Pentas Barongan, khususnya yang digelari dengan atribut "devil" (setan) atau "galak" (buas), bukanlah sekadar pertunjukan seni tari biasa. Ia adalah sebuah narasi visual, akustik, dan spiritual yang kompleks, mewarisi ribuan tahun tradisi Jawa Kuno. Istilah Barongan devil pentas merujuk pada pementasan yang secara eksplisit menonjolkan sisi kebuasan, kekuatan destruktif, dan elemen supranatural yang seringkali berujung pada fenomena ndadi (trance) atau kerasukan. Dalam konteks budaya Jawa, Barongan—seringkali disamakan atau terkait erat dengan Reog atau Jaranan—adalah perwujudan entitas buas, seringkali Singo Barong, yang bukan hanya mencerminkan kekuasaan raja, namun juga manifestasi energi alam liar yang tidak terkontrol.
Inti dari Barongan yang berlabel "devil" terletak pada dualisme yang disajikannya. Di satu sisi, ia adalah representasi kekejaman dan kekuatan jahat yang harus ditaklukkan atau diakui keberadaannya; di sisi lain, ia berfungsi sebagai ritual pembersihan dan penyeimbang kosmik. Keberadaan Barongan di panggung, diiringi instrumen musik yang memekakkan telinga dan ritme yang hipnotis, menciptakan sebuah ruang liminal—perbatasan antara dunia manusia dan alam gaib. Pementasan ini bukan hanya ditonton, tetapi juga dialami, menawarkan pengalaman yang intens dan terkadang menakutkan bagi penonton maupun para pelakunya.
Analisis mendalam terhadap Barongan devil pentas membutuhkan kajian multi-disiplin, meliputi etnografi pertunjukan, sejarah mitologi, dan psikologi massa. Kita perlu memahami mengapa entitas yang diidentifikasi sebagai 'devil' atau raksasa buas justru menjadi pusat dari perayaan komunal. Jawabannya terletak pada tradisi animisme dan dinamisme Nusantara, di mana kekuatan alam dan entitas tak kasat mata dihormati, dirangkul, dan diintegrasikan ke dalam kehidupan sosial melalui ritual pementasan. Barongan, dalam wujudnya yang paling menakutkan, adalah cermin kekuatan purba yang mendiami hutan, gunung, dan sejarah panjang peradaban Jawa.
Pementasan ini sering kali memiliki tujuan yang jauh melampaui hiburan semata. Di beberapa daerah, Barongan diyakini mampu menolak bala (musibah), mengusir roh jahat, atau bahkan memanggil hujan. Kekuatan spiritual yang dilepaskan saat pertunjukan berlangsung, terutama saat terjadi ndadi, diyakini mampu menyucikan area pentas dari energi negatif yang mungkin bersemayam. Oleh karena itu, persiapan yang dilakukan oleh para penari dan pawang (dukun atau sesepuh) jauh lebih penting daripada latihan koreografi biasa. Persiapan tersebut meliputi puasa, mantra, dan ritual persembahan yang ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan kekuatan yang akan diundang hadir dalam topeng singa raksasa tersebut.
Aspek visual dari Barongan "devil" sangat menentukan. Topengnya tidak hanya besar, tetapi detailnya dirancang untuk menimbulkan rasa takut dan hormat. Mata yang melotot, taring yang mencuat tajam, serta rambut yang terbuat dari benang ijuk atau ekor kuda yang panjang dan kasar, semuanya berkontribusi pada penciptaan persona buas yang menguasai panggung. Warna dominan, seringkali merah menyala (melambangkan amarah dan keberanian) dan hitam pekat (melambangkan kegelapan atau mistisisme), semakin memperkuat kesan bahwa entitas yang muncul adalah sosok dari dunia lain, sebuah representasi dari nafsu dan kekuatan primal yang tak terbatasi oleh norma-norma manusia biasa.
Ketika Barongan tersebut mulai bergerak, irama gamelan yang dinamis dan agresif, seringkali didominasi oleh kendang dan gong, menjadi nyawa dari penampilan tersebut. Musik bukan hanya pengiring; ia adalah alat hipnosis, sebuah portal yang membantu penari memasuki kondisi kesadaran yang diubah. Ritme yang berulang dan cepat membawa penonton ke dalam ketegangan yang konstan, mempersiapkan mereka secara emosional untuk momen klimaks ketika batas antara penari dan Barongan itu sendiri menghilang, digantikan oleh entitas yang menguasai raga penari—sebuah pemandangan yang dikenal sebagai puncak dari Barongan devil pentas.
Secara etimologis, "Barong" memiliki akar kata yang luas dalam kebudayaan Austronesia, seringkali merujuk pada entitas besar, buas, atau berbulu. Di Jawa, Barongan paling sering diidentifikasi dengan Singo Barong, Singa Raja yang Agung. Namun, ketika istilah "devil" atau "setan" ditambahkan, fokusnya bergeser dari sekadar simbol kerajaan (seperti yang sering diinterpretasikan dalam Reog Ponorogo) menjadi manifestasi dari entitas gaib yang lebih liar, lebih primitif, dan seringkali terkait dengan kisah-kisah pra-Islam atau animisme murni. Ini adalah representasi kekuatan yang belum terjamah oleh moralitas agama yang terstruktur.
Mitologi Barongan seringkali bertaut dengan kisah-kisah kepahlawanan yang gagal atau kutukan. Salah satu narasi yang kuat adalah koneksinya dengan Bhutakala atau Banaspati, roh api yang mengembara dan memiliki kekuatan destruktif. Dalam banyak tradisi Jaranan dan Barongan, figur yang kerasukan (ndadi) seringkali menunjukkan perilaku yang tidak manusiawi—menggonggong, memakan benda-benda aneh (kaca, bunga, dedaunan), atau menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa. Perilaku ini adalah tanda bahwa entitas yang merasuki memiliki sifat "setan" atau "raksasa," bukan sekadar roh leluhur yang bijak.
Konsep Barongan sebagai manifestasi 'devil' tidak dapat dipisahkan dari konsep Bhuta (kekuatan alam bawah, elemen kasar) dan Kala (waktu, kehancuran) dalam kosmologi Hindu-Buddha Jawa Kuno. Bhutakala adalah raksasa mengerikan yang seringkali digambarkan dengan taring dan mata besar, memiliki fungsi sebagai penjaga gerbang atau simbol kekuatan yang menuntut korban. Topeng Barongan dengan matanya yang melotot dan taringnya yang besar merupakan visualisasi langsung dari arketipe Bhutakala ini. Kehadirannya di pentas adalah cara untuk mengendalikan atau berdamai dengan kekuatan destruktif ini, bukan menghancurkannya.
Pengendalian kekuatan Bhuta ini dilakukan melalui ritual. Dalam pementasan, Barongan seringkali digambarkan sebagai entitas yang agresif dan tidak terkontrol, yang kemudian harus ditenangkan atau diarahkan oleh seorang pawang (pemimpin spiritual). Proses penenangan ini—dari kekacauan ke ketertiban—adalah representasi mikrokosmos dari perjuangan kosmik Jawa untuk mencapai harmoni. Tanpa kehadiran "devil" yang mengancam, nilai dari ketertiban dan harmoni menjadi tidak signifikan. Dengan demikian, Barongan adalah antagonis yang diperlukan dalam drama ritual kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh lagi, Barongan, dalam konteks Bhutakala, mengingatkan komunitas akan siklus kehidupan dan kematian. Kala adalah waktu yang tak terhindarkan, dan Bhuta adalah energi yang menggerakkan siklus tersebut. Dengan menerima dan mementaskan kekuatan ini, masyarakat secara kolektif mengakui kelemahan mereka di hadapan kekuatan kosmik yang lebih besar. Ini adalah praktik spiritual kuno yang bertahan meskipun terjadi perubahan agama dan sosial yang masif di Jawa. Pemahaman ini memperkuat makna bahwa Barongan bukanlah sekadar hiburan pasar, melainkan sebuah teks budaya yang menceritakan hubungan abadi manusia dengan kekuasaan yang tak terlihat.
Meskipun Barongan adalah tokoh utama, ia selalu berada dalam ekosistem pertunjukan Jaranan (Kuda Lumping). Barongan devil berfungsi sebagai pemimpin atau ancaman utama bagi pasukan Kuda Lumping (yang seringkali merepresentasikan ksatria atau rakyat jelata). Hubungan antagonistik ini penting. Kuda Lumping, dengan gerakan ritmis dan seragamnya, mewakili sisi yang terkontrol dan disiplin, sementara Barongan mewakili kekuatan yang liar dan membebaskan. Klimaks pementasan seringkali terjadi ketika Barongan menjadi sangat buas, memicu entitas spiritual lain (seperti celeng/babi hutan, monyet, atau ular) untuk merasuki penari kuda, menghasilkan kekacauan yang teratur yang merupakan inti dari pementasan trance.
Dalam banyak tradisi, Barongan adalah musuh yang harus dihadapi oleh para penari Kuda Lumping, seringkali memicu perkelahian simbolis yang sangat intens. Perkelahian ini, yang dilakukan di bawah pengaruh irama gamelan yang menggila, seringkali menjadi pintu masuk bagi fenomena ndadi. Ketika energi Barongan mencapai puncaknya, ia "menarik" roh-roh lain untuk ikut serta dalam kekacauan, menandakan keberhasilan ritual pemanggilan energi spiritual. Tanpa kehadiran Barongan yang menakutkan, elemen-elemen trance dan keajaiban dalam Jaranan akan kehilangan daya tariknya dan kedalaman ritualistiknya.
Di luar mitologi naratif, Barongan adalah media. Ia berfungsi sebagai wahana (kendaraan) bagi entitas spiritual tertentu. Pawang atau sesepuh desa seringkali memiliki keyakinan kuat bahwa roh penjaga wilayah, yang mungkin memiliki sifat kasar atau ganas (devil), memilih topeng Barongan sebagai tempat tinggal sementara saat pementasan. Oleh karena itu, topeng dan kostum Barongan diperlakukan dengan sangat hormat, disimpan di tempat khusus, dan seringkali diasapi dengan kemenyan sebelum dan sesudah pertunjukan. Ritual ini memastikan bahwa kekuatan 'devil' yang diundang hadir tetap terikat pada etika pertunjukan dan tidak merugikan komunitas.
Prosesi sebelum pentas meliputi doa dan persembahan (sesajen) yang sangat detail. Makanan, bunga, dan rokok khusus diletakkan di dekat topeng. Tujuannya adalah untuk "meminta izin" kepada roh yang bersemayam di dalam topeng agar bersedia menampakkan kekuatannya melalui raga penari (pembarong). Jika ritual ini tidak dilakukan dengan benar, diyakini bahwa penari bisa mengalami bahaya yang serius atau bahwa roh yang muncul akan menjadi terlalu liar dan sulit dikendalikan. Ini adalah bukti bahwa aspek 'devil' dalam Barongan tidak hanya bersifat teatrikal, tetapi sangat dihormati sebagai kekuatan hidup yang nyata dan berpotensi berbahaya.
Kunci keberhasilan Barongan devil pentas terletak pada musiknya. Gamelan yang digunakan dalam Barongan seringkali berbeda dari gamelan keraton yang halus. Musik Barongan cenderung lebih kasar, lebih cepat, dan didominasi oleh instrumen perkusi yang agresif seperti kendang, bende, dan saron. Kendang, khususnya, memainkan peran vital sebagai "jantung" pertunjukan, memberikan ritme cepat yang mendorong penari menuju kondisi trance. Pola ritme yang berulang dan meningkat secara bertahap dirancang untuk memecah batas kesadaran normal dan memfasilitasi ndadi.
Pada saat Barongan memasuki panggung, musik mencapai tingkat intensitas yang sangat tinggi. Ritme yang disebut 'Ricik' atau 'Gandrung' dimainkan dengan cepat, memicu kegelisahan dan adrenalin. Suara gemuruh gong besar berfungsi sebagai panggilan spiritual, sementara bunyi teriakan penari dan pecut (cambuk) menambah dimensi kekacauan akustik yang dimaksudkan untuk membebaskan energi terpendam dari penari. Musik ini bukan hanya latar belakang; ia adalah katalis, sebuah mantra sonik yang memaksa entitas 'devil' untuk bergerak dan menari dengan kekuatan supranatural.
Peran vokal (sinden atau sindhenan) juga penting, meskipun seringkali tenggelam dalam kebisingan. Lirik yang dilantunkan seringkali berupa pujian kepada roh penjaga, atau narasi singkat yang memperkuat mitologi Barongan. Namun, dalam konteks "devil pentas," sindhenan seringkali digunakan untuk memperlambat atau menstabilkan ritme ketika pertunjukan menjadi terlalu kacau, berfungsi sebagai tali pengaman yang menarik penari yang sedang kerasukan kembali ke batas kendali. Interaksi antara ritme liar kendang dan melodi penenang sindhen menciptakan ketegangan dramatis yang menjaga penonton tetap terpaku.
Penari Barongan (pembarong) adalah sosok sentral yang harus memiliki fisik yang kuat, mental yang stabil, dan pemahaman spiritual yang mendalam. Gerakan Barongan devil dicirikan oleh:
Fase transformasional terjadi ketika pembarong mulai kehilangan kendali atas dirinya, bergerak hanya berdasarkan impuls ritmis dan spiritual. Saat ini, topeng Barongan seolah-olah hidup sendiri, digerakkan oleh entitas yang menguasainya. Gerakan menjadi sangat cepat, tak terduga, dan seringkali melibatkan atraksi berbahaya seperti berguling-guling di tanah atau melompat tinggi. Puncak dari fase ini adalah atraksi kekebalan, di mana Barongan (dan penari pendukung lainnya) mulai memakan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau menyabet diri dengan cambuk tanpa terluka. Aksi ini adalah bukti nyata dari kekuatan ‘devil’ yang telah merasuki dan melindungi mereka.
Kekuatan fisik yang diperlukan untuk menari Barongan, terutama topeng yang terbuat dari kayu jati dengan hiasan ijuk dan bulu yang berat, memerlukan stamina luar biasa. Namun, ketika penari memasuki kondisi trance (ndadi), mereka seolah-olah mendapatkan kekuatan baru yang tidak manusiawi. Topeng yang tadinya berat kini terasa ringan, memungkinkan mereka melakukan gerakan-gerakan yang mustahil dalam keadaan sadar. Fenomena ini memperkuat kepercayaan bahwa kekuatan yang menggerakkan Barongan adalah supranatural, menegaskan bahwa Barongan adalah lebih dari sekadar tarian, melainkan manifestasi kekuatan spiritual.
Ndadi, atau kondisi kerasukan/trance, adalah elemen integral dan paling dinantikan dalam Barongan devil pentas. Dalam konteks Barongan, ndadi bukan hanya berarti kerasukan oleh roh leluhur yang baik; seringkali, ia adalah manifestasi dari roh-roh yang memiliki sifat elemental, liar, dan sering dikategorikan sebagai 'devil' atau jin yang mendiami area tersebut. Proses ndadi dimulai setelah paparan berulang terhadap ritme gamelan yang hipnotis, diikuti oleh asap kemenyan, dan sugesti kuat dari pawang.
Saat ndadi terjadi, perilaku penari berubah drastis. Mata mereka kosong, suara mereka mengeluarkan raungan atau jeritan non-manusia, dan mereka menunjukkan toleransi terhadap rasa sakit yang luar biasa. Fenomena ndadi ini adalah pelepasan kolektif. Penari melepaskan kontrol ego mereka, memungkinkan energi spiritual (yang diyakini keras, atau ‘devilish’) untuk mendominasi. Bagi komunitas, ini adalah validasi bahwa kekuatan tak kasat mata di sekitar mereka adalah nyata dan responsif terhadap ritual yang mereka lakukan.
Pawang (pemimpin spiritual atau pengendali) memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Mereka adalah satu-satunya jembatan antara dunia sadar dan dunia kerasukan. Tugas pawang meliputi:
Kegagalan pawang dalam mengendalikan proses ndadi dapat berakibat fatal, baik bagi penari (yang mungkin terluka parah) maupun bagi komunitas (jika roh tersebut menjadi lepas dan menyebabkan malapetaka). Oleh karena itu, pawang Barongan devil seringkali adalah sosok yang sangat dihormati dan ditakuti, yang telah melalui pelatihan spiritual dan puasa yang ketat selama bertahun-tahun untuk menguasai ilmu pengendalian roh buas.
Atraksi kekebalan, seperti memakan pecahan kaca (beling), mengiris diri dengan pisau, atau mengunyah bara api, berfungsi sebagai bukti visual bahwa penari berada di bawah perlindungan kekuatan supranatural yang ganas. Dalam konteks Barongan devil, kekuatan pelindung ini diyakini berasal dari entitas ‘devil’ yang merasuki—sebuah kekuatan yang kebal terhadap hukum fisika duniawi. Pementasan ini secara efektif menunjukkan kepada penonton bahwa Batasan manusia telah dilampaui.
Penyajian kekebalan ini sangat penting bagi legitimasi pertunjukan. Tanpa atraksi ndadi dan kekebalan, Barongan akan dianggap sebagai tarian biasa. Namun, dengan adanya demonstrasi kemampuan yang tidak masuk akal ini, Barongan devil ditegaskan sebagai ritual magis yang mengandung bahaya nyata. Penonton merasakan sensasi campuran antara ketakutan dan kekaguman, sebuah emosi yang membuat pertunjukan ini tak terlupakan dan terus dicari.
Warna adalah bahasa universal dalam Barongan. Dalam pementasan devil, warna merah dan hitam mendominasi. Kedua warna ini tidak dipilih secara acak; mereka mewakili konsep kekuatan dan spiritualitas Jawa yang mendalam.
1. Merah (Abang/Brama): Merah melambangkan amarah, nafsu (Loba), keberanian, dan api. Ini adalah warna yang terkait dengan Ditya (raksasa) dan energi primal yang belum diolah. Dalam Barongan devil, merah berfungsi untuk menekankan sifat ganas dan kekuatan destruktif entitas yang diwakilinya. Merah juga sering dikaitkan dengan darah dan pengorbanan, menyinggung masa lalu ritual Barongan yang mungkin melibatkan persembahan yang lebih keras.
2. Hitam (Cemeng/Ireng): Hitam melambangkan kegelapan, dunia gaib, misteri, dan kekuatan spiritual yang tak terhingga. Ini adalah warna yang melingkupi Bhutakala dan entitas yang mendiami malam. Dalam konteks Barongan, hitam memberikan kesan berat, purba, dan tak terhindarkan. Kombinasi merah dan hitam menciptakan visual yang kuat: kekuatan liar yang terbungkus dalam kegelapan mistis, sebuah perpaduan yang secara psikologis memicu ketakutan dan rasa takjub.
Dalam filosofi Jawa, ada konsep tentang Sedulur Papat Lima Pancer (Empat Saudara dan Satu Pusat), di mana warna-warna seperti merah, hitam, putih, dan kuning mewakili elemen kosmik dan nafsu manusia. Barongan devil seringkali mewakili dominasi elemen kasar (merah dan hitam), yang menuntut keseimbangan dari pusat (pancer) yang diwakili oleh pawang atau penari yang mengendalikan. Pementasan adalah upaya untuk menyeimbangkan sifat-sifat destruktif ini agar tidak menghancurkan diri sendiri.
Di balik lapisan spiritual dan mitologisnya, Barongan devil pentas berfungsi sebagai kritik sosial yang tajam. Sifat buas dan tak terkendali dari Barongan seringkali diinterpretasikan sebagai personifikasi dari pemimpin yang zalim atau kekuasaan yang korup. Ketika Barongan mengamuk, ia secara simbolis menghancurkan ketidakadilan dan kemunafikan dalam masyarakat.
Dalam pementasan tradisional, Barongan seringkali disandingkan dengan figur Punakawan (pelayan jenaka) seperti Gareng atau Petruk. Punakawan bertugas menertawakan dan mengejek Barongan yang buas tersebut. Ejekan ini adalah katarsis sosial, memungkinkan masyarakat untuk secara aman menertawakan dan merendahkan kekuatan yang menindas mereka dalam kehidupan nyata. Meskipun Barongan adalah 'devil' yang menakutkan, ia pada akhirnya dapat dijinakkan atau setidaknya dilecehkan oleh rakyat jelata (Punakawan), memberikan harapan akan kemenangan moral atas kekuatan yang buas.
Meskipun memiliki akar yang sama, Barongan di berbagai daerah di Jawa memiliki karakteristik unik yang memengaruhi aspek "devil" dalam pementasannya. Perbedaan ini mencakup bentuk topeng, instrumen musik yang digunakan, dan tingkat kekerasan ritualistik yang dipertontonkan.
Di Jawa Tengah, Barongan seringkali lebih ringkas dan fokus pada topeng Singa Barong yang sangat besar. Fokus "devil"-nya terletak pada ukuran topeng yang monumental dan suara aumannya yang memekakkan. Di Blora dan Kudus, yang dikenal dengan tradisi Barongan yang kuat, pementasan seringkali sangat maskulin dan agresif, melibatkan atraksi fisik yang ekstrem, seperti mengangkat beban berat dengan rahang topeng Barongan. Kekuatan supranatural yang dipanggil cenderung lebih bersifat penjaga tanah (dhanyang) yang galak.
Musik Barongan Blora sangat terkenal dengan ritme kendang yang sangat cepat dan repetitif. Irama ini, sering disebut sebagai ‘gedruk,’ adalah pemicu utama ndadi. Ritme ini seolah-olah memaksa penari untuk bergerak di luar batas normal, memperkuat kesan kerasukan oleh entitas yang sangat energik dan buas. Tujuannya adalah mencapai kecepatan pementasan yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa, menunjukkan bahwa ia digerakkan oleh "devil."
Meskipun Reog Ponorogo memiliki Singo Barong, konteksnya lebih bersifat heroik dan historis. Namun, di daerah seperti Malang atau Jember, Barongan atau Jaranan yang muncul sebagai pertunjukan jalanan (nglawang) seringkali menonjolkan aspek kekerasan dan mistisisme yang lebih kental. Mereka seringkali mencampurkan unsur tari jalanan dengan ritual kekebalan yang sangat menantang, menjadikan aspek 'devil' sebagai daya tarik komersial utama.
Salah satu perbedaan mencolok adalah penggunaan penari wanita yang ikut ndadi. Ketika penari wanita kerasukan, manifestasi rohnya seringkali berbeda, kadang lebih liar, kadang lebih melodramatis, tetapi selalu menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Kombinasi ini menambah kompleksitas pada narasi Barongan devil, menunjukkan bahwa kekuatan spiritual yang ganas tidak mengenal gender.
Di era modern, Barongan devil pentas menghadapi dilema komersialisasi. Agar tetap relevan, grup-grup Barongan sering kali harus meningkatkan tingkat bahaya dan keganasan atraksi mereka untuk menarik penonton dan mendapatkan bayaran. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana ritual suci perlahan-lahan diubah menjadi pertunjukan sirkus yang berfokus pada sensasi dan horor. Pertanyaan etis muncul: pada titik mana ritual spiritual berubah menjadi eksploitasi?
Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan seringkali berusaha "menyensor" atau menghaluskan aspek-aspek paling ekstrem dari Barongan devil—seperti pemakan kaca yang berlebihan atau adegan ndadi yang terlalu liar—untuk menjadikannya lebih dapat diterima oleh wisatawan atau khalayak yang lebih luas. Namun, upaya "sterilisasi" ini dikritik karena menghilangkan inti spiritual dan kebuasan yang mendefinisikan identitas Barongan tersebut.
Sebagai respons, banyak grup tradisional yang menolak komodifikasi ini memilih untuk kembali ke akar ritualistik mereka, mementaskan Barongan hanya pada upacara adat tertentu atau sebagai bagian dari ritual bersih desa. Dalam lingkungan yang terkontrol ini, aspek 'devil' dihormati sebagai kekuatan ritual yang diperlukan, bukan sebagai trik panggung untuk mencari uang. Ketegangan antara pasar dan tradisi ini terus menjadi isu sentral dalam pelestarian Barongan.
Media sosial telah memberikan kehidupan baru bagi Barongan devil pentas. Video ndadi dan atraksi kekebalan menjadi viral, menarik perhatian global. Fenomena digital ini, meskipun membawa popularitas, juga memisahkan ritual dari konteksnya. Penonton global melihat kengerian dan keunikan visualnya tanpa memahami latar belakang mitologis, spiritual, atau sosialnya. Ini menciptakan interpretasi yang dangkal, di mana Barongan hanya dilihat sebagai manifestasi 'horor' Jawa, bukan sebagai warisan budaya yang kompleks.
Namun, digitalisasi juga membantu konservasi. Dokumentasi detail tentang Barongan, termasuk musik, kostum, dan ritual pra-pentas, kini dapat diakses oleh generasi muda. Banyak sanggar memanfaatkan platform digital untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kemurnian spiritual Barongan, bahkan ketika mereka harus mementaskan versi yang lebih "ramah" untuk acara-acara publik.
Barongan devil pentas adalah sebuah kesenian yang menolak untuk mati karena ia menyentuh kebutuhan fundamental manusia untuk berinteraksi dengan yang misterius dan yang berbahaya. Selama masyarakat Jawa masih menjunjung tinggi nilai-nilai kosmologi kuno, dan selama ritme kendang masih mampu memanggil energi dari alam gaib, maka Barongan akan terus relevan.
Masa depan Barongan devil mungkin terletak pada kemampuan para pawang dan seniman muda untuk menyeimbangkan antara tradisi ritualistik yang ketat dan presentasi yang menarik. Mereka harus memastikan bahwa energi liar dan spiritual (aspek 'devil') yang menjadi daya tarik utama tetap dipertahankan keasliannya, meskipun disajikan dalam format yang mungkin lebih terstruktur untuk penonton modern. Ini berarti bahwa pelatihan spiritual harus tetap menjadi prioritas utama, melampaui sekadar latihan koreografi.
Intinya, Barongan devil bukan hanya pertunjukan tentang iblis atau singa; ia adalah studi kasus tentang bagaimana sebuah kebudayaan mengolah rasa takut, kekuatan, dan transendensi. Ia adalah penolak Bala, penjaga tradisi, dan cermin bagi jiwa kolektif yang masih bergumul dengan batas antara yang rasional dan yang mistis. Pementasan ini menjamin bahwa di tengah modernitas yang steril, masih ada ruang bagi teriakan primitif dari topeng buas, ruang di mana manusia bertemu langsung dengan entitas yang paling menakutkan dan paling membebaskan.
Kekuatan Barongan terletak pada kemampuannya untuk menawarkan katarsis melalui kekacauan. Penonton datang untuk melihat batas-batas dilanggar, untuk menyaksikan kekuatan yang tidak manusiawi dilepaskan, dan pada akhirnya, untuk melihat kekuatan tersebut dikendalikan dan dikembalikan ke tempat asalnya. Proses inilah yang memberikan makna mendalam pada setiap pentas, memastikan bahwa Warisan Barongan devil tetap menjadi salah satu permata spiritual paling gelap dan paling bersinar di ranah budaya Jawa.
***
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Barongan devil pentas, kita harus mengkaji peran setiap elemen pendukung yang memastikan energi pertunjukan tetap pada level mistis yang diinginkan. Bukan hanya Pembarong, tetapi keseluruhan ekosistem pementasan harus disoroti, termasuk detail teknis kostum, alat musik, dan peran spesifik para penari pendamping.
Topeng Barongan devil adalah karya seni kerajinan yang memuat kekuatan magis. Biasanya, topeng dibuat dari kayu jati pilihan yang dikenal memiliki serat kuat dan diyakini dapat "menyimpan" energi. Proses pembuatan topeng seringkali melibatkan ritual puasa oleh pengrajin (undagi) dan penempatan benda-benda spiritual tertentu di dalamnya, seperti besi kecil atau rajah (simbol magis) yang bertujuan memanggil roh tertentu. Desainnya selalu menekankan aspek kekejaman: penggunaan rambut ijuk yang kasar dan panjang (meniru surai singa atau rambut raksasa yang tidak terawat), dan penambahan aksen cermin pada mata yang berfungsi untuk memantulkan cahaya panggung dan memberikan efek melotot yang lebih dramatis, seolah-olah mata itu hidup dan menatap langsung ke jiwa penonton.
Mulut Barongan dirancang agar bisa dibuka dan ditutup dengan hentakan kuat oleh pembarong, menghasilkan suara ‘klotak-klotak’ yang menirukan raungan atau gerutuan hewan buas. Suara ini sangat vital dalam memecah keheningan dan berfungsi sebagai sugesti audio yang mempercepat transisi penari ke kondisi ndadi. Taring yang terbuat dari tanduk atau bahkan gigi hewan tertentu juga ditambahkan untuk memperkuat kesan devilish, seringkali diwarnai merah darah atau hitam pekat.
Seperti yang telah disinggung, Kuda Lumping adalah kontras yang diperlukan bagi Barongan. Dalam banyak pertunjukan Jaranan, ada dua jenis kuda: Kuda Putih (melambangkan kesucian atau ksatria yang dihormati) dan Kuda Hitam/Merah (melambangkan nafsu atau prajurit yang lebih kasar). Barongan devil seringkali menargetkan Kuda Hitam/Merah karena roh-roh yang merasuki kuda-kuda ini memiliki energi yang paling cocok untuk interaksi buas dan kekerasan. Ketika Barongan menyerang mereka, perkelahian simbolis ini adalah representasi dari konflik internal manusia: perjuangan untuk mengendalikan nafsu dan kekuatan liar.
Fenomena ndadi pada penari Kuda Lumping, di mana mereka mulai memakan beling atau mencambuk diri, adalah respons langsung terhadap kehadiran Barongan yang mengamuk. Ini menunjukkan bahwa Barongan adalah katalis, sebuah entitas yang energinya sangat kuat sehingga memaksa manifestasi spiritual lain untuk muncul. Tanpa Barongan, ndadi mungkin tidak terjadi atau kurang intens. Dengan kata lain, Barongan adalah maestro dari kekacauan spiritual yang terorganisir.
Pecut adalah instrumen ritual yang penting, dipegang oleh pawang atau kadang oleh penari khusus. Bunyi pecut yang melengking kencang (suara cambuk yang memecah udara) bukan hanya untuk efek dramatis. Secara spiritual, suara pecut diyakini memiliki kekuatan untuk mengusir roh jahat yang tidak diundang, sambil pada saat yang sama, memberikan energi kejutan kepada penari yang sudah siap untuk kerasukan. Bunyi cambuk adalah penanda transisi, memotong batas antara realitas dan dimensi spiritual.
Pecut juga digunakan untuk mengendalikan Barongan ketika amukannya menjadi terlalu ekstrem. Pawang akan mencambukkan pecut ke tanah atau ke samping topeng (bukan ke tubuh penari) sebagai peringatan spiritual. Ini menunjukkan hierarki kekuatan: meskipun Barongan adalah manifestasi devil yang kuat, ia harus tunduk pada otoritas spiritual Pawang dan ritme yang ditetapkan. Pecut adalah simbol kekuasaan manusia (melalui ritual) atas kekuatan gaib.
Barongan devil pentas tidak statis; ia terus beradaptasi dengan kondisi sosial dan politik. Di masa lalu, ketika tekanan kolonialisme sangat kuat, Barongan seringkali menjadi saluran untuk mengekspresikan perlawanan terselubung. Keberanian dan kekuatan buas Barongan melambangkan semangat perlawanan yang tidak mau tunduk pada penjajahan.
Dalam era reformasi, Barongan digunakan sebagai medium kampanye sosial dan politik. Meskipun esensi mistisnya tetap ada, narasi Barongan kadang-kadang diubah untuk mencerminkan isu-isu kontemporer. Misalnya, Barongan dapat disajikan sebagai entitas yang marah karena kerusakan lingkungan atau korupsi. Keberhasilan adaptasi ini menunjukkan bahwa meskipun Barongan devil mewakili tradisi kuno, ia memiliki resonansi yang relevan dengan penderitaan dan harapan masyarakat modern.
Mengapa penonton, terutama anak-anak, sangat tertarik pada Barongan devil meskipun ia menakutkan? Jawabannya terletak pada konsumsi kolektif ketakutan. Dalam pementasan Barongan, ketakutan adalah pengalaman yang aman dan terstruktur. Penonton tahu bahwa meskipun Barongan terlihat ganas dan berbahaya, ada Pawang yang mengendalikan. Ini memungkinkan pelepasan emosi yang intens (ketakutan, kegembiraan, takjub) dalam lingkungan komunal yang aman.
Pengalaman ini berfungsi sebagai terapi sosial. Dengan menyaksikan manifestasi "devil" secara langsung, masyarakat secara tidak sadar memproses trauma kolektif mereka dan melepaskan tekanan psikologis. Ketika Barongan akhirnya "ditaklukkan" (atau Pawang mengakhiri trance), ada rasa lega dan restorasi harmoni. Ini menegaskan kembali bahwa meskipun kehidupan penuh dengan kekacauan dan kekuatan liar, ketertiban akhirnya akan menang, sebuah pesan yang sangat diperlukan dalam masyarakat yang seringkali dilanda ketidakpastian.
Beberapa antropolog melihat Barongan sebagai mekanisme sosial untuk mengatasi gangguan psikologis dan trauma. Individu yang memiliki kecenderungan untuk merasakan ketidakseimbangan emosional atau yang sering mengalami mimpi buruk terkadang dianjurkan untuk ikut serta dalam ritual Barongan (baik sebagai penari kuda lumping maupun Barongan) sebagai cara untuk menyalurkan energi negatif mereka melalui trance yang terorganisir. Ndadi, dalam pandangan ini, adalah pelepasan psikologis yang dilegitimasi secara budaya, di mana individu dapat bertindak liar tanpa konsekuensi sosial, karena tindakan tersebut diatribusikan pada entitas 'devil' yang merasuki.
Setelah keluar dari kondisi trance, penari seringkali merasa lega dan energinya pulih. Proses ini, yang dipandu oleh Pawang yang mahir, bertindak sebagai semacam "terapi spiritual" massal. Pentingnya fungsi ini sering diabaikan dalam analisis Barongan yang hanya berfokus pada estetika tariannya. Fungsi penyembuhan ini semakin memperkuat status Barongan devil sebagai ritual komunitas yang esensial, jauh melampaui sekadar pertunjukan seni belaka.
Barongan devil pentas adalah sebuah warisan yang kaya, mencerminkan interaksi abadi antara manusia, alam, dan kekuatan gaib. Ia adalah perwujudan keganasan yang diperlukan, sebuah cerminan kekuatan primordial yang harus dihormati. Kehadirannya di panggung, baik di desa terpencil maupun di festival kota, selalu membawa serta aura misteri, adrenalin, dan energi spiritual yang tak tertandingi.
Selama suara gong masih berdentum memanggil, selama asap kemenyan masih mengepul di sekitar topeng taring, dan selama pembarong masih memiliki keberanian untuk menyerahkan raganya kepada entitas yang buas, maka Barongan devil akan terus menjadi bagian integral dari identitas budaya Jawa, mengingatkan kita bahwa kekuatan purba—meskipun menakutkan—adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi kita.
***