Barongan, sebagai salah satu warisan seni pertunjukan rakyat Jawa, memiliki keragaman yang luar biasa. Setiap daerah menyimpan ciri khasnya sendiri, baik dari segi gerakan, iringan musik, maupun filosofi spiritual yang melatarinya. Di wilayah pesisir utara Jawa Timur, khususnya yang meliputi Tuban dan Lamongan, muncul sebuah entitas budaya yang dikenal sebagai Barongan TL. Barongan TL bukanlah sekadar salinan dari Reyog Ponorogo atau Barong Blora, melainkan manifestasi independen yang terbentuk melalui interaksi sejarah pelabuhan, ajaran Wali Songo, dan karakteristik masyarakat pesisir yang dinamis dan terbuka.
Tuban dan Lamongan, yang secara geografis merupakan pintu gerbang maritim penting sejak era Majapahit hingga masa kesultanan Islam, menjadikan seni ini kaya akan sintesis budaya. Kehadiran Barongan TL merefleksikan keberanian, kegagahan, dan spiritualitas lokal yang kental. Ia berfungsi tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai ritual pembersihan desa (tolak bala), media dakwah, dan penjaga moralitas komunal.
Dibandingkan dengan gaya Barongan di pedalaman yang mungkin lebih fokus pada keanggunan istana atau drama kolosal, Barongan TL menonjolkan aspek keagresifan ritmis, kesederhanaan visual, dan kecepatan gerak. Pengaruh Jipang (seni pedalaman Bojonegoro dan sekitarnya) bercampur dengan nafas Reyog yang datang dari selatan, menghasilkan bentuk pertunjukan yang unik dan penuh energi.
Mencari titik awal Barongan TL sama seperti menelusuri alur Sungai Bengawan Solo yang berkelok-kelok menuju laut. Akar sejarahnya erat kaitannya dengan perkembangan budaya di Kadipaten Tuban pada abad ke-15 dan ke-16. Tuban saat itu merupakan bandar niaga internasional, tempat bertemunya berbagai suku dan kepercayaan. Seni Barongan menjadi salah satu media efektif untuk menyampaikan ajaran baru (Islam) tanpa menghilangkan totalitas budaya lokal yang sudah mengakar.
Barongan, secara harfiah berarti ‘mirip barong’ atau ‘mirip singa’. Dalam mitologi Jawa, Singa Barong sering dikaitkan dengan kekuatan penjaga yang memiliki otoritas tertinggi. Di TL, mitologi ini sering diintegrasikan dengan kisah-kisah Naga atau naga air, mengingat lokasinya yang berada di tepi laut. Simbolisme Singa Barong di pesisir ini mewakili:
Beberapa pegiat seni di Tuban meyakini bahwa salah satu tokoh Wali Songo, Sunan Kalijaga atau Sunan Bonang yang memiliki basis kuat di Tuban, memanfaatkan media seni seperti Barongan (atau bentuk purba yang mirip) untuk memasukkan nilai-nilai tauhid. Dengan menggunakan bentuk visual yang sudah dikenal masyarakat—topeng singa yang menakutkan—pesan moral dapat diserap lebih mudah. Transformasi dari ritual pagan menjadi seni pertunjukan Islam yang adaptif adalah kunci kelangsungan hidup Barongan TL.
Hal ini menjelaskan mengapa elemen kostum dan sesaji dalam pertunjukan Barongan TL seringkali sangat sinkretis. Ada unsur mistik Jawa kuno (seperti pembacaan mantra dan penggunaan kembang tujuh rupa), yang berpadu harmonis dengan unsur-unsur Islami (seperti doa pembuka yang menyebut nama Allah) sebelum topeng Barongan diangkat dan dikenakan oleh penari utama.
Pertunjukan Barongan TL memiliki struktur yang jelas namun fleksibel, sangat bergantung pada konteks pementasan (apakah untuk hajatan, ritual, atau sekadar hiburan pasar malam). Ada beberapa karakter utama dan iringan musik yang wajib hadir.
Ini adalah inti dari pertunjukan. Kepala Barongan TL cenderung lebih ringkas, dengan ukiran yang tegas dan fokus pada ekspresi kemarahan dan kekuatan, berbeda dengan detail bulu yang sangat rumit pada Barong Ponorogo. Gerakannya sangat eksplosif, cepat, dan kadang terasa agresif. Penarinya harus memiliki stamina luar biasa karena harus menopang beban Barongan sambil menari dengan dinamis. Gerakan ‘Ngeblak’ atau menghentakkan kepala dan mulut Barong secara keras seringkali menjadi puncak ketegangan pertunjukan, menggambarkan pertarungan hebat antara Barong dan kekuatan lain, atau Barong yang sedang kerasukan (trans).
Kuda Lumping, atau Jaranan, dalam Barongan TL memiliki fungsi ganda: sebagai pengiring dan sebagai subjek ritual. Jumlah penari Jaranan biasanya tidak terlalu banyak, namun gerakan mereka cepat dan seringkali diwarnai adegan kerasukan (ndadi). Mereka mewakili prajurit atau pengikut setia Singa Barong. Kostum Jaranan di TL seringkali sederhana, menonjolkan warna cerah dan fokus pada aksesoris kuda kepang yang terbuat dari bambu anyam.
Meskipun sering disamakan dengan Ganong Reyog, peran Bujang Ganong dalam Barongan TL lebih dekat kepada tokoh badut, pelawak, sekaligus jenderal perang yang lincah. Wajahnya bertopeng merah dengan hidung panjang dan mata melotot. Di TL, tokoh ini sering disebut juga ‘Pentul’ atau ‘Pentulan’ dan berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara Barong yang mistis dengan penonton yang membutuhkan humor. Kelincahan akrobatik Pentul sering menjadi penawar ketegangan sebelum klimaks Barongan.
Iringan musik Barongan TL adalah perpaduan Gamelan Jawa Timur yang kuat dan dinamis. Instrumen utama meliputi:
Aspek yang paling membedakan Barongan TL dengan seni serupa di wilayah lain adalah kedalaman ritual dan praktik spiritualnya. Bagi masyarakat Tuban dan Lamongan, Barongan bukan sekadar tari topeng; ia adalah wadah masuknya kekuatan gaib. Puncak spiritualitas ini terlihat dalam ritual Nglangkung dan fenomena ndadi (kerasukan).
Nglangkung adalah prosesi di mana Barongan berjalan mengelilingi atau melewati suatu area, seringkali ditarikan melintasi rumah, sawah, atau batas desa. Tujuannya adalah untuk 'melangkahi' atau menetralisir aura negatif, penyakit, atau niat jahat. Ini adalah fungsi Barongan sebagai tolak bala. Masyarakat percaya bahwa energi spiritual Singa Barong mampu membersihkan desa secara keseluruhan. Dalam konteks modern, Nglangkung sering dilakukan sebelum dimulainya pertunjukan besar untuk memastikan keamanan dan kelancaran acara.
Prosesi Nglangkung melibatkan persiapan sesaji yang sangat detail:
Kerasukan atau ndadi adalah bagian integral dari pertunjukan. Biasanya terjadi pada penari Jaranan, dan dalam beberapa kasus, pada penari Barongan itu sendiri. Trans diyakini sebagai manifestasi masuknya roh atau energi pelindung. Saat ndadi, penari menunjukkan kekebalan terhadap rasa sakit, seringkali makan beling (pecahan kaca) atau mengupas kelapa menggunakan gigi, di bawah pengaruh irama Gamelan yang semakin cepat dan memanas.
Masyarakat TL melihat Ndadi sebagai bukti kekuatan spiritual yang dimiliki Barongan. Namun, proses ini selalu diawasi ketat oleh seorang Pawang atau Gambuh, yang bertugas memastikan keselamatan penari dan mengendalikan roh tersebut agar tidak menimbulkan kekacauan. Pawang memegang peran kunci, seringkali menggunakan cambuk atau mantra untuk membangunkan penari dari kondisi trans setelah pertunjukan selesai.
Barongan TL memisahkan dirinya dari Barongan Jawa Tengah atau Bali melalui gaya pertunjukan yang memprioritaskan kekuatan fisik kasar dan kecepatan, yang merupakan cerminan karakter masyarakat pesisir yang bekerja keras dan akrab dengan ombak keras lautan.
Gerakan Barongan TL cenderung lebih vertikal dan menghentak. Perbedaan utama terlihat pada:
Topeng Barong TL memiliki kekhasan desain yang berbeda dari Barong Ponorogo (yang biasanya memiliki mahkota merak) atau Barong Blora/Cepu (yang lebih menyerupai harimau atau macan).
Seni pertunjukan ini bukan sekadar warisan, tetapi juga motor penggerak ekonomi mikro di desa-desa Tuban dan Lamongan. Kehidupan banyak keluarga bergantung pada kelestarian sanggar-sanggar Barongan.
Tuban, khususnya, dikenal memiliki perajin topeng Barongan yang terampil. Pembuatan satu set Barongan—mulai dari ukiran kayu untuk kepala, pewarnaan, pemasangan ijuk, hingga menjahit kain penutup badan—membutuhkan waktu berminggu-minggu. Perajin ini tidak hanya memenuhi permintaan lokal tetapi juga melayani sanggar dari luar kota yang menginginkan gaya pesisir yang dinamis. Kualitas dan energi spiritual yang ditanamkan dalam topeng Barong menjadikan benda ini memiliki nilai ekonomi dan budaya yang tinggi.
Setiap kelompok Barongan TL biasanya dikelola dalam sebuah Sanggar. Sanggar ini bertindak sebagai unit ekonomi yang mengatur jadwal pementasan, negosiasi harga (tergantung durasi dan tingkat ritual yang diminta), dan pembagian honorarium untuk puluhan anggota tim, mulai dari penari utama, penabuh Gamelan, hingga Pawang. Pementasan Barongan TL sering menjadi daya tarik utama dalam acara pernikahan, khitanan, atau upacara adat, menjadikannya sumber penghasilan utama bagi seniman lokal.
Permintaan akan Barongan TL seringkali meningkat drastis pada musim kemarau, yang secara tradisional dianggap sebagai musim hajatan di Jawa. Hal ini menuntut kesiapan fisik dan peralatan yang prima dari setiap sanggar untuk melayani permintaan pementasan yang padat, terkadang harus tampil di dua lokasi berbeda dalam satu hari.
Seperti halnya seni tradisional lainnya, Barongan TL menghadapi tantangan besar di tengah arus modernisasi. Kelestariannya bergantung pada kemampuan sanggar untuk beradaptasi tanpa mengorbankan nilai-nilai sakralnya.
Tantangan terbesar adalah regenerasi. Menjadi penari Barongan membutuhkan dedikasi spiritual dan fisik yang besar. Anak-anak muda seringkali lebih tertarik pada bentuk hiburan yang lebih instan. Untuk mengatasinya, banyak sanggar kini mengadakan pelatihan intensif di tingkat desa, memasukkan kurikulum Barongan ke dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah, serta memberikan insentif finansial yang jelas bagi para pewaris seni.
Ketika Barongan diundang tampil di festival atau acara komersial, tekanan untuk mengurangi elemen ritual (seperti Nglangkung atau sesaji) demi efisiensi waktu sering muncul. Para sesepuh seni Barongan TL berjuang keras untuk menyeimbangkan kebutuhan finansial dengan menjaga kesakralan. Mereka berpegangan pada prinsip bahwa tanpa ritual pembuka yang benar, Barongan kehilangan kekuatannya sebagai tolak bala dan hanya menjadi tarian biasa.
Adaptasi terhadap media baru menjadi vital. Banyak sanggar Barongan TL kini aktif mendokumentasikan pertunjukan mereka melalui media sosial dan platform video. Penggunaan platform digital ini membantu memperkenalkan gaya pesisir yang energik kepada audiens global, sekaligus menciptakan sumber pendapatan baru melalui siaran langsung dan konten yang didanai penonton. Dokumentasi ini juga berfungsi sebagai arsip visual untuk penelitian budaya dan sejarah lokal.
Pengarsipan digital ini sangat penting mengingat variasi Barongan TL cukup banyak di antara desa-desa Tuban (misalnya, Jenu, Palang) dan desa-desa Lamongan (misalnya, Paciran, Brondong). Setiap desa memiliki sedikit perbedaan pada irama Gending, detail topeng, atau bahkan urutan ritual, dan semua variasi ini harus didokumentasikan agar tidak hilang ditelan zaman.
Di balik penampilan yang liar dan tarian yang agresif, Barongan TL menyimpan filosofi mendalam tentang keseimbangan alam semesta dan pengendalian diri manusia.
Barongan, si Singa Barong, melambangkan kekuatan liar (nafsu, amarah, kekuasaan). Pertunjukan ini adalah metafora visual tentang bagaimana kekuatan ini harus dikendalikan dan disalurkan untuk tujuan yang baik. Penari Barongan, yang menopang beban berat di pundak dan harus menguasai gerakan rumit, mencerminkan perjuangan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu yang seringkali menguasai diri.
Sebagai seni pesisir, Barongan TL memiliki ikatan kuat dengan alam, khususnya laut. Banyak gending yang mengiringi tarian memiliki judul yang merujuk pada elemen air atau angin. Barongan dianggap sebagai penyeimbang, memastikan panen ikan yang baik bagi nelayan dan melindungi permukiman dari bencana alam. Filosopi ini mengajarkan pentingnya menjaga kerukunan antara manusia, alam, dan kekuatan gaib yang diyakini menguasai lautan.
Dalam konteks ritual bersih desa, Barongan TL bergerak di sepanjang batas air dan darat, menegaskan perannya sebagai mediator spiritual antara dua elemen yang membentuk kehidupan masyarakat Tuban dan Lamongan. Kehadiran Barongan dalam ritual tersebut bukan sekadar hiburan, melainkan penegasan ulang komitmen masyarakat terhadap tradisi dan penghormatan pada leluhur penjaga pesisir.
Untuk memahami kedudukan Barongan TL, penting untuk membandingkannya secara spesifik dengan Barongan dari wilayah lain di Jawa Timur yang lebih terkenal, seperti Reyog Ponorogo atau Jaranan Kepang Malang.
Sementara Reyog Ponorogo terkenal dengan Dadak Merak-nya yang kolosal dan elegan serta Gamelan yang lebih melodius, Barongan TL jauh lebih fokus pada 'garapan' (kekuatan mentah) dari Barong itu sendiri. Dalam Reyog, Barong (Singa Barong) hanyalah bagian dari cerita besar yang melibatkan Klono Sewandono dan Jathil. Dalam Barongan TL, Singa Barong adalah protagonis mutlak, dan semua elemen (Jaranan, Pentul, Pawang) berfungsi menguatkan aura mistis dan agresif dari topeng utama.
Tuban dan Lamongan adalah titik perlintasan. Barongan di sini menyerap elemen dari seni Jipang (Bojonegoro/Blora) yang keras dan bersemangat, namun juga dipengaruhi oleh seni tari Topeng Malangan yang cepat. Hasilnya adalah sinkretisme gerak yang dinamis dan efisien. Gamelan yang digunakan pun cenderung lebih minimalis dan ritmis (fokus pada Kendang dan Kenong) dibandingkan orkestrasi penuh Gamelan Keraton.
Selain itu, penggunaan properti dalam Barongan TL seringkali lebih sederhana, mencerminkan kehidupan masyarakat pesisir yang praktis. Tidak ada tuntutan kostum yang berlebihan seperti di keraton, fokusnya adalah pada energi yang dikeluarkan penari, bukan pada kemewahan busana.
Dalam banyak bentuk Barongan lain, Pawang mungkin hanya bertindak sebagai dalang atau pimpinan kelompok. Di Barongan TL, Pawang adalah figur spiritual yang sangat dihormati dan memegang otoritas penuh. Dialah yang memulai kontak spiritual, mengendalikan trans, dan memastikan Barongan tetap ‘bersih’ secara ritual. Kekuatan Pawang adalah kunci mengapa Barongan TL masih diyakini memiliki kekuatan magis oleh masyarakat.
Memasuki abad ke-21, Barongan TL memiliki potensi besar untuk tidak hanya bertahan tetapi juga menjadi duta budaya pesisir Jawa Timur di kancah nasional dan internasional.
Upaya-upaya pendaftaran Barongan TL sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) telah meningkatkan kesadaran pemerintah daerah akan pentingnya pelestarian. Pengakuan resmi ini membuka jalan bagi pendanaan untuk revitalisasi sanggar dan program edukasi yang lebih terstruktur. Inkubasi budaya ini harus melibatkan sekolah, dinas pariwisata, dan tokoh adat secara bersamaan.
Tuban dan Lamongan, dengan kekayaan wisata bahari dan religinya, dapat menjadikan Barongan TL sebagai ikon pertunjukan yang menarik wisatawan. Mengintegrasikan pementasan Barongan yang dikemas secara apik (tetap mempertahankan esensi spiritualnya) ke dalam kalender festival tahunan akan meningkatkan profil seni ini. Bayangkan pementasan Barongan yang dramatis dengan latar belakang sunset di pantai utara Jawa; ini menawarkan pengalaman budaya yang tak terlupakan.
Masa depan Barongan TL juga terletak pada kemauan para seniman untuk berkolaborasi dengan genre kontemporer. Misalnya, menggabungkan gerakan Barongan TL yang eksplosif dengan musik modern, atau mengadaptasi cerita Barongan ke dalam film dokumenter atau teater modern. Kolaborasi semacam ini tidak menghilangkan tradisi, tetapi memberikannya "baju" baru agar relevan dan menarik bagi generasi muda global.
Pada akhirnya, Barongan TL bukan sekadar topeng kayu berbulu. Ia adalah roh penjaga pesisir yang terus berdenyut, mewariskan kisah tentang keberanian, spiritualitas yang adaptif, dan identitas budaya yang teguh di tengah gejolak ombak kehidupan.