BARONGAN GELUT: Ritual, Trance, dan Energi Budaya Nusantara

Pendahuluan: Definisi dan Konteks Barongan Gelut

Barongan Gelut adalah sebuah istilah yang merujuk pada puncak dramatis dari berbagai pertunjukan seni tradisional Jawa, khususnya yang berkaitan dengan Jaranan (Kuda Lumping) atau Reog mini di beberapa daerah. Kata ‘Barongan’ mengacu pada sosok topeng berkepala singa besar yang dimainkan oleh dua atau lebih orang, sebuah manifestasi spiritual yang kuat. Sementara ‘Gelut’ secara harfiah berarti perkelahian atau pergulatan fisik.

Namun, ‘Gelut’ dalam konteks ini bukanlah perkelahian biasa. Ia adalah ritual pertarungan yang terjadi ketika para penari, termasuk pemain Barongan dan penari Jathil (kuda lumping), berada dalam kondisi ndadi atau kesurupan (trance). Fenomena ini menjadi perpaduan unik antara seni pertunjukan, mistisisme, dan pelepasan energi spiritual kolektif yang sulit dipahami oleh akal modern. Barongan Gelut merupakan sebuah manifestasi energi liar yang telah dijinakkan dalam bingkai ritual, menciptakan tontonan yang memukau sekaligus menegangkan.

Tradisi ini tidak hanya mempertontonkan kekuatan fisik semata, tetapi juga memperlihatkan bagaimana masyarakat Jawa berinteraksi dengan dunia gaib, mengelola kekuatan spiritual yang diyakini mendiami topeng dan lingkungan mereka. Dalam pergulatan tersebut, garis antara realitas dan dimensi spiritual menjadi sangat tipis, menjadikannya sebuah warisan budaya yang kaya akan filosofi dan kepercayaan lokal.

Akar Filosofis dan Mitologi Barong

Untuk memahami mengapa Barongan ‘gelut’ atau bertarung, kita harus menyelami akar mitologisnya. Sosok Barong, terutama di Jawa Timur dan Tengah, seringkali dihubungkan dengan Singa Barong, sebuah entitas yang melambangkan kekuatan alamiah yang tak tertandingi. Dalam beberapa versi cerita rakyat, Barong adalah representasi dari Dewa Pelindung atau bahkan arwah leluhur yang bertugas menjaga keseimbangan kosmos. Kehadirannya selalu menjadi pusat perhatian, simbol dari kekuatan positif yang dapat berubah menjadi destruktif jika tidak dikontrol dengan baik.

Konsep Dualisme dalam Pertunjukan

Seluruh pertunjukan kesenian yang melibatkan Barongan adalah panggung dualisme. Di Bali, dualisme ini jelas terlihat antara Barong (kebaikan) dan Rangda (kejahatan). Dalam konteks Jaranan Jawa, meskipun plotnya lebih longgar, pertarungan spiritual tetap ada. Barongan sering kali bertarung dengan sesama penari yang kesurupan (Jathil atau pemain Kuda Lumping), atau bahkan dengan sang Pawang (Danyang) yang berusaha mengendalikan mereka. Pertarungan ini bukan konflik pribadi, melainkan pergulatan energi antara:

Fenomena Barongan Gelut pada dasarnya adalah dramatisasi dari upaya mengintegrasikan kekuatan liar spiritual ke dalam tatanan sosial yang damai. Tanpa ‘gelut’ tersebut, energi yang terlepas melalui trance dianggap tidak tuntas atau terpuaskan. Pergulatan ini menjadi katarsis kolektif bagi para pemain dan penonton.

Ilustrasi Kepala Barong Jawa Representasi stilistik kepala Barong Jawa dengan taring dan mahkota khas, simbol kekuatan spiritual.

Kepala Barong, simbol kekuatan alamiah dan spiritual yang menjadi pusat dalam ritual gelut.

Proses Ndadi dan Eskalasi Menuju Gelut

Fenomena ‘Gelut’ tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia adalah hasil dari proses panjang yang disebut ndadi atau proses kerasukan/trance. Proses ini memerlukan pemicu spiritual dan auditori yang kuat, didukung oleh kesiapan mental dan spiritual para penari.

1. Pengaruh Gamelan (Gending Penarik)

Musik Gamelan memegang peran sentral. Ritme yang digunakan bukanlah ritme biasa; ia adalah gending atau komposisi musik khusus yang dirancang untuk membuka gerbang kesadaran dan mengundang roh (disebut juga khodam atau arwah pengikut). Pukulan kendang yang semakin cepat, irama Saron yang repetitif dan menghipnotis, serta hentakan Kempul dan Gong yang kuat menciptakan resonansi energi yang memicu kondisi semi-hipnotis. Kecepatan musik berbanding lurus dengan intensitas trance; semakin cepat musiknya, semakin liar dan tidak terkontrol gerakan para penari.

2. Manifestasi Energi (Ndadi)

Ketika pemain Barongan memasuki kondisi ndadi, mereka tidak lagi bertindak sebagai diri mereka sendiri, melainkan sebagai entitas yang merasuki raga mereka. Gerakan menjadi sangat kuat, tidak terduga, dan seringkali menunjukkan kemampuan fisik yang melebihi batas manusia normal, seperti kebal terhadap benda tajam atau mampu mengangkat beban yang berat. Barongan yang telah ndadi akan mulai mencari sasaran untuk melepaskan energinya. Sasaran ini bisa berupa:

3. Puncak Konfrontasi

Saat dua atau lebih entitas dalam kondisi ndadi bertemu—misalnya Barongan bertemu Jathil yang juga kerasukan, atau Barongan melawan Barongan lain—pergulatan fisik tak terhindarkan. Gelut ini adalah pelepasan energi dalam bentuk simbolis. Pergulatan ini bisa berlangsung singkat namun intens, melibatkan dorongan, pukulan, dan teriakan khas yang menunjukkan bukan lagi manusia yang bertindak, melainkan roh yang saling menguji kekuatan. Pakaian robek, topeng berbenturan, dan debu berhamburan adalah pemandangan umum. Gelut tersebut diyakini sebagai cara bagi roh-roh tersebut untuk memamerkan kekuasaan atau membersihkan wilayah dari energi negatif.

Peran Pawang dan Pengendalian Chaos

Meskipun Barongan Gelut tampak liar dan anarkis, ia berada di bawah kendali ketat dari seorang Pawang atau Danyang. Pawang adalah sosok kunci, bukan hanya sebagai pemimpin pertunjukan, tetapi sebagai mediator antara dunia manusia dan dunia roh. Tanpa Pawang, potensi bahaya dari trance yang tidak terkendali sangat besar.

Ritual Sebelum Pertunjukan

Persiapan Pawang dimulai jauh sebelum pertunjukan. Ritual seperti puasa, meditasi, dan pembacaan mantra (*donga* atau *japa*) dilakukan untuk memagari para pemain dan mengendalikan entitas yang akan dipanggil. Sesajen (persembahan) diletakkan di tempat-tempat keramat sebagai izin dan penghormatan kepada penunggu lokasi.

Intervensi Saat Gelut

Ketika Barongan dan penari lain mulai ‘gelut’, Pawang bertanggung jawab penuh untuk memastikan pertarungan tetap dalam batas-batas ritual. Tugas-tugas Pawang meliputi:

Kehadiran Pawang adalah penegasan bahwa kegelutan spiritual ini adalah seni yang terstruktur, bukan kegilaan massa. Pawang adalah representasi dari keseimbangan: mereka membiarkan chaos terjadi, tetapi mereka juga memegang kunci untuk mengembalikan tatanan.

Ilustrasi Barongan Gelut Dua figur penari dalam posisi bertarung atau beradu kekuatan, satu mengenakan topeng Barong, melambangkan pergulatan spiritual (gelut). B J GELUT

Representasi simbolis Barongan Gelut, adu kekuatan antara dua entitas spiritual yang merasuki raga penari.

Variasi Regional dan Terminologi: Dari Ponorogo hingga Banyuwangi

Meskipun inti dari Barongan Gelut adalah trance dan konflik, manifestasinya berbeda-beda di setiap daerah, dipengaruhi oleh jenis kesenian lokal yang dominan.

A. Konteks Jaranan (Kuda Lumping)

Di wilayah Jawa Tengah dan sebagian besar Jawa Timur (kecuali Ponorogo), ‘gelut’ ini sangat umum. Barongan (yang di sini bisa disebut Singo Barong) akan bertarung dengan Jathil (penari kuda) yang juga kesurupan. Fokusnya adalah pada ujian kekebalan (memakan beling, memotong lidah) sebagai hasil dari pertarungan spiritual melawan Barong yang seringkali dianggap sebagai entitas pelindung terkuat.

B. Konteks Reog Ponorogo

Dalam Reog Ponorogo murni, ‘gelut’ fisik antar pemain jarang terjadi karena fokusnya adalah tarian estetis dan pertunjukan kekuatan Singa Barong (Dadak Merak) oleh satu orang. Namun, di Reog modern atau versi ‘jalanan’ yang berdekatan dengan Jaranan, elemen kerasukan dan konfrontasi fisik mulai diintegrasikan untuk menarik perhatian penonton. ‘Gelut’ di sini lebih sering merupakan interaksi antara Barong dan Warok (pelindung desa).

C. Banyuwangi dan Barong Osing

Di Banyuwangi, sosok Barong memiliki interpretasi yang berbeda (misalnya Barong Kemiren). Walaupun ritualnya sangat kental, pertarungan fisik seringkali dilakukan secara koreografis atau lebih fokus pada penyembuhan. Jika terjadi trance dan ‘gelut’, hal itu dianggap sebagai kelebihan energi spiritual yang harus dinetralkan oleh Pawang setempat yang memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi.

Perbedaan terminologi ini menunjukkan betapa kayanya budaya Nusantara dalam menerjemahkan konsep pertarungan spiritual. Di mana pun ia terjadi, Barongan Gelut adalah penanda bahwa energi spiritual sedang berada pada titik didih, membutuhkan pelepasan yang dramatis dan terstruktur secara ritual.

Analisis Mendalam: Spiritual dan Psikologis Barongan Gelut

Barongan Gelut tidak bisa dilihat hanya sebagai pertunjukan seni; ia adalah kajian mendalam tentang kondisi batas kesadaran manusia dan interaksi dengan alam metafisika.

Dimensi Spiritual: Ngelmu dan Khodam

Bagi para pelaku, trance (ndadi) adalah bukti nyata dari Ngelmu (ilmu spiritual) yang mereka miliki. Mereka percaya bahwa roh yang masuk adalah khodam atau entitas penjaga yang kuat. Gelut yang terjadi adalah validasi dari kekuatan khodam tersebut. Jika seorang pemain mampu ‘bertahan’ dalam gelut melawan Barongan yang diyakini memiliki khodam superior, maka kehormatan spiritualnya meningkat. Kekuatan yang terlepas selama gelut diyakini sebagai manifestasi dari:

Dimensi Psikologis: Katarsis Kolektif

Dari sudut pandang psikologi massa, Barongan Gelut adalah bentuk katarsis yang ekstrem. Dalam masyarakat agraris atau tradisional, di mana tekanan sosial dan ekonomi tinggi, pelepasan emosi secara terbuka seringkali dilarang. Pertunjukan kerasukan ini menyediakan saluran yang sah untuk pelepasan agresi dan ketegangan. Penonton pun merasakan adrenalin dan ketegangan, seolah-olah mereka ikut bertarung melawan ‘roh’ yang mengganggu ketenangan desa. Setelah pertunjukan selesai dan ketertiban dipulihkan oleh Pawang, terjadi rasa lega kolektif.

Aksi memakan beling atau kebal terhadap senjata tajam, yang sering menyertai gelut, adalah simbol dari mengatasi rasa sakit dan ketakutan. Secara psikologis, ini memperkuat ikatan komunal dan kepercayaan pada kekuatan spiritual yang melindungi mereka dari ancaman duniawi dan gaib.

Pergulatan fisik ini, meskipun singkat, sangat sarat makna. Ia menegaskan kembali hierarki spiritual: Barongan (kekuatan alam) melawan Jathil (kekuatan manusia yang dirasuki), semuanya di bawah pengawasan ketat Pawang (otoritas spiritual tertinggi).

Detil Ritual: Senjata, Sesajen, dan Mantra Pengunci

Untuk memastikan Barongan Gelut dapat terjadi dan diakhiri dengan aman, diperlukan serangkaian ritual dan peralatan yang sangat spesifik. Setiap detail ritual memiliki makna yang mendalam dalam menjaga keharmonisan antara pemain, roh, dan penonton.

Peralatan Kunci dalam Gelut

Benda-benda yang digunakan selama Barongan Gelut adalah jembatan antara dua dimensi. Selain topeng Barong itu sendiri (yang diyakini telah diisi dengan energi), ada beberapa item yang harus diperhatikan:

Mantra Pengunci dan Pemanggil

Seorang Pawang harus menguasai serangkaian mantra. Ada mantra pemanggil (untuk mengundang khodam), mantra penguat (untuk menjaga agar pemain kebal selama gelut), dan yang terpenting, mantra pengunci. Mantra pengunci ini, sering diucapkan dalam bahasa Jawa Kuno, berfungsi untuk menutup kembali pintu spiritual dan mencabut roh dari raga pemain Barongan yang sedang bertarung.

Kegagalan Pawang dalam mengucapkan mantra pengunci ini dapat berakibat fatal, di mana roh bisa tetap tinggal atau bahkan menyebabkan pemain mengalami trauma psikologis yang parah. Oleh karena itu, gelar Pawang hanya diberikan kepada mereka yang telah menjalani tirakat (pengorbanan spiritual) bertahun-tahun.

Inti dari ritual ini adalah pengakuan bahwa manusia adalah wadah sementara. Barongan Gelut adalah ujian terhadap batas wadah tersebut, dikelola melalui disiplin spiritual yang ketat.

Barongan Gelut dalam Konteks Sosial Modern

Di era digital dan globalisasi, kesenian Barongan Gelut menghadapi tantangan dan adaptasi yang unik. Apakah tradisi ini masih relevan? Jawabannya adalah ya, namun dengan pergeseran fungsi.

Fungsi Komersial dan Hiburan

Di masa lalu, pertunjukan ini sering diadakan sebagai bagian dari ritual bersih desa atau upacara panen. Kini, banyak kelompok Jaranan atau Reog mengadakan Barongan Gelut sebagai daya tarik utama wisata atau hiburan komersial. Intensitas pertarungan seringkali ditingkatkan demi kepuasan penonton, meskipun kontrol ritual tetap harus dijaga.

Adaptasi ini menimbulkan dilema: di satu sisi, popularitas Barongan Gelut menjamin kelangsungan hidup seni ini; di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa aspek spiritual dan filosofisnya mulai tergerus, tergantikan oleh sekadar tontonan horor atau adegan ekstrem. Para sesepuh kesenian terus berjuang untuk menyeimbangkan tuntutan pasar dengan kesucian ritual.

Barongan Gelut sebagai Identitas Budaya

Terlepas dari komersialisasi, Barongan Gelut tetap menjadi simbol identitas regional yang kuat. Ia merefleksikan keberanian, kekebalan spiritual, dan kedalaman tradisi masyarakat Jawa. Bagi generasi muda, menjadi pemain Barongan yang mampu mengendalikan energi spiritual selama ‘gelut’ adalah sebuah kehormatan. Tradisi ini mengajarkan bahwa kekuatan (fisik maupun spiritual) harus dihormati dan dikelola, bukan hanya dipamerkan.

Upaya pelestarian kini berfokus pada dokumentasi dan edukasi. Banyak sanggar mulai mengajarkan filosofi di balik trance, memastikan bahwa praktik ‘gelut’ ini diwariskan tidak hanya sebagai gerakan, tetapi sebagai pemahaman mendalam tentang kesejatian urip (hakikat kehidupan).

Sehingga, saat kita menyaksikan Barongan Gelut, kita tidak hanya melihat dua orang yang bertarung di bawah topeng. Kita menyaksikan drama abadi antara kekuatan alam dan kontrol manusia, antara chaos dan tatanan, yang telah dipelihara selama ratusan tahun di bumi Nusantara. Pergulatan ini adalah cermin dari jiwa budaya Jawa yang penuh misteri, energi, dan penghormatan terhadap apa yang tidak terlihat.

Energi yang dipancarkan oleh Barongan yang sedang gelut, dengan raungan topeng yang memecah keheningan, pukulan kaki yang menghentak bumi, dan pertarungan tangan kosong yang sarat makna, merupakan inti dari seni pertunjukan yang menolak untuk mati. Ia terus hidup sebagai pengingat bahwa di balik realitas sehari-hari, selalu ada dimensi spiritual yang menuntut pengakuan dan pelepasan yang dramatis. Proses ini berulang-ulang, di setiap pertunjukan, menjalin benang sejarah, mitologi, dan keyakinan spiritual menjadi satu kesatuan seni yang tak tertandingi.

Ketegangan antara Barongan dan Pawang selama proses gelut adalah metafora sempurna untuk perjuangan manusia menguasai dirinya sendiri. Barongan mewakili nafsu, emosi tak terkendali, dan entitas spiritual yang masuk tanpa izin—semua yang bersifat liar. Sementara Pawang adalah akal, kebijaksanaan, dan kontrol spiritual yang harus mengembalikan Barongan ke garis batas kesopanan dan tatanan sosial. Tanpa Pawang, Barongan akan terus menerus mencari pertarungan, menciptakan kekacauan tanpa akhir. Dalam setiap hentakan, setiap benturan topeng, dan setiap teriakan trance, terukir kisah tentang upaya keras menjaga harmoni dalam diri dan lingkungan.

Seluruh proses ritual Barongan Gelut adalah sebuah siklus pemurnian. Sebelum gelut, energi berkumpul; saat gelut, energi dilepaskan secara eksplosif; dan setelah Pawang mengunci roh, energi kembali menjadi netral. Siklus ini sangat penting bagi masyarakat yang percaya pada keseimbangan kosmik. Jika energi kuat yang dipanggil tidak dilepaskan melalui pertarungan ritual, diyakini energi tersebut akan mencari jalan lain, mungkin melalui penyakit atau musibah di desa tersebut. Oleh karena itu, Barongan Gelut adalah ritual pencegahan malapetaka spiritual.

Filosofi di balik Barongan Gelut juga mencakup konsep *Sangkan Paraning Dumadi*, yaitu asal dan tujuan segala sesuatu. Ketika penari Barongan kesurupan, mereka dianggap kembali ke kondisi primal, kondisi di mana batas antara manusia dan alam telah runtuh. Pergulatan yang terjadi adalah upaya Pawang untuk menarik kembali jiwa pemain dari keadaan primal itu ke kondisi kesadaran penuh. Ini adalah perjalanan spiritual yang nyata, disaksikan oleh komunitas, menegaskan bahwa jiwa manusia adalah entitas yang rentan terhadap pengaruh luar namun mampu dikendalikan melalui ilmu dan iman.

Penggunaan warna dalam kostum dan topeng juga mendukung narasi Barongan Gelut. Warna merah pada topeng dan kain Barongan melambangkan keberanian, kemarahan, dan kekuatan yang tak terbendung (Angkara Murka). Warna-warna ini diperkuat oleh elemen-elemen hitam dan emas. Saat Barongan Gelut terjadi, perpaduan warna-warna intens ini menambah nuansa dramatis, seolah-olah pertarungan itu sendiri adalah ledakan visual dari emosi dan kekuatan supranatural yang terpendam. Pakaian penari Jathil (kuda lumping) yang berwarna-warni, kontras dengan kegarangan Barongan, menambah dimensi visual pada clash energi ini.

Penting untuk dicatat bahwa Barongan Gelut menuntut komitmen fisik yang luar biasa dari pemain. Topeng Barong sangat berat, seringkali mencapai puluhan kilogram, dan memainkannya dalam kondisi trance sambil bertarung adalah beban yang sangat besar. Kelelahan fisik ini sering disalahartikan sebagai akhir dari trance, padahal sebenarnya, kondisi trance justru memberikan kekuatan supranormal yang memungkinkan pemain mengatasi beban tersebut. Namun, setelah trance diangkat, pemain akan merasa sangat lelah dan membutuhkan waktu pemulihan yang didukung oleh ritual Pawang.

Kelangsungan hidup Barongan Gelut juga bergantung pada regenerasi Pawang. Ilmu kepawangan ini bersifat turun-temurun dan sangat rahasia. Pawang baru harus memiliki tidak hanya pengetahuan mantra dan ritual, tetapi juga tingkat spiritual yang matang untuk dapat mengendalikan entitas sekuat Barongan. Tantangan modern adalah menemukan generasi yang bersedia menjalani tirakat ketat yang diperlukan, mengingat gaya hidup masa kini yang serba cepat. Tanpa Pawang yang kompeten, Barongan Gelut akan kehilangan elemen kontrolnya dan berisiko menjadi benar-benar berbahaya.

Dalam pertunjukan kontemporer, kadang-kadang disisipkan pula unsur humor atau interaksi ringan sebelum mencapai puncak gelut. Namun, begitu musik mencapai klimaks trance, suasana berubah total menjadi tegang dan mencekam. Perubahan mood yang mendadak ini menjadi ciri khas yang membedakan kesenian Barongan dari pertunjukan tari biasa. Transisi dari komedi ringan ke konflik spiritual yang intens ini menunjukkan fleksibilitas budaya Jawa dalam mengemas ritual yang dalam menjadi hiburan yang dapat diterima oleh masyarakat luas, tanpa menghilangkan esensi magisnya.

Dengan demikian, Barongan Gelut adalah sebuah museum hidup yang mempertunjukkan warisan spiritual dan seni pertarungan ritual yang unik. Ia adalah pengingat bahwa di Nusantara, seni dan spiritualitas seringkali berjalan beriringan, menghasilkan karya budaya yang mendebarkan, menguji batas kesadaran, dan merayakan kekuatan yang tersembunyi di balik topeng.

Kompleksitas yang melekat pada setiap gerakan, setiap suara gamelan, dan setiap interaksi antara Barongan dengan dunia sekitarnya selama gelut, menjadikan tradisi ini layak untuk dikaji lebih dalam. Ia bukan hanya tarian, bukan hanya teater, dan bukan hanya perkelahian. Ia adalah sebuah ritual komprehensif yang memadukan kepercayaan animisme kuno, pengaruh Hindu-Buddha dalam mitologi Barong, dan sentuhan Islami dalam praktik Pawang modern yang sering menggunakan doa-doa tertentu. Semua unsur ini berkonvergensi dalam momen pelepasan energi yang liar, eksplosif, dan akhirnya, menenangkan.

Barongan Gelut adalah potret jujur bagaimana masyarakat lokal melihat dan mengelola kekuatan mistis yang mendominasi kehidupan mereka. Pergulatan ini adalah cermin dari pergulatan internal manusia itu sendiri: antara hasrat untuk kebebasan tanpa batas dan kebutuhan akan disiplin spiritual. Ketika Barongan akhirnya ‘kalah’ dan diangkat kesurupannya oleh Pawang, itu adalah kemenangan kolektif atas kekacauan, penegasan bahwa tatanan dapat selalu dikembalikan, meskipun memerlukan tontonan yang ekstrem dan mendebarkan.

🏠 Homepage