Kesenian Barongan, yang seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari pertunjukan Kuda Lumping atau Jathilan di berbagai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, adalah sebuah warisan budaya yang kaya akan simbolisme, spiritualitas, dan estetik. Namun, di balik topeng singa yang gagah dan irama gamelan yang riang, terdapat sub-genre yang lebih gelap dan intens: Barongan Devil, sebuah manifestasi teatrikal yang menembus batas antara hiburan, ritual, dan kerasukan.
Barongan Devil bukanlah sekadar variasi kostum; ia adalah representasi dari kekuatan gaib, entitas yang ditakuti, dan energi spiritual liar yang sengaja diundang atau dimunculkan selama pertunjukan. Konsep 'Devil' atau 'Setan' di sini merujuk pada roh-roh pengganggu yang diyakini menguasai alam bawah sadar penari, membawa mereka pada kondisi *ndadi* atau trance yang ekstrem, di mana perilaku penari menjadi agresif, tak terduga, dan seringkali mempertontonkan atraksi yang di luar nalar manusia biasa. Fenomena ini menawarkan pandangan mendalam terhadap kosmos spiritual Jawa, di mana kegelapan dan terang hidup berdampingan dalam harmoni yang tegang.
I. Akar Mitologis dan Spiritualitas Barongan Devil
Untuk memahami Barongan Devil, kita harus terlebih dahulu menyelami struktur kepercayaan Jawa tradisional. Kesenian ini berakar pada sinkretisme Hindu-Buddha dan animisme lokal, di mana roh leluhur, dewa-dewa penjaga, dan makhluk halus (seperti *dhanyang*, *lelembut*, dan *jin*) diakui keberadaannya dan memiliki peran aktif dalam kehidupan sehari-hari. Barongan, secara umum, sering diinterpretasikan sebagai perwujudan Raja Hutan atau figur mitologis yang kuat.
Simbolisme Setan dalam Konteks Pertunjukan
Dalam konteks Barongan Devil, elemen 'setan' atau 'devil' tidak selalu diartikan secara harfiah sebagai Iblis dalam tradisi monoteistik. Sebaliknya, ia melambangkan energi chaos, kekuatan primal yang tak terkendali, atau roh jahat yang mendiami ruang-ruang tertentu. Peran Barongan Devil adalah menantang batas kendali, membawa kegelisahan dan ketegangan ke dalam pertunjukan. Ini adalah representasi visual dari konflik spiritual yang dihadapi manusia Jawa.
Dualitas Kekuatan dan Penyeimbangan Kosmik
Seni Barongan adalah ajang penyeimbangan antara kekuatan baik dan jahat. Jika Barongan tradisional melambangkan perlindungan atau otoritas, Barongan Devil mengekspresikan sisi liar yang perlu dikendalikan melalui ritual oleh sang *pawang* (dukun atau pemimpin spiritual). Tanpa keberadaan kekuatan 'devilish' ini, dramatisme dan kebutuhan akan intervensi spiritual dalam pertunjukan akan berkurang drastis. Penonton tidak hanya melihat tarian, tetapi menyaksikan sebuah pertempuran spiritual yang nyata.
Kekuatan yang diyakini merasuki penari saat menjadi Barongan Devil seringkali digambarkan sebagai roh-roh yang haus akan persembahan dan memiliki sifat destruktif. Aturan main dalam pertunjukan ini sangat ketat: roh tersebut diizinkan merasuki, tetapi harus dikeluarkan tepat waktu. Kegagalan dalam mengendalikan roh ini dapat berakibat fatal bagi penari maupun penonton, menegaskan bahwa Barongan Devil adalah tontonan yang berbahaya dan penuh risiko spiritual.
Peran Sesajen dan Ritual Pembuka
Sebelum pertunjukan Barongan Devil dimulai, serangkaian ritual yang rumit harus dilakukan. Sesajen (persembahan) disiapkan dengan detail, termasuk bunga tujuh rupa, kemenyan, kopi pahit, rokok kretek, dan makanan tertentu yang diyakini disukai oleh roh yang akan dipanggil. Ritual ini bertujuan ganda:
- Memberi penghormatan kepada roh penjaga tempat.
- Membuka jalur komunikasi, atau 'pintu', bagi roh yang spesifik (setan/devil) untuk memasuki tubuh penari Barongan.
- Memagari area pertunjukan agar kerasukan tidak menyebar liar ke penonton yang rentan.
Mantra-mantra khusus yang diucapkan oleh *pawang* adalah kunci. Kata-kata ini berfungsi sebagai kunci spiritual untuk mengaktifkan energi negatif yang dibutuhkan untuk menciptakan performa yang benar-benar liar dan 'setan'. Tanpa ritual yang tepat, energi yang dipancarkan Barongan hanya akan menjadi tarian kosong tanpa kedalaman spiritual yang mendebarkan.
II. Manifestasi Estetika dan Koreografi Kekejaman
Perbedaan antara Barongan biasa dan Barongan Devil terletak pada estetika visual dan gaya koreografinya. Semua elemen dirancang untuk menciptakan kesan seram, menakutkan, dan tidak terduga, sesuai dengan roh jahat yang diwakilinya.
Rupa Fisik Topeng yang Mengerikan
Topeng Barongan Devil biasanya memiliki fitur yang dilebih-lebihkan untuk menekankan kegarangan. Taringnya lebih panjang, matanya lebih menonjol dan sering dicat merah menyala atau hitam pekat, dan surainya (rambut) yang terbuat dari tali ijuk atau raffia diatur agar terlihat acak dan mengancam. Pengecatan topeng didominasi warna gelap—hitam, merah darah, dan coklat tua—menghindari warna-warna cerah yang lazim pada Barongan untuk hiburan murni.
Kostum dan Perlengkapan Pemicu Trance
Kostum penari Barongan Devil juga mendukung suasana kegelapan. Mereka mungkin mengenakan jubah hitam atau kain lurik dengan pola yang mencolok, ditambah dengan kalung dari untaian tulang atau biji-bijian kering yang berbunyi berderak saat bergerak. Penggunaan cambuk (cemeti) adalah elemen penting. Cambuk ini digunakan bukan hanya sebagai properti, tetapi sebagai alat untuk memicu dan mengendalikan energi trance. Suara pecahan cambuk di udara seringkali menjadi penanda bahwa tingkat kerasukan telah mencapai puncaknya.
Koreografi Agresif dan Liar
Sementara Barongan biasa menampilkan gerakan yang berirama dan gagah, Barongan Devil menunjukkan koreografi yang liar, tidak teratur, dan penuh agresi. Gerakan-gerakan utamanya meliputi:
- Mengamuk (Nggrudug): Menabrakkan topeng ke tanah atau benda keras, menunjukkan kemarahan roh.
- Mencakar dan Menggigit: Berusaha menyerang atau menggigit benda mati atau bahkan manusia (yang harus dihalau pawang).
- Aksi Ekstrem: Mengonsumsi benda-benda yang tidak lazim seperti beling (pecahan kaca), bara api, atau bunga-bunga persembahan yang belum dimurnikan.
- Tarian yang Tidak Fokus: Gerakan mata dan kepala yang tidak fokus, menunjukkan bahwa kesadaran penari telah diambil alih.
Ritme tarian ini didorong oleh energi internal yang dipancarkan oleh roh yang merasuki, bukan oleh kesadaran penari. Kecepatan dan intensitas gerakan seringkali meningkat seiring memanasnya suhu spiritual di lokasi pertunjukan, menciptakan aura ketakutan dan kekaguman di kalangan penonton.
Kontrasnya, gerakan penari Jathilan (kuda lumping) yang mengiringi Barongan Devil juga akan ikut terpengaruh. Jika Barongan Devil mulai memasuki fase trance paling gelap, penari kuda lumping pun akan menunjukkan perilaku yang lebih liar, saling serang, atau bahkan mencoba memakan rumput atau benda-benda kotor. Seluruh pertunjukan berubah menjadi sebuah teater kekacauan terstruktur.
Kedalaman dan intensitas pertunjukan ini menuntut daya tahan fisik dan mental yang luar biasa dari para penari. Mereka harus berlatih bertahun-tahun untuk mencapai kesiapan spiritual agar tubuh mereka mampu menampung energi roh yang sangat kuat dan seringkali jahat tersebut, sambil memastikan bahwa mereka memiliki koneksi yang cukup kuat dengan *pawang* untuk dapat ditarik kembali ke alam sadar.
III. Peran Sentral Pawang dalam Mengendalikan Energi Jahat
Tanpa kehadiran seorang *pawang* yang kuat dan berwibawa, pertunjukan Barongan Devil akan menjadi bencana. Pawang adalah jembatan spiritual, mediator antara dunia manusia dan dunia roh. Mereka bertanggung jawab penuh atas keselamatan penari dan penonton.
Kualifikasi dan Kekuatan Spiritual Pawang
Seorang pawang Barongan Devil harus memiliki olah batin dan tirakat (puasa dan meditasi) yang mumpuni. Mereka harus menguasai berbagai macam mantra penolak bala dan mantra pemanggil, serta memiliki 'pegangan' spiritual berupa jimat atau pusaka yang diyakini memiliki kekuatan mengikat roh. Tugas pawang sangatlah berat: ia harus mampu mengendalikan entitas yang sedang marah di dalam tubuh penari.
Teknik Pengendalian Trance (Nglumpukke Roh)
Saat penari Barongan Devil mencapai puncak kerasukan, mereka tidak lagi merespons perintah verbal biasa. Pawang menggunakan teknik khusus, yang sering melibatkan sentuhan pada titik-titik tertentu di tubuh penari (seperti punggung atau ubun-ubun), asap kemenyan yang disalurkan, atau bahkan memercikkan air suci (tirta). Musik gamelan juga berperan sebagai alat kontrol. Ketika pawang ingin mengakhiri trance, ritme gamelan biasanya akan berubah menjadi lebih lambat dan monoton, membantu menenangkan roh.
Peran Gamelan dalam Membangkitkan dan Menenangkan Roh
Musik Gamelan dalam pertunjukan Barongan Devil sangat berbeda dari Gamelan untuk Keraton. Iramanya lebih cepat, lebih keras, dan lebih dominan oleh instrumen yang memberikan hentakan tajam, seperti kendang dan kenong. Irama ini disebut sebagai *Gending Sabdo Palon* atau *Gending Eyang* yang dipercaya memiliki resonansi khusus untuk memicu keadaan trance.
Ketika penari Barongan Devil mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan ekstrem atau roh mulai tidak terkendali, pawang akan memberikan isyarat kepada penabuh kendang. Perubahan ritme menjadi kunci pemulihan. Gending yang awalnya berapi-api akan mereda menjadi melodi yang lebih kalem dan hipnotis, secara bertahap menarik kembali kesadaran penari dari jurang kerasukan.
Kekuatan musik ini adalah pedang bermata dua: ia memanggil kegelapan sekaligus menjadi alat untuk mengusirnya. Harmonisasi antara pawang, penari, dan penabuh gamelan merupakan inti dari keberhasilan pertunjukan Barongan Devil yang aman dan terstruktur secara ritualistik.
Penting untuk dicatat bahwa dalam beberapa tradisi Barongan Devil yang sangat purba, terkadang digunakan pula instrumen non-gamelan seperti angklung bambu yang menghasilkan suara menyeramkan dan memprovokasi, serta teriakan dan jeritan yang disengaja dari para pengiring untuk menambah suasana horor dan chaos yang diharapkan dari manifestasi 'Devil' tersebut. Semua komponen audio ini bekerja sama untuk memperkuat pengalaman sensorik kerasukan.
IV. Interpretasi Sosial dan Filsafat Kehidupan
Meskipun menampilkan kekerasan dan kerasukan, Barongan Devil memiliki fungsi sosial dan filosofis yang mendalam bagi masyarakat Jawa, jauh melampaui sekadar hiburan.
Penolak Bala dan Pembersih Energi Negatif
Salah satu fungsi utama Barongan Devil adalah sebagai ritual penolak bala atau *ruwatan*. Masyarakat percaya bahwa dengan mengundang roh-roh liar (devil) ke dalam area pertunjukan dan kemudian berhasil mengusirnya kembali, mereka telah membersihkan wilayah tersebut dari energi negatif yang mungkin telah menumpuk. Pertunjukan ini menjadi katarsis kolektif. Kekuatan jahat dihadirkan dan dikalahkan secara simbolis di depan mata masyarakat.
Pendidikan Spiritual dan Etika Berhubungan dengan Gaib
Barongan Devil juga berfungsi sebagai pendidikan spiritual tidak langsung. Ia mengajarkan tentang pentingnya menghormati alam gaib dan bahaya bermain-main dengan energi yang tidak dapat dikendalikan. Melalui ketakutan yang ditimbulkan oleh aksi-aksi ekstrem penari yang merasuki, masyarakat diingatkan akan batas-batas spiritual dan kekuatan yang harus selalu dihormati. Ini memperkuat peran *pawang* sebagai otoritas spiritual yang diakui dan dihormati.
Aspek Psikologis: Pelepasan Emosi Terpendam
Dari sudut pandang psikologis, trance yang dialami oleh penari (dan bahkan beberapa penonton yang rentan) berfungsi sebagai mekanisme pelepasan. Dalam masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi kesopanan dan pengekangan emosi (*unggah-ungguh*), Barongan Devil memberikan ruang yang sah untuk mengekspresikan agresi, kemarahan, dan energi liar yang biasanya harus ditahan. Penari yang kerasukan Barongan Devil dapat 'meledak' tanpa takut dihakimi, karena perbuatan mereka dianggap sebagai tindakan roh, bukan diri mereka sendiri.
Fenomena ini menegaskan bahwa Barongan Devil adalah katarsis yang sangat diperlukan dalam struktur sosial yang kaku. Ia adalah penyeimbang emosional yang terbungkus dalam ritual spiritual yang berbahaya namun indah.
V. Analisis Mendalam Mengenai Trance Ekstrem (Ndadi) Barongan Devil
Inti dari kesenian Barongan Devil adalah fenomena *ndadi*, atau kerasukan. Namun, ndadi dalam konteks Barongan Devil memiliki karakteristik yang jauh lebih intens dan destruktif dibandingkan kerasukan dalam tarian Jathilan biasa.
Tahapan Kerasukan 'Setan'
Proses kerasukan biasanya melewati beberapa tahapan yang dapat dikenali oleh pawang dan penonton yang sudah berpengalaman:
- Penyentuhan (Awal Pemicuan): Penari mulai menunjukkan gerakan yang kaku, mata berputar, dan kejang-kejang ringan. Ini terjadi saat irama gamelan mencapai klimaks tertentu.
- Penyerahan (Roh Masuk): Penari terjatuh atau mulai bergerak dengan kekuatan dan kecepatan yang tidak wajar. Mereka kehilangan memori dan kendali atas tindakan motorik mereka.
- Manifestasi Devil (Puncak Agresi): Inilah fase Barongan Devil yang sebenarnya. Penari akan melakukan aksi-aksi berbahaya, seperti memakan silet atau menginjak-injak api, didorong oleh kekuatan yang diyakini bukan milik mereka. Bahasa yang digunakan (jika mereka berbicara) seringkali kasar atau menggunakan dialek kuno.
- Pelepasan (Ditarik Pawang): Pawang melakukan intervensi, memaksa roh keluar. Penari biasanya akan kolaps dalam keadaan kelelahan ekstrem, seolah-olah baru saja berlari maraton.
Kualitas dari ndadi ini sangat bergantung pada kekuatan roh yang dipanggil. Dalam kasus Barongan Devil, roh yang dipanggil diyakini memiliki kekuatan fisik yang melebihi manusia, memungkinkan penari melakukan lompatan tinggi atau menahan rasa sakit yang mustahil. Kekuatan supranatural ini yang membuat pertunjukan ini begitu memukau sekaligus menakutkan.
Konsekuensi Jangka Panjang Bagi Penari
Menjadi penari Barongan Devil bukanlah tanpa risiko. Paparan energi negatif yang berulang dapat meninggalkan jejak spiritual dan fisik. Beberapa penari melaporkan kesulitan tidur, mimpi buruk yang intens, atau bahkan merasa diikuti oleh entitas yang pernah mereka undang. Oleh karena itu, ritual pasca-pertunjukan, seperti mandi kembang tujuh rupa dan doa penyucian, menjadi sama pentingnya dengan ritual pembuka.
Dalam beberapa kelompok seni tradisional, penari yang memiliki bakat kerasukan (ndadi) dilindungi secara ketat oleh kelompok mereka. Mereka dianggap sebagai 'wadah' yang berharga namun rapuh. Mereka harus menjaga pantangan (larangan) tertentu dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga kesucian raga mereka agar tidak mudah dimasuki oleh roh yang lebih rendah kualitasnya di luar kendali pertunjukan.
VI. Perbandingan dengan Tokoh Mitologi Kerasukan Lain
Barongan Devil sering disamakan dengan entitas kerasukan lain dalam budaya Nusantara, seperti Leak dari Bali atau Rangda. Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam fungsi dan cara pemanggilannya.
Barongan Devil vs. Leak dan Rangda
Leak (Bali) dan Rangda (mitologi Bali) adalah entitas yang permanen dan seringkali ditakuti sebagai sumber penyakit dan malapetaka. Perannya dalam ritual adalah antagonis murni yang harus diusir atau dinetralisir melalui Barong Ket (di Bali). Sementara itu, Barongan Devil (Jawa) adalah roh yang *temporer* dan *dikonstruksi* secara ritual. Ia diundang secara spesifik untuk pertunjukan dan harus tunduk pada kehendak pawang.
Rangda adalah arketipe penyihir hitam abadi; Barongan Devil adalah manifestasi energi liar yang diizinkan hadir dalam batasan waktu dan ruang yang telah disucikan. Fokus pada Barongan Devil adalah pada 'proses' kerasukan dan pengendalian, bukan pada entitas itu sendiri sebagai musuh permanen masyarakat.
Hubungan dengan Jathilan dan Ganongan
Barongan Devil tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu menjadi klimaks atau titik fokus yang menakutkan dalam pertunjukan yang lebih besar. Karakter lain yang mendampingi, seperti Jathilan (penari kuda lumping) dan Ganongan (penari topeng monyet/bujang ganong), bereaksi terhadap energi Barongan Devil.
Jathilan, yang juga mengalami trance, seringkali menjadi korban atau pengikut dari Barongan Devil. Mereka menunjukkan gejala kerasukan yang serupa—mengonsumsi benda aneh—tetapi Barongan Devil selalu diposisikan sebagai 'pemimpin' atau roh yang paling kuat dan paling sulit dikendalikan. Ganongan, dengan sifatnya yang lincah dan jenaka, seringkali bertindak sebagai penyeimbang komedi atau, dalam beberapa tradisi, sebagai mata-mata spiritual yang membantu pawang memahami kondisi roh yang merasuki Barongan.
VII. Tantangan Modernisasi dan Kontroversi Etika
Di era modern, Barongan Devil menghadapi tantangan besar, baik dari segi pelestarian maupun kontroversi etika.
Kontroversi Penggunaan Kekerasan dan Bahaya
Aksi-aksi ekstrem seperti memakan beling atau membakar diri yang dilakukan oleh penari Barongan Devil telah menimbulkan perdebatan etika. Kritikus berpendapat bahwa pertunjukan semacam ini terlalu berbahaya dan mendorong takhayul yang merugikan. Pemerintah daerah terkadang harus mengeluarkan peringatan untuk membatasi jenis aksi berbahaya demi keselamatan publik dan penari.
Namun, bagi para pelaku seni tradisional, menghilangkan aksi ekstrem berarti menghilangkan esensi spiritual dari Barongan Devil. Mereka berpendapat bahwa keberhasilan Barongan Devil terletak pada seberapa meyakinkannya manifestasi roh jahat tersebut, dan hanya aksi-aksi di luar batas normal yang dapat mencapai tingkat realisme spiritual yang diinginkan.
Barongan Devil dalam Media Digital
Ironisnya, sub-genre Barongan Devil telah menemukan popularitas baru di media sosial dan platform video. Video-video trance yang ekstrem menjadi viral, menarik perhatian global. Namun, digitalisasi ini seringkali mengorbankan konteks ritual. Penonton non-tradisional cenderung hanya melihat aksi horor tanpa memahami latar belakang spiritual, ritual pembuka, dan pentingnya peran pawang dalam menjaga keselamatan dan kesucian pertunjukan.
Pelestarian Barongan Devil kini berfokus pada dua hal: mempertahankan ritual asli yang ketat (termasuk persyaratan olah batin bagi penari) sambil beradaptasi dengan kebutuhan modern untuk menjamin keselamatan. Ini adalah keseimbangan yang sangat sulit dicapai, memastikan bahwa tontonan ini tetap sakral dan menakutkan, tanpa mengorbankan nyawa para pelakunya.
Sebagai kesimpulan, Barongan Devil adalah puncak dari kompleksitas kesenian Jathilan. Ia adalah sebuah tontonan yang menawarkan lebih dari sekadar tarian; ia adalah pertempuran spiritual yang diperankan, di mana batas antara realitas dan dunia gaib menjadi kabur, dan sisi gelap kosmos Jawa diizinkan untuk menampakkan diri sejenak di hadapan kita.
Pengalaman menyaksikan Barongan Devil adalah sebuah perjalanan ke inti kepercayaan Jawa—sebuah pengingat abadi bahwa kekuatan jahat selalu ada, dan bahwa dibutuhkan disiplin spiritual serta keberanian ritualistik yang tinggi untuk mengendalikan, bahkan mengundang, manifestasinya demi mencapai harmoni kolektif.
Topeng yang garang dan gerakan yang tak terduga adalah simbol dari energi yang harus diakui, dihormati, dan pada akhirnya, dinetralkan. Barongan Devil adalah seni pertahanan diri spiritual masyarakat, sebuah cermin yang memantulkan ketakutan terdalam mereka dan keinginan terkuat mereka untuk mencapai kedamaian dalam lingkungan yang dikelilingi oleh misteri.
Mendalami Filosofi 'Nglurug tanpa Bala' dalam Konteks Barongan Devil
Filosofi Jawa yang terkenal, *Nglurug tanpa bala* (berperang tanpa membawa pasukan), menemukan resonansi yang mendalam dalam konsep Barongan Devil. Meskipun pertunjukan ini melibatkan banyak penari, inti dari pertempuran spiritual adalah perjuangan tunggal antara kesadaran penari, roh yang merasuki, dan kemampuan pawang. Penari Barongan Devil, dalam kondisi trance, adalah prajurit tunggal yang melawan energi negatif besar di dalam tubuhnya sendiri.
Kegagahan yang ditunjukkan saat memakan benda-benda tajam atau berjalan di atas bara api bukan hanya pameran fisik, tetapi demonstrasi spiritual bahwa raga yang dikuasai roh setan pun masih bisa diarahkan dan diselamatkan. Ini adalah pelajaran filsafat tentang ketahanan spiritual individu menghadapi tekanan kosmik. Kekuatan yang muncul dari kerasukan Barongan Devil adalah kekuatan yang 'dipinjam' dari alam lain, tetapi keberanian untuk menjadi wadah bagi kekuatan tersebut adalah murni milik manusia.
Keterkaitan Erat dengan Pemujaan Leluhur
Seringkali, roh yang merasuki Barongan Devil bukanlah roh jahat murni, melainkan roh leluhur yang belum sempurna mencapai kesucian dan masih membawa sisa-sisa amarah atau kekuatan duniawi yang liar. Dengan membiarkan roh leluhur ini bermanifestasi dalam pertunjukan, masyarakat percaya bahwa mereka memberikan wadah yang memungkinkan roh tersebut untuk 'bermain' atau 'menyelesaikan urusan' sebelum mereka dapat beranjak ke dimensi yang lebih damai. Proses ini adalah bagian dari pemujaan leluhur yang berkelanjutan dan rumit dalam budaya Jawa.
Oleh karena itu, ketika Barongan Devil mengamuk, ia mungkin sedang mengekspresikan kemarahan leluhur atas ketidakadilan atau kelalaian keturunan. Pemahaman ini menambah lapisan empati dan penghormatan, alih-alih sekadar ketakutan, terhadap sosok Barongan Devil yang menyeramkan.
VIII. Analisis Detail Musik dan Instrumen Kunci Pemicu Ndadi
Musik Barongan Devil memiliki karakteristik yang unik dan sangat fungsional. Gamelan tidak hanya mengiringi; ia adalah katalisator utama yang membuka dan menutup portal spiritual.
Kendang: Jantung Ritme Barongan Devil
Kendang (drum) adalah instrumen terpenting. Penabuh kendang harus memiliki sinkronisasi yang luar biasa dengan pawang. Jika dalam Gamelan Jawa klasik kendang berfungsi sebagai pemimpin ritme yang elegan, dalam Barongan Devil, kendang menjadi penggebrak yang agresif. Pukulan kendang yang keras, cepat, dan kadang-kadang tak teratur (namun tetap terkendali) meniru detak jantung yang tak karuan, memicu adrenalin dan membuka gerbang psikologis bagi trance.
- Teknik Pukulan Cepat (Gebyok): Digunakan untuk fase puncak ndadi, mendorong penari ke batas kendali.
- Ritme Menghipnotis (Lirihan): Digunakan oleh pawang sebagai alat untuk memanggil roh, ritme yang berulang dan hipnotis sebelum ledakan kerasukan.
Gong dan Saron: Penstabil Spiritual
Meskipun kendang memicu kekacauan, instrumen besar seperti Gong dan Saron (instrumen bilah) berfungsi sebagai penstabil spiritual. Suara Gong yang berat dan bergaung memberikan batasan frekuensi. Gong menandakan awal dan akhir dari siklus ritual. Keberadaannya mengingatkan roh yang merasuki bahwa mereka berada dalam kerangka waktu dan ruang yang ditetapkan.
Tanpa suara Gong yang konstan sebagai jangkar, ritme yang dihasilkan kendang bisa menjadi terlalu liar dan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada psikis penari. Keseimbangan antara Gong yang stabil dan Kendang yang liar adalah representasi musik dari perjuangan antara kontrol dan chaos.
Peran Vokal dan Janturan
Vokal atau *janturan* (nyanyian pencerita) dalam Barongan Devil seringkali menggunakan lirik yang kuno dan penuh misteri, berisi pemanggilan kepada roh penjaga gunung, laut, atau tokoh legendaris yang memiliki sifat kuat dan agresif. Nyanyian ini diucapkan dalam nada rendah dan bergetar, menambah nuansa mistis dan dingin pada pertunjukan. Vokal ini seringkali diucapkan sebelum trance penuh terjadi, memberikan nama dan bentuk pada energi 'devil' yang akan masuk.
IX. Ritual Penutup dan Pembersihan Pasca-Pertunjukan
Pertunjukan Barongan Devil tidak berakhir saat penari sadar kembali. Ritual penutup sama pentingnya untuk memastikan bahwa roh yang dipanggil tidak tertinggal dan menyebabkan masalah di kemudian hari, baik bagi penari maupun komunitas.
Proses Pengembalian Kesadaran (Ngrumat)
Setelah Barongan Devil ditarik dari trance, penari seringkali sangat lemah, bingung, dan mengalami kedinginan hebat (merasa menggigil). Pawang harus segera melakukan *ngrumat* atau pemulihan. Ini melibatkan:
- Penyucian dengan Tirta: Memercikkan air suci atau air kembang ke wajah dan tubuh penari untuk membersihkan sisa-sisa energi roh.
- Pijatan Titik Vital: Memberikan pijatan pada persendian dan titik-titik saraf tertentu untuk mengembalikan aliran darah dan kesadaran normal.
- Pemberian Minuman Hangat: Seringkali berupa ramuan herbal pahit atau kopi hitam tanpa gula, yang dipercaya dapat mengusir hawa dingin sisa kerasukan.
Ritual Pembersihan Tempat (Resik-Resik)
Lokasi pertunjukan juga harus disucikan. Sisa-sisa sesajen tidak boleh dibiarkan terbengkalai. Kemenyan akan dibakar kembali di area panggung dan di sekitarnya untuk 'menutup' portal yang telah dibuka. Kegagalan melakukan *resik-resik* ini diyakini dapat menyebabkan roh-roh yang terlantar bergentayangan dan mengganggu penduduk desa.
Dalam konteks Barongan Devil, setiap detail ritual—mulai dari cara kain diikat hingga urutan instrumen musik dimainkan—memiliki makna spiritual yang mendalam, menjadikan kesenian ini sebuah warisan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar tontonan biasa. Ia adalah seni spiritual yang berani menatap langsung ke wajah kegelapan, merangkulnya, dan kemudian melepaskannya dengan penuh kendali.
Kehadiran Barongan Devil dalam setiap pertunjukan Jathilan adalah pengingat visual akan kekuatan alamiah yang tak terlihat, yang selalu mengintai di balik tirai realitas. Ia adalah perpaduan menakjubkan antara keindahan estetika yang kasar dan praktik spiritual yang kuno, terus hidup dan berdenyut di jantung budaya Jawa.
Penghargaan terhadap Barongan Devil adalah penghargaan terhadap keberanian komunitas untuk menghadapi dan mengintegrasikan aspek-aspek paling liar dari mitologi mereka, sebuah warisan yang menuntut rasa hormat dan pemahaman yang mendalam.
Barongan Devil dan Pengaruh Komersialisasi
Di beberapa daerah, Barongan Devil telah dikomersialkan. Kelompok seni yang profesional sering menampilkan aspek 'Devil' ini untuk daya tarik penonton luar kota atau turis. Komersialisasi ini memiliki dua dampak: Pertama, ia menjamin kelangsungan hidup finansial bagi kelompok seni. Kedua, ia berisiko mengaburkan makna ritual, mengubah kerasukan spiritual menjadi sekadar atraksi sirkus.
Pelaku seni tradisional terus berjuang untuk menyeimbangkan kebutuhan finansial dengan integritas spiritual. Mereka harus memastikan bahwa meskipun penonton melihat aksi yang memukau, ritual dan penghormatan terhadap roh yang dipanggil tetap dijaga. Inilah tantangan terbesar Barongan Devil di abad ke-21.
Meskipun demikian, magi dari Barongan Devil tetap tak terbantahkan. Ia adalah sebuah mahakarya budaya yang melambangkan kebanggaan spiritual dan ketahanan mistik masyarakat Jawa, sebuah tarian yang selamanya terukir dalam kegelapan dan cahaya.