Di tengah hiruk pikuk ritual pertunjukan tradisional Nusantara, muncul sosok yang menarik perhatian sekaligus menakutkan: Barongan dengan dominasi warna hijau pekat, sering diidentifikasi sebagai manifestasi 'Buto Ijo' atau Raja Hutan. Sosok ini bukan sekadar topeng, melainkan wadah yang menampung spektrum luas mitologi Jawa Kuno, spiritualitas agraria, dan konsep kekuasaan yang bersemayam dalam warna. Artikel ini akan menelusuri jauh ke dalam esensi Barongan Devil Warna Ijo, mengupas lapisan demi lapisan makna di balik kegarangan visual dan peranannya dalam menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan alam gaib.
Barongan, dalam konteks seni pertunjukan Jawa, khususnya Reog Ponorogo atau varian lainnya seperti Barong Bali dan Barong Blora, adalah figur topeng besar yang melambangkan binatang mitologis atau entitas gaib yang memiliki kekuatan dahsyat. Barongan mewakili batas antara realitas yang dapat diindra dan dimensi spiritual yang tersembunyi. Ketika Barongan tersebut diwarnai dominan hijau dan secara eksplisit dikaitkan dengan narasi kejahatan, atau setidaknya kekuatan yang tidak terkendali, ia dikenal sebagai Buto Ijo.
Kata "Buto" (atau *Bhuta* dalam bahasa Sanskerta) secara harfiah berarti raksasa atau ogre. Dalam kosmologi Jawa dan Bali, buto adalah entitas yang mewakili nafsu, kekuatan primitif, ketidakteraturan, dan energi alam yang belum dijinakkan. Mereka adalah bagian penting dari tatanan kosmik karena mereka mengontrol aspek-aspek bumi dan alam liar. Sementara "Devil" (setan) dalam perspektif Barat sering kali merujuk pada kejahatan mutlak, buto Nusantara lebih bersifat ambivalen; mereka adalah penjaga yang menakutkan, namun bisa juga menjadi sumber bencana jika tidak dihormati.
Penyebutan "Warna Ijo" (Hijau) bukanlah kebetulan. Ini adalah kunci interpretasi. Hijau di Nusantara melambangkan berbagai hal: kesuburan, kehidupan agraris, hutan belantara yang tak tersentuh (*alas angker*), racun, dan juga spiritualitas tertentu yang terkait dengan bumi dan laut selatan (misalnya, Nyi Roro Kidul sering dikaitkan dengan warna hijau). Buto Ijo adalah sintesis dari kekuatan primal buto yang bersemayam dalam energi alam berwarna hijau.
Dalam pertunjukan Reog Ponorogo, Barongan utama sering kali berupa Singo Barong yang megah. Namun, Buto Ijo atau varian buto hijau sering muncul sebagai figur pendamping atau musuh yang harus ditaklukkan, merefleksikan pertarungan batin dan fisik. Ia adalah simbol kekejaman hutan yang harus dihadapi oleh peradaban manusia. Buto Ijo adalah manifestasi kekuatan bumi yang menuntut penghormatan dan sesaji. Kekuatan ini, ketika diartikulasikan melalui topeng Barongan yang masif, menciptakan aura *semeleh* (ketakutan yang diiringi rasa takjub) pada penonton.
Buto Ijo juga memiliki peran sebagai entitas yang menyerap energi negatif. Dalam beberapa tradisi spiritual, warna hijau pekat pada Barongan berfungsi sebagai penyerap (*tombok*) dari niat jahat atau energi *saru* (kotor) yang ada di sekitar pertunjukan. Melalui gerak tari yang keras, Barongan hijau "memuntahkan" kembali energi tersebut, membersihkan ruang ritual. Hal ini menggarisbawahi bahwa Buto Ijo, meskipun tampak jahat, sesungguhnya bertindak sebagai pembersih yang brutal namun esensial.
Untuk memahami kedalaman Barongan Ijo, kita harus menyingkap makna berlapis dari warna hijau di Jawa dan Bali. Warna ini jarang digunakan secara sembarangan pada objek ritual sekuat Barongan. Pemilihan warna hijau pekat pada Barongan Buto Ijo adalah sebuah deklarasi filosofis tentang asal-usul dan kekuatannya.
Pada tingkat yang paling mendasar, hijau adalah warna alam, padi, dan hutan. Barongan Ijo terhubung langsung dengan Dewa Bumi (*Dewi Sri* dalam konteks pertanian, atau roh penjaga lahan). Ia melambangkan kesuburan yang berlimpah—janji panen yang makmur—tetapi juga ancaman kelaparan jika alam tidak diperlakukan dengan baik. Dalam konteks ini, Barongan Ijo adalah personifikasi dari *alam raya* yang dapat memberi kehidupan atau mengambilnya dengan cepat. Kehadirannya dalam ritual sering dikaitkan dengan permintaan hujan atau kesuburan tanah.
Pewarnaan hijau pekat, yang sering dicampur dengan pigmen hitam atau emas, memberikan ilusi kedalaman dan keangkeran. Hijau yang mendominasi menunjukkan bahwa entitas ini tidak berasal dari langit atau dunia atas, melainkan murni dari lapisan bumi, lumpur, dan akar-akar tua. Ini menekankan sifatnya sebagai *Dewa Dhusun* (Dewa Desa) atau penguasa wilayah pedalaman yang sangat dihormati dan ditakuti.
Dalam narasi mistik Jawa, area yang ditutupi oleh pepohonan rimbun dan hutan lebat dikenal sebagai *alas angker*. Warna hijau Barongan menyerap sifat *angker* ini. Barongan Ijo adalah roh penunggu hutan belantara yang belum tersentuh oleh peradaban. Ia memiliki kekuatan sihir yang gelap, kemampuan untuk menghilang di balik dedaunan, dan sering dikaitkan dengan entitas yang sangat sulit dipanggil atau dikendalikan. Kekuatan ini dikenal sebagai kesaktian ijo, suatu jenis energi magis yang murni bersumber dari energi geologis dan botani.
Aspek 'devil' dari Barongan ini muncul karena ia melanggar tatanan sosial yang rapi. Ia adalah representasi dari kekuatan yang liar dan tak terduga, berbeda dengan dewa-dewa yang sudah 'dijinakkan' dalam pewayangan. Ia seringkali diasosiasikan dengan roh-roh yang mati secara tidak wajar di hutan (misalnya, *banaspati* atau *genderuwo* yang berwarna kehijauan/gelap), menambah lapisan ketakutan ritualistik terhadap topeng tersebut.
Tidak dapat dipungkiri, hijau juga merupakan warna yang dominan dalam mitologi pesisir selatan Jawa, yang dikuasai oleh Kanjeng Ratu Kidul. Warna hijau *gadung* atau *lumut* sering kali menjadi warna kebesaran di pantai selatan, melambangkan kekayaan laut yang tak terduga dan bahaya yang mengintai. Barongan Buto Ijo, dalam beberapa interpretasi, merupakan penjaga daratan yang berhadapan langsung dengan kekuasaan laut, menunjukkan batas wilayah kekuasaan spiritual. Penggambaran taring dan mata yang merah menyala pada Barongan Ijo menciptakan kontras yang dramatis—kekuatan alam (hijau) yang dipenuhi dengan nafsu membara (merah), menjadikannya figur yang tidak dapat didekati dengan sembarangan.
Barongan Buto Ijo adalah hasil dari proses kreasi yang sangat detail, menggabungkan keterampilan seni ukir tradisional, pengetahuan spiritual, dan pewarnaan pigmen alami. Kekuatan visualnya tidak hanya terletak pada ukuran, tetapi pada detail pahatan yang dirancang untuk membangkitkan rasa takut dan hormat—suatu konsep yang dikenal sebagai Wirya Estetika, yaitu keindahan yang lahir dari kekuatan dan kegarangan.
Penciptaan Barongan Ijo dimulai dengan pemilihan kayu, biasanya kayu suci seperti *jati*, *pule*, atau kayu yang dianggap memiliki energi tertentu (*kayu tuah*). Pemilihan ini sering didasarkan pada petunjuk spiritual atau mimpi. Proses mengukir topeng Barongan Ijo ini sangat sakral. Pengukir (disebut *undagi* atau *empu*) seringkali harus melakukan puasa (*tirakat*) atau menahan diri dari perilaku duniawi selama proses pengerjaan, memastikan bahwa topeng tersebut tidak hanya sekadar objek seni, tetapi juga wadah bagi entitas yang akan dipanggil.
Bagian kepala Barongan Ijo selalu menonjolkan fitur buto: mata melotot (simbol kemarahan dan kewaspadaan), gigi taring yang panjang (simbol nafsu makan dan kekuatan menghancurkan), dan lidah menjulur (simbol agresivitas atau siap menyantap mangsa). Struktur kulit dan dahi sering diukir dengan detail menyerupai sisik atau urat-urat yang menonjol, menunjukkan kulit raksasa yang tebal dan tak tertembus.
Warna hijau yang digunakan pada Barongan Buto Ijo haruslah hijau yang pekat, sering mendekati warna lumut atau hijau tentara yang gelap. Hal ini membedakannya dari hijau muda yang melambangkan kelembutan. Pewarnaan ini tidak dilakukan hanya untuk estetika, tetapi untuk mengaktifkan simbolisme *angker* yang melekat pada warna tersebut. Pigmen alami yang dicampur dengan minyak atau ramuan tertentu dipercaya membantu "mengunci" energi roh ke dalam kayu.
Kombinasi warna pada Buto Ijo biasanya meliputi:
Harmoni kontras ini menciptakan efek visual yang memukau dan sekaligus mengerikan, yang esensial untuk fungsi ritualistiknya sebagai penolak bala dan penarik perhatian spiritual.
Konsep Buto Ijo dalam Barongan tidak muncul dari kekosongan; ia berakar kuat dalam epos Hindu-Buddha yang diadaptasi oleh tradisi Jawa, khususnya dalam cerita-cerita *Mahabharata* dan *Ramayana*, di mana raksasa (buto) memainkan peran kunci. Selain itu, terdapat legenda lokal yang secara spesifik menamai Buto Ijo sebagai penjaga tertentu.
Dalam pewayangan, sosok buto sering menjadi antagonis yang kuat dan bodoh, namun Buto Ijo dalam konteks Barongan lebih menyerupai figur *yaksa* atau *rakshasa* yang memiliki kekuatan spiritual. Mereka melambangkan penghalang yang harus dilalui oleh seorang pahlawan untuk mencapai kebijaksanaan. Kekuatan Buto Ijo yang tidak terkalahkan seringkali hanya dapat diatasi bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan kecerdasan spiritual dan kesabaran.
Barongan Ijo, dalam interpretasi Reog, dapat dilihat sebagai representasi dari Prabu Klana Sewandana (tokoh utama Reog) yang harus menaklukkan kekuatan liar di dalam dirinya sendiri sebelum ia dapat memerintah dengan bijaksana. Buto Ijo adalah cerminan dari nafsu yang harus dikendalikan, bukan dimusnahkan. Karena nafsu (kekuatan) adalah energi alam yang diperlukan untuk kehidupan, tetapi harus berada di bawah kendali spiritual.
Di banyak daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Buto Ijo adalah nama yang diberikan kepada roh penjaga tempat-tempat keramat yang berhubungan dengan air atau goa. Goa sering dianggap sebagai pintu masuk ke dunia bawah atau alam roh. Buto Ijo diyakini menjaga harta karun tersembunyi, atau lebih penting, menjaga mata air suci dari polusi manusia. Jika seseorang memasuki wilayahnya tanpa izin atau niat baik, Buto Ijo akan mengambil nyawa atau menyebabkan bencana.
Kisah-kisah ini memperkuat peran Barongan Ijo sebagai penjaga wilayah. Ketika Barongan Ijo tampil, ia sedang menetapkan batas-batas spiritual dan mengingatkan masyarakat akan kekuatan yang jauh lebih besar dari mereka, yang tinggal di kedalaman hutan dan perut bumi. Rasa takut yang ditimbulkannya adalah rasa takut yang berfungsi—takut yang mendorong penghormatan terhadap alam.
Barongan Buto Ijo bukanlah sekadar tarian; ia adalah ritual yang melibatkan transendensi atau kesurupan (*ndadi*). Gerakan tarian Barongan Ijo yang keras, cepat, dan tidak teratur—berbeda dengan tarian keraton yang anggun—adalah cara untuk memanifestasikan energi buto yang liar.
Musik yang mengiringi Barongan Ijo sangat vital. Gamelan yang digunakan, khususnya bagian *gong* dan *kendang*, dimainkan dengan ritme yang cepat, berdentum-dentum, dan repetitif (*repetitif*). Irama ini bertujuan untuk memecah batas kesadaran normal dan memicu keadaan trans. Frekuensi suara gamelan yang spesifik diyakini menarik energi buto atau roh yang telah diundang untuk bersemayam sementara di dalam topeng atau tubuh penari.
Ketika penari Barongan Ijo mulai bergerak, mereka memasuki fase *ndadi*. Gerakan mereka menjadi super-manusiawi, menunjukkan kekuatan luar biasa—misalnya, membanting tubuh ke tanah tanpa cedera, memakan beling, atau mengupas kelapa dengan gigi. Ini adalah bukti visual bahwa roh Buto Ijo telah mengambil alih, mengubah tubuh manusia menjadi wadah kekuatan alam liar yang diwakili oleh warna hijau.
Menari Barongan Ijo membutuhkan persiapan spiritual yang intens. Penari yang membawa topeng ini harus memiliki *jatidiri* (identitas spiritual) yang kuat. Mereka tidak hanya belajar gerak tari, tetapi juga mantra, puasa, dan cara berkomunikasi dengan roh yang mendiami Barongan. Ini adalah tanggung jawab spiritual yang berat, karena gagal mengendalikan energi buto dapat menyebabkan malapetaka pada diri penari dan desa.
Barongan Ijo sering dianggap sebagai Barongan yang paling sulit untuk 'dijinakkan' karena sifatnya yang murni energi alam. Pengendalian yang dilakukan oleh pawang (*dhukun* atau *gamel*) selama pertunjukan adalah kunci. Pawang berfungsi sebagai mediator, memastikan bahwa energi Buto Ijo digunakan untuk tujuan yang benar—memberi hiburan dan perlindungan—bukan untuk kehancuran.
Dalam era modern, Barongan Buto Ijo telah melampaui batas ritual pedesaan. Ia kini menjadi ikon yang diakui secara global, terutama melalui media sosial dan festival budaya. Namun, popularitas ini membawa tantangan baru dalam interpretasi simbolisme 'Devil' yang melekat padanya.
Ketika Barongan Ijo diterjemahkan sebagai "Green Devil Barongan" untuk audiens internasional, makna spiritual Jawa sering kali disederhanakan menjadi konsep Barat tentang kejahatan. Padahal, kekuatan Barongan Ijo adalah kekuatan kontras: ia menakutkan, tetapi ia juga melindungi; ia liar, tetapi ia adalah bagian dari tatanan kosmik. Istilah 'Devil' di sini harus dipahami bukan sebagai Iblis murni, melainkan sebagai Kekuatan Primal yang Tidak Tertahankan.
Barongan Ijo dalam pertunjukan kontemporer sering digunakan untuk menyampaikan pesan tentang kerusakan lingkungan atau hilangnya hutan. Di sini, Buto Ijo berfungsi sebagai roh alam yang marah, menuntut pembalasan atas eksploitasi manusia. Warna hijau yang gelap menjadi simbol hutan yang sekarat dan kemarahan ekologis yang akan meledak jika tidak dihiraukan.
Sosok Barongan Buto Ijo telah menginspirasi seniman visual, musisi, dan desainer. Estetika yang ganas dan palet warna yang kuat (hijau-merah-hitam) menjadikannya subjek yang ideal untuk representasi kekuatan bawah sadar dan mitos. Dalam konteks ini, Barongan Ijo membantu melestarikan narasi mitologis Nusantara di mata generasi muda yang mungkin lebih akrab dengan ikonografi monster global.
Namun, adaptasi ini harus dilakukan dengan hati-hati. Ada kekhawatiran bahwa terlalu banyak fokus pada aspek 'devil' dapat menghilangkan kedalaman spiritual dan fungsi ritual aslinya, mereduksinya menjadi sekadar kostum Halloween. Pelestari budaya berjuang untuk memastikan bahwa narasi asli tentang penjaga bumi dan kekuatan *Buta Kala* tetap tersampaikan, terlepas dari label yang diberikan oleh dunia luar.
Inti dari Barongan Buto Ijo terletak pada filsafat dualisme Nusantara: Rwa Bhineda (dua yang berbeda namun saling melengkapi). Barongan Ijo adalah representasi dari kekuatan gelap yang esensial untuk memahami dan mengapresiasi kekuatan terang.
Dalam kosmologi Jawa-Bali, dunia diatur oleh prinsip *Buta Kala*. *Buta* (raksasa/energi liar) dan *Kala* (waktu/kehancuran) adalah kekuatan yang harus dihormati dan diberi sesaji (*segehan*) secara teratur. Barongan Ijo adalah perwujudan fisik dari *Buta Kala* yang paling dekat dengan manusia, yang tinggal di hutan dekat desa.
Tujuan ritual Barongan Ijo adalah untuk mencapai harmonisme, bukan dominasi. Manusia tidak berusaha menghancurkan Buto Ijo, melainkan berusaha menyeimbangkan energi liar ini sehingga ia dapat melindungi daripada menghancurkan. Warna hijau pekat ini mengingatkan bahwa kehidupan (kesuburan) dan kematian (racun/hutan gelap) berasal dari sumber yang sama, dan keduanya harus diakui sebagai bagian dari siklus alam semesta.
Keseimbangan ini dicapai melalui gerakan tarian. Tarian Barongan Ijo yang brutal dan kacau adalah ritual katarsis, pelepasan energi masyarakat yang terpendam. Setelah Buto Ijo 'berkarya', masyarakat merasa dibersihkan dan siap menghadapi kehidupan sehari-hari yang damai.
Dalam sudut pandang esoteris, Barongan Buto Ijo dapat dipandang sebagai guru spiritual yang keras. Ia mengajarkan tentang pentingnya mengatasi ketakutan dan menghadapi bayangan diri sendiri. Mengenakan Barongan Ijo, atau bahkan menyaksikannya dalam trans, adalah sebuah pelajaran tentang batasan dan potensi kekuatan yang ada di dalam diri manusia.
Sosok yang menakutkan ini memaksa penonton untuk mengakui keberadaan kekuatan yang lebih besar dan tak terkendali di alam semesta. Pengakuan ini adalah langkah pertama menuju kerendahan hati spiritual. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan sejati tidak berasal dari kemewahan atau keindahan, tetapi dari kekuatan yang paling primitif, jujur, dan seringkali mengerikan—seperti Barongan Ijo itu sendiri, yang tidak menyembunyikan kegarangannya di balik keindahan buatan.
Kisah Barongan Buto Ijo tersebar melalui tradisi lisan, dongeng pengantar tidur, dan kidung-kidung kuno yang dinyanyikan selama upacara. Warisan budaya ini adalah fondasi yang memastikan interpretasi Barongan Ijo tetap kaya dan tidak statis, berkembang seiring perubahan zaman namun tetap memegang teguh akar mitologisnya.
Sebelum pertunjukan Barongan Ijo dimulai, seringkali ada pembacaan kidung atau mantra yang spesifik. Kidung-kidung ini menceritakan garis keturunan Buto Ijo, di mana ia tinggal, dan tujuan pemanggilannya. Kata-kata ini penting karena mereka mendefinisikan batas-batas energi yang boleh dimanifestasikan. Buto Ijo dipanggil sebagai "penjaga gerbang", "pemakan penyakit", atau "pemilik segala kekayaan yang terpendam di bumi".
Mantra yang digunakan oleh pawang berfungsi untuk membangun pagar gaib di sekitar area pertunjukan, memastikan bahwa kekuatan Barongan Ijo tidak menyebar secara tidak terkendali ke penonton yang tidak siap. Bahasa yang digunakan dalam kidung ini sering kali kuno, menggunakan kosa kata yang terhubung langsung dengan era Majapahit atau bahkan yang lebih tua, menggarisbawahi kedalaman historis figur Buto Ijo.
Filosofi Barongan Ijo mengajarkan tentang eksistensi multidimensi. Topeng itu sendiri, meskipun dibuat dari kayu, dianggap sebagai entitas yang hidup. Ketika tidak digunakan, Barongan Ijo harus diperlakukan dengan penuh hormat, diberi sesaji, dan diletakkan di tempat yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap Barongan melampaui konsep topeng sebagai benda mati; ia adalah tempat bersemayamnya roh penjaga. Warna hijau adalah penanda bahwa roh tersebut berasal dari dimensi yang berbeda dari dimensi manusia, yaitu dimensi alam gaib yang berinteraksi langsung dengan fisik.
Barongan Ijo berfungsi sebagai jembatan spiritual. Ia memungkinkan manusia untuk secara aman berinteraksi dengan kekuatan yang, dalam keadaan normal, akan terlalu berbahaya untuk didekati. Kehadiran fisiknya yang mengerikan secara paradoks memberikan rasa aman spiritual, karena energi alam kini terikat dan terlihat dalam batas-batas ritual pertunjukan.
Barongan Buto Ijo, atau Barongan Devil Warna Ijo, adalah salah satu simbol seni pertunjukan Nusantara yang paling kaya dan menantang untuk diinterpretasikan. Ia adalah perpaduan sempurna antara ketakutan kolektif terhadap alam liar dan kebutuhan mendalam untuk menghormati kekuatan yang memberi kehidupan.
Warna hijau pekatnya adalah pengingat konstan bahwa kekuasaan sejati tidak selalu indah atau lembut. Kekuatan yang melahirkan peradaban—kesuburan tanah, kekayaan hutan, dan air yang mengalir—juga memiliki potensi untuk menghancurkan dalam bentuk bencana alam, kelaparan, atau keganasan spiritual. Buto Ijo adalah manifestasi dari dualisme ini: Raja Hutan yang ganas, yang jika dihormati, akan menjadi pelindung setia.
Melalui setiap gerakan trans, melalui setiap taring yang dipamerkan, Barongan Ijo menegaskan kembali warisan mitologis Nusantara yang menghargai kekuatan buta sebagai bagian integral dari keseimbangan kosmik. Ia adalah cerminan dari jiwa kolektif yang mengakui bahwa untuk mencapai kedamaian, seseorang harus terlebih dahulu berani menatap wajah ketakutan yang paling mendasar.