Di jantung kebudayaan Jawa, tersembunyi sebuah sintesis seni pertunjukan yang tak hanya memukau secara visual, namun juga menyimpan kedalaman filosofis dan semangat perlawanan yang membara. Inilah Barongan Samin Edan, sebuah manifestasi budaya yang menggabungkan kegarangan ritual Barongan, ketulusan etika Samin, dan konsep transendensi yang dikenal sebagai ‘Edan’. Pertunjukan ini bukan sekadar tontonan; ia adalah naskah hidup yang menceritakan kontradiksi, kepatuhan, dan pemberontakan halus masyarakat adat terhadap arus modernitas yang menindas.
Fenomena ‘Barongan Samin Edan’ adalah sebuah panggilan pulang menuju integritas etis sambil merayakan pelepasan spiritual. Untuk memahami kompleksitasnya, kita harus membedah tiga elemen utama yang membentuknya: Barongan sebagai wadah ekspresi, Samin sebagai jiwa dan fondasi etika, dan Edan sebagai puncak spiritual, keadaan ekstasi atau trance yang membebaskan diri dari belenggu keduniawian. Pertemuan ketiga unsur ini menciptakan sebuah ruang artistik di mana protes sosial disampaikan melalui raungan Barong yang mistis, sementara moralitas dihidupkan kembali melalui gerakan penari yang kerasukan.
Barongan, atau sering disebut Barong, adalah seni pertunjukan rakyat yang tersebar luas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara esensial, Barongan adalah pertunjukan yang menampilkan topeng besar berbentuk kepala singa atau harimau (tergantung daerahnya), yang diyakini memiliki kekuatan magis dan berfungsi sebagai pelindung komunal. Dalam konteks Jawa Timur, khususnya di daerah-daerah yang berdekatan dengan wilayah Samin (seperti Blora, Bojonegoro, dan Ngawi), Barongan menjadi medium yang sangat kuat untuk mengkomunikasikan narasi lokal.
Kepala Barongan, yang terbuat dari kayu yang diukir dengan detail mengerikan namun anggun, seringkali dihiasi dengan ijuk atau rambut kuda sebagai surai. Matanya melotot, taringnya mencuat; ini bukan representasi binatang biasa, melainkan perwujudan energi kosmik yang liar, sebuah entitas yang berada di perbatasan dunia manusia dan dunia roh. Kostumnya yang panjang dan menutup seluruh tubuh penari melambangkan kekuasaan yang menyeluruh, kekuatan yang tak terlukiskan oleh wujud manusia biasa. Musik pengiringnya, yang didominasi oleh kendang, gong, dan reog, menciptakan ritme yang progresif, bergerak dari melodi yang tenang menuju hentakan yang memicu trance.
Namun, dalam tradisi yang diserap oleh komunitas Samin, interpretasi Barongan mengalami pergeseran halus. Barongan bukan hanya sekadar pelindung dari marabahaya fisik, tetapi juga pelindung dari bahaya moral, dari penipuan dan ketidakjujuran, yang secara historis selalu menjadi fokus utama ajaran Samin. Ketika Barongan menari dalam lingkaran Samin, gerakannya mungkin lebih kaku, lebih terfokus pada kesederhanaan, mencerminkan kejujuran yang lugas (blaka suta) yang dijunjung tinggi oleh Sedulur Sikep.
Penggunaan Barongan dalam konteks Samin adalah sebuah paradox yang disengaja: seni rupa yang flamboyan, liar, dan penuh hiasan, digunakan oleh komunitas yang dikenal sangat menghindari kemewahan dan formalitas. Kontradiksi inilah yang menjadi kunci. Kegarangan Barongan menjadi metafora bagi kegigihan moral Samin yang menolak tunduk pada kekuasaan kolonial atau birokrasi yang korup. Barongan menjadi topeng protes, di mana di balik mulut singa yang menganga, tersembunyi pesan-pesan etis yang mendalam.
Ilustrasi Kepala Barongan yang diadopsi dalam tradisi Samin, menampilkan kegarangan sebagai simbol keteguhan prinsip.
Samin, atau Sedulur Sikep, adalah kelompok masyarakat adat yang berpegang teguh pada ajaran Samin Surosentiko yang lahir pada akhir abad ke-19. Ajaran ini, yang dikenal dengan gerakan anti-pajak dan anti-kolonial melalui cara-cara pasif dan non-kooperatif, membentuk landasan moral yang unik. Filosofi Samin didasarkan pada konsep Sedulur Sikep (saudara sejiwa/sedarah), berpegang pada kejujuran (wong Samin ora gelem goroh – orang Samin tidak mau berbohong), dan kepatuhan mutlak pada hukum alam dan pertanian.
Prinsip utama Samin adalah penolakan terhadap formalitas birokrasi dan sistem hukum yang dianggap menipu dan tidak adil. Mereka menolak mengakui negara dalam banyak aspek (seperti menolak sekolah formal atau mencatatkan pernikahan secara resmi), namun mereka sangat religius dalam arti menjunjung tinggi etika kemanusiaan. Bumi adalah ibu, sawah adalah sumber kehidupan, dan kerja keras adalah ibadah. Dalam konteks Barongan, filosofi ini memengaruhi bagaimana pertunjukan itu dijalankan. Tidak ada tuntutan komersial yang berlebihan, tidak ada formalitas panggung yang rumit, dan tujuannya adalah murni ekspresi spiritual atau protes komunal.
Jika Barongan tradisional seringkali dihubungkan dengan mitologi istana atau kisah heroik, Barongan Samin justru lebih membumi. Gerakan dan narasi yang diangkat sering kali menyinggung masalah agraria, ketidakadilan pembagian hasil panen, atau penolakan terhadap proyek-proyek pembangunan yang merusak lingkungan. Samin melihat seni sebagai alat untuk mempertahankan kearifan lokal, bukan sekadar hiburan. Oleh karena itu, estetika Barongan Samin cenderung lebih kasar, lebih jujur, dan lebih terbuka dalam kritik sosialnya.
Ajaran Samin mengajarkan bahwa kebohongan adalah dosa terbesar, dan kejujuran harus menjadi pedoman hidup. Ketika Barongan Samin Edan tampil, teriakan dan raungan Barong seolah menjadi kejujuran yang tak tertahankan, merobek kepalsuan yang melingkupi masyarakat luar.
Bagi orang luar, sikap Samin yang kukuh dan teguh pendirian seringkali disalahartikan sebagai kekakuan atau bahkan kebodohan. Inilah asal muasal istilah ‘Samin Edan’ dalam konotasi negatif—mereka dianggap gila atau bodoh karena menolak kemajuan. Namun, di dalam komunitas sendiri, ‘Edan’ dalam konteks Samin adalah bentuk perlawanan spiritual yang paling murni: menolak sistem yang korup dengan cara yang sangat sederhana dan murni, sehingga terlihat ‘gila’ di mata dunia materialis.
Kata ‘Edan’ dalam bahasa Jawa memiliki spektrum makna yang luas. Di satu sisi, ia berarti gila atau hilang akal. Di sisi lain, dalam konteks mistis dan seni pertunjukan, ‘Edan’ merujuk pada kondisi Trance, sebuah keadaan kesurupan atau ekstasi di mana batasan antara penari dan roh yang diundang menjadi kabur. Ini adalah klimaks dari Barongan Samin Edan, momen ketika penari melepaskan kontrol dirinya dan membiarkan energi Barong atau roh leluhur memasuki tubuh mereka.
Proses Edan dimulai dengan meningkatnya intensitas musik gamelan. Kendang ditabuh semakin cepat, ritme menjadi berulang dan membius. Para penari, yang sebelumnya menari dengan koreografi yang teratur, mulai menunjukkan gerakan yang tidak terduga, seringkali brutal dan spontan. Dalam konteks Barongan Samin, Edan sering kali dimanifestasikan melalui penari yang mencoba memakan pecahan kaca (kuda lumping), mengupas kulit Barong dengan gigi, atau melakukan gerakan menanam dan membajak sawah dengan intensitas yang tidak manusiawi.
Edan dalam pertunjukan ini berfungsi ganda. Secara spiritual, ia adalah pembersihan jiwa, sebuah medium komunikasi dengan alam spiritual untuk meminta berkah atau perlindungan dari kesuburan tanah. Secara sosial, ia adalah katarsis kolektif. Semua ketegangan, frustrasi, dan protes yang tidak dapat diucapkan dalam kehidupan sehari-hari dilepaskan melalui tubuh yang kerasukan. Penari yang ‘edan’ diperbolehkan untuk bertindak di luar norma, dan tindakan itu membawa pesan yang lebih kuat daripada pidato politik manapun.
Ketika penari Barong mencapai fase Edan, energi Barong tidak lagi hanya disimbolkan; ia diyakini hadir secara harfiah. Gerakan Barong menjadi jauh lebih agresif, mengentak-entak, menyapu tanah, dan mengeluarkan raungan yang benar-benar memekakkan telinga. Barong yang Edan ini sering kali menyerang simbol-simbol ketidakadilan yang diletakkan di arena pertunjukan (misalnya, tumpukan kertas yang melambangkan birokrasi yang rumit, atau simbol-simbol produk kapitalis).
Visualisasi keadaan ‘Edan’ atau trance, momen pelepasan kontrol diri dan intervensi spiritual dalam pertunjukan.
Ketika Barongan dan filosofi Samin bertemu, dan klimaksnya adalah Edan, yang tercipta adalah sebuah pertunjukan seni yang mendefinisikan identitas. Ini adalah tarian yang menolak kemasan komersial, sebuah pertunjukan yang menolak tawar-menawar moral. Barongan Samin Edan adalah seruan radikal terhadap kejujuran. Ia menggabungkan kegagahan Barong yang melambangkan kekuatan alamiah dengan etika Samin yang menuntut kebenaran murni.
Dalam narasi pertunjukan yang spesifik, seringkali diawali dengan adegan petani (diperankan oleh penari dengan pakaian sederhana ala Samin) yang bersusah payah mengolah tanah. Munculnya Barongan terjadi ketika ada intervensi dari luar—simbol modernitas yang mengganggu harmoni alam. Barongan Samin kemudian menjadi juru selamat yang tidak hanya mengusir roh jahat, tetapi juga roh keserakahan. Penari Barong yang memasuki fase Edan akan melakukan ritual-ritual simbolis yang menegaskan kembali kepemilikan komunal atas tanah, seperti menari di atas bibit padi atau ‘mencium’ tanah dengan kepala Barong.
Intensitas dramatisasi ini mencapai puncaknya ketika Barong yang Edan dihadapkan pada para bujangan (penari non-trans) yang melambangkan aparat atau orang luar yang mencoba menerapkan aturan yang merugikan komunitas. Konflik ini tidak diselesaikan dengan kekerasan fisik, melainkan melalui kemenangan spiritual Barong, di mana kepalsuan (yang diwakili oleh pihak lawan) luluh lantak oleh kekuatan Edan, kekuatan spiritual yang murni dan jujur.
Musik pengiring memainkan peran krusial dalam menyampaikan kritik ini. Ritme Samin, yang dikenal karena kesederhanaannya (hanya menggunakan alat-alat musik minimalis dan seringkali hanya vokal dan tepukan tangan), disisipkan di antara ritme gamelan Barongan yang lebih kompleks. Perpaduan ritme yang kontras ini—kesederhanaan melawan kemewahan suara—adalah pernyataan politik itu sendiri. Ini adalah pengingat bahwa keindahan sejati terletak pada kejujuran, bukan pada hiasan yang berlebihan.
Dalam konteks Jawa modern, di mana Barongan telah banyak diadaptasi menjadi seni komersial, Barongan Samin Edan tetap teguh sebagai benteng pelestarian prinsip. Komunitas Samin menggunakan pertunjukan ini untuk mendidik generasi muda mereka tentang sejarah perlawanan dan pentingnya mempertahankan etika anti-kapitalis. Mereka menari Barongan bukan untuk mendapatkan uang, tetapi untuk menegaskan eksistensi dan integritas mereka.
Seni ini menjadi semacam kredo yang hidup. Setiap gerakan penari Barong yang kerasukan, setiap raungan Barong yang memekakkan, setiap tetesan keringat yang jatuh di tanah, adalah sumpah bahwa mereka akan terus menolak kebohongan. 'Edan' mereka bukanlah kegilaan klinis, melainkan kegilaan yang diinduksi oleh tekad moral yang tak tergoyahkan. Mereka memilih untuk terlihat gila di mata dunia yang korup daripada menjadi waras dalam kepalsuan. Ini adalah inti dari Barongan Samin Edan: memilih jalur yang paling sulit dan paling jujur, meskipun konsekuensinya adalah stigma sosial.
Untuk mencapai pemahaman 5000 kata yang mendalam mengenai fenomena ini, kita perlu membedah setiap tahapan ritual secara detail, melihat bagaimana setiap komponen secara sadar atau tidak sadar memperkuat ajaran Samin. Pertunjukan ini, yang dapat berlangsung berjam-jam, memiliki struktur ritualistik yang sangat ketat, meskipun dari luar terlihat kacau dan spontan.
Sebelum pertunjukan dimulai, para penari, khususnya yang akan menjadi Barong dan penari trance lainnya (seperti penari Jaranan atau Bujangan), menjalani ritual puasa dan pembersihan diri, sebuah praktik yang sangat sesuai dengan konsep laku (perjalanan spiritual) dalam ajaran Samin. Mereka membersihkan peralatan seni dengan air kembang tujuh rupa dan mantra sederhana, menolak penggunaan dupa atau sesajen yang berlebihan karena Samin menghindari formalitas agama yang terinstitusionalisasi, namun tetap menghormati alam dan leluhur.
Kepala Barong ditempatkan di tempat yang tinggi, dihormati sebagai simbol kekuatan yang akan dimanifestasikan. Penting untuk dicatat bahwa dalam Barongan Samin, tidak ada sesembahan yang bersifat meminta kekayaan atau kekuasaan, melainkan memohon keteguhan hati dan kejujuran. Permohonan mereka selalu terpusat pada integritas: agar roh Barong yang masuk tidak menyimpang dari jalur kebenaran Samin.
Musik pembuka (Gending Kaborongan) dalam konteks Samin seringkali dimainkan dengan tempo yang lebih lambat dan lebih berat, berbeda dengan Barongan daerah lain yang mungkin lebih lincah dan bersemangat sejak awal. Kecepatan yang lambat ini melambangkan kesabaran Samin, kehati-hatian mereka dalam melangkah, dan penolakan mereka terhadap ketergesa-gesaan dunia modern. Instrumen yang dominan adalah gong besar, yang suaranya yang dalam melambangkan bunyi alam, dan kendang yang dimainkan dengan pola sederhana, menekankan ritme denyut jantung, kehidupan yang jujur dan apa adanya.
Di bagian ini, para penari Bujangan (penari yang mengawal Barong) akan menampilkan gerakan yang menyerupai pekerjaan sehari-hari: membajak, menanam, dan memanen. Ini adalah visualisasi eksplisit dari etika Samin yang menjunjung tinggi pertanian sebagai sumber moral dan materi. Setiap gerakan tari di bagian ini harus presisi, sederhana, dan fungsional, mencerminkan nilai-nilai etos kerja Samin.
Ketika musik mencapai klimaksnya—ritme gamelan Barongan yang cepat, dipadukan dengan teriakan vokal yang menggelegar—inilah saat Edan terjadi. Penari Barong, yang telah lama membawa beban fisik dan spiritual topeng berat tersebut, melepaskan dirinya. Transisi menuju Edan sangat cepat dan seringkali mengejutkan penonton. Penari tidak lagi bergerak berdasarkan koreografi manusia, melainkan berdasarkan dorongan energi primal.
Dalam fase Edan inilah, peran Barong Samin sangat unik. Tidak seperti Barongan pada umumnya yang mungkin mengejar ayam atau menunjukkan kekuatannya, Barongan Samin yang kerasukan seringkali berinteraksi dengan tanah. Mereka menggaruk tanah dengan taring Barong, meminum air dari wadah tanah liat, atau bahkan berdiam diri dalam posisi meditasi ekstrem di tengah kekacauan musik. Tindakan ini adalah penegasan kembali ikatan Samin dengan Ibu Bumi.
Fenomena yang paling sering ditemui dan paling menggarisbawahi identitas Samin adalah resistensi terhadap benda-benda modern. Penari Barong yang Edan mungkin menunjukkan reaksi keras terhadap ponsel yang mendekat, lampu sorot, atau bahkan pakaian yang terlalu modern yang dipakai oleh penonton di garis depan. Reaksi ini bukanlah improvisasi acak, melainkan pelepasan alam bawah sadar kolektif Samin terhadap segala sesuatu yang dianggap mengancam kemurnian hidup mereka.
Bagian akhir dari ritual ini sama pentingnya. Proses penyadaran kembali (waras atau sembuh dari Edan) dilakukan dengan sangat hati-hati oleh seorang sesepuh Samin atau pemegang Barong yang dituakan. Penyembuhan ini tidak melibatkan ritual pengusiran roh yang dramatis, melainkan sentuhan lembut, pembacaan mantra kesederhanaan, dan yang terpenting, penyebutan kembali nama asli penari. Tindakan ini mengingatkan kembali bahwa meskipun tubuh telah digunakan oleh kekuatan besar, jiwa Samin tetap harus kembali pada integritas dan kejujuran awal.
Penyadaran ini melambangkan filosofi bahwa kekuatan Edan harus digunakan sebagai alat untuk memperkuat kejujuran, bukan untuk melarikan diri dari tanggung jawab dunia. Setelah sadar, penari Barong harus berdiri tegak, kembali ke postur Samin yang tenang dan jujur, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Transisi dari kekacauan liar Barong Edan ke ketenangan Samin yang bersahaja adalah pesan pamungkas pertunjukan: kekuasaan tertinggi adalah kontrol diri dan integritas moral.
Jika kita melihat Barongan Samin Edan melalui kacamata ilmu sosial dan budaya, ia adalah sebuah bentuk epistemologi perlawanan—cara mengetahui dan mengekspresikan kebenaran yang ditolak oleh narasi dominan. Masyarakat Samin, yang secara historis terpinggirkan dan dianggap primitif, menggunakan seni ini untuk membangun narasi tandingan yang kuat dan tak terbantahkan.
Istilah ‘Edan’ yang dilekatkan pada mereka (seringkali oleh birokrasi dan kolonial) kini diambil alih dan diolah kembali menjadi sumber kekuatan. Dengan sengaja memasuki keadaan Edan dalam pertunjukan, mereka seolah berkata: “Ya, kami memang ‘gila’ menurut standar kalian, karena standar kalian adalah kepalsuan. Kegilaan kami adalah kejujuran kami.” Ini adalah strategi cerdas dalam menghadapi stigma. Mereka mengubah kelemahan yang dituduhkan menjadi senjata budaya yang tak tertembus.
Barongan Samin Edan adalah cara Samin untuk berkomunikasi tanpa perlu menggunakan bahasa formal yang selalu dicurigai oleh negara atau elit. Seni pertunjukan memungkinkan mereka untuk menyampaikan keluhan dan mempertahankan keyakinan tanpa harus menandatangani dokumen, tanpa harus berdebat dalam pengadilan, dan tanpa harus membayar pajak. Protes mereka bersifat transenden, menggunakan bahasa roh dan alam, yang berada di luar jangkauan regulasi manusia.
Perlawanan Samin, yang sejak Samin Surosentiko adalah perlawanan tanpa kekerasan (pasif), menemukan resonansi yang sempurna dalam Barongan Edan. Tubuh yang kerasukan mungkin terlihat agresif, namun target agresinya selalu simbolik. Mereka tidak menyakiti manusia, melainkan menyerang ide-ide: keserakahan, kebohongan, dan ketidakadilan. Ini adalah bentuk perlawanan spiritual yang paling tinggi, di mana protes dilakukan dengan melepaskan diri dari realitas yang menipu.
Representasi simbolis nilai-nilai Samin: kejujuran yang berakar kuat pada bumi dan pertanian.
Barongan Samin Edan menghadapi tantangan besar dalam upaya pelestariannya. Salah satu tantangan terbesarnya adalah ironi digital. Meskipun komunitas Samin dikenal menolak modernitas secara formal, seni mereka kini mulai didokumentasikan dan disebarkan melalui media digital, termasuk video pertunjukan yang diunggah ke internet. Hal ini menciptakan dilema: dokumentasi membantu pelestarian budaya dan menghilangkan stigma, tetapi pada saat yang sama, ia berpotensi mengkomersialkan dan mendistorsi esensi spiritual dari pertunjukan Edan.
Ketika tarian yang seharusnya murni ritual dan protes disaksikan oleh audiens global, risiko salah tafsir meningkat. Penonton luar mungkin hanya melihat atraksi eksotis, kekerasan simbolik, atau fenomena trance yang mengerikan, tanpa memahami landasan filosofis Samin yang menuntut kejujuran mendalam. Ini mengaburkan garis antara seni spiritual dan tontonan hiburan yang murni komersial. Jika Barongan Samin Edan mulai diselenggarakan untuk turis atau acara berbayar, maka esensi protes Samin, yaitu penolakan terhadap nilai tukar material, akan tereduksi dan hilang.
Konservasi Barongan Samin Edan tidak bisa dilakukan hanya dengan mengajarkan koreografi Barong; yang harus diwariskan adalah filosofi Edan Samin itu sendiri. Generasi muda Samin harus diajarkan bahwa ‘Edan’ adalah pengorbanan jiwa demi kebenaran, bukan sekadar kemampuan untuk memasuki trance. Mereka harus memahami bahwa setiap hentakan kaki Barong adalah penolakan terhadap ketidakadilan, dan setiap raungan adalah deklarasi kejujuran. Regenerasi ini menuntut pemahaman mendalam tentang ajaran Samin Surosentiko, jauh melampaui aspek performatifnya.
Selain itu, terdapat upaya untuk menjaga kerahasiaan aspek-aspek paling sakral dari Edan. Beberapa ritual dan mantra yang digunakan untuk memasuki dan menyadarkan dari trance dijaga ketat agar tidak bocor ke publik, memastikan bahwa dimensi spiritual dan kesakralan pertunjukan tetap utuh dan hanya dapat diakses oleh Sedulur Sikep yang telah menjalani laku hidup yang benar.
Keberlanjutan Barongan Samin Edan bergantung pada kemampuannya untuk tetap menjadi seni yang relevan bagi masyarakat yang menciptakannya. Selama ada ancaman terhadap lahan, selama ada kebohongan yang merajalela dalam masyarakat, dan selama ada kebutuhan untuk menegaskan integritas, maka Barongan Samin Edan akan terus hidup, menjadi cermin yang garang dan jujur bagi peradaban yang lupa akan nilai-nilai dasarnya. Keberadaan Barongan Samin Edan adalah bukti tak terbantahkan bahwa seni rakyat memiliki kekuatan untuk menjadi lebih dari sekadar hiburan; ia adalah filsafat yang menari, sebuah perlawanan yang diwujudkan.
Untuk benar-benar menghargai keunikan Barongan Samin Edan, perlu dilakukan perbandingan mendalam dengan Barongan dari wilayah lain, seperti Barongan Blora atau Barongan Ponorogo (Reog). Meskipun memiliki akar mitologi yang sama, implementasi Barongan Samin dipangkas dan difokuskan hingga hanya menyisakan inti filosofisnya, menghilangkan banyak ornamen yang dianggap sebagai kemewahan duniawi.
Barongan pada umumnya, terutama Reog, dikenal karena kemewahan hiasan, penggunaan bulu merak yang banyak, dan warna-warna yang mencolok, mencerminkan kejayaan dan kekuasaan. Sebaliknya, Barongan Samin cenderung menggunakan materi yang lebih sederhana dan alami, seringkali memanfaatkan ijuk lokal dan kayu yang tidak dipoles secara berlebihan. Warna merah pada kepala Barong Samin mungkin dipertahankan karena melambangkan keberanian dan energi, tetapi detail ukiran hiasan emas atau perak biasanya dihilangkan. Minimalisme visual ini adalah perwujudan dari penolakan Samin terhadap pamer (pameran kekayaan) dan kesukaan mereka terhadap kepolosan dan kesederhanaan materi.
Musik Barongan Samin jauh lebih monoton dan repetitif dibandingkan dengan komposisi gamelan Barongan yang kompleks dan berlapis. Dalam musik Samin, ritme diperlambat, seringkali hanya mengandalkan beberapa instrumen utama, dan penekanan lebih pada kekuatan suara daripada melodi yang rumit. Musik yang sederhana ini mendukung kondisi trance yang lambat namun mendalam, tidak terdistraksi oleh keindahan melodi, melainkan terfokus pada getaran murni yang memicu Edan.
Samin percaya bahwa kebenaran ditemukan dalam kesederhanaan. Oleh karena itu, musik yang terlalu kompleks atau terlalu indah dianggap dapat mengalihkan fokus dari esensi, yaitu integritas. Ritme Samin adalah pengingat konstan akan ritme kerja di sawah—lambat, berulang, dan konsisten—ritme kehidupan yang jujur.
Barongan Jawa secara umum sering menceritakan kisah Panji atau peperangan melawan raksasa mitologis. Sementara itu, Barongan Samin Edan secara konsisten menggeser narasi dari mitologi ke sosiologi kontemporer dan sejarah lokal Samin. Pertunjukan mereka selalu diwarnai dengan adegan-adegan yang berhubungan dengan perjuangan melawan oknum yang menindas petani, perlawanan terhadap pengukuran tanah yang tidak adil, atau penolakan terhadap pembalakan hutan. Barong mereka tidak hanya melawan raksasa dari masa lalu, tetapi melawan "raksasa" birokrasi dan korupsi masa kini. Barongan Samin adalah sebuah surat kabar yang menari, sebuah catatan sejarah yang dihidupkan melalui trance.
Melalui lensa komparatif ini, Barongan Samin Edan muncul bukan sebagai varian lokal yang kebetulan, tetapi sebagai sebuah sub-genre seni pertunjukan yang sengaja diciptakan dan dipertahankan sebagai sarana perlawanan identitas. Seni ini adalah cerminan dari jiwa Samin yang menolak untuk dibentuk oleh nilai-nilai luar, sebuah monumen bergerak bagi kejujuran yang menolak untuk mati di tengah hiruk-pikuk modernisasi.
Untuk memenuhi kebutuhan eksplorasi yang mendalam, kita harus mendefinisikan ‘Edan’ dalam konteks Samin bukan hanya sebagai trance, tetapi sebagai kebijaksanaan paradoksal. Di banyak tradisi spiritual, tokoh bijak seringkali tampil sebagai sosok yang melanggar norma sosial. Di Jawa, figur seperti Semar seringkali terlihat ‘Edan’ (bodoh atau aneh), padahal ia adalah penjelmaan dewa yang paling bijaksana.
Dalam Barongan Samin Edan, keadaan trance adalah pelepasan dari rasa wedi (rasa takut) dan rasa isin (rasa malu) yang mengikat manusia pada kepura-puraan sosial. Samin sering dicap sebagai orang yang tidak tahu malu karena menolak norma modern, dan Edan adalah penerimaan penuh atas label tersebut. Ketika penari memasuki Edan, mereka bebas dari kewajiban untuk berlaku sopan atau logis di mata umum. Kebebasan ini memberikan izin kepada roh Barong yang memasuki tubuh mereka untuk menyampaikan kebenaran yang paling keras tanpa sensor. Ini adalah kejujuran tanpa filter.
Oleh karena itu, ‘Edan’ adalah proses pendewasaan moral. Hanya setelah seseorang berani melepaskan diri dari ketakutan akan penilaian sosial dan menerima label 'gila' dari pihak luar, barulah ia dapat mencapai kejujuran Samin yang murni. Transendensi Barongan Samin Edan adalah transendensi moral, bukan hanya spiritual. Ini adalah keberanian untuk tidak menjadi seperti yang diharapkan dunia, sebuah penolakan yang paling heroik dan puitis.
Setiap hentakan keras Barong ke tanah selama Edan adalah penegasan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan Bumi, Ibu mereka. Setiap raungan adalah teriakan bahwa mereka tidak akan pernah berbohong. Fenomena Edan dalam Barongan Samin adalah deklarasi eksistensial: mereka ada, mereka jujur, dan mereka akan terus melawan kepalsuan melalui kekuatan spiritual yang membuat dunia luar menyebut mereka 'Edan'. Ini adalah seni yang lahir dari kebutuhan untuk bertahan hidup secara etis, sebuah warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Barongan Samin Edan berdiri sebagai salah satu perpaduan seni dan filosofi yang paling mendalam di Jawa. Ia adalah narasi tentang bagaimana sebuah komunitas adat, yang gigih mempertahankan integritasnya, menggunakan seni pertunjukan yang paling garang dan liar untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang paling tenang dan sederhana. Pertunjukan ini adalah pengingat bahwa keindahan sejati tidak terletak pada ornamen atau kompleksitas, tetapi pada kejujuran yang total, pada keberanian untuk menjadi 'gila' demi kebenaran.
Melalui raungan Barong yang mistis dan tarian trance yang tak terkendali, Barongan Samin Edan terus menyuarakan etika perlawanan pasif Samin Surosentiko, sebuah warisan abadi yang menuntut kita untuk merenungkan makna integritas di tengah dunia yang penuh dengan kepura-puraan. Seni ini adalah penjaga moralitas, sebuah ritual pembersihan yang selalu relevan, memastikan bahwa meskipun dunia berubah, janji Samin untuk tidak pernah berbohong akan tetap abadi, diwujudkan dalam setiap gerakan liar dan jujur dari Barong yang kerasukan.
Mereka menari di batas antara kegilaan dan kearifan, antara perlawanan dan kepasrahan, dan dalam tarian inilah terletak keagungan Barongan Samin Edan—sebuah seni yang menolak kompromi, sebuah jiwa yang menolak tunduk. Selama tanah masih diinjak dengan jujur, selama langit masih menyaksikan kesederhanaan, Barongan Samin Edan akan terus mengaum, memanggil semua yang menyaksikan untuk kembali pada kebenaran yang paling murni.