Barongan Kusumojoyo bukan sekadar tarian rakyat atau ritual sesaat; ia adalah sebuah epos visual yang bergerak, sebuah cermin kuno yang memantulkan gejolak sejarah, keyakinan spiritual, dan tata nilai masyarakat Jawa secara mendalam. Dalam setiap hentakan kaki penari Jathilan, setiap getaran gong Gamelan, dan setiap kibasan surai raksasa topeng Barongan, terkandung narasi panjang mengenai perjuangan antara kebaikan dan keburukan, antara kekacauan primordial dan tatanan kosmik yang diidamkan.
Nama Kusumojoyo sendiri menyiratkan sebuah keagungan dan kemuliaan. Dalam bahasa Jawa, Kusumo bermakna bunga atau yang paling mulia, sementara Joyo merujuk pada kemenangan atau kejayaan. Barongan Kusumojoyo, oleh karenanya, diyakini sebagai Barongan yang membawa kemuliaan, perlindungan, dan kemenangan spiritual bagi komunitas yang memelihara dan mementaskannya. Ia adalah representasi visual dari keberanian heroik yang dibutuhkan untuk menjaga harmoni di bumi, sebuah warisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, menembus lapisan zaman yang terus berubah.
Representasi Topeng Barongan Kusumojoyo, simbol kekuatan pelindung.
Memahami Barongan Kusumojoyo membutuhkan penelusuran balik ke periode kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur, khususnya era Kediri dan Majapahit. Meskipun banyak versi Barongan tersebar di Nusantara, tradisi yang menyandang gelar ‘Kusumojoyo’ seringkali dikaitkan dengan narasi-narasi yang berhubungan dengan Babad Tanah Jawi dan upaya penyebaran spiritualitas.
Pada dasarnya, Barongan adalah manifestasi dari Bhuta Kala, kekuatan alam yang besar, liar, dan harus dihormati sekaligus dikendalikan. Dalam konteks Kusumojoyo, Barongan diinterpretasikan bukan hanya sebagai roh jahat yang harus diusir, melainkan sebagai Penjaga Teritorial yang beralih fungsi. Ia adalah roh leluhur yang mengambil wujud raksasa menakutkan untuk melindungi batas-batas desa atau keraton dari energi negatif.
Menurut narasi lisan yang diyakini oleh sebagian besar kelompok Barongan Kusumojoyo, asal-usul penamaan ini berasal dari seorang Adipati atau tokoh spiritual yang memiliki kesaktian luar biasa dalam menaklukkan kekuatan alam. Adipati tersebut, yang namanya kini diwariskan menjadi 'Kusumojoyo', tidak menaklukkan Barongan dengan kekerasan, melainkan dengan pemahaman, memimpin Bhuta Kala tersebut untuk melayani tujuan yang lebih mulia.
Proses ‘penaklukan’ ini bukanlah peperangan fisik, melainkan sebuah ritual spiritual yang mengubah energi destruktif Barongan menjadi energi protektif. Topeng Barongan Kusumojoyo, oleh karena itu, selalu diyakini memiliki ‘isi’ atau roh penjaga yang kuat, bukan sekadar kayu ukiran biasa. Pembuatan dan perawatan topengnya pun mengikuti tata cara ritual yang ketat, menjadikannya benda pusaka yang sakral.
Kisah ini menekankan bahwa kejayaan (Joyo) sejati berasal dari kemuliaan (Kusumo) budi pekerti dan penguasaan diri, bukan dari kekuatan fisik semata. Pemain Barongan (Juru Barong) harus melalui laku tirakat tertentu untuk dapat menyatukan jiwanya dengan roh Barongan Kusumojoyo tanpa kehilangan kesadaran.
Setiap elemen dalam pertunjukan Barongan Kusumojoyo dipenuhi dengan simbolisme filosofis yang kaya, menjadikannya kuliah bergerak tentang etika Jawa. Estetika yang liar, penuh warna, dan terkadang menyeramkan adalah wadah untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang fundamental.
Topeng Barongan Kusumojoyo dikenal karena detailnya yang sangat teliti. Kayu yang digunakan biasanya dari jenis Jati atau Nangka yang sudah berusia ratusan tahun, diyakini dapat menampung energi spiritual yang kuat. Tiga elemen utama yang menonjol adalah:
Mata Barongan selalu digambarkan merah membara atau kuning keemasan, melambangkan amarah suci (Krodha Bhumi) dan kesiapan untuk menghadapi segala ancaman. Merah adalah warna kekuatan dan keberanian, tetapi juga merupakan peringatan akan bahaya yang mengintai.
Rambut yang terurai panjang (gimbal) terbuat dari serat ijuk atau, pada Barongan pusaka, menggunakan rambut kuda atau kerbau. Gimbal melambangkan kekacauan yang tak teratur (chaos) yang merupakan bagian dari alam semesta. Gerakan gimbal saat menari mencerminkan energi alam yang bebas dan tak terduga.
Ciri khas Barongan Kusumojoyo yang membedakannya adalah hiasan mahkota atau Sumping yang lebih kompleks. Hiasan ini seringkali diukir dengan motif flora Jawa (seperti bunga atau daun Lontar) dan dilapisi warna emas atau perak. Sumping ini adalah pengingat bahwa meskipun sosoknya liar, Barongan Kusumojoyo memiliki kasta spiritual yang mulia (Kusumo).
Kostum tubuhnya, yang ditutupi kain beludru hitam atau merah, dihiasi dengan payet keemasan (renteng kencana) yang memantulkan cahaya. Ini menggambarkan kekayaan budaya dan spiritual yang dilindungi oleh sang Barongan.
Koreografi Barongan Kusumojoyo adalah dialog fisik antara kekuatan liar dan pengendalinya. Tarian ini terbagi menjadi beberapa fase:
Gerakan yang paling esensial adalah Gedrug (hentakan kaki yang kuat) yang bertujuan untuk membangunkan roh bumi dan mengusir roh jahat dari tanah tempat pertunjukan diadakan. Gedrug adalah ritual pembersihan yang dilakukan secara berulang-ulang, menandakan ketegasan spiritual Barongan Kusumojoyo.
Keagungan Barongan Kusumojoyo tidak berdiri sendiri; ia ditopang oleh kesatuan karakter pendukung yang membentuk sebuah mikrokosmos sosial-spiritual. Setiap karakter memiliki fungsi simbolik dan tugas dramatik yang spesifik, menciptakan tontonan yang kompleks dan berjenjang.
Jathilan, penari yang menunggangi kuda tiruan dari anyaman bambu, melambangkan pasukan ksatria yang setia dan berani. Mereka adalah perwujudan dari prajurit keraton Kusumojoyo yang siap tempur. Peran Jathilan sangat krusial karena merekalah yang pertama kali berinteraksi dengan energi Barongan. Kesurupan (trance) yang dialami penari Jathilan di tengah pertunjukan adalah wujud penerimaan kekuatan spiritual Barongan untuk melindungi diri dan komunitas.
Ganongan, atau Patih Bujang Ganong, adalah karakter yang mengenakan topeng berwajah kera merah atau topeng patih tua yang jenaka namun bijaksana. Ganongan adalah antitesis yang dibutuhkan oleh Barongan. Jika Barongan adalah kekuatan murni, Ganongan adalah kecerdikan dan humor (Kecerdasan Batin).
Ganongan seringkali bertingkah konyol dan menggoda, tetapi perannya adalah yang paling vital: ia yang mampu meredam amukan Barongan. Dia adalah jembatan komunikasi antara dunia raksasa dan dunia manusia. Filosofi Ganongan mengajarkan bahwa masalah besar (Barongan) harus dihadapi tidak hanya dengan kekuatan, tetapi juga dengan keluwesan, humor, dan strategi.
Sosok di balik topeng Barongan Kusumojoyo adalah Pembarong. Tugas ini menuntut kekuatan fisik yang luar biasa, mengingat bobot topeng dan kain yang bisa mencapai puluhan kilogram, serta ketahanan mental untuk menahan tekanan spiritual. Pembarong Barongan Kusumojoyo biasanya adalah sosok yang telah menjalani puasa dan meditasi khusus.
Terdapat korelasi erat antara kekuatan fisik (raga) dan kekuatan spiritual (jiwa). Gerakan Barongan yang eksplosif dan tidak terduga, seperti menggigit kepala kuda Jathilan atau mengangkat diri sendiri hanya dengan leher, seringkali dipercayai bukan sepenuhnya dihasilkan oleh kekuatan Pembarong, melainkan oleh dorongan energi spiritual dari roh Barongan itu sendiri.
Tidak ada pertunjukan Barongan Kusumojoyo yang lengkap tanpa iringan musik Gamelan. Gamelan bukan sekadar musik latar; ia adalah nyawa pertunjukan, pemandu ritus, dan pengatur energi kesurupan. Pola tabuhan Gamelan secara spesifik dirancang untuk membangun dan melepaskan ketegangan dramatik dan spiritual.
Dalam Barongan Kusumojoyo, komposisi Gamelan cenderung lebih dinamis dan cepat dibandingkan Gamelan untuk Wayang Kulit. Instrumen utamanya meliputi:
Ada beberapa Gending (lagu Gamelan) spesifik yang wajib dimainkan dalam tradisi Kusumojoyo. Gending-gending ini seringkali berfungsi layaknya mantra musikal, memanggil roh penjaga dan menjaga agar kesurupan (ndadi) tidak menjadi destruktif. Contohnya adalah Gending "Eling-Eling" yang dimainkan perlahan untuk meredam amarah Barongan saat ia mulai kehilangan kendali.
Kontras musikal sangat ditekankan. Ketika Barongan berada pada puncak amuknya, Gamelan akan mencapai kecepatan maksimal, menciptakan dinding suara yang memekakkan telinga, melambangkan puncak kekacauan. Sebaliknya, ketika Ganongan beraksi, musik akan berubah menjadi irama yang lebih ringan dan jenaka, menyeimbangkan suasana.
Barongan Kusumojoyo sering kali dipentaskan dalam konteks ritual, bukan semata-mata hiburan. Pentasnya terkait erat dengan upacara bersih desa, ruwatan, atau tolak bala, di mana Barongan berfungsi sebagai media pembersihan dan perlindungan kolektif.
Sebelum pertunjukan dimulai, rangkaian ritual persiapan harus dilakukan. Ini melibatkan penyediaan Sesajen (persembahan) yang spesifik. Sesajen ini ditujukan kepada roh Barongan, roh leluhur Kusumojoyo, dan roh-roh penjaga wilayah.
Sesajen umum meliputi:
Ritual ini memastikan bahwa Barongan ‘naik’ dengan izin dan bahwa energinya terkendali, tidak menyebabkan kerugian bagi masyarakat sekitar. Pelaksanaan ritual yang salah diyakini dapat menyebabkan Barongan menjadi liar dan tidak terkontrol.
Kesurupan adalah bagian tak terpisahkan dari pertunjukan Barongan. Dalam tradisi Kusumojoyo, Ndadi (kesurupan) tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai proses terapi kolektif. Penari Jathilan yang ndadi menunjukkan perilaku luar biasa, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau berjalan di atas bara api. Tindakan ini melambangkan kemampuan manusia untuk mengatasi batasan fisik ketika didorong oleh kekuatan spiritual suci.
Tokoh Bopo/Dhukun memiliki peran penting sebagai pengendali spiritual. Dengan menggunakan cambuk (pecut) dan mantra, Bopo bertanggung jawab untuk:
Di era globalisasi dan digital, Barongan Kusumojoyo menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan otentisitasnya tanpa kehilangan relevansi. Upaya pelestarian kini berfokus pada regenerasi, dokumentasi, dan adaptasi tanpa mengorbankan sakralitasnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi sanggar-sanggar Barongan Kusumojoyo adalah Erosi Filosofis. Banyak pertunjukan kini didorong oleh permintaan pasar hiburan, yang menuntut durasi lebih singkat, kurangnya ritual pembukaan yang rumit, dan hilangnya fase-fase tarian yang lambat dan sakral. Hal ini menyebabkan Barongan dilihat hanya sebagai tontonan atraksi kesurupan, bukan sebagai ritual pemujaan.
Selain itu, kurangnya bahan baku tradisional juga menjadi masalah. Untuk topeng pusaka, diperlukan kayu yang langka dan proses pembuatan yang memakan waktu lama serta biaya yang tinggi. Regenerasi Pembarong yang siap menjalani laku tirakat juga semakin sulit ditemukan di kalangan generasi muda yang serba instan.
Kelompok Barongan Kusumojoyo yang progresif menerapkan strategi ganda. Di satu sisi, mereka mempertahankan pelatihan internal yang ketat (termasuk puasa dan meditasi) untuk menjaga kemurnian spiritual Barongan pusaka. Di sisi lain, mereka memanfaatkan teknologi:
Pemanfaatan Media Digital: Dokumentasi video pertunjukan Barongan dengan narasi filosofis disebarluaskan melalui platform digital. Hal ini membantu memperkenalkan warisan Kusumojoyo ke audiens yang lebih luas, sekaligus mendokumentasikan gending dan gerakan baku yang terancam punah.
Pendidikan Seni Budaya: Sanggar-sanggar Barongan Kusumojoyo kini bekerja sama dengan sekolah-sekolah lokal untuk memasukkan pelatihan Barongan ke dalam kurikulum ekstrakurikuler. Anak-anak diajarkan tentang etika, sejarah, dan seni membatik atau mengukir topeng, sebelum mereka diperbolehkan menyentuh topeng Barongan yang sakral.
Sebagai seni pertunjukan yang megah dan eksotis, Barongan Kusumojoyo juga mulai berfungsi sebagai duta budaya Indonesia. Ketika dipentaskan di luar negeri, elemen-elemennya yang garang dan mistis mampu memukau penonton global, memberikan gambaran yang mendalam tentang kompleksitas spiritualitas Jawa yang tidak hanya lembut (seperti Wayang Kulit) tetapi juga kuat dan heroik.
Untuk mencapai pemahaman utuh mengenai Barongan Kusumojoyo, perlu diperhatikan detail-detail minor yang sering terlewat, namun memiliki signifikansi filosofis yang besar dalam tatanan pertunjukan.
Tata panggung pertunjukan Barongan, meskipun sederhana, sering kali meniru pola Mandala (lingkaran kosmis) atau bentuk candi. Barongan selalu ditempatkan di pusat (sebagai Lingga), sementara penari Jathilan bergerak mengelilinginya. Gerakan melingkar ini melambangkan perputaran roda kehidupan dan siklus waktu yang abadi. Barongan Kusumojoyo, sebagai pusat kekuatan, bertindak sebagai paku bumi yang menjaga kestabilan teritorial.
Dalam beberapa varian Kusumojoyo, muncul karakter Warok, pria dewasa yang kuat dan berwibawa, seringkali membawa cambuk (Pecut). Warok melambangkan kekuatan maskulin Jawa yang matang, bijaksana, dan bertanggung jawab. Jika Barongan adalah manifestasi kekuatan alam, Warok adalah manifestasi dari Kewibawaan Manusia yang mampu mengendalikan dan mengarahkan kekuatan tersebut melalui akal dan kebatinan.
Cambuk yang dibawa Warok bukanlah alat pukul, melainkan simbol disiplin spiritual. Bunyi pecut yang keras saat dicambuk ke tanah diyakini dapat mengusir roh pengganggu dan memperkuat pagar gaib di sekitar arena pertunjukan.
Warna pada kostum dan topeng Barongan Kusumojoyo dipilih berdasarkan filosofi warna Jawa:
Topeng Barongan Kusumojoyo bukan produk seni ukir biasa; ia adalah sebuah bejana yang disiapkan untuk ditinggali oleh roh penjaga. Proses pembuatannya sangat sakral dan melibatkan serangkaian laku spiritual dari sang pengukir (Undhagi).
Kayu yang dipilih harus memenuhi kriteria tertentu, idealnya kayu yang jatuh sendiri (Tumbang Jaler) atau kayu dari pohon yang tumbuh di tempat sakral (Hutan Larangan). Kayu ini harus ‘berisi’, yaitu memiliki aura atau energi alami yang kuat. Sebelum memotong, Undhagi akan melakukan ritual izin kepada penjaga hutan atau pohon.
Selama proses mengukir, Undhagi harus menjaga kebersihan fisik dan spiritual. Ia seringkali berpuasa, menjauhi hal-hal duniawi, dan membaca mantra atau Donga (doa) untuk memastikan ukiran tersebut menghasilkan wajah yang ‘hidup’ dan berwibawa, sesuai dengan aura Kusumojoyo.
Detail pada Barongan Kusumojoyo harus menggambarkan keseimbangan antara kegarangan dan kearifan. Ukiran pada dahi seringkali menunjukkan Uluk Wajah (tiga garis vertikal) yang melambangkan Trisula, senjata Dewa Siwa, mengaitkan Barongan dengan kekuatan kosmik yang lebih tinggi.
Setelah ukiran selesai, proses Nyepuh (pemberian warna dan sentuhan akhir) dilakukan. Pewarnaan harus menggunakan pigmen alami yang memiliki daya tahan kuat. Tahap terakhir yang paling sakral adalah Ritual Pangisian, di mana topeng secara resmi diisi dengan roh atau kekuatan spiritual melalui ritual khusus yang dipimpin oleh Bopo atau sesepuh desa.
Topeng Kusumojoyo yang telah diisi kemudian diperlakukan sebagai pusaka. Ia disimpan di tempat khusus, tidak boleh dipegang sembarangan, dan harus diberi sesajen secara berkala, bahkan ketika tidak sedang dipentaskan.
Selain aspek spiritual, Barongan Kusumojoyo memiliki konstruksi mekanis yang jenius. Topeng tersebut terbuat dari dua bagian utama: kepala dan rahang bawah yang dapat digerakkan. Mekanisme engsel ini memungkinkan Barongan untuk ‘menggigit’ dan ‘mengunyah’, memberikan efek visual yang dramatis dan menakutkan, yang menambah bobot teatrikal pertunjukan.
Rahang (cakot) harus dibuat presisi agar gerakan mulut Barongan sinkron dengan hentakan kendhang. Ini menunjukkan perpaduan sempurna antara seni rupa, kerajinan kayu, dan teknik pertunjukan dalam satu entitas budaya.
Warisan Barongan Kusumojoyo adalah peta jalan menuju identitas kebudayaan Jawa yang resisten terhadap perubahan zaman. Melestarikan seni ini berarti melestarikan cara pandang dunia yang menghargai keseimbangan antara yang terlihat (dunia manusia) dan yang tak terlihat (dunia roh).
Generasi penerus harus diyakinkan bahwa kekuatan Barongan tidak terletak pada unsur horor atau kekerasan, melainkan pada pesan yang dibawa: bahwa manusia harus berdamai dengan sisi liar dirinya dan alam, menguasainya, dan mengubahnya menjadi kekuatan positif. Di sinilah letak ‘Kusumojoyo’ yang sejati, kemenangan mulia atas diri sendiri.
Melalui dokumentasi yang kuat, pendidikan yang terstruktur, dan dukungan komunitas yang solid, Barongan Kusumojoyo akan terus mengaum, tidak hanya sebagai legenda masa lalu, tetapi sebagai inspirasi yang hidup bagi masa depan kebudayaan Nusantara yang penuh makna dan keberanian. Setiap aumannya adalah penegasan bahwa spirit agung Tanah Jawa tetap lestari.
Sinkronisitas antara tiga elemen utama—Gamelan, Gerak, dan Trance—adalah keajaiban pertunjukan Barongan Kusumojoyo. Ini bukanlah kebetulan artistik, melainkan hasil dari latihan spiritual dan penyerahan diri yang mendalam.
Para penabuh Gamelan dalam Kusumojoyo memiliki peran hampir setara dengan dukun, terutama penabuh kendhang. Mereka tidak hanya memainkan irama; mereka ‘mengatur nadi’ pertunjukan. Saat Jathilan mulai menunjukkan tanda-tanda kesurupan (seperti mata melotot, tubuh bergetar), Kendhang akan mempercepat tempo secara bertahap, memberikan ‘ruang’ bagi roh untuk masuk tanpa menimbulkan syok fisik pada penari.
Irama ‘Gajah Oling’ atau ‘Kuda Gendhuk’ sering digunakan untuk menaikkan energi. Pola musik yang repetitif dan kuat (ostinato) membantu penari mencapai kondisi meditasi bergerak yang diperlukan untuk trance. Ketika Pembarong Barongan memasuki fase amuk (Krodha), suara gong, kempul, dan saron akan berdentum bersamaan dalam pola yang tidak harmonis namun berirama, mencerminkan kekacauan yang terkendali.
Gerakan Jathilan, meskipun seringkali kasar saat kesurupan, berakar pada tarian keraton yang anggun. Transformasi dari gerakan yang teratur (disiplin prajurit) menjadi gerakan yang liar (dipandu roh) adalah simbol penyerahan total. Kuda lumping yang mereka tunggangi melambangkan hasrat duniawi yang harus dikendalikan. Ketika Jathilan ndadi, mereka secara fisik dan mental menaklukkan hasrat tersebut, membiarkan jiwa heroik mengambil alih.
Dalam Barongan Kusumojoyo, penari Jathilan yang telah mencapai tingkat kesurupan tertinggi (sering disebut Jathilan Putih) diyakini mampu melakukan mukjizat kecil, seperti tahan terhadap senjata tajam atau api. Fenomena ini dipercaya sebagai bukti visual dari kemuliaan (Kusumo) yang didapatkan melalui kesetiaan dan penyerahan diri.
Meskipun Barongan (Reog, Barong Bali, atau Barongan Dhemit) memiliki akar yang sama, Barongan Kusumojoyo menonjol melalui interpretasi filosofis dan ornamennya.
Barongan pada umumnya seringkali berfokus pada konflik antar roh jahat (Dhemit) atau legenda kepahlawanan (Reog Ponorogo). Kusumojoyo, di sisi lain, menekankan pada aspek Keagungan Kerajaan. Ornamennya yang lebih kaya dan warna emas yang lebih dominan menyiratkan bahwa Barongan ini berfungsi sebagai pelindung kaum bangsawan atau wilayah dengan sejarah mulia.
Pola taring dan raut wajah Kusumojoyo, meskipun garang, seringkali memiliki sentuhan kesedihan atau kewibawaan yang dalam, membedakannya dari raut Barongan Dhemit yang murni jahil atau brutal.
Dalam tradisi Kusumojoyo, Ganongan bukan hanya sekadar selingan komedi. Ia adalah Duta Kebijaksanaan yang memiliki kekuatan spiritual untuk berkomunikasi dengan roh Barongan. Dialog non-verbal antara Ganongan dan Barongan adalah inti dramatik. Ganongan yang jenaka mewakili sisi manusiawi yang fana namun cerdik, yang berusaha memahami dan mengarahkan kekuatan spiritual yang abadi (Barongan).
Hubungan Barongan-Ganongan adalah representasi sempurna dari hubungan antara Jagad Gedhe (Makrokosmos, alam semesta) dan Jagad Cilik (Mikrokosmos, manusia). Ganongan menunjukkan bahwa manusia, meskipun kecil, mampu memengaruhi kekuatan besar melalui kearifan batin.
Pengalaman menonton Barongan Kusumojoyo adalah pengalaman partisipatif. Penonton tidak hanya melihat, tetapi juga berinteraksi dengan energi pertunjukan.
Dalam tradisi Kusumojoyo yang sakral, penonton diwajibkan menjaga sikap hormat. Arena pertunjukan dianggap sebagai ruang suci sementara yang telah dibersihkan secara ritual. Penonton dianjurkan untuk tidak meludah, berkata kasar, atau menggunakan pakaian yang tidak sopan, karena hal ini diyakini dapat mengganggu konsentrasi penari dan memancing energi negatif.
Ketika penari Jathilan mengalami ndadi, beberapa penonton yang memiliki sensitivitas spiritual tinggi atau ikatan leluhur dengan Barongan juga dapat ikut mengalami kesurupan (ketempelan). Bopo atau Warok memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan meredam penonton yang ikut ndadi, menunjukkan bahwa pertunjukan ini adalah ritual kolektif yang melibatkan transfer energi antara panggung dan audiens.
Pengalaman ini berfungsi sebagai Katarsis Kolektif. Masyarakat melepaskan ketegangan, ketakutan, dan energi negatif mereka melalui partisipasi emosional dalam amukan Barongan dan kesurupan Jathilan. Setelah ritual selesai, masyarakat merasa bersih dan siap memulai siklus kehidupan baru, sesuai dengan fungsi ritualnya sebagai tolak bala.
Meskipun Barongan adalah tarian visual, dialog dan narasi dalam pertunjukan Kusumojoyo memiliki kekayaan linguistik yang tinggi, seringkali menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Kromo Inggil.
Bopo dan Warok selalu mengucapkan mantra dan Donga dalam bahasa Jawa Kuno saat melakukan ritual pembukaan dan penyembuhan. Teks-teks ini seringkali berisi pujian kepada Dewi Sri (kesuburan), Batara Kala (waktu), dan roh leluhur Kusumojoyo. Pelestarian teks-teks lisan ini sangat penting karena mengandung kode etik dan filosofi yang mendalam.
Sebaliknya, Pocapan (dialog lisan) yang dibawakan oleh Ganongan seringkali menggunakan bahasa Jawa Ngoko (bahasa sehari-hari) yang jenaka. Humor ini berfungsi sebagai kritik sosial yang halus dan pelajaran moral yang mudah dicerna. Ganongan, melalui leluconnya, menyampaikan isu-isu kontemporer atau kritik terhadap pemimpin desa, menjadikannya katup pelepas sosial yang penting dalam masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi etika tidak langsung.
Barongan Kusumojoyo tidak muncul dalam ruang hampa. Ia memiliki keterkaitan erat dengan beberapa seni tradisi Jawa lainnya, menunjukkan jaringan budaya yang kompleks.
Secara keseluruhan, Barongan Kusumojoyo adalah simfoni budaya yang menggabungkan ukiran sakral, musik yang menggetarkan, tarian yang mematikan, dan filosofi yang merangkul dualitas hidup. Ia adalah bukti abadi bahwa seni pertunjukan di Jawa tidak pernah lepas dari akarnya sebagai ritual, sebagai pengikat komunitas, dan sebagai penjaga spiritual. Warisan Kusumojoyo terus mengalir, sekuat auman Barongannya di bawah cahaya rembulan Jawa.
Keberlangsungan Barongan Kusumojoyo adalah cerminan dari kemauan masyarakat Jawa untuk terus memelihara keseimbangan antara modernitas dan spiritualitas leluhur. Dengan menjaga otentisitas gerakan, sakralitas topeng, dan kemurnian ritualnya, mereka memastikan bahwa teriakan kemenangan mulia (Joyo) yang diwariskan oleh para Kusumo akan terus bergema melintasi waktu.