BARONGAN KUSUMO

Manifestasi Spiritual dan Seni Gerak Jawa Timur

I. Pendahuluan: Menguak Jati Diri Barongan Kusumo

Barongan Kusumo bukan sekadar pertunjukan seni tari biasa; ia adalah sebuah entitas kultural yang mengikat erat dimensi spiritual, historis, dan estetika masyarakat Jawa Timur, khususnya di kawasan Mataraman Timur. Tarian ini melampaui batas hiburan, berfungsi sebagai ritual, sarana komunikasi dengan leluhur, sekaligus penanda identitas yang kuat di tengah arus modernisasi yang masif. Memahami Barongan Kusumo adalah menyelami labirin mitologi Jawa, mempelajari disiplin gerak yang menuntut penguasaan batin, dan menghargai warisan yang telah dipertahankan oleh generasi seniman melalui dedikasi yang tak terhingga.

Nama "Kusumo" sendiri, yang dalam bahasa Jawa berarti bunga atau keturunan ningrat, menyiratkan keindahan dan kemuliaan yang inheren dalam tradisi ini. Ia membedakan dirinya dari Barongan atau Reog di wilayah lain melalui gaya khas, struktur naratif yang mendalam, serta penguasaan energi spiritual oleh para pemainnya. Pertunjukan ini selalu diawali dengan aura sakral, di mana setiap penabuh Gamelan dan setiap penari memahami bahwa mereka adalah medium, bukan sekadar pelakon. Kedalaman filosofis inilah yang menjadikannya subjek studi yang tak pernah kering, sebuah sumur pengetahuan tradisi yang terus memancar.

1.1. Geografis dan Historis Barongan Kusumo

Secara geografis, Barongan Kusumo sangat kuat berakar di daerah-daerah yang memiliki kedekatan sejarah dengan pusat-pusat kerajaan masa lalu, terutama yang dipengaruhi oleh kultur Majapahit dan pasca-Majapahit. Meskipun memiliki kemiripan elemen dengan Reog Ponorogo, Barongan Kusumo mengembangkan ciri khasnya sendiri. Salah satu pembeda utamanya terletak pada fokus dramatisasi, penggunaan topeng Barong (Singa Jantan) yang lebih monumental, dan intensitas ritual *Janturan* atau *Ngluku* (trance) yang menjadi puncak dari penampilan. Ini adalah seni yang lahir dari perpaduran antara kebutuhan spiritual komunal dengan ekspresi artistik yang keras, liar, namun tetap terkendali oleh pakem tradisi.

Sejarah lisan menyebutkan bahwa Barongan Kusumo mulai dikembangkan sebagai alat perlawanan simbolis atau sarana pendidikan moral pada masa-masa sulit. Setiap gerakan menyimpan pesan tersirat, mengajar tentang keberanian, kerendahan hati, dan pentingnya menjaga keseimbangan antara alam nyata dan alam gaib. Kesinambungan pertunjukan ini terjamin melalui sistem pewarisan yang ketat, di mana pengetahuan tidak hanya ditransfer secara lisan, tetapi juga melalui praktik dan laku spiritual yang mendalam, seringkali melibatkan puasa atau meditasi sebelum pementasan besar. Ini memastikan bahwa roh dari Barongan Kusumo tetap utuh, tidak hanya menjadi fosil budaya, tetapi sebagai energi hidup yang berdenyut di tengah masyarakatnya.

Ilustrasi Kepala Barong Kusumo

Ilustrasi kepala Barong Kusumo yang gagah dan monumental, menyiratkan kekuatan spiritual dan keagungan.

II. Kedalaman Filosofis dan Puncak Spiritual

Inti dari Barongan Kusumo terletak pada dialog batin antara manusia dan kekuatan alam, diwujudkan melalui seni gerak. Pertunjukan ini adalah meditasi yang bergerak, sebuah upaya untuk mencapai kondisi *wirya* (kekuatan) dan *dharma* (kebenaran) melalui penyerahan diri total. Filosofi ini tercermin dalam setiap aspek, mulai dari pembuatan properti hingga ritual sebelum pentas dimulai.

2.1. Topeng Barong: Simbolis Kekuatan Dua Alam

Topeng Barong, yang di Jawa Timur sering disebut *Dadak Merak* atau kepala Singo Barong, dalam konteks Kusumo memiliki dimensi simbolis yang kompleks. Ia bukan hanya representasi singa, tetapi manifestasi dari Raksasa Agung, sebuah entitas penjaga yang menyeimbangkan alam semesta. Warna merah yang dominan pada wajah topeng melambangkan keberanian, api, dan nafsu (amara) yang harus dikendalikan. Sementara hiasan mahkota dari bulu merak atau ijuk yang mengesankan, melambangkan keindahan dan kemewahan spiritual yang dapat dicapai setelah pengendalian diri berhasil.

Topeng ini dibuat dengan ritual khusus. Kayu yang digunakan seringkali adalah kayu keramat (seperti Pule atau Trembesi) yang diambil setelah melalui proses permohonan izin kepada penjaga hutan. Ukiran pada Barong Kusumo cenderung lebih masif dan ekspresif dibandingkan Barongan di wilayah lain, dengan mata yang menatap tajam, seolah-olah mengawasi setiap gerak-gerik penonton. Dialog antara penari Barong (yang menanggung beban topeng yang berat) dan penari Jathilan (yang lebih lincah dan feminin) adalah representasi dari dualitas kosmis: *Purusa* (laki-laki/kekuatan keras) dan *Pradhana* (perempuan/kelembutan alam).

2.2. Fenomena Janturan (Trance)

Puncak dari pengalaman spiritual Barongan Kusumo adalah *Janturan* atau *Ngluku*—kondisi kesurupan atau trance. Ini bukanlah sekadar akting, melainkan keadaan di mana penari (biasanya Jathilan atau Bujang Ganong) secara sukarela membiarkan dirinya diisi oleh roh atau energi tertentu. Dalam Barongan Kusumo, fenomena ini diyakini sebagai manifestasi dari roh-roh penjaga yang datang untuk memberikan berkat atau menegaskan kesucian ritual.

Proses Janturan sangat terstruktur. Ia dipicu oleh irama Gamelan yang spesifik, terutama dentuman kendang yang memukul dengan ritme repetitif dan hipnotis, didukung oleh instrumen *Kempul* dan *Gong*. Dalam kondisi trance, penari mungkin menunjukkan kekuatan supranatural, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau kebal terhadap cambukan *Pecut*. Filosofi di baliknya adalah bahwa manusia, dalam kondisi murni (tanpa ego), dapat mengakses kekuatan yang lebih besar. Ritualitas ini menegaskan kembali ikatan masyarakat dengan tradisi animisme kuno yang masih hidup di bawah lapisan Hinduisme dan Islam.

Pengendalian Janturan dilakukan oleh seorang pawang atau *Warok*, yang memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keselamatan penari dan menyeimbangkan energi spiritual di arena pertunjukan. Jika energi tidak dikendalikan, pertunjukan dapat berubah menjadi kekacauan. Inilah sebabnya mengapa pelatihan dalam Barongan Kusumo selalu mencakup aspek spiritual (meditasi, puasa) selain pelatihan fisik. Kedalaman praktik ini membedakan Barongan Kusumo dari pertunjukan seni lain yang hanya mengandalkan estetika visual semata. Seni ini menuntut integritas moral dan spiritual dari pelakunya.

Interpretasi mengenai Janturan terus berkembang. Bagi generasi muda, ini mungkin dilihat sebagai atraksi, tetapi bagi para sesepuh, ini adalah bukti nyata dari keberlanjutan tradisi dan kehadiran leluhur. Ketegangan antara tontonan dan tuntunan inilah yang menjaga Barongan Kusumo tetap relevan dan misterius.

2.3. Makna Simbolis Warna dan Aksen

Setiap warna dan aksen pada kostum dan properti memiliki makna yang berlapis:

Penggunaan kombinasi warna yang kontras dalam Barongan Kusumo menciptakan harmoni visual yang mencerminkan harmoni kosmis—bahwa keindahan sejati muncul dari penyatuan elemen-elemen yang saling bertentangan, seperti keras dan lembut, gelap dan terang, manusia dan roh.

III. Struktur Pertunjukan dan Aransemen Musik

Pertunjukan Barongan Kusumo mengikuti pakem yang baku, meskipun durasinya bisa fleksibel tergantung permintaan ritual atau hiburan. Struktur baku ini terdiri dari beberapa babak yang mengalir, masing-masing memiliki fungsi dramatis dan spiritualnya sendiri. Keseluruhan durasi pementasan dapat memakan waktu berjam-jam, memungkinkan para pemain untuk mencapai klimaks emosional dan spiritual secara bertahap, memberikan waktu bagi penonton untuk meresapi narasi yang disajikan.

3.1. Tata Urutan Lakon (Babak Pertunjukan)

a. Gending Pembuka dan Ritual Penarik

Pertunjukan dimulai dengan Gending (musik) pembuka yang tenang, berfungsi sebagai ritual pemanggilan roh dan penenang atmosfir. Dalam fase ini, Warok atau sesepuh melakukan ritual kecil di belakang panggung, membakar dupa dan membacakan mantra (Japa) untuk memohon perlindungan dan kelancaran. Ritme Gamelan perlahan-lahan meningkat, memperkenalkan suasana magis yang membedakan pertunjukan ini dari tontonan biasa. Ini adalah janji bahwa yang akan disaksikan adalah sesuatu yang melampaui logika sehari-hari.

b. Tari Jathilan (Kuda Lumping)

Penari Jathilan (dengan kuda kepang) masuk sebagai representasi prajurit berkuda yang lincah dan berani. Tarian mereka adalah ekspresi dari keberanian yang terorganisir, sebuah formasi tempur yang penuh disiplin. Gerakannya cepat, ritmis, dan sinkron, menunjukkan kekuatan kolektif. Dalam Barongan Kusumo, Jathilan seringkali menjadi karakter yang paling rentan terhadap Janturan, dan interaksi mereka dengan Gamelan sangat intens. Kuda kepang yang terbuat dari bambu melambangkan kendaraan spiritual yang membawa mereka melintasi batas dimensi.

c. Kemunculan Bujang Ganong (Punggawa Setia)

Bujang Ganong (atau Ganongan) adalah karakter ikonik dengan topeng berwajah kera atau monster kecil, bermata besar dan gigi taring menonjol. Karakternya adalah seorang patih atau punggawa yang setia, kocak, namun sangat lincah dalam pertempuran. Perannya adalah memberikan unsur komedi dan interaksi dengan penonton, namun di balik kelucuannya, Ganong adalah penari yang sangat terampil dan mampu melakukan akrobatik ekstrem. Ia adalah simbol dari kecerdasan dan kelincahan yang diperlukan dalam menghadapi musuh, baik di dunia nyata maupun gaib. Kemunculan Ganong sering menjadi transisi menuju bagian yang lebih dramatis dan intens.

d. Pertarungan Barong (Singo Barong)

Ini adalah klimaks naratif. Singo Barong masuk dengan iringan musik yang keras dan heroik. Gerakannya berat, menghentak, dan dominan, melambangkan kekuatan alam yang tak terduga. Pertarungan yang disajikan biasanya adalah Barong melawan Jathilan atau elemen antagonis lainnya. Pertarungan ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah secara fisik, melainkan tentang konflik antara energi baik dan buruk, pengendalian diri versus nafsu liar. Kekuatan Barong diukur dari bagaimana ia bisa mendominasi panggung, menari dengan beban topeng yang mencapai puluhan kilogram, sambil tetap mempertahankan presisi gerak.

e. Penutup dan Prosesi Penyembuhan

Setelah Janturan mencapai puncaknya, Warok akan memimpin prosesi penyadaran para penari yang kesurupan. Musik kembali menjadi tenang, mantra-mantra dibacakan, dan energi yang dilepaskan dikembalikan ke tempat asalnya. Fase ini menekankan aspek spiritual dan fungsi sosial Barongan Kusumo sebagai ritual ruwatan (pembersihan) bagi komunitas, memastikan bahwa kekuatan yang telah dipanggil meninggalkan panggung dengan damai dan membawa berkah, bukan bencana.

3.2. Instrumen Gamelan Pengiring

Gamelan Barongan Kusumo memiliki aransemen yang lebih fokus pada irama perkusif yang mampu memprovokasi suasana trance. Instrumen kuncinya meliputi:

Aransemen musikal ini secara keseluruhan dinamakan *Gending Barongan*, yang memiliki kekhasan dalam ritme yang lebih 'berani' dan 'liar' dibandingkan Gamelan Jawa Tengah yang cenderung lebih lembut dan meditatif. Gending Barongan Kusumo harus mampu memicu dan mengendalikan energi spiritual secara simultan.

Gerak Tari Jathilan dalam pertunjukan Barongan Kusumo 🐴

Gerak tari Jathilan yang lincah, selalu didukung oleh irama Gamelan yang memicu kondisi Janturan.

IV. Kompleksitas Kostum dan Makna Properti

Setiap kostum dan properti dalam Barongan Kusumo adalah artefak yang sarat makna, dibuat dengan memperhatikan detail tradisi yang ketat. Proses pembuatan kostum seringkali melibatkan ritual puasa atau doa agar properti tersebut memiliki 'isi' atau kekuatan spiritual yang mendukung kinerja penari.

4.1. Kostum Singo Barong dan Dadak Merak

Singo Barong dalam Barongan Kusumo dikenal karena ukurannya yang seringkali sangat besar dan berat, menuntut kekuatan fisik dan batin yang luar biasa dari dua penari yang memanggulnya. Bagian kepala (topeng) terbuat dari kayu, sementara bagian badan adalah jaring-jaring ijuk hitam yang tebal, melambangkan bulu singa yang liar. Hiasan Dadak Merak (ekor merak) yang menjulang tinggi, terbuat dari rangkaian bulu merak asli yang ditata artistik, merupakan simbol kemewahan dan keagungan spiritual yang telah dicapai melalui pengendalian diri. Berat total Barong ini bisa mencapai 50 hingga 70 kilogram, menjadikannya tarian yang sangat menuntut secara fisik.

Detail-detail kecil seperti cermin yang dipasang di antara ukiran mata Barong diyakini berfungsi ganda: sebagai penolak bala dan juga sebagai portal spiritual. Cermin tersebut memantulkan kembali energi negatif dan memungkinkan roh yang dipanggil untuk ‘melihat’ ke dunia nyata melalui mata Barong. Pengrajin Barongan Kusumo tidak hanya dilihat sebagai seniman, tetapi juga sebagai spiritualis yang memegang kunci untuk memberikan nyawa pada properti tersebut.

4.2. Jathilan dan Kuda Kepang

Kostum Jathilan mencerminkan karakter prajurit Jawa. Mereka mengenakan pakaian berwarna cerah—dominan merah, hitam, dan emas—dengan kain lurik atau batik sebagai bawahan. Aksesori wajib meliputi stagen (ikat pinggang), sampur (selendang) yang digunakan untuk menarik perhatian dan sebagai fokus visual saat menari, serta hiasan kepala yang sederhana namun elegan. Kuda kepang (kuda lumping) yang mereka tunggangi terbuat dari anyaman bambu, dicat dengan warna-warna mencolok dan diberi hiasan rambut tiruan. Kuda ini bukan sekadar properti; ia adalah lambang dari kendaraan spiritual yang siap membawa penari menuju dimensi yang lebih tinggi saat Janturan terjadi.

4.3. Pecut (Cambuk) dan Maknanya

Pecut adalah properti esensial dalam Barongan Kusumo, bukan hanya sebagai alat untuk menciptakan suara keras yang memicu semangat, tetapi juga sebagai senjata spiritual. Bunyi cambukan yang dihasilkan oleh Pecut—seringkali terbuat dari kulit sapi atau rotan tebal—dianggap mampu membersihkan aura negatif di lokasi pertunjukan dan mengusir roh-roh jahat. Dalam konteks Janturan, Pecut digunakan oleh Warok untuk ‘membangunkan’ atau mengendalikan penari yang kesurupan, berfungsi sebagai tali penghubung antara dunia spiritual dan dunia nyata, menegaskan otoritas Warok sebagai mediator spiritual yang berkuasa di arena tersebut.

V. Mitologi dan Legendarisasi Barongan Kusumo

Seperti seni tradisi Jawa lainnya, Barongan Kusumo diselimuti oleh narasi mitologis yang mendalam, seringkali berhubungan dengan tokoh-tokoh pewayangan atau legenda lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Legenda ini memberikan fondasi sakral bagi pertunjukan dan memperkuat keyakinan masyarakat terhadap kekuatan magisnya.

5.1. Keterkaitan dengan Tokoh Kerajaan

Salah satu legenda yang paling umum dikaitkan dengan Barongan adalah kisah mengenai Raja Prabu Klono Sewandono dari Ponorogo, meskipun Barongan Kusumo di Jawa Timur mengembangkan versi lokal yang menekankan pada kekuatan lokal dan pahlawan daerah. Dalam versi Kusumo, Singo Barong diinterpretasikan sebagai perwujudan energi pahlawan yang melindungi kawasan tersebut dari ancaman luar, baik yang bersifat fisik (penjajah) maupun non-fisik (penyakit atau bencana). Barong menjadi simbol dari semangat ksatria yang tidak pernah padam, sebuah pengingat akan masa kejayaan Mataram dan Majapahit.

Asal-usul nama "Kusumo" sendiri, dalam beberapa versi mitologi, dikaitkan dengan seorang putri bangsawan yang memiliki kecantikan luar biasa namun juga kekuatan spiritual yang memadai untuk menjinakkan Singo Barong yang buas. Kisah ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada kekerasan, tetapi juga pada keindahan batin dan kelembutan yang mampu mengendalikan energi liar. Interaksi antara Jathilan (kelembutan) dan Barong (kekerasan) menjadi representasi puitis dari legenda ini.

5.2. Barongan sebagai Ritual Tolak Bala

Secara tradisional, Barongan Kusumo tidak hanya dipentaskan untuk hiburan, tetapi juga sebagai ritual komunal untuk menolak bala (kesialan) atau membersihkan desa dari pengaruh buruk. Pementasan Barongan diyakini mampu menyeimbangkan kembali hubungan antara manusia, alam, dan roh-roh penjaga. Ritual ini sering dilakukan pada saat-saat kritis, seperti setelah panen yang buruk, sebelum memulai pembangunan besar, atau saat terjadi wabah penyakit.

Dalam fungsi ritualnya, fokus pertunjukan beralih dari narasi heroik menjadi manifestasi spiritual murni. Para penari yang mengalami Janturan diyakini dapat memberikan ramalan atau petunjuk spiritual kepada masyarakat. Kekuatan magis yang dilepaskan selama pertunjukan Barong Kusumo diyakini mampu menciptakan perisai tak kasat mata yang melindungi komunitas dari segala marabahaya. Oleh karena itu, pementasan Barongan selalu diperlakukan dengan penghormatan yang mendalam dan kesiapan mental yang tinggi dari seluruh partisipan.

Penguatan mitologi ini juga terlihat dari tempat-tempat pementasan. Barongan Kusumo sering dipentaskan di perempatan jalan (pertemuan empat arah) atau di makam keramat (punden), lokasi-lokasi yang diyakini memiliki konsentrasi energi spiritual yang tinggi. Pemilihan lokasi ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari pakem ritual yang memastikan bahwa kekuatan yang dipanggil mencapai tujuan spiritualnya secara efektif.

VI. Pelestarian dan Tantangan di Era Kontemporer

Di tengah gempuran budaya global dan hiburan digital, Barongan Kusumo menghadapi tantangan yang kompleks dalam mempertahankan otentisitasnya. Upaya pelestarian harus dilakukan di berbagai lini: pendidikan, pendanaan, dan adaptasi tanpa menghilangkan inti spiritualnya. Kekuatan tradisi ini teruji oleh kemampuannya untuk bertahan sekaligus bernegosiasi dengan zaman.

6.1. Adaptasi dan Komersialisasi yang Terkendali

Untuk bertahan, beberapa kelompok Barongan Kusumo telah melakukan adaptasi yang hati-hati. Durasi pertunjukan dipersingkat untuk menyesuaikan dengan jadwal festival atau acara modern, dan unsur komedi (melalui Bujang Ganong) diperkuat untuk menarik penonton muda. Namun, para sesepuh dan Warok selalu menekankan bahwa aspek ritual dan Janturan tidak boleh dihilangkan atau dipalsukan. Jika unsur spiritual dihilangkan, yang tersisa hanyalah tarian topeng biasa, dan roh Kusumo akan hilang.

Komersialisasi memang menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan sumber pendanaan bagi kelompok seni, tetapi di sisi lain, ada risiko degradasi makna. Kelompok Barongan Kusumo yang bijaksana memilih untuk membatasi pementasan ritual hanya pada acara-acara adat tertentu, sementara pementasan untuk wisatawan atau festival dibuat lebih "bersih" dari unsur Janturan yang ekstrem, demi menjaga kesakralan praktik inti. Mereka berhasil menciptakan dua lapisan pertunjukan: satu untuk spiritualitas, satu lagi untuk apresiasi seni.

6.2. Pendidikan dan Regenerasi

Isu utama dalam pelestarian adalah regenerasi. Mempelajari Barongan Kusumo membutuhkan dedikasi fisik dan spiritual yang tinggi, sesuatu yang sulit diterima oleh generasi yang terbiasa dengan kepuasan instan. Kelompok seni tradisional Barongan Kusumo kini aktif mendirikan sanggar-sanggar pelatihan yang tidak hanya mengajarkan gerak tari, tetapi juga etika Jawa (unggah-ungguh) dan laku spiritual. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa calon penari Barong tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga matang secara batin, mampu membawa beban spiritual dari tarian tersebut.

Pelatihan untuk menjadi Warok (pawang) bahkan lebih ketat, menuntut masa magang yang panjang di bawah bimbingan sesepuh. Warok harus menguasai tidak hanya teknik pengendalian trance, tetapi juga pengetahuan tentang Gamelan, mantra Jawa kuno, dan obat-obatan tradisional. Kelangkaan Warok yang kompeten menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kelangsungan Barongan Kusumo, karena tanpanya, pertunjukan Janturan yang sakral tidak dapat dilakukan dengan aman.

6.3. Peran Pemerintah dan Komunitas Adat

Dukungan pemerintah daerah sangat penting dalam pelestarian Barongan Kusumo, baik melalui alokasi dana untuk pembuatan properti (terutama topeng Singo Barong yang mahal) maupun pengakuan resmi sebagai warisan budaya tak benda. Komunitas adat juga berperan vital dengan terus mengadakan ritual tahunan atau bersih desa yang mewajibkan pementasan Barongan Kusumo. Ketika masyarakat lokal masih membutuhkan Barongan sebagai bagian dari kehidupan spiritual mereka, maka seni ini akan terus hidup.

Pelestarian Barongan Kusumo adalah perjuangan melawan lupa. Ia adalah upaya kolektif untuk menjaga agar api spiritual para leluhur terus menyala, diwujudkan dalam gerak gemulai kuda kepang, raungan Barong yang menakutkan, dan dentuman Gamelan yang memanggil dimensi lain. Warisan ini adalah cerminan dari jiwa Jawa Timur yang kuat, berani, namun tetap menghormati takdir dan alam semesta.

VII. Analisis Estetika Gerakan dan Vokalisasi

Estetika Barongan Kusumo terletak pada kontras yang disajikannya: kelembutan yang menyembunyikan kekuatan, dan kekerasan yang menyimpan keindahan. Analisis mendalam terhadap gerakan (wiraga) dan suara (wirama) menunjukkan struktur artistik yang disengaja untuk mencapai efek dramatis dan spiritual.

7.1. Kontras Wiraga: Gerak Jathilan vs. Barong

Gerak Jathilan (wiraga halus) menekankan pada kelincahan, kecepatan, dan formasi kelompok yang rapi. Tujuannya adalah menciptakan visualisasi prajurit yang disiplin sebelum kekacauan spiritual terjadi. Gerakan tangan mereka seringkali melambangkan menahan tali kekang kuda, sementara hentakan kaki yang sinkron berfungsi sebagai pemanggil ritme. Estetika Jathilan adalah keindahan yang terkendali.

Sebaliknya, gerak Barong (wiraga kasar) bersifat improvisatif namun terstruktur. Gerakan kepalanya (Ngleyang) yang berat dan menghentak, melambangkan kekuatan tak terkalahkan. Para pemanggul Barong harus menguasai teknik keseimbangan yang ekstrem, seringkali menari sambil berjalan mundur atau memutar badan dengan cepat. Estetika Barong adalah keindahan yang liar, menyerupai badai yang tiba-tiba datang. Kontras visual antara topeng Bujang Ganong yang akrobatik dan jenaka, Jathilan yang anggun, dan Barong yang monumental, menciptakan kekayaan visual yang tiada duanya.

7.2. Vokalisasi dan Mantra

Vokalisasi dalam Barongan Kusumo tidak hanya melibatkan nyanyian (Sinden) yang memberikan narasi atau pujian, tetapi juga teriakan (Cakruk) dan mantra yang diucapkan oleh Warok. Sinden memainkan peran penting dalam memberikan latar belakang emosional, seringkali menyanyikan tembang Jawa yang bernuansa sedih atau heroik, sesuai dengan babak lakon.

Cakruk adalah teriakan khas yang dilakukan oleh para penari atau penabuh Gamelan untuk meningkatkan semangat dan membantu penari mencapai kondisi Janturan. Vokalisasi ini adalah energi mentah yang dilepaskan secara kolektif. Sementara itu, mantra yang diucapkan oleh Warok bersifat rahasia (esoterik), berfungsi untuk memagari arena pertunjukan dan memastikan bahwa roh yang dipanggil patuh pada pakem ritual. Penguasaan vokalisasi dan mantra inilah yang membedakan seorang seniman Barongan Kusumo sejati dari penari biasa.

7.3. Teknik Pencahayaan Tradisional (Obor)

Meskipun kini banyak pertunjukan menggunakan pencahayaan modern, Barongan Kusumo tradisional sering dipentaskan di malam hari hanya dengan menggunakan penerangan Obor (api). Efek pencahayaan Obor memberikan bayangan yang dramatis dan bergerak, memperkuat nuansa mistis dan primal dari tarian tersebut. Cahaya api yang berkedip-kedip ini membuat Barong terlihat lebih hidup dan menakutkan, menambahkan dimensi visual yang tidak dapat ditiru oleh lampu listrik.

Ritual obor juga dikaitkan dengan filosofi api sebagai pembersih dan penerang jalan. Menari di bawah cahaya obor adalah pengingat bahwa seni ini berakar pada alam dan energi elementer yang mendasar. Sensasi menyaksikan Barong Kusumo di malam hari, diiringi Gamelan yang keras dan teriakan Cakruk, adalah pengalaman multisensori yang membawa penonton kembali ke masa lampau, jauh sebelum teknologi mendominasi kehidupan.

VIII. Peran Sosial dan Ekonomi Kelompok Barongan

Kelompok Barongan Kusumo berfungsi sebagai pilar sosial yang vital dalam komunitas mereka. Mereka bukan hanya penjaga seni, tetapi juga penyedia jasa spiritual dan motor penggerak ekonomi mikro di tingkat pedesaan. Organisasi kelompok Barongan ini seringkali sangat terstruktur, menyerupai sebuah lembaga adat kecil.

8.1. Struktur Organisasi dan Disiplin Kelompok

Setiap kelompok Barongan Kusumo dipimpin oleh seorang sesepuh atau Warok Agung, yang keputusannya mutlak, terutama terkait dengan masalah spiritual dan ritual. Di bawahnya terdapat Warok-Warok pembantu, penabuh Gamelan (Nayaga), dan para penari. Struktur ini menanamkan disiplin yang kuat, diperlukan untuk mengelola pertunjukan yang melibatkan risiko spiritual tinggi (Janturan).

Keanggotaan dalam kelompok Barongan seringkali turun-temurun, mengikat keluarga-keluarga tertentu pada peran spesifik (misalnya, keluarga A selalu menjadi pembuat kendang, keluarga B selalu menjadi penari Jathilan utama). Ikatan ini menciptakan solidaritas komunal yang kuat, di mana tanggung jawab pelestarian seni menjadi milik bersama, bukan hanya individu.

8.2. Barongan sebagai Penggerak Ekonomi Kreatif

Secara ekonomi, kelompok Barongan Kusumo menyediakan mata pencaharian bagi puluhan orang, mulai dari pengrajin topeng, penjahit kostum, hingga Nayaga. Pertunjukan Barongan dipesan untuk berbagai acara, mulai dari pesta pernikahan (mantenan), khitanan, hingga peresmian bangunan. Tarif pementasan Barongan—yang memakan waktu persiapan dan sumber daya yang signifikan—menjadi sumber pendapatan yang penting bagi banyak desa.

Lebih jauh lagi, permintaan akan properti Barongan Kusumo (terutama kepala Barong yang autentik) telah menciptakan industri kerajinan tangan lokal yang unik. Seniman Barong (perajin topeng) dihargai tinggi karena kemampuan mereka untuk mengukir tidak hanya bentuk, tetapi juga 'roh' ke dalam kayu. Kelompok Barongan, dengan demikian, menjadi pusat ekosistem ekonomi kreatif yang menjaga keberlanjutan tradisi dan keahlian lokal yang hampir punah.

IX. Barongan Kusumo sebagai Cita Rasa Kejawen Lokal

Barongan Kusumo adalah manifestasi nyata dari sinkretisme budaya Jawa Timur (Kejawen). Ia adalah perpaduan harmonis antara kepercayaan animisme pra-Hindu, pengaruh mitologi Hindu-Buddha, dan etika Islam yang masuk belakangan. Kejawen bukanlah agama formal, melainkan pandangan hidup yang menekankan harmoni, tata krama, dan pengakuan terhadap kekuatan tak kasat mata di sekitar manusia.

9.1. Harmoni dan Keseimbangan Batin

Ajaran Kejawen yang terpatri dalam Barongan Kusumo berfokus pada pencapaian *sejatining urip* (hakikat kehidupan) melalui pengendalian hawa nafsu. Tarian ini, dengan kontras antara kekerasan Barong dan keanggunan Jathilan, adalah pelajaran tentang bagaimana mengendalikan kekuatan batin yang liar. Para penari dilatih untuk tidak memandang Janturan sebagai pameran kekuatan semata, melainkan sebagai ujian spiritual untuk menampung energi besar tanpa kehilangan kesadaran diri. Disiplin ini mencerminkan konsep Kejawen tentang pentingnya *eling* (selalu ingat) dan *waspada* (selalu hati-hati) dalam menjalani hidup.

Ritual ruwatan yang menyertai pertunjukan Barongan adalah inti dari praktik Kejawen. Ia adalah cara komunitas untuk membersihkan diri dari *sengkala* (noda) dan memohon keselamatan (rahayu). Barongan Kusumo berfungsi sebagai perantara, sebuah jembatan simbolis yang menghubungkan manusia dengan Jagad Ghaib (dunia gaib) dan Jagad Pramana (dunia kesadaran).

9.2. Pengaruh Islam dalam Etika Barongan

Meskipun Barongan berakar pada tradisi pra-Islam, etika dan perilaku (unggah-ungguh) para pemainnya telah diwarnai oleh nilai-nilai Islam, terutama di wilayah Jawa Timur yang sangat religius. Para seniman Barongan Kusumo selalu mengawali laku spiritual mereka dengan doa, seringkali disisipi dengan bacaan-bacaan Islami, memastikan bahwa seni yang mereka bawakan tetap berada dalam koridor moral yang diterima masyarakat. Penghormatan terhadap guru, leluhur, dan properti Barong (yang tidak boleh dilangkahi atau diperlakukan sembarangan) adalah perpaduan antara ajaran Kejawen dan prinsip-prinsip Islam yang menekankan adab dan kesucian.

Transisi kultural ini menunjukkan kemampuan luar biasa Barongan Kusumo untuk beradaptasi dan menyerap nilai-nilai baru tanpa kehilangan inti aslinya. Ia adalah seni yang selalu berdialog dengan zamannya, namun selalu berpegang teguh pada akar spiritualnya. Inilah rahasia mengapa Barongan Kusumo tetap hidup dan dihormati sebagai salah satu pusaka budaya Jawa Timur yang paling berharga, sebuah simfoni gerak, musik, dan roh yang abadi.

X. Penutup: Kebanggaan dan Harapan Masa Depan

Barongan Kusumo adalah sebuah monumen bergerak, representasi dinamis dari sejarah panjang peradaban Jawa Timur. Keindahannya terletak pada kompleksitas filosofis, di mana setiap cambukan Pecut, setiap hentakan Gamelan, dan setiap tatapan mata Barong mengandung lapisan makna spiritual. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan, keberanian, dan pengakuan terhadap dimensi spiritual yang sering terabaikan dalam kehidupan modern.

Meskipun tantangan modernisasi terus menguji ketahanan tradisi ini, dedikasi para Warok, Nayaga, dan penari terus menjamin kelangsungan Barongan Kusumo. Harapan terletak pada generasi penerus yang mampu menjaga otentisitas ritual sambil tetap kreatif dalam presentasi. Selama masyarakat Jawa Timur masih memandang Barongan Kusumo sebagai cermin jati diri mereka dan sebagai jembatan menuju leluhur, maka raungan Singo Barong akan terus bergema di bumi Nusantara, membawa pesan warisan budaya yang tak lekang oleh waktu dan teknologi. Barongan Kusumo adalah nafas spiritual yang tak pernah berhenti. Ia adalah warisan agung yang harus dijaga sebagai pusaka bangsa.

🏠 Homepage