Barongan: Menyingkap Misteri Iblis dan Kekuatan Kuno Jawa

Barongan, sebuah entitas seni pertunjukan yang merentang luas di kepulauan Nusantara, khususnya Jawa dan Bali, bukanlah sekadar tarian topeng biasa. Ia adalah manifestasi dramatis dari dualitas alam semesta, sebuah panggung hidup di mana batas antara realitas profan dan dimensi spiritual terkikis habis. Di balik topeng yang megah dan ritmis genderang yang memekakkan, tersembunyi sebuah narasi purba tentang kekuatan yang menakutkan—kekuatan yang sering kali diidentifikasi sebagai ‘devil’ (setan) atau manifestasi dari kekacauan kosmik, dikenal sebagai Bhuta Kala.

Eksplorasi terhadap elemen keiblisian dalam Barongan menuntut kita untuk menyelami jauh ke dalam akar kosmologi Jawa dan Bali. Ini bukan iblis dalam konteks monoteistik Barat, melainkan energi liar, primitif, dan tak terkendali yang harus diakui, dipanggil, dan kemudian dinetralisir atau diselaraskan. Barongan menjadi arena ritual di mana para seniman bukan hanya memerankan, melainkan juga benar-benar mengundang kekuatan-kekuatan ini—para Buto (raksasa), Leyak, atau makhluk lain yang mewakili nafsu, keserakahan, dan kegelapan mendasar dalam jiwa manusia. Topeng besar yang dipenuhi taring, mata melotot, dan janggut yang menjuntai adalah representasi visual dari entitas-entitas primordial tersebut, sebuah peringatan akan bahaya yang mengintai di batas kesadaran.

Topeng Barongan yang Marah Ilustrasi topeng Barongan tradisional dengan taring panjang, mata melotot, dan mahkota bulu yang menggambarkan kegarangan dan kekuatan spiritual.

Barongan: Topeng Manifestasi Kekuatan Liar dan Spiritual.

Asal-Usul Kegelapan dan Mitologi Bhuta Kala

Dalam konteks Jawa, ‘devil’ bukanlah entitas tunggal, tetapi lebih kepada sebuah kelas makhluk yang disebut Bhuta Kala—roh pengganggu, raksasa pemakan manusia, atau energi negatif yang muncul dari ketidakseimbangan kosmos. Barongan (termasuk Reog Ponorogo atau Barong Bali dalam variasi yang berbeda) sering kali mengambil peran sebagai pelindung atau, secara ironis, sebagai katalis yang memancing kekuatan kegelapan ini keluar. Peran ‘devil’ sangat vital; tanpa kekacauan, tidak akan ada harmoni. Tanpa Buto, Barongan (yang sering diidentifikasi dengan kebaikan atau kekuatan alam) tidak memiliki lawan untuk diperangi, dan ritual pun kehilangan makna eksorsismenya.

Mitologi Barongan sering dihubungkan dengan figur legendaris atau hewan suci, namun unsur ‘devil devil’ muncul paling jelas dalam bagian-bagian yang melibatkan kesurupan atau jathilan (kuda lumping). Ketika para penari memasuki kondisi trance mendalam, mereka dianggap sedang dikuasai oleh roh-roh yang tidak suci—yaitu, Buto atau spirit penjaga tanah yang sifatnya kasar dan destruktif. Aksi gila, memakan beling, atau kekebalan fisik yang diperlihatkan saat trance adalah bukti nyata dari invasi energi ‘devil’ ke dalam raga penari, yang kemudian harus ditaklukkan oleh pawang atau sang Barongan itu sendiri. Proses ini bukanlah sekadar pertunjukan, melainkan pembersihan kolektif yang menakutkan dan membutuhkan tingkat keberanian spiritual yang tinggi dari seluruh komunitas yang hadir.

Faktor mistis yang melekat pada pertunjukan ini tak terpisahkan dari persiapan ritual. Sebelum pertunjukan dimulai, sesajen disajikan, mantra-mantra dilafalkan, dan izin diminta kepada dhanyang (penunggu) setempat. Tujuan dari ritual ini adalah ganda: pertama, menghormati roh baik; kedua, memastikan bahwa roh ‘devil’ yang diundang untuk berpartisipasi tidak akan menyebabkan kerusakan permanen pada diri penari atau penonton. Kepala Barongan, yang di Jawa Timur sering disebut Gembong atau Caplokan, diyakini memiliki kekuatan magis sendiri yang berasal dari kayu dan perapalan yang digunakan saat pembuatannya. Kepala ini adalah gerbang di mana kekuatan purba, baik yang bersifat pelindung maupun yang bersifat devilish, dapat dimanifestasikan, menjadikannya artefak yang diselimuti aura mistis yang pekat.

Deskripsi Buto yang hadir dalam pertunjukan Barongan adalah arketipe yang universal dalam budaya Jawa: sosok raksasa dengan mata merah, kulit gelap atau hijau, dan postur yang sangat mengintimidasi. Buto adalah simbol dari nafsu amarah (kemarahan) dan lawwamah (nafsu rendah) yang harus dijinakkan. Ketika Buto berhadapan dengan Barongan, ini adalah pertempuran antara kekuatan alam yang diatur (Barongan) dan kekacauan yang murni (Buto/Devil). Kekuatan ‘devil’ dalam konteks ini berfungsi sebagai cermin psikologis bagi masyarakat, mengingatkan mereka bahwa tanpa pengendalian diri dan spiritualitas, mereka pun rentan menjadi budak dari sifat-sifat keiblisian dalam diri mereka. Pertarungan ini adalah katarsis, pembebasan energi terpendam melalui tontonan yang intens dan seringkali brutal secara simbolis. Para penonton menyaksikan, dan melalui itu, energi negatif kolektif diharapkan dapat terserap dan dinetralisir oleh ritual tersebut.

Wujud Setan dalam Detil Pertunjukan

Manifestasi ‘devil’ dalam Barongan tidak hanya terbatas pada trance penari, tetapi juga terpatri dalam karakter pendukung yang dirancang secara eksplisit untuk menimbulkan ketakutan dan kekacauan. Ambil contoh Jathil atau Ganongan, yang meskipun sering kali menampilkan aspek komedi, memiliki potensi tinggi untuk menjadi wadah bagi roh jahat. Ketika musik tiba-tiba berubah menjadi lebih cepat, lebih keras, dan lebih disonan, ini adalah sinyal bahwa batas antara dunia niskala (tak kasat mata) dan sekala (kasat mata) sedang dibuka. Musik, melalui gamelan yang intens, adalah alat utama untuk memanggil dan mengarahkan energi ‘devil’ ini.

Dalam Reog (yang sering berbagi elemen dengan Barongan), terdapat sosok Buto Gendruwo atau Buto Ijo, yang fungsinya adalah mengacaukan barisan penari dan memicu kesurupan massal. Sosok-sosok ini digambarkan dengan kostum yang kotor, menyeramkan, dan gerak-gerik yang sangat agresif. Mereka mewakili kekuatan yang menolak peradaban dan moralitas. Mereka adalah kekejian yang diperlukan untuk menguji kekuatan spiritual Barongan itu sendiri. Para pemain Buto harus memiliki kewaskitaan (kekuatan spiritual) yang cukup untuk mengendalikan energi yang mereka panggil, memastikan bahwa kekacauan yang tercipta adalah kekacauan yang terstruktur, bukan kehancuran total yang tidak terkendali.

Elemen 'devil devil' juga terlihat dalam properti yang digunakan. Cambuk yang berbunyi memecah udara, diayunkan oleh para warok, bukan sekadar alat untuk mengatur barisan; ia adalah simbol kekuatan pemaksa yang digunakan untuk ‘mengusir’ atau ‘memukul keluar’ roh-roh jahat dari tubuh yang kesurupan. Darah (meskipun seringkali hanya simbolis atau dari luka kecil akibat atraksi ekstrem) dan kengerian visual dari penari yang memakan pecahan kaca atau menancapkan benda tajam ke tubuh adalah ritual pengorbanan non-fatal, sebuah cara untuk menunjukkan bahwa raga manusia telah dikalahkan oleh energi ‘devil’ dan hanya bisa diselamatkan melalui intervensi spiritual yang lebih tinggi—Barongan atau pawang yang memiliki aji (mantra) kuat.

Bahkan di Bali, dalam pertarungan klasik Barong melawan Rangda, Rangda adalah manifestasi utama dari kekuatan devil—Dewi Durgha, dewi kehancuran, yang haus akan darah dan mewakili sihir hitam (Leyak). Meskipun Barong (yang mirip singa atau harimau) adalah pelindung, kekuatan Rangda begitu luar biasa sehingga ia dapat membuat para pengikut Barong melakukan bunuh diri dengan keris dalam kondisi trance. Kekuatan iblis ini sangat nyata dan sangat dihormati, diyakini mampu membawa penyakit, kesialan, dan kematian. Barongan (di Jawa) dan Barong (di Bali) menghadapi realitas ini secara langsung, menjadikan pertunjukan mereka sebuah drama teologis tentang keseimbangan abadi antara Rwa Bhineda (dua kekuatan yang berbeda) yang selalu bertarung namun tak pernah dapat dipisahkan.

Simbol Buto atau Leyak Ilustrasi sosok iblis/buto berwarna gelap dengan lidah menjulur, mewakili kekuatan Leyak atau Bhuta Kala yang jahat dan chaotic.

Buto Kala: Energi Keiblisian yang Dipanggil dalam Ritual Barongan.

Filosofi Eksorsisme dalam Barongan

Inti dari pertunjukan Barongan yang berbau ‘devil devil’ terletak pada proses eksorsisme atau pemurnian ritualistik. Masyarakat Jawa kuno percaya bahwa penyakit, panen gagal, atau bencana alam adalah manifestasi dari kemarahan Bhuta Kala. Barongan, oleh karena itu, berfungsi sebagai media komunikasi sekaligus penangkal. Dengan mengundang Bhuta Kala untuk merasuki penari, masyarakat secara efektif menyediakan wadah sementara bagi energi negatif untuk keluar dan kemudian diredam. Ini adalah pertarungan spiritual yang terjadi secara terbuka, yang diwarnai oleh musik, gerakan, dan jeritan kesurupan.

Setiap gerakan tarian, setiap hentakan kaki Jathilan, dan setiap ayunan kepala Barongan memiliki makna magis yang mendalam, dirancang untuk melemahkan atau, sebaliknya, memperkuat roh yang masuk. Pawang, sang master ritual, memainkan peran krusial. Ia harus memiliki kontrol spiritual atas roh-roh ini, menggunakan mantra (ajian) dan jimat (pusaka) yang diwariskan secara turun-temurun. Jika sang pawang gagal, kekuatan ‘devil’ dapat lepas kendali, menyebabkan kekacauan yang nyata—sebuah risiko yang selalu mengiringi setiap pementasan Barongan yang otentik. Ketakutan inilah yang memberikan intensitas spiritual yang tidak tertandingi pada seni pertunjukan ini, menjadikannya lebih dari sekadar hiburan; ini adalah pertaruhan hidup dan mati spiritual.

Penggunaan warna dalam Barongan juga sangat simbolis terkait dengan manifestasi ‘devil’. Warna merah yang dominan pada hiasan Barongan atau pada kostum Buto Gedruk melambangkan keberanian, energi yang meledak-ledak, dan yang paling penting, nafsu angkara murka (nafsu kemarahan yang besar). Merah adalah warna kekuatan yang tidak terkontrol, sifat iblis yang harus dihormati tetapi tidak boleh diikuti. Sebaliknya, warna hitam atau biru tua sering digunakan untuk melambangkan kebijaksanaan kuno atau kekuatan spiritual yang menyerap kegelapan, berfungsi sebagai penyeimbang. Simbolisme ini membantu penonton memahami pertempuran spiritual yang terjadi: konflik antara warna-warna primitif, penuh nafsu (devil), dan warna-warna yang lebih terkendali.

Mekanisme trance itu sendiri adalah puncak dari interaksi dengan entitas ‘devil’. Ketika penari Jathil atau Buto memakan ayam hidup, mengupas kelapa dengan gigi, atau kebal terhadap sabetan cambuk, mereka dianggap telah mencapai keadaan spiritual di mana raga mereka bersifat sementara dihuni oleh entitas yang memiliki kekuatan non-manusia. Fenomena ini, yang dalam istilah Jawa disebut nandangi, adalah bukti nyata bahwa kekuatan purba dan keiblisian telah berhasil diundang ke dalam arena. Mereka tidak hanya ‘berakting’ sebagai setan; mereka sementara waktu ‘menjadi’ setan. Peran Barongan sebagai penjinak atau pembersih adalah untuk memastikan bahwa kekuatan ini, setelah digunakan sebagai saluran untuk pelepasan energi, kembali ke tempat asalnya tanpa meninggalkan residu negatif pada penari atau masyarakat sekitar. Ini adalah siklus pengorbanan dan pemurnian yang terus berulang dalam setiap pertunjukan Barongan yang bersifat ritualistik.

Barongan di Era Modern dan Kekuatan 'Devil' yang Abadi

Meskipun dunia telah berubah, Barongan tetap bertahan, dan elemen ‘devil devil’ dalam pertunjukannya tetap menjadi daya tarik utamanya. Dalam konteks modern, Bhuta Kala tidak hanya diartikan sebagai raksasa mitologis, tetapi juga sebagai tekanan sosial, korupsi, dan kehancuran moral—iblis kontemporer. Barongan berfungsi sebagai kritik sosial yang dibungkus dalam kearifan lokal. Ketika Buto beraksi liar di tengah kota, itu adalah representasi dari kekacauan yang dirasakan masyarakat modern. Pertarungan Barongan melawan Buto menjadi simbol perjuangan masyarakat untuk mempertahankan identitas dan nilai-nilai luhur di tengah arus perubahan yang destruktif.

Pelestarian Barongan menghadapi tantangan signifikan di era digital, namun aspek mistis dan ‘devilish’ inilah yang menjaganya tetap relevan. Tontonan trance dan atraksi kekebalan masih menarik ribuan penonton, yang haus akan pengalaman spiritual yang intens, sesuatu yang tidak dapat ditawarkan oleh hiburan biasa. Sensasi berada di dekat energi yang liar, yang berpotensi berbahaya, namun tetap terkontrol oleh ritual, memberikan kepuasan emosional yang mendalam. Mereka datang untuk menyaksikan iblis dipanggil, dan mereka pulang dengan perasaan telah menyaksikan kemenangan kebaikan, atau setidaknya keseimbangan, atas kekacauan.

Transformasi Barongan regional juga menunjukkan adaptasi dari figur ‘devil’. Di beberapa daerah di Jawa Tengah, Barongan mungkin lebih menekankan pada kisah kepahlawanan, namun elemen penyertanya seperti Buto Cakil tetap hadir sebagai representasi kejahatan yang lincah dan sulit ditaklukkan. Buto Cakil, dengan taringnya yang menonjol dan matanya yang tajam, mewakili kejahatan yang licik, berbeda dengan Buto Gendruwo yang lebih kasar dan primitif. Berbagai macam manifestasi ‘devil’ ini menunjukkan bahwa tradisi Barongan sangat kaya dalam memetakan spektrum kegelapan dalam psikologi dan spiritualitas manusia. Setiap topeng ‘devil’ adalah studi karakter tentang bagaimana kejahatan dapat mengambil bentuk yang berbeda-beda, dari nafsu yang kasar hingga tipu daya yang halus.

Kekuatan musik dalam memicu interaksi dengan roh ‘devil’ tidak dapat diremehkan. Gamelan yang digunakan dalam Barongan sering kali menampilkan ritme yang sangat sinkopasi dan keras, dirancang untuk memecah konsentrasi dan membuka gerbang spiritual. Bunyi kendang yang bertalu-talu seolah-olah menyerupai detak jantung yang panik, memimpin penari menuju ambang batas kesadaran. Ketika bunyi gong besar terdengar, itu sering kali menandakan momen klimaks spiritual, entah saat Bhuta Kala muncul sepenuhnya atau saat Barongan berhasil menenangkan kekacauan tersebut. Musik adalah mantra yang abadi, memelihara hubungan antara manusia dan entitas ‘devil’ yang diyakini menghuni alam niskala.

Penting untuk dipahami bahwa dalam pandangan tradisional, mengundang ‘devil’ atau Bhuta Kala bukanlah tindakan penyembahan. Ini adalah tindakan pengakuan. Jika kekuatan kegelapan diabaikan, ia akan menyerang dari bayang-bayang. Barongan memaksa kekuatan tersebut untuk keluar dan berhadapan langsung, di mana ia dapat dilihat, diakui, dan diintegrasikan ke dalam tatanan kosmik yang lebih besar. Ini adalah filosofi yang mengajarkan bahwa kegelapan (devil) adalah bagian integral dari cahaya (Barongan). Keduanya harus ada. Keduanya harus dihormati. Seni pertunjukan ini adalah pelajaran filosofis yang mendalam tentang polaritas, yang disajikan melalui kengerian dan keindahan yang tak terlupakan.

Membongkar Simbolisme Taring dan Mahkota

Setiap bagian dari topeng Barongan dan karakter 'devil' pendukung adalah sebuah teks simbolik yang kaya. Taring yang panjang dan tajam pada Barongan atau Buto tidak sekadar dekorasi; mereka adalah simbol agresi dan kekuatan predator—kemampuan untuk merobek dan menelan bahaya atau kejahatan. Dalam konteks spiritual, taring menunjukkan kekuatan untuk ‘menggigit’ dan mengendalikan energi negatif. Sementara Barongan menggunakan taringnya sebagai perlindungan dan simbol kekuatan suci, Buto menggunakan taringnya sebagai simbol nafsu makan yang tak terbatas dan kekejaman yang tak terkendali.

Mahkota atau hiasan kepala Barongan yang seringkali terbuat dari bulu atau ijuk yang dihias emas dan cermin, mewakili status kerajaan atau ketuhanan, tetapi di beberapa tradisi Barongan yang lebih liar (seringkali lebih dekat dengan roh hutan), mahkota tersebut dapat terbuat dari elemen-elemen yang lebih kasar, melambangkan kekuasaan yang primitif dan tidak terjangkau oleh hukum manusia. Ketika Barongan bergerak, hiasan kepala yang bergoyang menciptakan ilusi makhluk yang hidup dan bernapas, makhluk yang berasal dari dimensi di mana batas antara hewan, manusia, dan ‘devil’ telah kabur.

Penghayatan peran oleh penari ‘devil’ juga memerlukan persiapan spiritual yang ekstrem. Sebelum memakai topeng Buto atau memulai tarian Jathilan yang berisiko kesurupan, para penari harus melakukan puasa, meditasi, dan ritual pembersihan diri. Tujuannya adalah untuk membuat diri mereka menjadi bejana yang bersih, siap untuk diisi oleh kekuatan spiritual, baik itu roh leluhur yang protektif maupun energi ‘devil’ yang dibutuhkan untuk pertunjukan. Jika persiapan ini diabaikan, risiko bahwa roh yang masuk adalah roh pengganggu yang jahat dan sulit dikendalikan menjadi jauh lebih besar, menegaskan betapa seriusnya interaksi dengan elemen ‘devil’ ini.

Dalam Barongan, tidak ada pemenang sejati dalam artian Barat; tidak ada iblis yang sepenuhnya dikalahkan dan dibuang selamanya. Sebaliknya, yang terjadi adalah resolusi sementara, sebuah keseimbangan yang dipulihkan melalui ritual. Setelah Buto (devil) berhasil membuat kekacauan dan Barongan (kebaikan/keseimbangan) berhasil menenangkannya dan ‘mengusir’ roh dari tubuh penari yang kesurupan, energi kosmik dikatakan telah kembali seimbang. Ini adalah siklus abadi yang mengajarkan bahwa kegelapan akan selalu kembali, dan kewaspadaan spiritual harus selalu dijaga. Filosofi ini melampaui sekadar hiburan; ini adalah pedoman hidup tentang bagaimana menghadapi Bhuta Kala di dalam dan di luar diri kita.

Kajian mendalam tentang kata kunci ‘devil devil’ dalam konteks Barongan membawa kita pada pemahaman bahwa pengulangan kata tersebut mencerminkan intensitas dualitas yang dihadirkan. Bukan hanya satu kekuatan jahat, tetapi kekuatan jahat yang berlipat ganda, yang merasuki beberapa karakter sekaligus—dari Buto yang kasar, Leyak yang licik, hingga potensi kekejaman yang muncul dari kerumunan yang terhipnotis oleh energi trance. Barongan adalah sebuah teater yang berani menampilkan spektrum penuh kegelapan dan kekacauan, menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai pemahaman dan pemurnian spiritual yang lebih tinggi.

Ritual pemanggilan kekuatan ‘devil’ ini seringkali disertai dengan penggunaan kemenyan (dupa) dan perapalan mantra dalam bahasa Jawa kuno yang tidak lagi dipahami secara harfiah oleh sebagian besar penonton. Asap kemenyan berfungsi sebagai jembatan olfaktori antara dunia nyata dan dunia roh, mengundang entitas yang diperlukan. Mantra-mantra tersebut adalah kunci spiritual yang ‘membuka’ pintu bagi Bhuta Kala. Jika salah dilafalkan, atau jika niat (niyat) sang pawang tidak murni, konsekuensinya bisa sangat serius, membuktikan bahwa interaksi dengan energi ‘devil’ dalam Barongan adalah praktik spiritual yang sangat rentan dan dihormati secara mendalam. Mereka yang berpartisipasi adalah penjaga gerbang antara dua dunia.

Pengaruh seni ini terhadap pembentukan karakter masyarakat juga signifikan. Dengan secara teratur menyaksikan manifestasi ‘devil’ dan cara ia dijinakkan, masyarakat didorong untuk mengembangkan elan (ketahanan mental) dan kearifan untuk menghadapi kesulitan. Barongan mengajarkan bahwa kekejaman, nafsu, dan kekacauan adalah musuh yang harus dihadapi, bukan dihindari. Ini adalah pendidikan moral yang disajikan dalam bentuk tontonan yang memukau dan terkadang menakutkan, memastikan bahwa pelajaran tentang keseimbangan spiritual tertanam kuat dalam memori kolektif masyarakat.

Tradisi Barongan dan varian-varian seperti Reog Ponorogo terus berkembang, namun inti mistis yang melibatkan penjinakan atau penyeimbangan kekuatan ‘devil’ tetap abadi. Mereka berfungsi sebagai pengingat konstan akan warisan spiritual Nusantara yang kompleks, di mana iblis dan dewa, kekacauan dan keteraturan, hidup berdampingan dalam harmoni yang dinamis dan tak terpisahkan. Pertunjukan ini adalah cerminan dari jiwa kolektif, sebuah drama di mana setiap orang memiliki potensi untuk menjadi Barongan sekaligus Buto, pahlawan sekaligus iblis, dalam arena kehidupan sehari-hari mereka.

Setiap Barongan, setiap Buto yang menari dengan liar, setiap penari Jathil yang kesurupan, adalah bagian dari orkestra spiritual yang lebih besar. Mereka memainkan peran penting dalam memelihara keseimbangan jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhe (makrokosmos). Tanpa intensitas dan kengerian yang dibawa oleh elemen ‘devil devil’, pertunjukan ini akan kehilangan resonansi spiritualnya yang unik. Kekuatan gelap ini adalah bumbu yang membuat Barongan menjadi sakral sekaligus profan, sebuah mahakarya seni ritual yang telah bertahan melintasi zaman, terus menerus memanggil dan menaklukkan iblis dalam diri dan di sekitar kita.

Kekuatan naratif yang terkandung dalam Barongan adalah tentang transformasi. Iblis, atau energi negatif, dipanggil bukan untuk disembah, melainkan untuk ditransformasi melalui seni dan ritual. Energi Buto yang liar dan destruktif, setelah dilepaskan melalui trance dan interaksi dengan Barongan, pada akhirnya menjadi energi yang lebih netral dan terkendali. Proses ini—dari chaos menuju kosmos—adalah esensi dari Barongan. Penggambaran kekerasan simbolis, seperti penari yang kebal dari senjata, adalah penegasan bahwa jiwa yang telah melewati ujian spiritual (melawan iblis di dalam dirinya) menjadi tak terkalahkan. Mereka telah menyaksikan jurang kegelapan dan kembali, membawa serta kearifan dari pengalaman tersebut.

Dalam konteks modern, ketika banyak ritual spiritual mulai pudar, Barongan berdiri tegak sebagai benteng tradisi yang menantang rasionalitas murni. Ia menolak untuk hanya menjadi folklor yang manis. Ia tetap mempertahankan sisi gelapnya, sisi ‘devil devil’ yang menakutkan, karena ia tahu bahwa tanpa elemen kegelapan yang diakui, kedalaman spiritualnya akan hilang. Inilah sebabnya mengapa pertunjukan Barongan yang otentik selalu terasa berat, berisiko, dan sangat hidup—ia adalah pertemuan nyata dengan entitas yang kita sebut iblis, sebuah pertemuan yang dirancang untuk memperkuat iman dan membersihkan jiwa kolektif.

Keunikan Barongan dalam menghadapi Bhuta Kala juga terletak pada penggabungan humor dan teror. Karakter-karakter tertentu, seperti Ganongan atau Bapang (tergantung variasi daerah), seringkali menggunakan tingkah laku yang lucu untuk meredakan ketegangan yang diciptakan oleh kehadiran ‘devil’. Humor ini bukan hanya hiburan, tetapi mekanisme pertahanan psikologis masyarakat. Dengan menertawakan iblis (Buto), masyarakat mengambil kembali kontrol atas rasa takut mereka. Ini adalah strategi kearifan lokal yang mengajarkan bahwa kekuatan teror dapat dinetralkan tidak hanya dengan kekuatan spiritual yang lebih besar, tetapi juga dengan keceriaan dan ketidakpedulian yang ironis terhadap bahaya.

Sebagai penutup dari eksplorasi intens ini, Barongan bukan hanya tentang singa atau harimau mistis. Ia adalah kapsul waktu ritual yang menampilkan pertempuran spiritual paling purba di Nusantara. Kekuatan ‘devil devil’ yang diundang ke panggung adalah denyut nadi yang membuat tradisi ini terus berdetak. Mereka adalah pengingat abadi bahwa manusia hidup di antara dua kekuatan besar, dan seni Barongan adalah cara nenek moyang kita untuk mengelola kekacauan tersebut, mengubah teror menjadi tontonan, dan ketakutan menjadi spiritualitas yang mendalam dan membumi.

Pemahaman mengenai Barongan sebagai perwujudan drama kosmik yang melibatkan kekuatan ‘devil’ harus terus dilestarikan dengan penghormatan tertinggi. Ini adalah jembatan menuju masa lalu spiritual, sebuah pintu gerbang di mana taring dan mantra menjadi alat untuk negosiasi dengan alam baka. Barongan adalah bukti hidup bahwa seni, ritual, dan spiritualitas tak pernah terpisahkan, selalu menyajikan tontonan menakutkan namun sakral tentang perjuangan abadi melawan bayangan gelap yang bersembunyi di setiap sudut dunia.

Dampak visual dari Barongan yang sarat dengan simbol ‘devil’ ini adalah fundamental. Kostum yang mencolok, mata yang terbuat dari cermin atau manik-manik yang memantulkan cahaya dengan liar, serta gerakan yang eksplosif dan tak terduga dari karakter Buto, semuanya dirancang untuk menimbulkan sensasi kekagetan dan penghormatan. Para Buto bergerak dengan cara yang meniru hewan liar dan roh jahat, melompat, berguling, dan menyerang secara acak. Gerakan yang tidak teratur ini kontras dengan gerakan Barongan yang lebih terkontrol dan anggun, lebih lanjut menekankan dualitas antara keteraturan yang protektif dan kekacauan yang bersifat ‘devilish’.

Dalam komunitas di mana Barongan masih menjadi bagian integral dari upacara adat, peran pawang atau dukun yang mendampingi pertunjukan adalah sosok yang sangat disegani, terutama karena ia adalah satu-satunya yang mampu menahan dan mengarahkan kekuatan ‘devil’ saat terjadi trance. Kunci yang dipegang oleh pawang—sering berupa keris atau benda pusaka—bukan hanya alat, tetapi representasi dari otoritas spiritual tertinggi yang diberikan oleh leluhur. Ketika iblis (Buto) telah merasuki penari dan mulai menunjukkan perilaku merusak atau berbahaya, hanya intervensi langsung dari pawang dengan mantra khusus dan sentuhan pusaka yang dapat memaksa roh jahat tersebut untuk meninggalkan raga. Ketergantungan pada sosok ini menekankan betapa tipisnya batas antara pertunjukan seni dan ritual spiritual yang berisiko tinggi.

Filosofi Jawa sering menyebut konsep sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan), dan Barongan dengan elemen ‘devil’nya adalah cara untuk memahami bahwa perjalanan spiritual melibatkan menghadapi dan menerima semua aspek keberadaan, termasuk yang paling gelap. Kekuatan ‘devil’ dalam Barongan adalah ujian moral yang berkelanjutan, sebuah panggilan untuk introspeksi. Setiap kali pertunjukan berakhir, penonton dan peserta diingatkan bahwa perjuangan melawan Bhuta Kala tidak pernah berakhir; ia hanyalah berhenti sejenak sebelum siklus kosmik memanggilnya kembali.

Oleh karena itu, ketika seseorang berbicara tentang Barongan dan mengaitkannya dengan frasa ‘devil devil’, mereka tidak hanya merujuk pada topeng yang menyeramkan. Mereka merujuk pada keseluruhan ekosistem spiritual dan psikologis yang disajikan dalam ritual tersebut: pemanggilan, pengakuan, pertarungan, dan akhirnya, penyeimbangan energi yang paling liar. Barongan adalah cerminan dari alam semesta yang percaya bahwa kegelapan (devil) harus diakui sebagai kekuatan yang kuat, yang jika dikelola dengan benar, dapat membawa pemurnian, bukan kehancuran. Seni ini adalah warisan agung tentang cara hidup berdampingan dengan entitas yang kita takuti dan kagumi pada saat yang sama.

Pengalaman menonton Barongan otentik seringkali digambarkan sebagai pengalaman yang sangat transenden, melampaui batas-batas pengalaman sehari-hari. Sensasi kolektif dari ketakutan yang dicampur dengan kekaguman, yang dipicu oleh penampilan karakter ‘devil’, menciptakan ikatan emosional yang kuat antara penonton dan pertunjukan. Ketika roh Bhuta Kala merasuki penari, energi di sekitar arena terasa memadat. Penonton tidak hanya melihat pertarungan, tetapi mereka merasakannya secara fisik, sebuah resonansi spiritual yang tak terhindarkan. Kekuatan ‘devil’ ini bertindak sebagai jembatan ke alam purba, mengingatkan manusia modern akan hubungan mereka yang terputus dengan kekuatan elemental bumi dan roh-roh penjaga.

Setiap penari yang berpartisipasi dalam segmen ‘devil’ dari Barongan, terutama para Jathilan yang rentan terhadap trance, dianggap telah menjalani semacam inisiasi spiritual. Mereka telah membuktikan bahwa mereka memiliki wedi (keberanian) yang cukup untuk menawarkan raga mereka sebagai wadah sementara bagi entitas spiritual yang ganas. Mereka tahu risikonya, namun mereka melanjutkan, didorong oleh kewajiban ritual dan keyakinan spiritual yang mendalam. Mereka adalah duta sementara bagi alam ‘devil’, sebuah pengorbanan yang diperlukan untuk memastikan kesejahteraan komunitas.

Perbedaan antara Barongan di Jawa Timur (yang lebih fokus pada Reog dan Buto Gedruk) dan Barong di Bali (yang memiliki Rangda sebagai ikon ‘devil’) menunjukkan adaptasi lokal terhadap manifestasi kekuatan gelap. Namun, benang merahnya sama: entitas ‘devil’ adalah kekuatan feminin atau maskulin yang kuat, yang harus dihormati dan ditangani melalui ritual kompleks. Di Jawa, Buto seringkali lebih dikaitkan dengan roh tanah dan energi primitif, sementara Rangda di Bali adalah simbol kekuatan magis jahat yang terorganisir. Kedua-duanya adalah entitas ‘devil’ yang sangat ditakuti, dan keduanya berfungsi sebagai musuh abadi yang memelihara peran Barongan sebagai pelindung.

Kesinambungan tradisi ini, meskipun menghadapi ancaman modernisasi dan skeptisisme, menunjukkan kekuatan abadi dari narasi dualitas. Barongan bukan tentang memenangkan pertarungan sekali untuk selamanya; ini tentang menari dengan bahaya, berjalan di tepi jurang spiritual, dan kembali dengan pemahaman yang lebih besar tentang diri sendiri. Elemen ‘devil devil’ dalam Barongan adalah harta karun budaya yang menawarkan wawasan tentang bagaimana masyarakat Nusantara memahami dan berinteraksi dengan sisi paling gelap dari eksistensi, mengubahnya menjadi sebuah karya seni yang memukau dan penuh makna.

Dengan demikian, Barongan adalah manifestasi paripurna dari seni yang menolak pemisahan antara yang suci dan yang terkutuk. Ia merangkul kedua ekstrem tersebut, menjadikannya sebuah pertunjukan yang resonansinya jauh melampaui batas-batas panggung, meresap ke dalam kain spiritual dan budaya masyarakat yang melahirkannya. Kekuatan ‘devil’ dalam Barongan adalah pengakuan bahwa manusia tidak dapat lepas dari bayangan gelapnya sendiri, melainkan harus belajar untuk hidup seimbang dengannya, sebuah pelajaran yang relevan hingga hari ini dan seterusnya.

Penggambaran ‘devil’ dalam Barongan juga berfungsi sebagai peringatan sosial. Sosok Buto atau raksasa seringkali digambarkan dengan kerakusan dan nafsu yang tidak terkendali. Ini adalah cerminan dari bagaimana sifat-sifat buruk manusia jika dibiarkan tumbuh dapat berubah menjadi kekuatan destruktif yang setara dengan iblis. Melalui pertunjukan, masyarakat diingatkan akan bahaya dari durhaka (ketidakpatuhan spiritual) dan pentingnya menjaga harmoni personal dan komunal. Ketika Buto membuat keributan, ia mewakili dampak dari kegagalan manusia untuk mengontrol hawa nafsu mereka.

Bahkan dalam varian Barongan yang lebih ringan dan kontemporer, unsur 'devil devil' tidak pernah hilang sepenuhnya. Selalu ada momen, sekecil apapun, di mana ritme gamelan menjadi lebih agresif, di mana mata penari menunjukkan kilatan kegilaan yang singkat, atau di mana gerakan menjadi liar dan tidak terduga, mengingatkan penonton bahwa kekuatan liar dari Bhuta Kala selalu siap untuk muncul ke permukaan. Ini adalah komitmen abadi pada tradisi yang percaya bahwa kekuatan kosmik, termasuk yang paling menakutkan, harus diwakilkan secara utuh agar ritual tersebut memiliki efek magis yang sebenarnya.

Para peneliti budaya telah lama berpendapat bahwa Barongan adalah salah satu bentuk teater yang paling efektif dalam memfasilitasi pelepasan emosi kolektif. Kekuatan ‘devil’ yang merasuki dan dipertontonkan secara publik memungkinkan penonton untuk memproyeksikan kecemasan, ketakutan, dan energi negatif mereka ke dalam arena. Dengan menyaksikan Buto yang liar dan kemudian melihatnya dinetralisir, penonton secara subliminal mengalami pembersihan batin. Ini adalah terapi spiritual kuno yang menggunakan manifestasi iblis sebagai alat untuk mencapai kesehatan psikologis dan harmoni komunitas.

Keseluruhan narasi Barongan adalah sebuah siklus yang tak pernah putus. Pemanggilan ‘devil’ (Buto), pertempuran sengit yang melibatkan kekebalan tubuh dan trance, dan pemulihan keteraturan oleh Barongan atau pawang. Siklus ini menegaskan keyakinan bahwa kekuatan negatif adalah abadi dan harus dihadapi secara ritualistik dari waktu ke waktu. Inilah yang membuat Barongan tetap relevan dan powerful: ia bukan hanya menceritakan kisah lama, tetapi ia secara aktif melakukan kembali pertempuran kosmik, menggunakan tubuh penari sebagai medan perang antara cahaya dan kegelapan, antara dewa dan iblis. Barongan adalah pewaris tradisi di mana ketakutan dan penghormatan bertemu dalam sebuah tarian spiritual yang memukau.

Kajian mendalam tentang Barongan mengungkapkan bahwa topeng 'devil' bukanlah tentang merayakan kejahatan, melainkan tentang memahami kompleksitas spiritual. Topeng Buto atau Rangda dirawat dan dihormati layaknya benda suci, bukan karena ia dicintai, tetapi karena ia adalah wadah bagi kekuatan yang sangat besar, kekuatan yang dapat menghancurkan jika tidak dihormati. Perawatan ritualistik terhadap topeng ‘devil’ menunjukkan bahwa ia dipandang sebagai bagian dari tatanan suci, sebuah entitas yang diperlukan dalam drama eksistensi. Tanpa kehadiran iblis yang menakutkan, kebaikan dari Barongan akan menjadi hampa tanpa tantangan sejati.

Barongan, dengan segala elemen 'devil devil' yang ada, adalah sebuah warisan yang mendalam. Ia mengajarkan kita bahwa kekacauan adalah bagian dari kehidupan, bahwa kekuatan gelap adalah realitas yang harus diakui dan dikelola. Dan di tengah hiruk pikuk modernisasi, Barongan terus melayani fungsi purbanya: memanggil kekuatan yang paling gelap, menantangnya, dan akhirnya memulihkan keseimbangan melalui seni dan mantra yang tak lekang oleh waktu. Ia adalah drama abadi antara singa penjaga dan setan yang mengintai, sebuah tontonan yang akan terus mempesona dan menakutkan generasi mendatang.

Dalam setiap desa yang masih memelihara tradisi Barongan, pertunjukan yang melibatkan kesurupan Buto dianggap sebagai barometer kesehatan spiritual komunitas. Jika trance terjadi dengan kuat dan terkelola dengan baik, itu pertanda bahwa aji (kekuatan spiritual) para pawang masih kuat, dan para penjaga tradisi masih mampu menahan serangan ‘devil’ dalam bentuk apapun. Sebaliknya, jika Buto menjadi terlalu agresif atau pawang kesulitan mengendalikan trance yang berbahaya, itu dianggap sebagai pertanda buruk, yang menunjukkan kelemahan spiritual yang harus segera diperbaiki melalui upacara dan pemurnian lebih lanjut.

Interaksi antara Barongan dan karakter 'devil' mencerminkan dialektika filosofis. Barongan, sebagai representasi dari keseimbangan dan kebijaksanaan, tidak pernah berusaha memusnahkan Buto sepenuhnya, karena pemusnahan total akan menghilangkan dualitas kosmik. Sebaliknya, ia menjinakkan dan mengembalikan energi ‘devil’ ke tempat yang semestinya. Ini adalah pelajaran penting: kekuatan liar tidak boleh dimusnahkan, tetapi harus diintegrasikan dan diarahkan. Energi yang diwakili oleh Buto adalah energi murni alamiah, yang jika tidak diarahkan, akan menjadi destruktif. Melalui Barongan, energi ini disalurkan kembali ke siklus penciptaan dan pemeliharaan.

Barongan dan segala mitos yang melingkupinya adalah salah satu kekayaan budaya yang paling berharga di Nusantara, sebuah warisan yang menunjukkan bahwa seni dapat menjadi lebih dari sekadar hiburan—ia dapat menjadi ritual eksorsisme, pendidikan moral, dan jembatan menuju dunia spiritual yang kompleks. Ia adalah kisah abadi tentang perjuangan manusia melawan bayangan dirinya sendiri, sebuah pertarungan yang diwarnai oleh taring, kesurupan, dan kekuatan ‘devil devil’ yang menakutkan namun tak terpisahkan.

🏠 Homepage