timur yang kaya akan elemen mistis, historis, dan estetika. Bukan sekadar tontonan, Barongan adalah medium komunikasi spiritual yang menghubungkan masa kini dengan leluhur, sebuah ritual yang diwujudkan dalam gerak, bunyi, dan rupa. Dalam konteks yang lebih mendalam, fenomena ini seringkali dirujuk sebagai Barongan TSM, atau Tradisi Seni Murni. Istilah 'Murni' di sini merujuk pada kesetiaan yang tak tergoyahkan terhadap pakem-pakem kuno, baik dari segi tata cara upacara, ukiran pusaka topeng, maupun filosofi gerak yang mengiringi setiap pementasan. Barongan TSM menekankan bahwa seni ini tidak dapat dipisahkan dari dimensi spiritual dan energi gaib yang bersemayam di dalamnya. Ia adalah seni yang utuh, yang lahir dari penggabungan antara wiraga (raga), wirama (irama), dan wirasa (rasa) yang dilebur bersama kekuatan transendental.
Analisis terhadap Barongan TSM memerlukan pemahaman yang holistik mengenai ekosistem budayanya. Ia berdiri tegak di tengah bentang alam spiritual Nusantara, di mana batas antara realitas kasat mata dan alam gaib menjadi kabur. Setiap elemen dalam pertunjukan Barongan—mulai dari detak kendang yang memacu adrenalin, sorot mata Barong yang terbuat dari ukiran kayu bertuah, hingga prosesi janturan (trans) yang sering terjadi—adalah bagian tak terpisahkan dari narasi yang lebih besar tentang perjuangan, kepemimpinan, dan keseimbangan kosmis. Kehadiran Barongan dalam sebuah desa atau komunitas bukan sekadar hiburan; ia adalah penanda identitas kultural yang sakral, seringkali berfungsi sebagai penolak bala atau sebagai media penyambutan musim panen yang berkah.
Barongan, terutama yang berakar pada tradisi Reog Ponorogo atau Jaranan Kediri, merupakan puncak dari seni patung bergerak. Kepala Barong, yang dikenal sebagai Singo Barong, bukan hanya topeng, melainkan sebuah pusaka yang memiliki isan atau energi penghuni. Pengrajin yang membuatnya harus melewati serangkaian ritual ketat, memastikan bahwa roh kayu (biasanya kayu loh atau dadap yang dianggap memiliki kekuatan) dapat menyatu sempurna dengan jiwa pertunjukan. Inilah yang membedakan Barongan TSM dari sekadar seni pertunjukan komersial; ia mempertahankan benang merah spiritual yang telah ditenun selama berabad-abad, menolak kompromi demi popularitas atau modernisasi yang dangkal. Melalui artikel ini, kita akan menelusuri lapisan-lapisan kekayaan Barongan TSM, mulai dari mitologi penciptaannya hingga teknik pelestariannya di era kontemporer.
Akaran Historis dan Mitologi Singo Barong
Sejarah Barongan tidak dapat dilepaskan dari narasi besar Kerajaan Majapahit dan persebaran agama di Nusantara, meskipun manifestasi modernnya banyak berpusat pada legenda lokal Jawa Timur. Terdapat dua garis besar mitologi yang saling bersinggungan: yang pertama adalah Barongan sebagai representasi binatang buas pelindung, dan yang kedua adalah Barongan sebagai personifikasi Raja Singo Barong, penguasa Dhaha yang keras kepala, terkait erat dengan kisah Wirasaba dan Prabu Klonosewandono.
Kisah Singo Barong dan Perjuangan Adipati
Dalam tradisi yang paling umum diterima, terutama yang dipegang teguh oleh komunitas TSM, Singo Barong diyakini melambangkan tokoh legendaris yang memiliki sifat angkara murka namun kuat. Legenda yang paling terkenal adalah kisah Adipati Batoro Katong yang berupaya meminang Dewi Songgolangit dari Kediri. Dewi Songgolangit mengajukan syarat yang sangat berat, salah satunya adalah iring-iringan pertunjukan seni yang belum pernah ada, termasuk sosok singa berkepala merak. Singo Barong inilah yang menjadi cikal bakal kepala raksasa yang kita kenal sekarang. Sosok Singo Barong melambangkan keberanian yang tak terbatas, kekuatan primal, dan keangkuhan yang harus ditundukkan melalui seni dan spiritualitas. Kepala Barong yang dihiasi bulu merak bukanlah semata-mata hiasan visual, melainkan simbolisasi kekuasaan dan keindahan yang dicapai setelah menaklukkan sang Raja Hutan yang sombong. Ini adalah metafora budaya yang mendalam mengenai bagaimana kekuatan fisik harus diimbangi oleh kehalusan budi dan kebijakan spiritual.
Kisah-kisah tersebut, yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi warok (pemimpin spiritual dan seni), memastikan bahwa nilai-nilai Barongan TSM tetap hidup. Setiap kali Barongan dibangkitkan, para penari tidak hanya mengulang gerak; mereka menghidupkan kembali narasi epik tersebut. Prosesi ini adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap leluhur dan pakem yang telah ditetapkan. Di banyak desa, Barongan TSM juga diyakini sebagai manifestasi dari dhanyang (penunggu atau roh pelindung desa), yang kehadirannya diundang melalui ritual-ritual pemanggilan khusus yang memerlukan persembahan dan mantra yang ketat. Kepatuhan terhadap ritual ini adalah inti dari kemurnian tradisi (TSM).
Lebih jauh lagi, akar historis Barongan TSM sering ditarik mundur ke masa pra-Islam Jawa, di mana ritual-ritual pemujaan terhadap roh alam dan binatang buas menjadi praktik umum. Singo Barong, sebagai predator puncak, mungkin dulunya merupakan objek ritual yang ditujukan untuk memohon kekuatan, kesuburan, dan perlindungan dari ancaman. Transformasi dari ritual kuno menjadi seni pertunjukan yang terstruktur menunjukkan adaptasi budaya yang luar biasa, di mana nilai-nilai lama dipertahankan melalui media artistik yang inovatif. Inilah bukti ketahanan budaya Jawa yang mampu menyerap dan memodifikasi pengaruh luar tanpa kehilangan esensi spiritualnya yang orisinal.
Representasi artistik Kepala Singo Barong, pusaka utama dalam pertunjukan Barongan TSM.
Anatomi Barongan TSM: Ukiran, Ritual, dan Material Sakral
Kepala Barongan TSM, atau Singo Barong, adalah mahakarya seni rupa tradisional yang memerlukan tingkat keahlian, ketelatenan, dan—yang terpenting—kesadaran spiritual yang tinggi dari sang perajin. Setiap bagian dari Singo Barong tidak hanya berfungsi secara estetika, tetapi juga memiliki makna filosofis dan ritualistik yang mendalam, menjadikan Barong sebagai sebuah entitas hidup, bukan sekadar kostum.
Kayu Pilihan dan Prosesi Pengukiran
Pemilihan bahan baku adalah tahap paling krusial dalam penciptaan Barongan TSM. Kayu yang paling sering digunakan adalah jenis kayu yang dianggap memiliki energi atau daya magis, seperti Kayu Dadap Srep atau Kayu Lo. Kayu Dadap Srep, misalnya, dipercaya memiliki kemampuan menolak panas dan menjaga kestabilan emosi, yang sangat penting mengingat penari Barong sering memasuki kondisi trans. Proses penebangan kayu harus didahului oleh ritual permohonan izin kepada danyang alas (penunggu hutan). Perajin sejati TSM akan melakukan puasa, meditasi, dan pembacaan mantra sebelum mata pahat pertama menyentuh balok kayu, memastikan bahwa energi positif leluhur terserap ke dalam topeng.
Bentuk ukiran Singo Barong dicirikan oleh mata yang melotot, taring yang tajam, dan lidah yang menjulur, melambangkan keberanian dan kekuatan yang siap menghadapi segala ancaman. Detail pada alis dan kumis seringkali dihiasi dengan cat alami, biasanya merah tua (melambangkan keberanian) dan hitam (melambangkan kekuatan spiritual). Proses pewarnaan pun tidak sembarangan; pigmen alami dipilih untuk menjaga kesakralan, jauh dari cat kimia modern. Setelah ukiran selesai, Barong akan melalui proses inisiasi yang disebut siraman atau pembersihan, di mana air kembang tujuh rupa digunakan untuk 'membangunkan' roh yang diyakini bersemayam di dalamnya.
Mahkota Merak (Dadak Merak)
Salah satu ciri khas Barongan Jawa Timur, khususnya Reog, adalah hiasan bulu merak raksasa yang menaungi kepala Barong, yang disebut Dadak Merak. Struktur ini adalah kombinasi luar biasa antara seni ukir dan teknik jalinan. Merak, dalam mitologi Jawa, melambangkan keindahan, kemewahan, dan juga kewaspadaan. Namun, secara filosofis, Dadak Merak juga berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan Singo Barong yang cenderung brutal. Merak adalah keindahan yang menenangkan, sedangkan Barong adalah kekuatan yang menggelegar. Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan yang sempurna antara agresivitas dan estetika.
Kerangka Dadak Merak dibuat dari bambu pilihan yang ringan namun kuat, dilapisi kulit kerbau yang diukir rumit. Bagian paling menantang adalah pemasangan bulu merak, yang harus diatur sedemikian rupa sehingga menciptakan ilusi kipas raksasa yang dinamis saat penari bergerak. Dalam Barongan TSM, bulu merak tidak boleh diganti dengan imitasi plastik. Keaslian material adalah jaminan kemurnian tradisi. Berat total Dadak Merak ini bisa mencapai 50 hingga 60 kilogram, menuntut kekuatan leher dan punggung yang luar biasa dari penarinya, yang seringkali harus menahannya hanya dengan kekuatan gigitan—sebuah ujian fisik dan spiritual yang mendalam.
TSM: Filosofi Gerak, Trance, dan Hubungan Batin Penari
Barongan TSM menuntut lebih dari sekadar kemampuan menari; ia menuntut pengorbanan spiritual dan peleburan diri penari ke dalam karakter Singo Barong. Gerakan Barongan tidak diarahkan untuk pameran koreografi semata, melainkan untuk mengekspresikan emosi primal, kekuasaan, dan, pada titik puncaknya, interaksi dengan dimensi spiritual.
Gerak Primal: Tari Gagah dan Sikap Angkara
Gerak dasar Barongan dikenal sebagai tari gagah, yang dicirikan oleh langkah-langkah berat, hentakan kaki yang kuat, dan gerakan kepala yang menggelegar. Semua ini mensimulasikan arogansi dan kekuatan seekor singa yang sedang marah. Penari (disebut pembarong) harus mampu mengendalikan pusat gravitasi yang sangat tinggi akibat beban Dadak Merak. Gerakan membuka dan menutup mulut Barong (yang menghasilkan bunyi “klotak klotak” dari mekanisme kayu) adalah simbol komunikasi antara Singo Barong dengan dunia di sekitarnya. Bunyi ini adalah suara peringatan, penanda teritorial, dan sekaligus undangan bagi roh-roh lain untuk menyaksikan pertunjukan.
Keindahan Barongan TSM terletak pada kontras antara kekerasan gerakan Barong dan kehalusan gerak penari pendukung, seperti Jathil (penari kuda lumping yang biasanya ditarikan oleh wanita atau pria berkostum wanita) dan Bujang Ganong (sosok prajurit lincah yang jenaka). Bujang Ganong, dengan topeng berwajah monyet yang cerdas, seringkali berfungsi sebagai penyeimbang komedi yang meredakan ketegangan spiritual yang diciptakan oleh kehadiran Singo Barong yang begitu dominan. Interaksi antara Ganong dan Barong adalah representasi dualitas dalam alam semesta: kekuatan kasar versus kecerdikan yang halus, yang pada akhirnya harus bekerja sama.
Fenomena Janturan (Trance) dalam TSM
Aspek TSM yang paling mencolok dan seringkali paling disalahpahami adalah janturan atau kondisi trans. Dalam tradisi murni, trance bukanlah sebuah akting, melainkan hasil dari induksi musik gamelan (terutama detak kendang yang repetitif dan cepat) dan kekuatan spiritual Barong itu sendiri. Kondisi ini dicapai ketika penari telah sepenuhnya melepaskan kesadaran individualnya, memungkinkan energi Barong, atau roh penunggu, mengambil alih raga.
Saat janturan terjadi, pembarong seringkali menunjukkan kemampuan fisik yang luar biasa atau perilaku non-manusia, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau menunjukkan kekebalan terhadap rasa sakit. Peran Pawang atau Warok menjadi sangat penting di sini. Pawang bertindak sebagai pemandu spiritual dan penjaga ritual, memastikan bahwa energi yang datang adalah energi yang positif dan bahwa penari dapat kembali ke kondisi normal dengan selamat setelah pertunjukan selesai. Pawang menggunakan mantra kuno (jampi-jampi) dan asap dupa (kemenyan) untuk mengendalikan batas-batas trance. Dalam TSM, keberhasilan sebuah pementasan sering diukur bukan dari tepuk tangan penonton, melainkan dari keberhasilan Pawang menjaga keselamatan spiritual para penarinya dan kehormatan terhadap roh Barong.
Filosofi di balik janturan adalah upaya untuk mencapai kesatuan (manunggaling kawula lan Gusti) melalui medium seni. Ini adalah pengakuan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang lebih besar dan harus tunduk pada kekuatan-kekuatan primal yang mengendalikan kehidupan. Kondisi trance berfungsi sebagai katarsis spiritual kolektif, membersihkan desa dari energi negatif dan memperkuat ikatan komunitas dengan sejarah mistis mereka.
Gamelan Pengiring: Ritme Kosmik dan Nafas Pertunjukan
Tanpa iringan musik gamelan yang spesifik, Barongan TSM hanyalah patung kayu yang diam. Gamelan adalah nafas pertunjukan, arsitek spiritual yang membangun suasana dari kesunyian hingga keheningan yang mencekam sebelum trans. Ritme yang digunakan dalam Barongan, khususnya yang terintegrasi dengan Reog atau Jaranan, memiliki ciri khas yang kuat, jauh berbeda dari gamelan keraton yang cenderung lembut dan meditatif.
Dominasi Kendang dan Gendang Kempul
Dalam ansambel Barongan TSM, kendang adalah instrumen paling vital. Kendang tidak hanya memberikan tempo; ia adalah suara hati Barongan. Detak kendang yang cepat, berulang, dan keras (disebut gebyogan) berfungsi sebagai induksi hipnotis. Ketika penari sudah siap, kendang akan dimainkan dengan intensitas yang meningkat drastis, menciptakan resonansi yang mempengaruhi gelombang otak penari dan penonton. Suara ini seperti panggilan dari alam liar, memecah kesadaran biasa.
Instrumen pendukung penting lainnya adalah Gendang Kempul, yang menghasilkan bunyi dalam interval yang lebih panjang dan melankolis, seringkali memberi jeda spiritual dalam kecepatan yang tak terhindarkan. Melalui kombinasi ini, gamelan Barongan TSM mampu membangun kontradiksi emosional: kegembiraan kolektif, ketakutan primal, dan kerinduan spiritual. Setiap irama memiliki nama dan fungsi ritualistik yang spesifik, yang diwariskan dari para musisi (disebut penabuh) terdahulu, menekankan bahwa irama tersebut harus dimainkan dengan perasaan yang jujur dan niat yang tulus.
Peran Penganthi (Vokal)
Vokal atau penganthi dalam Barongan TSM seringkali tidak hanya berupa nyanyian biasa. Lirik-liriknya (disebut sindenan atau macapat) berisi pujian terhadap leluhur, narasi sejarah Singo Barong, dan seruan spiritual kepada roh-roh pelindung. Penganthi harus memiliki kekuatan suara yang mampu membelah kebisingan gamelan dan menembus keramaian penonton. Dalam ritual pemanggilan trance, suara Penganthi seringkali berubah menjadi seruan ritmis dan mantra yang diulang-ulang, berfungsi sebagai jangkar spiritual bagi penari yang sedang berada di ambang kesadaran. Kualitas spiritual dari Penganthi adalah salah satu penentu kemurnian TSM; mereka adalah penjaga lisan dari tradisi yang tak tertulis.
Kompleksitas musik ini menuntut dedikasi yang sama besarnya dengan dedikasi para pembarong. Para penabuh harus menguasai bukan hanya teknik, tetapi juga etika bermain. Mereka harus menyadari bahwa kesalahan ritme atau nada dapat mengganggu jalannya ritual, bahkan membahayakan keselamatan spiritual penari yang sedang trans. Oleh karena itu, persiapan musik Barongan TSM selalu melibatkan prosesi kebersihan diri dan doa sebelum instrumen disentuh.
Sketsa Gamelan Barongan yang didominasi oleh kendang, penyedia ritme induksi trans.
Tantangan dan Pelestarian Kemurnian Barongan TSM di Era Modern
Di tengah gempuran budaya global, Barongan TSM menghadapi dilema pelestarian yang akut. Komunitas TSM berjuang keras untuk mempertahankan 'kemurnian' tradisi (ritual ketat, bahan baku sakral, dan integritas spiritual) sementara harus beradaptasi dengan kebutuhan ekonomi dan tontonan kontemporer.
Ancaman Komersialisasi dan Degradasi Ritual
Salah satu ancaman terbesar bagi Barongan TSM adalah komersialisasi. Banyak kelompok Barongan yang cenderung memotong atau menghilangkan ritual-ritual penting (seperti puasa, selamatan sebelum pementasan, atau prosesi inisiasi topeng) demi efisiensi waktu dan daya tarik visual yang lebih mudah dicerna pasar. Ketika ritual dihilangkan, esensi spiritual Barongan TSM ikut menguap, menjadikannya hanya sekadar pertunjukan akrobatik belaka. Dalam pandangan puritan TSM, seni yang telah kehilangan rohnya adalah seni yang mati. Penekanan pada TSM adalah upaya untuk menarik garis tegas antara pertunjukan yang sakral dan pertunjukan yang profan.
Selain itu, ketersediaan material juga menjadi tantangan. Bulu merak asli semakin sulit didapatkan dan harganya melambung tinggi, memaksa beberapa kelompok menggunakan bulu imitasi. Bagi kelompok TSM, ini adalah kompromi yang sulit diterima karena mereka percaya bahwa energi spiritual Dadak Merak hanya dapat dipertahankan melalui keaslian material yang telah disucikan. Perajin Barongan sejati pun berkurang, dan transfer pengetahuan mengenai ukiran sakral yang membutuhkan meditasi bertahun-tahun menjadi terancam punah.
Strategi Pelestarian Komunitas TSM
Komunitas Barongan TSM yang teguh biasanya mengimplementasikan strategi pelestarian yang berfokus pada pendidikan internal dan dokumentasi. Mereka mendirikan padepokan-padepokan seni yang berfungsi sebagai sekolah tradisi, di mana para pembarong muda diajari tidak hanya teknik menari, tetapi juga etika, sejarah lisan, dan ritual-ritual pendukung. Generasi baru diajari bahwa menjadi pembarong adalah menjadi seorang penjaga spiritual, bukan hanya seorang seniman panggung.
Salah satu strategi efektif adalah mengadakan pementasan khusus yang bersifat ritualistik (misalnya, saat bersih desa atau upacara tolak bala), di mana pakem TSM harus ditaati sepenuhnya, tanpa kompromi komersial. Pementasan ini berfungsi sebagai "recharge" spiritual bagi pusaka Barongan dan juga pengingat bagi komunitas tentang asal-usul dan tujuan hakiki seni tersebut. Dokumentasi melalui penulisan sejarah lisan dan rekaman visual ritual juga dilakukan secara intensif untuk memastikan bahwa pengetahuan yang sensitif dan rahasia tidak hilang bersama wafatnya para Warok sepuh.
Upaya pelestarian ini juga mencakup upaya diplomasi budaya, di mana Barongan TSM dibawa ke forum-forum kebudayaan nasional dan internasional, namun dengan syarat ketat bahwa integritas ritualnya tidak boleh dikurangi. Dengan cara ini, Barongan tidak hanya dipertunjukkan, tetapi nilai-nilai TSM juga disebarkan, membuka mata publik global terhadap kedalaman spiritual yang dimiliki oleh kesenian tradisional Indonesia.
Lapisan Filosofis Barongan TSM: Simbolisme dalam Setiap Detail
Untuk benar-benar memahami Barongan TSM, kita harus membedah setiap elemennya sebagai simbol dari struktur kosmik dan moralitas Jawa. Setiap komponen dari Barong hingga penari pendukung adalah cerminan dari konsep filosofis yang berusia ribuan tahun.
Dualisme dan Keseimbangan Kosmis
Pertunjukan Barongan secara keseluruhan adalah representasi visual dari dualisme alam semesta—Rwa Bhineda. Singo Barong mewakili sisi gelap, kekuatan tak terkendali (Angkara Murka), dan alam liar. Sementara itu, sosok seperti Jathil atau Warok yang mengendalikan Barong melambangkan kesadaran, keindahan (Kawibawan), dan ketertiban sosial. Pertarungan abadi antara Barong dan penari pendukung—walaupun seringkali bersifat komedi—adalah visualisasi dari perjuangan manusia untuk mencapai harmoni internal dan eksternal. Keseimbangan ini adalah inti dari TSM; ia mengajarkan bahwa kekuatan tersembunyi dapat dimanfaatkan dan dikendalikan jika diiringi oleh rasa spiritual yang murni.
Bujang Ganong, dengan topengnya yang unik, memainkan peran filosofis sebagai mediator. Dia adalah sosok yang cerdas, lincah, dan seringkali konyol, mampu mencairkan ketegangan antara Barong yang angker dan penonton. Ganong mewakili kecerdikan dan fleksibilitas manusia yang diperlukan untuk menavigasi kompleksitas kehidupan. Dia mampu berkomunikasi dengan Barong yang sedang trans, dan juga dengan penonton, menjembatani dunia nyata dan dunia gaib.
Warna dan Makna Spiritual
Warna-warna yang dominan pada Barongan TSM juga sarat makna. Merah tua (darah) dan hitam (kegelapan/kekuatan gaib) mendominasi Barong, mewakili keberanian tanpa batas dan kekuasaan absolut. Namun, warna-warna ini diimbangi oleh kilauan emas dari mahkota dan pernak-pernik (melambangkan kemuliaan) serta hijau, kuning, dan biru dari bulu merak (keindahan alam semesta). Penggunaan warna-warna kontras ini bukan hanya pilihan estetika, melainkan upaya ritual untuk mengundang berbagai jenis energi dan menjaga spektrum emosi agar tetap berada di bawah kendali spiritual Pawang.
Ketulusan dan Jiwa TSM
Yang paling mendefinisikan TSM adalah tuntutan atas ketulusan (niat suci) dari setiap individu yang terlibat. Dari perajin topeng, penabuh gamelan, hingga pembarong itu sendiri, semua harus beroperasi berdasarkan niat murni untuk melestarikan tradisi dan menghormati roh leluhur. Kekuatan pertunjukan Barongan TSM, yang mampu mengundang trans yang begitu kuat, dipercaya berasal dari integritas spiritual kolektif ini. Jika niat murni hilang, Barongan TSM diyakini akan kehilangan kekuatannya, menjadi kosong, dan tidak lagi mampu memanggil kekuatan primal yang menjadi ciri khasnya. Inilah fundamental yang membedakan TSM dari semua bentuk pertunjukan Barongan lainnya; ia adalah integritas yang dipertahankan melalui disiplin spiritual dan seni yang tak terpisahkan.
Barongan TSM: Warisan Abadi yang Terus Bernafas
Barongan TSM (Tradisi Seni Murni) adalah sebuah monumen budaya yang berdiri tegak di atas tiga pilar utama: seni rupa yang kompleks, musik ritualistik yang hipnotis, dan filosofi spiritual yang mendalam. Ia adalah sebuah entitas yang menuntut penghormatan tidak hanya sebagai warisan sejarah, tetapi juga sebagai kekuatan hidup yang terus berinteraksi dengan komunitasnya. Kepalanya bukan sekadar ukiran kayu, melainkan pusaka berjiwa; gerakannya bukan sekadar tarian, melainkan manifestasi spiritual.
Di tengah modernisasi yang bergerak cepat, tantangan untuk mempertahankan kemurnian TSM memang besar. Namun, selama masih ada Warok, Pawang, dan komunitas yang gigih memegang teguh pakem ritual, yang masih melakukan puasa sebelum mengukir, yang masih mendedikasikan diri pada niat suci dalam setiap pementasan, maka Barongan TSM akan terus bernafas. Ia akan terus menjadi pengingat abadi bahwa seni yang paling kuat adalah seni yang tidak pernah memisahkan dirinya dari akar spiritual dan mitologisnya. Barongan TSM adalah identitas Nusantara yang berani, agung, dan tak lekang oleh waktu, sebuah persembahan total dari raga, irama, dan jiwa kepada leluhur dan alam semesta.
Generasi penerus kini memiliki tugas mulia untuk memahami kedalaman makna ini, memastikan bahwa laju kendang Barongan TSM akan terus menggelegar, memanggil roh tradisi untuk melindungi dan memberkati tanah yang diinjak. Kekuatan Barongan terletak pada kemampuannya untuk tetap murni, sakral, dan selalu menjadi jembatan mistis antara masa lalu yang agung dan masa depan yang penuh harapan.