Barongsai yang kita kenal saat ini bukan sekadar pertunjukan akrobatik biasa; ia adalah manifestasi dari warisan budaya yang kaya, dipenuhi simbolisme, sejarah panjang, dan semangat komunitas yang tak terpadamkan. Tarian singa Tiongkok Selatan ini telah melintasi samudra dan beradaptasi di berbagai belahan dunia, menemukan rumah kedua yang hangat di kepulauan Nusantara.
Kehadiran Barongsai yang dinamis, dengan gerakan lincah dan hentakan musik yang menggelegar, selalu menjadi titik fokus dalam perayaan besar, terutama Tahun Baru Imlek. Lebih dari sekadar hiburan, tarian ini diyakini membawa keberuntungan, mengusir roh jahat, dan menjamin kemakmuran bagi tempat yang dikunjunginya. Energi yang dipancarkan oleh dua penari di balik kostum singa raksasa menciptakan suasana kegembiraan dan harapan yang mendalam.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam setiap aspek dari seni pertunjukan yang megah ini, mulai dari akar historisnya di Tiongkok kuno, filosofi yang tersembunyi di balik setiap jengkal kostumnya, hingga bagaimana Barongsai yang telah berakulturasi dan menjadi bagian integral dari mozaik budaya Indonesia. Pemahaman kita terhadap Barongsai akan melampaui sekadar kostum singa yang bersemangat, namun menyentuh esensi spiritual dan disiplin fisik yang menopangnya.
Sejarah Barongsai (Wǔ Shī) terjalin erat dengan mitologi dan perkembangan budaya Tiongkok selama berabad-abad. Walaupun terdapat berbagai versi, umumnya diyakini bahwa tarian ini berasal dari periode Dinasti Han (206 SM – 220 M), meskipun popularitas dan bentuk modernnya baru muncul pada masa Dinasti Tang (618 – 907 M). Konon, singa, sebagai hewan non-endemik Tiongkok, diperkenalkan melalui jalur perdagangan dan Jalur Sutra. Begitu tiba, singa segera menjadi simbol kekuatan dan perlindungan dalam Buddhisme.
Terdapat beberapa legenda tentang bagaimana Barongsai yang Agung ini pertama kali diciptakan. Salah satu kisah paling terkenal berasal dari era Kaisar Qianlong dari Dinasti Qing. Diceritakan bahwa singa liar menyerang sebuah desa, dan penduduk desa, yang tak mampu melawannya, menciptakan patung singa dari bambu dan kain, lalu menari-nari di dalamnya dengan iringan musik keras. Singa liar itu ketakutan dan melarikan diri, sehingga tarian tersebut diyakini memiliki kekuatan mengusir kejahatan.
Versi lain mengisahkan tentang mimpi seorang Kaisar yang melihat seekor singa berwarna-warni menari untuk menyelamatkan istana dari bencana. Setelah terbangun, Kaisar memerintahkan para seniman istana untuk menciptakan kostum singa yang mirip dengan yang ia lihat dalam mimpinya, menciptakan tarian Barongsai yang dipersembahkan untuk Dewa Langit sebagai bentuk syukur dan permohonan perlindungan.
Seiring waktu, tarian singa berkembang menjadi dua aliran utama yang memiliki karakter sangat berbeda, keduanya sama-sama menampilkan Barongsai yang kaya makna:
Gaya Selatan, terutama yang berasal dari Kanton (Guangdong) dan Fujian, adalah Barongsai yang kemudian dibawa oleh para migran Tiongkok ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia, sehingga dominasi gaya ini sangat kentara dalam tradisi lokal.
Kedatangan Barongsai yang bersemangat ke Indonesia beriringan dengan gelombang imigrasi Tiongkok dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Di masa-masa awal, pertunjukan ini adalah bagian vital dari identitas budaya komunitas Tionghoa perantauan. Namun, ada masa-masa sulit.
Selama periode Orde Baru, khususnya pasca tahun 1967, segala bentuk ekspresi budaya Tiongkok di ruang publik dilarang. Barongsai yang tadinya sering tampil harus bersembunyi atau hanya ditampilkan secara terbatas di dalam klenteng. Pelestarian Barongsai saat itu hanya dimungkinkan berkat dedikasi diam-diam para maestro dan komunitas seni bela diri yang menjaganya agar tidak punah.
Titik balik terjadi pada tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Sejak saat itu, Barongsai mengalami kebangkitan luar biasa, tidak hanya sebagai tarian etnis, tetapi sebagai kesenian yang diterima dan diapresiasi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, menjadikannya Barongsai yang benar-benar telah menjadi warisan kultural bersama.
Setiap detail pada Barongsai, mulai dari warna, bentuk mata, hingga setiap lompatan dan gerakan kepala, mengandung makna filosofis yang mendalam, berakar pada Taoisme, Buddhisme, dan nilai-nilai Kung Fu. Memahami aspek ini akan membuka mata kita tentang betapa seriusnya para penari mendekati Barongsai yang mereka hidupkan.
Warna singa adalah kunci untuk memahami peran dan status spiritualnya. Dalam tradisi Tionghoa, ada lima singa utama yang dikaitkan dengan lima Jenderal besar dari Tiga Kerajaan atau lima arah mata angin:
Selain itu, Barongsai yang memiliki banyak warna cerah atau bulu emas seringkali mewakili kemakmuran dan kekayaan, seringkali ditampilkan dalam acara-acara bisnis.
Kepala Barongsai yang indah dan rumit adalah pusat dari segalanya. Beberapa elemen penting:
Gerakan Barongsai bukan sembarang tarian; mereka meniru siklus kehidupan singa dan menggambarkan berbagai emosi melalui postur tubuh yang diturunkan dari Kung Fu. Setiap langkah dan hentakan drum memiliki arti:
Barongsai yang harus menunjukkan 'Sheng' (Roh/Jiwa). Roh ini disampaikan melalui koordinasi sempurna antara dua penari—Kepala (Penari depan) yang bertanggung jawab atas ekspresi dan emosi, dan Ekor (Penari belakang) yang menjaga kekuatan dan kelincahan tubuh singa.
Inti dari pertunjukan Barongsai yang spektakuler adalah kombinasi sempurna antara seni tari dan disiplin fisik Wushu (Kung Fu). Para penari adalah atlet yang terlatih dengan keras, mampu melakukan manuver yang menantang gravitasi, terutama dalam disiplin tiang atau meja.
Sebuah tim Barongsai yang sukses membutuhkan sinkronisasi yang hampir telepati. Penari depan harus memimpin arah dan emosi, sementara penari belakang harus menopang beratnya sambil menjaga ilusi tubuh singa yang lentur. Latihan fisik mencakup:
Disiplin tertinggi dalam Barongsai modern adalah tarian di atas tiang atau pilar (Mei Hua Zhuang, Tiang Bunga Plum). Set tiang ini dapat mencapai ketinggian 3 meter atau lebih, dan para penari harus melompat dari satu tiang ke tiang lainnya, melakukan putaran 360 derajat, dan menyeimbangkan diri di titik-titik sempit.
Dalam tarian tiang, Barongsai yang ditampilkan harus menunjukkan keberanian ekstrem dan akurasi geometris. Penari depan sering diangkat tinggi-tinggi oleh penari belakang, seolah-olah singa sedang mencari makanan atau melompat melintasi jurang. Kegagalan sekecil apa pun dapat menyebabkan cedera serius, menyoroti dedikasi yang dibutuhkan dalam seni ini.
Cai Qing adalah ritual terpenting dalam penampilan Barongsai. Secara harfiah berarti "memetik sayuran," ritual ini melibatkan pengambilan amplop merah (Angpao) yang diikatkan pada sayuran (biasanya selada atau sawi) dan digantung tinggi-tinggi di pintu atau di tiang yang sulit dijangkau.
Selada (Qing Cai) dan Angpao melambangkan rezeki dan keberuntungan. Prosesi pengambilan Angpao ini seringkali merupakan klimaks dari pertunjukan, di mana Barongsai yang harus menunjukkan kecerdikan, kehati-hatian, dan kemampuan akrobatik yang luar biasa untuk mendapatkan hadiah tersebut. Setelah berhasil, singa akan "memakan" Angpao, dan kemudian "meludahkan" daun selada yang telah dirobek, yang kemudian disebar kepada penonton sebagai simbol pembagian keberuntungan.
Tidak ada pertunjukan Barongsai yang lengkap tanpa iringan musik yang ritmis dan penuh tenaga. Musik Wushu, atau musik tarian singa, adalah jiwa dari pertunjukan tersebut. Ia tidak hanya berfungsi sebagai latar belakang, melainkan sebagai panduan emosional dan isyarat untuk setiap gerakan singa. Musik inilah yang mengatur tempo, perubahan suasana hati, dan transisi dari gerakan perlahan menjadi aksi akrobatik yang eksplosif.
Orkestra Wushu didominasi oleh tiga instrumen perkusi utama yang secara kolektif disebut ‘Tiga Alat Musik’: Drum (Gu), Gong (Luo), dan Simbal (Bo).
Setiap urutan ketukan perkusi memiliki nama dan arti tertentu, yang dipahami baik oleh musisi maupun penari. Sebagai contoh:
Melalui variasi tempo dan dinamika ini, musisi Wushu secara efektif menceritakan kisah yang sedang dilakukan oleh Barongsai yang ada di lapangan. Tanpa ritme yang tepat, singa akan kehilangan jiwanya.
Keahlian penabuh drum sangat dihargai. Mereka harus mampu memimpin orkestra dan tarian selama berjam-jam, seringkali tanpa naskah, hanya mengandalkan energi dan improvisasi singa. Hubungan simbiotik antara drum dan gerakan adalah apa yang menjadikan Barongsai seni pertunjukan yang lengkap dan imersif. Barongsai yang diam tanpa musik, adalah Barongsai yang tidak hidup.
Di Indonesia, Barongsai telah melampaui statusnya sebagai kesenian imigran dan bertransformasi menjadi salah satu ikon multikulturalisme. Proses akulturasi ini telah terjadi secara bertahap, menjadikannya Barongsai yang khas dan unik di Asia Tenggara.
Sejak dicabutnya larangan pada tahun 2000, perkembangan Barongsai di Indonesia melesat cepat. Kelompok-kelompok baru bermunculan, dan mereka mulai aktif berpartisipasi dalam festival non-Imlek. Barongsai yang dulunya eksklusif, kini sering terlihat dalam perayaan nasional, pembukaan pusat perbelanjaan, bahkan pernikahan. Fenomena ini menunjukkan penerimaan masyarakat luas terhadap seni Barongsai yang energik dan penuh warna.
Meskipun gerakan inti Barongsai tetap berpegang pada tradisi Tiongkok Selatan, di beberapa daerah, terdapat upaya integrasi halus dengan budaya lokal. Misalnya, beberapa kelompok di Jawa dan Bali mulai menggabungkan unsur musik tradisional atau bahkan sedikit sentuhan kostum batik pada penari pendamping. Walaupun Barongsai yang murni tetap diutamakan dalam kompetisi, akulturasi ini membantu membumikan seni ini di tengah masyarakat majemuk.
Pengaruh seni bela diri lokal juga terasa. Para penari Barongsai, yang sebagian besar juga adalah praktisi Wushu, seringkali berlatih bersama praktisi Pencak Silat. Sinergi ini memperkuat disiplin fisik yang dibutuhkan oleh Barongsai yang lincah dan kuat.
Indonesia kini dikenal sebagai salah satu kekuatan utama dalam kompetisi Barongsai internasional. Tim-tim Barongsai yang berasal dari Jakarta, Surabaya, dan Pontianak sering meraih gelar juara dunia dalam kategori Tarian Tiang (Mei Hua Zhuang).
Dedikasi terhadap pelatihan yang sangat keras, didukung oleh semangat pantang menyerah, telah mengangkat standar Barongsai Indonesia ke tingkat global. Prestasi ini tidak hanya mengharumkan nama komunitas Tionghoa, tetapi juga membuktikan bahwa seni Barongsai yang dianggap etnis telah menjadi milik nasional.
Kompetisi memaksa adanya inovasi dalam teknik, koordinasi, dan desain kostum. Penilaian yang ketat pada ekspresi, ritme musik, dan tingkat kesulitan akrobatik mendorong para atlet untuk terus menyempurnakan setiap detail kecil dalam pertunjukan mereka. Mereka memahami bahwa untuk memenangkan hati juri dan penonton, Barongsai yang dibawakan harus sempurna, baik secara teknis maupun emosional.
Pada akhirnya, peran terpenting Barongsai yang ada di Indonesia adalah sebagai jembatan. Ia menjadi simbol yang mampu menyatukan berbagai suku dan agama dalam semangat perayaan. Ketika Barongsai menari di depan klenteng, gereja, atau pusat kota, ia membawa pesan toleransi dan keberuntungan untuk semua orang, tanpa memandang latar belakang.
Ini adalah transformasi sosial yang luar biasa: seni yang dulunya terpinggirkan kini berdiri tegak sebagai manifestasi dari Bhinneka Tunggal Ika. Barongsai mengajarkan kepada kita bahwa kekayaan budaya tercipta ketika tradisi kuno diperbolehkan untuk bernapas dan berinteraksi dengan lingkungan baru.
Untuk memahami kedalaman Barongsai yang ditampilkan, kita harus mengupas narasi yang coba disampaikan melalui urutan gerakan yang telah distandarisasi dan dikembangkan selama berabad-abad. Sebuah tarian Barongsai yang profesional adalah kisah mini tentang kehidupan singa, dari tidur hingga eksplorasi, perburuan, dan penemuan keberuntungan.
Penari harus mampu memproyeksikan singa sebagai makhluk hidup yang memiliki insting tajam. Gerakan ‘Mengendus’ (Wèn) dilakukan dengan kepala singa yang turun ke tanah, bergerak ke kiri dan ke kanan. Ini menunjukkan kewaspadaan dan kehati-hatian singa terhadap lingkungan sekitar.
Kontras yang tajam antara gerakan ‘Lambat’ dan ‘Cepat’ adalah kunci. Ketika singa bergerak lambat, setiap langkah harus terasa berat dan berwibawa. Namun, dalam sekejap, singa bisa meledak menjadi gerakan ‘Mengaum’ (Hǒu), di mana penari belakang mengangkat penari depan tinggi-tinggi, dan kepala singa digoyangkan dengan cepat untuk menciptakan ilusi kekuatan tak terkalahkan. Barongsai yang sukses mampu menahan napas penonton melalui perubahan kecepatan yang mendadak ini.
Teknik ini sangat penting, terutama saat singa mendekati ‘Cai Qing’ yang sulit. Langkah kucing adalah cara berjalan yang sangat pelan, merayap, dan berhati-hati, mirip seekor kucing yang sedang mengintai mangsa. Berat tubuh diletakkan pada tumit, dan gerakan lutut sangat rendah. Teknik ini menuntut kekuatan kaki dan keseimbangan luar biasa dari kedua penari. Ini adalah momen ketegangan dalam cerita, menunjukkan kecerdasan dan kesabaran Barongsai yang sedang berjuang.
Meskipun mata dan kepala menjadi fokus emosi, ekor Barongsai yang dimainkan oleh penari belakang, memainkan peran vital dalam narasi. Ekor berfungsi sebagai penyeimbang, namun juga sebagai indikator suasana hati:
Ketepatan pergerakan ekor ini memastikan bahwa singa terlihat seperti satu kesatuan organisme, bukan sekadar dua orang di bawah kain. Barongsai yang profesional akan memastikan ekornya terus hidup dan mengikuti emosi kepala.
Dalam kompetisi, seringkali ditambahkan elemen ekstrem seperti melompati celah besar antar tiang atau berjalan di atas jembatan yang terbuat dari tali tipis. Manuver ini tidak hanya menguji kekuatan fisik, tetapi juga kepercayaan mutlak antara dua penari. Penari belakang harus menstabilkan seluruh tubuh singa sambil berdiri di permukaan yang hanya selebar sepatu, sementara penari depan melakukan ekspresi kemenangan atau rasa takut saat melihat ke bawah.
Lompatan tersulit adalah lompatan ‘terbang’ ke tiang tertinggi, di mana penari depan harus melompat dari bahu penari belakang dan mendarat di tiang puncak, menciptakan ilusi Barongsai yang sesungguhnya mampu terbang. Ini adalah puncak akrobatik Barongsai yang selalu dinantikan penonton.
Meskipun Barongsai kini dinikmati secara luas, pelestarian seni tradisional ini menghadapi tantangan yang kompleks di era modern, mulai dari regenerasi hingga tekanan komersial. Seni Barongsai yang otentik menuntut dedikasi yang intens dan biaya yang tidak sedikit.
Salah satu tantangan terbesar adalah menarik generasi muda untuk berkomitmen pada tingkat disiplin yang dibutuhkan. Pelatihan Barongsai sangat berat, menggabungkan latihan fisik ala atlet, disiplin seni bela diri (Kung Fu), dan pemahaman mendalam tentang ritme musik dan filosofi Tiongkok kuno. Menciptakan penari yang mahir membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Banyak kelompok seni Barongsai yang harus berjuang untuk menyeimbangkan antara mempertahankan kekakuan tradisi dan adaptasi agar menarik bagi anggota baru yang terbiasa dengan hiburan yang lebih instan. Penting untuk memastikan bahwa semangat dan filosofi tarian tidak hilang demi akrobatik semata.
Peralatan Barongsai yang berkualitas tinggi sangat mahal. Kepala Barongsai yang dibuat oleh perajin tradisional, terutama dari Foshan atau Hoksan, dapat berharga jutaan rupiah dan memerlukan perawatan intensif. Belum lagi biaya kostum, pelatihan tiang, dan instrumen musik (terutama drum Wushu yang besar).
Pendanaan sering kali menjadi isu, dan banyak tim harus bergantung pada sponsor atau donasi dari komunitas. Ini menciptakan tekanan untuk tampil secara komersial, yang kadang-kadang menggeser fokus dari nilai spiritual dan artistik tarian.
Para maestro Barongsai modern terus bereksperimen, misalnya dengan menambahkan efek LED pada kostum atau menggunakan desain yang lebih futuristik. Tantangannya adalah melakukan inovasi yang dapat meningkatkan kualitas pertunjukan tanpa mengorbankan identitas Barongsai yang fundamental. Barongsai yang dimodifikasi secara berlebihan berisiko kehilangan koneksi historisnya.
Di Indonesia, banyak yayasan yang kini bekerja sama dengan pemerintah daerah dan sekolah untuk mengenalkan Barongsai sebagai ekstrakurikuler budaya, bukan hanya sebagai ritual keagamaan. Upaya ini memastikan bahwa Barongsai yang hebat akan terus lahir, dengan akar budaya yang kuat namun siap menghadapi panggung global.
Setelah menelusuri sejarah panjang, filosofi rumit, dan disiplin fisik yang menuntut, jelaslah bahwa Barongsai yang berjingkrak-jingkrak di jalanan atau melompat di atas tiang bukan sekadar tontonan musiman. Ia adalah sebuah ensiklopedia hidup tentang nilai-nilai Tiongkok kuno yang diwariskan melalui gerak, bunyi, dan warna.
Setiap goyangan kepala, setiap hentakan drum, dan setiap langkah hati-hati di tiang tinggi adalah representasi dari perjuangan hidup. Singa melambangkan individu atau komunitas yang menghadapi tantangan (Cai Qing/sayuran yang sulit dijangkau), melewati rintangan (lompatan di tiang), dan akhirnya meraih keberuntungan dan kemakmuran.
Di Indonesia, Barongsai telah membuktikan kekuatan adaptasinya. Ia telah menjadi simbol yang diterima, dirayakan, dan dibanggakan oleh berbagai etnis. Kehadiran Barongsai yang dinamis di tengah perayaan adalah janji akan vitalitas, keberanian, dan semangat persatuan yang melintasi batas-batas identitas.
Melalui keringat para atlet, bunyi instrumen yang menggelegar, dan cahaya dari mata singa yang berkilauan, Barongsai akan terus menari. Ia akan terus mengusir kejahatan, membawa harapan, dan mengingatkan kita akan kekayaan warisan budaya yang harus terus dijaga. Barongsai yang hidup adalah Barongsai yang terus dicintai dan dipelajari oleh generasi mendatang.
Semoga semangat Barongsai yang berapi-api ini terus memberikan inspirasi, kekuatan, dan keberuntungan di setiap langkah hidup kita.