Kesenian Barongan, sebuah manifestasi budaya yang kaya akan simbolisme, telah lama menjadi penanda spiritual dan sosial di berbagai daerah di Pulau Jawa. Namun, terdapat satu entitas yang memiliki kekhasan dan kedalaman filosofis tersendiri, yakni Barongan Banjarejo. Kesenian ini, yang berakar kuat di wilayah tertentu di Jawa Timur, bukan sekadar pertunjukan; ia adalah narasi hidup, penghormatan abadi kepada roh leluhur, dan sebuah benteng pertahanan spiritual yang diwujudkan melalui gerak, bunyi, dan rupa topeng raksasa.
Barongan Banjarejo melampaui batas-batas hiburan biasa. Ia menjelma menjadi sebuah ritual komunal, sebuah kesempatan di mana dimensi fisik dan metafisik berinteraksi secara intens. Kekuatan pementasan ini terletak pada kemampuannya untuk membawa penonton kembali ke masa lalu, merasakan denyut nadi mitologi lokal, dan menyaksikan bagaimana perjuangan antara kebaikan dan kejahatan diwujudkan dalam tarian yang memukau. Kesenian ini adalah cerminan kompleksitas kehidupan masyarakat Banjarejo, sebuah komunitas yang menjunjung tinggi harmoni alam dan kearifan masa lampau.
*Wujud mistik kepala Barongan, simbol kekuatan purba.
Asal Usul dan Jejak Historis Barongan Banjarejo
Untuk memahami kedigdayaan Barongan Banjarejo, kita harus menelusuri akar sejarahnya yang berkelindan dengan cerita rakyat dan legenda lokal. Berbeda dengan Barongan atau Reog di kawasan lain yang mungkin lebih terpusat pada kisah Kerajaan tertentu, Barongan Banjarejo memiliki fokus yang lebih kuat pada aspek agraria dan penghormatan terhadap Dhanyang (roh penjaga desa) setempat. Ini adalah seni yang tumbuh dari sawah, hutan, dan sungai, bukan hanya dari keraton.
Interpretasi Mitologi Lokal: Sang Pelindung
Versi yang paling populer di kalangan sesepuh Banjarejo menceritakan tentang hadirnya seekor makhluk buas—gabungan antara singa, harimau, dan naga—yang pada awalnya bersifat destruktif. Makhluk ini, yang dikenal sebagai Singo Barong dalam konteks yang lebih luas, berhasil dijinakkan oleh seorang tokoh spiritual atau Wali yang diutus untuk melindungi desa dari bencana. Penjinakkan ini bukan melalui kekerasan, melainkan melalui harmoni musik dan mantra. Barongan kemudian diangkat statusnya dari ancaman menjadi pelindung. Kesenian ini lantas berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa kekuatan alam yang paling liar pun dapat diarahkan untuk tujuan kebaikan, asalkan didekati dengan rasa hormat dan kearifan.
Penyebutan nama Banjarejo sendiri konon merujuk pada kondisi geografis tertentu, di mana "Banjar" bisa berarti deretan atau jejeran, sementara "Rejo" berarti ramai, makmur, atau subur. Barongan yang hadir di Banjarejo harus selalu mencerminkan kemakmuran ini; oleh karena itu, setiap atribut Barongan, mulai dari warna merah darah yang intens hingga hiasan emas yang berkilauan, dimaksudkan untuk memanggil rezeki dan menolak energi negatif. Filosofi ini telah diwariskan secara lisan, dari generasi ke generasi, menjadikan setiap penampilan Barongan Banjarejo sebagai perwujudan doa massal.
Dokumentasi formal mengenai kapan tepatnya Barongan Banjarejo ini mulai dipentaskan secara rutin memang sulit ditemukan, mengingat tradisi lisan yang dominan. Namun, berdasarkan artefak dan gaya tetabuhan (pukulan gamelan) yang digunakan, para ahli memperkirakan kesenian ini telah eksis setidaknya sejak akhir era Majapahit, berinteraksi dengan masuknya pengaruh Islam yang kemudian menghasilkan sinkretisme budaya yang unik. Dalam sinkretisme tersebut, topeng buas Barong tetap dipertahankan, namun fungsi ritualnya dileburkan dengan ritual selamatan yang bernafas Islami-Jawa.
Keunikan historis Barongan Banjarejo juga terletak pada keterikatannya dengan praktik Jathilan atau Kuda Lumping, yang seringkali menjadi bagian integral dari pertunjukan. Di Banjarejo, Kuda Lumping berfungsi sebagai ‘pasukan’ yang menemani Barong, melambangkan keprajuritan rakyat jelata yang setia kepada sang pelindung mistis. Hubungan timbal balik antara Barong (simbol kekuatan dan otoritas gaib) dan Jathilan (simbol manusia biasa yang kerasukan semangat) menciptakan ketegangan dramatis yang menjadi ciri khas pertunjukan mereka.
Anatomi Kesenian: Detail Barongan dan Penari
Untuk mencapai durasi pertunjukan yang mampu memuaskan roh leluhur dan komunitas, setiap detail dari Barongan Banjarejo dipikirkan secara matang. Pembuatan kostum, pemilihan alat musik, hingga tata rias memiliki makna yang mendalam dan harus dilakukan dengan serangkaian ritual khusus. Kualitas pertunjukan sangat bergantung pada kesakralan dan kepatuhan terhadap standar tradisional.
Mahkota dan Wajah Barong (Gedhog)
Kepala Barong, atau yang sering disebut Gedhog, adalah pusat dari seluruh pertunjukan. Di Banjarejo, Gedhog dibuat dari kayu pilihan, seringkali kayu Jati atau Pule yang diyakini memiliki ‘isi’ atau energi spiritual kuat. Pengerjaan Gedhog dilakukan oleh seorang ahli pemahat yang sebelumnya telah berpuasa dan melakukan tirakat tertentu. Warna merah dominan pada wajah Barong Banjarejo melambangkan keberanian, energi yang melimpah, dan sifat dewa yang siap melindungi. Warna ini bukanlah warna biasa; ia harus berasal dari pigmen tradisional yang dicampur dengan minyak tertentu, memberikan kilauan khas saat terkena cahaya obor atau lampu panggung.
Rambut Barong terbuat dari serat Ijuk (serat pohon aren) berwarna hitam pekat, yang memberikan kesan liar dan tidak terjamah. Ijuk ini disisir sedemikian rupa agar terlihat mengembang, seolah-olah Barong baru saja bangun dari tidur panjang di hutan belantara. Detail taring dan mata yang melotot, dihiasi dengan kaca cermin kecil, berfungsi untuk memantulkan kembali niat jahat yang mungkin ditujukan kepada desa. Ketika Barongan Banjarejo menggerakkan kepalanya, pantulan cahaya dari mata tersebut dipercaya berfungsi sebagai penolak bala yang efektif.
Tubuh Barong, yang merupakan penutup bagi dua orang penari di dalamnya, terbuat dari kain bludru tebal yang dihiasi bordiran benang emas. Motif bordiran ini sangat spesifik, seringkali menampilkan pola mega mendung atau motif naga kecil yang meliuk, yang melambangkan kemakmuran dan kekuasaan atas air dan tanah. Berat keseluruhan kostum ini bisa mencapai puluhan kilogram, menuntut kekuatan fisik dan daya tahan spiritual yang luar biasa dari para penari di dalamnya. Gerakan Barong yang patah-patah dan tiba-tiba bukanlah semata-mata koreografi, melainkan upaya untuk mengatasi berat kostum sekaligus meniru gerakan makhluk buas yang dipenuhi energi mistik.
Penari Jathilan dan Ganongan
Sebagai pendukung utama, penari Jathilan (Kuda Lumping) bertindak sebagai mediator antara alam manusia dan alam Barong. Pakaian mereka didominasi warna cerah dan dilengkapi dengan aksesoris seperti gelang kaki (klintingan) yang berbunyi nyaring setiap kali mereka melompat. Bunyi klintingan ini, yang terus menerus selama pertunjukan, dipercaya membantu memanggil dan mempertahankan roh yang merasuki mereka selama puncak acara (trans atau ndadi).
Tokoh Ganongan (atau Patih Ganong) juga memegang peranan krusial. Ganongan, dengan topengnya yang berhidung panjang dan rambut gimbal yang terurai, seringkali tampil sebagai karakter jenaka yang berfungsi untuk meredam ketegangan spiritual yang diciptakan oleh Barong. Ganongan adalah simbol keseimbangan; dia membawa humor dan kemanusiaan ke dalam panggung yang didominasi oleh kekuatan supernatural. Gerakan Ganongan yang lincah, akrobatik, dan seringkali menggoda penonton adalah pemutus siklus ketegangan, memastikan bahwa ritual ini tetap mengakar pada kehidupan sehari-hari masyarakat.
Analisis detail mengenai riasan wajah Ganongan menunjukkan penggunaan warna putih dan hitam yang kontras, mempertegas ekspresi wajah yang nakal dan cerdik. Di Banjarejo, penari Ganongan harus memiliki kelenturan tubuh yang luar biasa, sebab mereka seringkali harus melakukan gerakan yang menantang gravitasi, melambangkan kecepatan dan ketangkasan pikiran yang diperlukan untuk menguasai ilmu spiritual dan duniawi.
Peran Jathilan dalam Barongan Banjarejo juga tidak terlepas dari makna spiritual. Ketika para penari Jathilan mengalami ndadi, mereka diyakini tidak lagi bertindak atas kehendak sendiri, melainkan dikendalikan oleh roh prajurit kuno. Fenomena ini, yang ditandai dengan mereka memakan kaca, memecah genteng, atau mengupas kelapa dengan gigi, adalah bukti nyata dari kekuatan spiritual yang dilepaskan oleh ritme gamelan dan kehadiran Barong. Ini adalah momen klimaks yang ditunggu-tunggu, di mana batas antara realitas dan mitos menjadi kabur total.
*Alat musik Gamelan, denyut nadi ritual Barongan Banjarejo.
Musik dan Tetabuhan: Panggilan Rohani
Tidak ada Barongan Banjarejo tanpa Gamelan, yang merupakan inti spiritual dari pertunjukan. Musik bukan hanya pengiring; ia adalah mantra yang disajikan dalam bentuk melodi dan ritme. Alat musik yang digunakan dalam Gamelan Barongan Banjarejo memiliki komposisi yang spesifik, menekankan pada tempo cepat, keras, dan repetitif, yang berfungsi untuk membangun energi trance.
Komposisi dan Fungsi Alat Musik
Inti dari Gamelan Barongan Banjarejo adalah: Kendang, Gong Ageng, Kempul, Kenong, dan Saron. Kendang adalah pemimpin orkestra, yang memainkan ritme utama dan memberikan sinyal perubahan gerakan kepada para penari. Kendang yang digunakan memiliki membran kulit yang tebal, menghasilkan suara yang dalam dan menggelegar, sangat berbeda dari kendang pada karawitan Jawa standar. Ritme kendang dalam Barongan Banjarejo sering disebut 'gejluk' atau 'bleng', sebuah pola yang cepat dan memaksa tubuh untuk bergerak spontan.
Gong Ageng, gong besar yang berdentum pada interval waktu yang panjang, berfungsi sebagai penanda siklus kosmologis dan spiritual. Setiap dentuman Gong Ageng dipercaya sebagai resonansi yang membuka gerbang antara alam manusia dan alam gaib. Dentuman ini sangat penting, karena ia memberikan jeda sesaat yang justru meningkatkan ketegangan dan menguatkan para penari yang sedang ndadi.
Kenong dan Kempul (gong kecil dan sedang) bertanggung jawab mengisi melodi pentatonis yang repetitif. Pola-pola ini, yang sering disebut 'ciblon', adalah kunci untuk menciptakan suasana hipnotis. Melodi yang diulang-ulang secara konsisten menembus pertahanan rasional penonton dan penari, memfasilitasi kondisi kesurupan. Jika Kenong dimainkan terlalu cepat atau terlalu lambat, ritual dapat terganggu, menunjukkan betapa presisi musik adalah segalanya dalam konteks ritual ini.
Filosofi Bunyi yang Menggema
Para musisi atau Wiyaga Gamelan Barongan Banjarejo memiliki peran setara dengan dukun atau pemimpin spiritual. Mereka tidak hanya memainkan instrumen; mereka berkomunikasi dengan entitas tak kasat mata melalui bahasa musik. Sebelum pertunjukan, alat-alat musik ini harus diberi sesajen (persembahan), biasanya berupa kembang tujuh rupa dan rokok kretek, sebagai penghormatan kepada roh penjaga alat musik tersebut.
Ketika Gamelan mencapai puncaknya (disebut 'rampogan'), irama yang tercipta menjadi begitu cepat dan kacau secara harmonis, menciptakan pusaran energi yang menarik roh-roh liar. Pada fase inilah Barong bergerak paling agresif, Jathilan mencapai titik tertinggi ndadi mereka, dan Ganongan menari paling gila. Ini adalah simfoni kekacauan yang teratur, sebuah pengungkapan tentang energi purba yang ada di dasar keberadaan manusia dan alam.
Kekuatan musik Barongan Banjarejo sangatlah spesifik. Ia harus mampu menghasilkan frekuensi yang tidak hanya terdengar oleh telinga, tetapi juga dirasakan oleh perut. Resonansi yang dalam dari Kendang dan Gong dipercaya menargetkan pusat-pusat energi (cakra) dalam tubuh penari dan penonton, memicu respons fisik dan emosional yang intens. Bahkan tanpa melihat Barong, suara Gamelan saja sudah cukup untuk memicu rasa hormat, takut, dan kegembiraan yang bercampur aduk.
Variasi lagu dalam Barongan Banjarejo sangat banyak, mulai dari Lagu Pembuka (Gendhing Kawitan) yang lambat dan sakral, seperti ‘Kebo Giro’ versi Barongan, hingga lagu-lagu penutup yang cepat dan ceria untuk mengembalikan kesadaran penari. Setiap pergantian lagu menandai pergantian babak dalam narasi yang sedang dipentaskan, meski narasi tersebut seringkali tidak diucapkan melalui kata-kata, melainkan melalui emosi yang dihantarkan bunyi.
Penguasaan Wiyaga terhadap ritme adalah warisan yang diperoleh melalui puluhan tahun latihan dan pendampingan spiritual. Mereka harus mampu membaca ‘roh’ yang sedang merasuki penari. Jika Barong terlihat terlalu agresif, Wiyaga harus segera mengubah irama untuk ‘menenangkannya’ atau justru mengintensifkannya jika roh yang masuk adalah roh yang membutuhkan pelepasan energi lebih. Sinkronisasi antara gerak, musik, dan kondisi spiritual adalah mahakarya abadi Barongan Banjarejo.
Filosofi dan Fungsi Ritual dalam Komunitas
Barongan Banjarejo adalah tiang penyangga moral dan spiritual desa. Kesenian ini tidak pernah dipentaskan hanya untuk alasan komersial murni; selalu ada dimensi ritual yang menyertai, menegaskan fungsinya sebagai penjaga tradisi dan penyeimbang ekologis-spiritual.
Tolak Bala dan Bersih Desa
Fungsi paling mendasar dari Barongan Banjarejo adalah sebagai ritual Tolak Bala (penolak bencana) dan bagian integral dari upacara Bersih Desa (pembersihan desa tahunan). Ketika desa mengalami musim panen yang buruk, wabah penyakit, atau serangkaian nasib sial, Barongan dipanggil untuk mengusir roh-roh jahat yang diyakini telah memasuki batas wilayah desa. Dalam konteks ini, Barong menjadi manifestasi Sang Pelindung yang turun langsung ke dunia fisik.
Pada upacara Bersih Desa, Barongan akan diarak mengelilingi batas desa, berhenti di empat penjuru mata angin, dan di setiap perhentian dilakukan pembacaan mantra dan penanaman sesajen. Tarian Barong di titik-titik ini dimaksudkan untuk ‘menyegel’ desa dari gangguan luar. Gerakan menghentakkan kaki yang keras, mengibaskan kepala Barong yang bergetar, dan raungan musik Gamelan yang keras adalah cara Barong menyatakan klaimnya atas wilayah tersebut, mengusir entitas lain yang tidak diinginkan.
Simbolisme Dualitas Kosmik
Di balik kengerian topeng dan intensitas tarian, terdapat filosofi Jawa yang mendalam mengenai dualitas: Rwa Bhineda. Barong, sebagai kekuatan liar, merepresentasikan alam bawah, emosi tak terkontrol, dan kekuatan mistik yang destruktif jika tidak dihormati. Namun, kehadirannya yang kini dijinakkan dan dipertontonkan melambangkan kontrol atas kekuatan tersebut. Patih Ganongan, dengan sifatnya yang humoris dan cerdas, mewakili kecerdasan manusia (akal) yang berupaya menyeimbangkan alam liar (Barong).
Keseimbangan ini tercermin dalam interaksi panggung: Barong yang mengamuk, Jathilan yang kesurupan, dan Ganongan yang menengahi. Pertunjukan ini mengajarkan bahwa dalam hidup, kita harus mengakui adanya kekuatan gelap dan liar, tetapi kita juga harus selalu mencari titik tengah melalui kearifan dan humor. Tanpa Barong, desa akan kehilangan pelindungnya; tanpa Ganongan, desa akan tenggelam dalam ketegangan spiritual yang tak berkesudahan.
Ritual pemujaan sebelum pertunjukan juga mencakup pembersihan diri (mandi kembang) dan puasa bagi semua yang terlibat, mulai dari penari Barong hingga pemain Kenong. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan dalam Barongan Banjarejo adalah tanggung jawab spiritual yang serius. Mereka yang tampil harus berada dalam keadaan suci, memungkinkan roh pelindung untuk masuk tanpa hambatan. Kepatuhan terhadap ritual ini memastikan bahwa energi yang dilepaskan di panggung adalah energi positif yang memberkati desa.
Peran Jathilan dalam Dualitas ini sangat menarik. Mereka yang ndadi adalah simbolisasi dari manusia yang terlalu dekat dengan dunia liar, kehilangan kendali rasional mereka. Proses penyembuhan atau ‘pengembalian’ mereka dari kondisi ndadi oleh pemimpin ritual adalah metafora sosial untuk reintegrasi individu yang tersesat kembali ke dalam masyarakat. Pemimpin ritual, seringkali disebut ‘Dukun’ atau ‘Pawang’, menggunakan air suci, mantra, dan asap dupa untuk mengembalikan kesadaran penari, menegaskan bahwa komunitas memiliki kekuatan untuk menarik anggotanya kembali dari ambang batas kegilaan.
Preservasi dan Tantangan Modern
Dalam pusaran globalisasi dan derasnya arus informasi, Barongan Banjarejo menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan kemurnian dan relevansinya. Kesenian yang mengandalkan kedalaman spiritual dan tradisi lisan ini harus bersaing dengan hiburan digital yang lebih instan dan mudah diakses. Upaya preservasi di Banjarejo dilakukan melalui beberapa jalur strategis, yang semuanya berpusat pada pendidikan dan regenerasi.
Regenerasi Penari dan Pengrajin
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah hilangnya minat generasi muda terhadap seni Gamelan dan tari tradisional. Menjadi penari Barong atau Jathilan membutuhkan pengorbanan waktu dan ketahanan fisik serta spiritual yang tinggi, sesuatu yang sulit didapatkan di era serba cepat. Oleh karena itu, komunitas Banjarejo telah mendirikan sanggar-sanggar khusus yang mengajarkan tidak hanya teknik tari, tetapi juga filosofi di balik setiap gerakan.
Regenerasi juga mencakup pelestarian keahlian dalam membuat kostum dan alat musik. Pembuat Gedhog (kepala Barong) adalah profesi langka yang membutuhkan transfer pengetahuan yang sangat spesifik mengenai jenis kayu, pewarnaan ritual, dan cara memahat yang tidak boleh melanggar pantangan leluhur. Para sesepuh kini aktif mendampingi generasi muda, memastikan bahwa ‘roh’ Barong yang diukir tetap otentik dan kuat.
Dinamika Pertunjukan dan Adaptasi
Meskipun Barongan Banjarejo sangat terikat pada ritual, ia juga menunjukkan adaptasi yang cerdas agar tetap relevan. Beberapa kelompok Barongan mulai memasukkan elemen drama kontemporer atau humor yang lebih segar, asalkan tidak mengorbankan bagian inti ritualistik (seperti momen ndadi atau pembacaan mantra). Adaptasi ini diperlukan agar pertunjukan dapat menarik penonton dari luar komunitas, membantu pendanaan kelompok, dan menyebarkan kearifan lokal ke audiens yang lebih luas.
Misalnya, seringkali sebelum ritual utama dimulai, ada pertunjukan pembuka yang menampilkan tarian kreasi baru yang menggunakan kostum Barong mini, atau menampilkan musik Gamelan yang diaransemen ulang dengan sentuhan modern. Strategi ini membantu ‘memperkenalkan’ nuansa spiritual secara bertahap kepada penonton yang belum terbiasa dengan intensitas ritual penuh.
Ancaman Komersialisasi Berlebihan
Tantangan yang paling halus adalah komersialisasi. Ketika Barongan Banjarejo mulai diundang untuk tampil di luar konteks ritual desa—seperti di festival kota atau acara pariwisata—ada risiko bahwa aspek sakralnya akan terkikis. Para pemimpin adat Banjarejo sangat berhati-hati dalam memilih tawaran pementasan. Mereka memastikan bahwa setiap pertunjukan tetap didahului oleh ritual singkat (walaupun dalam skala kecil) untuk menghormati Barong, menjaga agar Barong tetap menjadi Pelindung, bukan sekadar komoditas.
Untuk menjaga kesakralan, aturan ketat diberlakukan bagi penonton dan fotografer, terutama selama fase ndadi. Mengambil gambar atau menyentuh penari yang sedang kesurupan seringkali dilarang keras, memastikan bahwa fokus utama tetap pada proses spiritual yang terjadi, bukan hanya sensasi visual yang ditawarkan.
Keberlanjutan Barongan Banjarejo terletak pada keseimbangan yang rapuh: merangkul inovasi agar tidak punah, sambil mempertahankan inti ritualnya agar tidak kehilangan makna. Komunitas ini memahami bahwa Barongan adalah harta tak ternilai yang diwariskan oleh leluhur, sebuah napas hidup yang harus terus dijaga agar Banjarejo tetap makmur dan dilindungi dari marabahaya.
Pembahasan mengenai Barongan Banjarejo tidak akan lengkap tanpa analisis mendalam tentang bagaimana ritme dan irama Gamelan secara harfiah membangun dan mengendalikan suasana mistis. Musik di sini adalah ilmu pengetahuan spiritual, sebuah matematika ritmis yang telah disempurnakan selama berabad-abad. Fokus utama ada pada Kendang, alat yang memiliki peran ganda: sebagai penjaga tempo sekaligus komunikator spiritual.
Teknik Pukulan Kendang: Pola-pola Hipnosis
Kendang Barongan Banjarejo dimainkan dengan teknik pukulan tangan terbuka dan tertutup (disebut ‘Dhung’ dan ‘Dhang’) yang dikombinasikan dengan pukulan jemari cepat (‘Tak’ dan ‘Thung’). Pola ritmiknya sangat kompleks dan jauh lebih cepat dibandingkan Kendang untuk Wayang Kulit. Terdapat beberapa pola utama yang wajib dikuasai oleh seorang Pengendang (pemain kendang) Banjarejo, di antaranya:
Gendhing Ompak-Ompak: Pola pembuka yang lambat dan berwibawa, biasanya dimainkan saat Barong pertama kali muncul. Ritme ini bertujuan menarik perhatian roh-roh pelindung dan memberikan penghormatan. Pola ini dominan menggunakan suara Dhung yang berat, menghasilkan resonansi yang mengisi ruang dan mempersiapkan kondisi spiritual.
Gendhing Rampog: Ini adalah pola yang paling cepat dan agresif, digunakan saat Jathilan mulai ndadi atau Barong mulai bergerak liar. Ritme ini adalah badai pukulan cepat, bertempo 180 hingga 200 denyut per menit, yang memaksa tubuh memasuki kondisi trance. Pengendang harus memiliki stamina luar biasa, karena pola ini bisa berlangsung 15 hingga 20 menit tanpa henti, menjaga agar energi kesurupan tidak turun.
Gendhing Penutup (Laras Pangkur): Setelah klimaks ritual, Kendang beralih ke pola yang lebih tenang dan stabil, yang berfungsi sebagai ‘jangkar’ untuk menarik kesadaran penari kembali ke dunia nyata. Ritme menjadi lebih teratur, dan penggunaan Gong Ageng diintensifkan untuk memberikan batas siklus yang jelas.
Setiap perubahan pola ritmik ini bukanlah keputusan sepihak Pengendang. Ia merupakan hasil dari komunikasi non-verbal yang intens dengan Pawang dan Barong. Jika Barong menggoyangkan kepalanya dengan cara tertentu atau Jathilan melakukan gerakan yang terlalu berbahaya, Pengendang akan secara intuitif memodifikasi irama, memperlambat untuk menenangkan, atau justru mempercepat untuk menguasai roh tersebut.
Fungsi Kenong dan Kempul sebagai Penegas
Kenong dan Kempul dalam ansambel Banjarejo memiliki peran sebagai penegas melodi yang tidak boleh bergeser sedikit pun. Mereka memainkan pola interlock yang disebut kotekan, menciptakan lapisan suara metalik yang berkelanjutan. Kualitas suara Kenong, yang harus nyaring dan menggema, penting untuk ‘memecah’ keheningan spiritual yang terlalu pekat, menjaga agar kesadaran penonton tidak sepenuhnya tenggelam dalam ketegangan ritual. Suara mereka berfungsi seperti denyut jantung ritmis yang stabil di tengah kekacauan yang dipicu Kendang dan Gong.
Terkadang, musisi Gamelan juga membacakan mantra-mantra lirih (disebut Wirama) di tengah permainan yang keras. Mantra ini diyakini memperkuat daya magis musik, membantu mengikat roh-roh yang telah dipanggil oleh Barong dan mencegah mereka berkeliaran tanpa tujuan di desa.
Detail Koreografi: Gerakan Simbolik Barongan Banjarejo
Koreografi Barongan Banjarejo, meskipun tampak liar dan spontan, sebenarnya mengikuti serangkaian gerakan simbolik yang sangat terstruktur. Gerakan ini menceritakan kisah yang lebih dalam daripada yang terlihat, merangkum perjalanan spiritual Barong dari makhluk buas menjadi pelindung yang disucikan.
Gerakan Pembuka: Eksplorasi Teritorial (Nggoleki)
Saat Barong pertama kali memasuki panggung, gerakannya lambat, menggerutu, dan penuh kehati-hatian. Ini disebut fase Nggoleki (mencari). Barong mengayunkan kepalanya ke kiri dan kanan, membuka dan menutup rahangnya dengan bunyi kayu yang keras (geblak). Fase ini melambangkan eksplorasi roh atau makhluk yang baru saja bangun dan memeriksa lingkungannya. Penari Barong di dalamnya harus mampu menciptakan ilusi bobot yang sangat berat, seolah-olah setiap langkah membutuhkan energi kolosal. Gerakan lambat ini membangun antisipasi dan ketegangan.
Detail penting dalam fase Nggoleki adalah cara Barong menggaruk tanah dengan kaki depannya (yang sebenarnya adalah tangan penari pertama). Ini melambangkan penetapan batas dan pernyataan kedaulatan atas wilayah tempat pertunjukan berlangsung.
Klimaks: Tarian Amuk (Ngrengkuh)
Ketika irama Gamelan mencapai Rampog, Barong memasuki fase Ngrengkuh (merangkul atau mengamuk). Gerakannya menjadi cepat, agresif, dan seringkali melibatkan lompatan pendek. Barong akan melompat-lompat ke arah Jathilan yang sedang ndadi, seolah-olah sedang menguji kekuatan mereka. Pertarungan antara Barong dan Jathilan di sini bukanlah perkelahian yang sebenarnya, melainkan dialog energi: Barong mewakili roh induk yang menguji ketahanan para prajuritnya.
Gerakan Gedruk (menghentakkan kaki) Barong selama amuk ini adalah yang paling penting. Setiap hentakan kaki diyakini menyalurkan energi negatif yang terkumpul di bawah tanah ke permukaan, dan kemudian dihancurkan oleh kekuatan Barong. Semakin keras hentakannya, semakin efektif ritual Tolak Bala tersebut.
Gerakan Penutup: Penjagaan dan Restorasi
Setelah seluruh ketegangan dilepaskan, Barong akan melakukan gerakan melingkar yang pelan, seringkali berakhir di tengah panggung dengan posisi kepala yang menunduk—seolah-olah sedang beristirahat atau tertidur. Posisi ini melambangkan bahwa tugas penjagaan telah selesai, dan Barong kini kembali ke kondisi tenang, siap melindungi desa dari dalam. Posisi menunduk ini juga merupakan simbol kerendahan hati, bahwa kekuatan sebesar apapun harus tunduk pada harmoni kosmik.
Kekuatan koreografi Barongan Banjarejo terletak pada kemampuannya menyajikan kontras yang ekstrem: dari keheningan mistis di awal, ledakan kekerasan yang cepat dan menakutkan, hingga ketenangan spiritual di akhir. Para penari dilatih bertahun-tahun untuk menginternalisasi pola energi ini, bukan sekadar menghafal langkah-langkah, menjadikan setiap pertunjukan sebagai pengalaman spiritual yang unik dan tak terulang.
Menggali Lebih Jauh: Peran Pawang dan Sesajen
Di balik gemerlap kostum dan riuhnya Gamelan, ada figur sentral yang mengendalikan seluruh dimensi spiritual Barongan Banjarejo: Sang Pawang atau Dukun. Pawang adalah jembatan yang menghubungkan penampil, roh, dan penonton. Kehadiran Pawang adalah prasyarat mutlak agar pertunjukan Barongan dapat dilaksanakan dengan aman dan efektif secara ritualistik.
Otoritas Spiritual Sang Pawang
Pawang tidak sekadar bertindak sebagai sutradara; ia adalah penjaga kunci ritual. Ia yang bertanggung jawab atas persiapan sesajen, membacakan mantra pembuka (Jopo Maut), dan yang paling krusial, ia memiliki otoritas untuk memanggil dan mengusir roh yang merasuki penari Jathilan. Tanpa kehadiran Pawang yang mumpuni, roh yang masuk bisa menjadi tidak terkendali, bahkan membahayakan penari atau penonton.
Proses pemanggilan roh oleh Pawang biasanya dilakukan di depan Barong, menggunakan dupa, kemenyan, dan minyak wangi khusus. Asap kemenyan yang mengepul adalah medium yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dimensi lain. Pawang akan mengarahkan Barong untuk ‘menerima’ roh pelindung, memastikan bahwa energi yang dilepaskan di panggung adalah energi yang bersih dan positif. Pawang harus memiliki pengetahuan mendalam tentang silsilah roh-roh lokal dan cara ‘memperlakukan’ mereka dengan hormat.
Peran Sesajen (Ubo Rampe)
Sesajen, atau Ubo Rampe, adalah persembahan material yang diletakkan di dekat panggung atau di tempat yang dianggap sakral. Dalam Barongan Banjarejo, sesajen bukanlah hiasan, melainkan makanan bagi roh yang diundang. Komposisi sesajen sangat spesifik dan tidak boleh kurang satu pun, karena kekurangan dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap roh pelindung.
Sesajen utama meliputi: nasi tumpeng dengan lauk pauk lengkap (lambang kemakmuran), kembang tujuh rupa (lambang keharuman dan kesucian), jajanan pasar lima warna (lambang lima unsur kosmik), kopi pahit dan kopi manis (lambang dualitas kehidupan), serta rokok kretek dan cerutu (persembahan kesenangan duniawi). Yang paling unik di Banjarejo adalah penambahan air suci dari tujuh sumber berbeda, yang diyakini meningkatkan daya magis ritual.
Sebelum pertunjukan dimulai, Pawang akan memimpin ritual wilujengan, di mana sesajen didoakan dan dipersembahkan. Bagian dari ritual ini adalah memercikkan air suci ke kepala Barong dan alat musik Gamelan. Ini adalah tindakan penyucian yang memastikan bahwa segala sesuatu yang terlibat dalam pertunjukan siap untuk berinteraksi dengan energi spiritual yang besar.
Ketika Pawang melakukan ritual pemulihan (mengembalikan kesadaran) pada penari Jathilan yang ndadi, ia sering menggunakan sisa-sisa air suci dari sesajen. Proses ini adalah manifestasi konkret dari janji ritual: bahwa desa akan selalu menjaga dan melindungi roh-roh yang telah bersedia membantu mereka.
Pengaruh Barongan Banjarejo dalam Keseharian
Dampak Barongan Banjarejo tidak terbatas pada panggung pertunjukan; ia meresap ke dalam struktur sosial dan etika kerja masyarakat setempat. Kesenian ini membentuk identitas kolektif dan mengajarkan nilai-nilai penting yang menopang komunitas tersebut.
Etos Kerja dan Kekuatan Gotong Royong
Penyelenggaraan satu pertunjukan Barongan Banjarejo membutuhkan gotong royong yang masif, mulai dari persiapan logistik, pembuatan panggung sederhana, hingga pengumpulan dana. Proses ini memperkuat ikatan komunal. Setiap anggota desa, terlepas dari status sosialnya, memiliki peran dalam Barongan. Ada yang bertanggung jawab atas Gamelan, ada yang menyiapkan sesajen, dan ada pula yang bertindak sebagai penjaga keamanan spiritual dan fisik di sekitar arena pertunjukan.
Etos kerja yang cepat, tepat, dan penuh tanggung jawab yang dituntut dalam mempersiapkan Barongan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran bahwa kesalahan kecil dalam ritual bisa membawa malapetaka membuat mereka lebih teliti dalam pekerjaan, seperti bertani atau berdagang. Barongan mengajarkan pentingnya detail dan kesempurnaan dalam setiap upaya.
Pendidikan Karakter Melalui Tari
Bagi anak-anak Banjarejo, belajar tari Barongan atau Jathilan adalah bagian penting dari pendidikan karakter. Latihan yang intensif menumbuhkan disiplin, ketahanan fisik, dan kemampuan untuk bekerja dalam tim (sinkronisasi antara dua penari Barong harus sempurna). Lebih penting lagi, mereka diajarkan untuk menghormati benda-benda ritual (seperti Barong dan Gamelan) sebagai entitas hidup yang memiliki roh.
Melalui pelajaran mengenai Ganongan, mereka belajar tentang pentingnya humor, kelincahan mental, dan kemampuan untuk menyelesaikan konflik dengan kecerdasan, bukan hanya kekuatan fisik. Barongan Banjarejo adalah sekolah spiritual yang membentuk individu yang kuat secara fisik dan matang secara emosional.
Ketika generasi muda melihat Barong, mereka tidak hanya melihat topeng kayu; mereka melihat simbol identitas mereka, warisan leluhur mereka, dan janji untuk masa depan yang makmur. Keterikatan emosional dan spiritual inilah yang memastikan bahwa kesenian ini akan terus bertahan, bahkan di hadapan tantangan modern yang paling berat.
Sebagai kesimpulan, Barongan Banjarejo adalah sebuah monumen budaya yang kompleks. Ia adalah sintesis sempurna antara seni pertunjukan, ritual keagamaan lokal, dan filosofi hidup. Setiap helai ijuk di kepala Barong, setiap dentum Gong Ageng, dan setiap langkah gila penari Jathilan membawa beban sejarah, doa, dan harapan komunitas. Kesenian ini adalah detak jantung Banjarejo, memastikan bahwa meskipun dunia berubah, akar spiritual mereka tetap kokoh tertanam di tanah Jawa.
Ketahanan kesenian ini terletak pada kemampuannya untuk menawarkan lebih dari sekadar tontonan. Ia menawarkan pengalaman, sebuah momen di mana penonton dan penampil berbagi ruang dengan yang tak terlihat, menegaskan kembali bahwa di tengah modernitas, kekuatan dan kearifan masa lalu masih sangat relevan. Barongan Banjarejo akan terus hidup selama masih ada tanah yang diolah, sawah yang makmur, dan generasi yang bersedia melanjutkan tradisi sakral ini.
Penting untuk dicatat bahwa prosesi ritual ini melibatkan banyak lapisan detail yang seringkali tersembunyi dari mata awam. Sebagai contoh, pemilihan kain penutup Barong bukan sembarangan. Kain bludru yang digunakan harus dipintal di daerah tertentu dan diwarnai dengan cara tradisional agar getaran magisnya tetap terjaga. Jika kain tersebut diganti dengan bahan sintetis modern, kepercayaan lokal menyebutkan bahwa roh Barong akan merasa tidak nyaman, bahkan bisa menolak untuk masuk, sehingga pertunjukan akan kehilangan daya pikat spiritualnya.
Selain itu, teknik menari Barong di Banjarejo memiliki ciri khas gerakan 'membungkuk rendah' yang sangat ekstrim, melambangkan penyerahan diri terhadap bumi (Ibu Pertiwi). Dalam ritual tolak bala, Barong seringkali terlihat menjilati atau menggesekkan dagunya ke tanah. Gerakan ini merupakan simbol penghormatan tertinggi kepada Dhanyang bumi, memohon izin dan restu agar desa terhindar dari penyakit dan gagal panen. Detail koreografi ini seringkali luput dari perhatian, namun merupakan inti dari makna agraria Barongan Banjarejo.
Para penari yang bertugas memikul Barong (dua orang) juga menjalani pola diet khusus sebelum pementasan. Mereka harus menghindari makanan yang dianggap 'panas' atau 'kotor' yang dapat menghambat masuknya roh suci. Mereka mengonsumsi nasi putih dan air minum yang telah didoakan selama beberapa hari. Persiapan fisik ini adalah bagian tak terpisahkan dari ritual, menegaskan bahwa tubuh penari harus menjadi wadah yang layak dan suci bagi entitas gaib.
Perluasan narasi Barongan Banjarejo tidak berhenti pada Barong, Jathilan, dan Ganongan saja. Kadang kala, pertunjukan ini diperkaya dengan kehadiran tokoh pendukung lain, seperti Bujang Ganong yang membawa cambuk (pecut) sebagai simbol kontrol dan otoritas, atau penampilan Warok yang melambangkan kekuatan fisik dan mistis dari para pendekar. Masing-masing tokoh ini memiliki peran spesifik dalam menjaga alur cerita dan tingkat energi ritual, memastikan tidak ada celah spiritual yang terbuka bagi roh jahat untuk mengganggu prosesi.
Kesenian Barongan Banjarejo adalah sebuah teks hidup yang terus ditulis ulang melalui setiap pementasan. Ia adalah janji yang ditepati oleh komunitas kepada leluhurnya, sebuah perayaan atas kehidupan, dan pengingat abadi bahwa di dunia yang serba cepat ini, masih ada tempat bagi misteri, hormat, dan kearifan yang diwariskan melalui tarian Singa yang agung dan menakutkan.
Kajian lebih lanjut mengenai instrumen Kenong menunjukkan bahwa bahan perunggu yang digunakan haruslah perunggu berkualitas terbaik, dicampur dengan rasio tertentu untuk menghasilkan suara yang 'manis' namun kuat. Suara Kenong yang baik dipercaya mampu 'membius' roh-roh halus sehingga mereka tidak menjadi liar, melainkan patuh kepada Pawang. Pembuatan Kenong di Banjarejo seringkali melibatkan ritual puasa, mirip dengan pembuatan Gedhog, menunjukkan tingginya nilai spiritual yang dilekatkan pada setiap elemen Gamelan.
Aspek visual dari Jathilan juga patut diperhatikan. Kuda tiruan (kuda lumping) yang mereka gunakan tidak terbuat dari kulit biasa, melainkan anyaman bambu yang dicat cerah, melambangkan keprajuritan rakyat jelata yang ringan dan cepat. Namun, di Banjarejo, kuda lumping tersebut seringkali dihiasi dengan jimat kecil atau rajah yang dilukis di bagian dalam, sebagai pelindung tambahan bagi penari agar roh yang merasuki mereka adalah roh prajurit yang baik, bukan roh yang jahat atau mengganggu.
Dalam konteks modernitas, komunitas Banjarejo telah berupaya mendokumentasikan setiap gerakan dan ritme Gamelan ke dalam notasi modern, sebuah langkah revolusioner untuk kesenian yang dulunya hanya mengandalkan transmisi lisan. Namun, para sesepuh tetap menekankan bahwa notasi hanyalah peta; jiwa dari Barongan hanya dapat dipelajari melalui kontak langsung, tirakat, dan pengalaman spiritual nyata saat berada di bawah pengaruh Barong dan Gamelan. Dokumentasi ini berfungsi sebagai alat bantu, tetapi tidak pernah menjadi pengganti otoritas spiritual Pawang dan Penari itu sendiri.
Keunikan lain dari Barongan Banjarejo adalah durasi pementasan yang ekstrem. Dalam ritual Bersih Desa, pertunjukan bisa berlangsung dari sore hari hingga menjelang subuh. Durasi yang panjang ini bukan karena kebutuhan artistik, melainkan kebutuhan spiritual. Roh-roh leluhur dan Dhanyang diyakini membutuhkan waktu yang lama untuk 'turun' dan 'menikmati' persembahan tarian. Semakin lama dan semakin intens pertunjukan, semakin besar pula restu yang akan diberikan kepada desa. Oleh karena itu, stamina dan dedikasi seluruh anggota kelompok Barongan adalah kunci keberhasilan ritual.
Setiap detail yang terukir pada Barong, setiap nada yang dipukul pada Gamelan, dan setiap tetesan keringat penari Jathilan adalah investasi spiritual yang berkelanjutan. Barongan Banjarejo adalah sebuah sistem yang hidup dan bernapas, sebuah warisan abadi yang terus menantang waktu, memanggil misteri, dan menyatukan komunitas di bawah naungan roh pelindung yang bertaring tajam dan berwajah merah menyala.
Jika kita menganalisis lebih jauh tentang kostum Ganongan, topeng hidung panjangnya sering diartikan sebagai simbol kecerdikan dan keingintahuan. Topeng ini memberikan kesan wajah yang tidak pernah diam, selalu mencari celah dan menemukan solusi. Warna rambut gimbalnya yang mencolok, seringkali dihiasi dengan pita merah atau kuning, menunjukkan sifatnya sebagai tokoh yang menonjol dan berani berbeda. Gerakan Ganongan yang seringkali memprovokasi Barong adalah cerminan dari peran 'penguji'. Ia menguji apakah Barong yang hadir benar-benar roh pelindung yang kuat, atau hanya entitas lemah yang mudah marah. Jika Barong merespons provokasi Ganongan dengan humor atau pengendalian diri, itu adalah tanda Barong yang baik.
Pentingnya ritual pembersihan (Jamasan) Barong juga perlu ditegaskan. Kepala Barong dicuci secara berkala, biasanya pada malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon, menggunakan air kembang dan diiringi mantra. Prosesi Jamasan ini bukan hanya membersihkan secara fisik, tetapi membersihkan energi negatif yang mungkin menempel selama pementasan. Air sisa Jamasan seringkali dipercaya memiliki kekuatan penyembuhan dan diam-diam diambil oleh penduduk desa untuk diminum atau diusapkan ke tubuh sebagai jimat perlindungan.
Dalam konteks modern, upaya pelestarian di Banjarejo kini mulai melibatkan teknologi. Beberapa sanggar telah merekam suara Gamelan secara digital untuk tujuan pengarsipan dan pelatihan. Namun, mereka berhati-hati agar rekaman digital ini tidak menggantikan pengalaman langsung yang menghasilkan getaran spiritual. Mereka percaya, energi trance hanya bisa dicapai melalui resonansi akustik alamiah dari alat musik perunggu dan kulit yang dipukul dengan tangan manusia yang telah disucikan.
Perlu ditekankan kembali bahwa meskipun Barongan Banjarejo sering diidentikkan dengan kekerasan atau kegilaan (terutama pada fase ndadi Jathilan), intinya adalah pencarian harmoni. Semua kekacauan yang terjadi di panggung adalah representasi kekacauan dalam kosmos atau dalam hati manusia. Dengan mengizinkan kekacauan ini diwujudkan secara ritual, komunitas berharap dapat melepaskannya dari kehidupan nyata, sehingga Banjarejo dapat kembali ke kondisi damai (Rejo) setelah ritual usai.
Setiap penari, musisi, dan Pawang Barongan Banjarejo adalah penjaga tradisi yang memikul tanggung jawab besar. Mereka bukan sekadar seniman; mereka adalah pemelihara api leluhur, memastikan bahwa raungan Singa Barong akan terus terdengar, menjaga desa mereka dari segala marabahaya, hari ini dan untuk generasi yang akan datang. Keberanian mereka untuk berinteraksi langsung dengan dimensi spiritual demi kemaslahatan kolektif menjadikan Barongan Banjarejo sebagai salah satu warisan budaya Jawa Timur yang paling misterius dan bernilai tinggi.