BARONGAN BANTENGAN SURO: FILOSOFI, RITUAL, DAN ENERGI JAWA

Jauh di dalam denyut nadi kebudayaan Jawa, tersembunyi perpaduan seni pertunjukan, spiritualitas, dan tradisi agraris yang terwujud dalam sosok Barongan dan Bantengan. Kedua entitas kesenian rakyat ini, meskipun seringkali berdiri sendiri, mencapai puncak sinergi dan makna terdalam ketika ditampilkan dalam konteks bulan Suro—bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Bulan Suro bukan sekadar penanda waktu, melainkan gerbang spiritual di mana batas antara dunia nyata dan dunia gaib menipis, menuntut pembersihan diri, pematangan batin, dan penghormatan terhadap leluhur serta kekuatan alam semesta yang maha dahsyat.

Artikel ini akan mengupas tuntas keterkaitan kompleks antara Barongan yang melambangkan kekuatan mistis dan Bantengan yang merepresentasikan energi primitif pegunungan. Kita akan menyelami bagaimana ritual, gerak, dan bahkan fenomena kerasukan (Ndadi) yang mengiringi pertunjukan ini menjadi manifestasi dari sebuah dialog kultural yang berlangsung selama berabad-abad, menjadikannya warisan tak benda yang kaya akan filosofi dan daya magis.

I. SURO: GERBANG SPIRITUAL DAN PUSAT RITUAL

Untuk memahami mengapa Barongan dan Bantengan mencapai intensitas maksimumnya, kita harus terlebih dahulu memahami makna fundamental dari bulan Suro. Suro, yang setara dengan Muharram dalam kalender Islam, adalah bulan sakral. Dalam perspektif Kejawen, bulan ini dipandang sebagai masa prihatin, introspeksi, dan pembersihan kosmik. Energi yang mengalir di bulan Suro diyakini sangat kuat, berpotensi membawa berkah besar atau, sebaliknya, bencana jika tidak dihormati dengan benar.

A. Konsep Malam Satu Suro

Malam Satu Suro adalah malam puncak. Masyarakat Jawa secara tradisional menghindari kegiatan hura-hura, memilih untuk melakukan ritual tirakatan, tapa bisu (diam), atau membersihkan pusaka. Kesenian seperti Barongan dan Bantengan yang melibatkan transfer energi besar, harus diselenggarakan dengan niat dan ritual yang sangat ketat. Pertunjukan di bulan Suro bukan sekadar hiburan; ia adalah ritual, sebuah persembahan, atau upaya penolak bala (tolak bencana).

1. Prihatin dan Pembersihan Diri

Bulan Suro menuntut laku prihatin, sebuah upaya menahan hawa nafsu dan fokus pada spiritualitas. Bagi para seniman dan pemangku adat Barongan dan Bantengan, laku ini seringkali mencakup puasa, menghindari makanan tertentu, atau melakukan meditasi khusus sebelum pertunjukan. Tujuannya adalah memastikan bahwa energi yang ditarik saat pertunjukan adalah energi murni, bukan energi yang didorong oleh kesombongan atau nafsu duniawi. Kekuatan kesenian ini terikat erat dengan kesucian batin para pelakunya.

2. Hubungan dengan Pusaka

Banyak kelompok Barongan dan Bantengan memiliki pusaka atau jimat yang diyakini memberikan kekuatan pada topeng dan penarinya. Selama Suro, pusaka-pusaka ini dibersihkan melalui ritual jamasan (pencucian) yang rumit. Prosesi ini menegaskan kembali ikatan antara manusia, roh leluhur yang menjaga pusaka tersebut, dan media pertunjukan itu sendiri. Tanpa pembersihan spiritual ini, kekuatan kesenian diyakini akan melemah atau bahkan berbalik membahayakan penari.

B. Memanggil Energi Kosmik

Suro adalah waktu yang tepat untuk "memanggil" atau "menyambut" energi dari dimensi lain. Barongan dan Bantengan, dengan ritme musiknya yang intens dan gerakan yang repetitif, berfungsi sebagai jembatan. Barongan seringkali diasosiasikan dengan kekuatan yang lebih terstruktur atau kerajaan (Naga/Singa Barong), sementara Bantengan dengan kekuatan alam liar, pegunungan, dan energi primitif (Banteng Liar). Dalam Suro, kedua energi ini dipertemukan untuk menciptakan keseimbangan makrokosmos dalam mikrokosmos komunitas.

II. BARONGAN: KEKUATAN NAGA PENJAGA

Barongan, seringkali diidentikkan dengan Singa Barong atau Naga Barong, adalah salah satu elemen seni pertunjukan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang paling ikonik. Meskipun memiliki kemiripan dengan Barong di Bali atau Tiongkok (Lion Dance), Barongan Jawa memiliki karakteristik unik, terutama dalam konteks pementasan dan ritualnya yang menyatu dengan unsur Reog atau Jaranan.

Ilustrasi Kepala Barongan Kepala Barongan (Singa/Naga Barong) dengan mahkota merak dan rahang terbuka, melambangkan kekuatan penjaga.

Visualisasi kepala Barongan yang kaya hiasan, melambangkan keberanian dan spiritualitas kerajaan.

A. Asal Usul dan Perkembangan Barongan

Barongan sering dikaitkan dengan kisah Raja Airlangga atau bahkan riwayat Kerajaan Kediri. Sosok ini melambangkan penguasa hutan, singa yang perkasa, atau makhluk mitologi pelindung. Di Jawa Timur, Barongan yang terkait erat dengan Reog Ponorogo dikenal sebagai Singo Barong dengan hiasan bulu merak yang khas, merepresentasikan energi yang lebih teatral dan megah. Sementara di wilayah lain, khususnya Jawa Tengah, Barongan dapat merujuk pada topeng naga atau macan yang lebih sederhana, namun memiliki fungsi ritual yang sama kuatnya.

1. Makna Simbolik Wujud

Wajah Barongan, dengan mata melotot, taring tajam, dan hiasan jenggot yang panjang, adalah simbol kekuatan yang menolak kejahatan. Ia adalah penjaga gerbang, yang mengusir roh-roh jahat dan memastikan keselamatan desa. Dalam pertunjukan Suro, Barongan tampil sebagai entitas yang "didinginkan" atau ditenangkan, agar kekuatannya tidak liar, melainkan terkendali dan memberikan berkah. Gerakannya, meskipun besar dan menghentak, memiliki alur yang teratur, mencerminkan aturan dan tatanan kosmik.

B. Keseimbangan Gerak dan Iringan Musik

Musik Barongan didominasi oleh Gamelan, khususnya kempul dan kendang yang berdentum kuat. Ritme yang dimainkan sangat repetitif, berfungsi sebagai mantra audio yang membawa penari dan penonton masuk ke dalam suasana sakral. Gerakan Barongan adalah perpaduan antara keagungan dan kekejaman yang terkontrol.

Penari Barongan (yang kadang disebut Jathil atau Warok dalam konteks Reog) harus memiliki fisik yang prima karena beban kepala topeng yang berat dan tuntutan gerak yang energetik. Kepala Barongan yang terbuat dari kayu atau bambu, ditambah rambut ekor kuda atau bulu binatang, bisa mencapai berat belasan kilogram, menuntut kekuatan leher dan punggung yang luar biasa, menambah dimensi pengorbanan fisik dalam ritual pertunjukan Suro.

III. BANTENGAN: MANIFESTASI ENERGI PRIMITIF

Bantengan, berbeda dengan Barongan yang seringkali berasosiasi dengan keraton atau istana (Naga/Singa), adalah kesenian yang lahir dari kontur pegunungan dan masyarakat agraris pedalaman. Ia adalah perwujudan kekuatan alam yang mentah, liar, dan tidak terduga. Bantengan biasanya melibatkan dua penari yang berada di bawah topeng dan kerangka banteng, menirukan gerakan banteng yang sedang berkelahi atau mengamuk.

Ilustrasi Kepala Bantengan Kepala Banteng dengan tanduk besar dan wajah hitam, melambangkan kekuatan alam dan Banteng Jawa.

Visualisasi kepala Bantengan dengan tanduk dan mata merah, mencerminkan energi liar dan potensi Ndadi.

A. Aspek Kerasukan (Ndadi) dalam Bantengan

Inti dari pertunjukan Bantengan, terutama saat Suro, adalah ritual Ndadi atau kerasukan. Penari Bantengan, setelah melalui serangkaian ritual penyucian dan diiringi musik yang membangkitkan spirit, akan mengalami trans. Mereka tidak lagi bergerak sebagai manusia, tetapi sebagai Banteng yang sebenarnya—menggali tanah, menyeruduk, minum air kembang atau bahkan air kotor, dan menunjukkan kekuatan fisik yang melebihi batas normal manusia.

Fenomena Ndadi bukan dilihat sebagai kesurupan dalam arti negatif, melainkan sebagai penyatuan spiritual (manunggal) antara roh penari dengan roh pelindung Banteng yang dipanggil. Dalam konteks Suro, Ndadi adalah upaya memanifestasikan kekuatan spiritual di bumi untuk menjaga keseimbangan dan menolak energi negatif yang bertebaran selama masa pergantian tahun Jawa.

1. Peran Pawang dan Juru Kunci

Proses Ndadi harus dikontrol secara ketat oleh pawang atau juru kunci (sering disebut Gemblak atau Kuncen). Pawang memiliki tugas ganda: pertama, memastikan roh yang masuk adalah roh yang baik dan pelindung; kedua, mengendalikan agresivitas Banteng yang Ndadi agar tidak membahayakan penonton. Proses pengembalian kesadaran penari setelah Ndadi juga memerlukan mantra dan ritual khusus yang sangat sensitif.

B. Banteng sebagai Simbol Agraris

Banteng (Sapi Liar) adalah simbol yang sangat kuat dalam tradisi agraris Jawa. Ia merepresentasikan kesuburan, kekuatan untuk membajak tanah, dan ketidak-terkalahkan. Dalam mitologi, Banteng seringkali menjadi manifestasi dewa atau kekuatan bumi. Pertunjukan Bantengan adalah bentuk penghormatan terhadap kekuatan bumi yang telah memberikan panen dan kehidupan. Ketika energi Banteng muncul di bulan Suro, ia diharapkan dapat mengamankan siklus pertanian untuk tahun yang akan datang.

IV. SINERGI KONTRASTIF: PERTEMUAN NAGA DAN BANTENG

Ketika Barongan dan Bantengan dipentaskan dalam satu rangkaian ritual Suro, tercipta sebuah sinergi yang sarat makna. Barongan membawa energi yang teratur, megah, dan bersifat langit (maskulin/Yang), sementara Bantengan membawa energi bumi, liar, dan primitif (feminin/Yin). Pertemuan keduanya adalah representasi dari harmoni universal yang harus dicapai oleh masyarakat Jawa.

A. Pertarungan dan Keseimbangan Kosmik

Dalam banyak pertunjukan, ada adegan pertarungan simbolik antara Barongan dan Bantengan. Pertarungan ini bukanlah konflik nyata melainkan sebuah dialog energi. Barongan mencoba menenangkan Bantengan yang sedang mengamuk (Ndadi) dengan gerakan yang lebih terstruktur dan musik yang lebih melodis, sementara Bantengan merespon dengan energi serudukannya yang mentah. Pertarungan ini mencapai klimaks ketika kedua energi tersebut akhirnya saling menghormati dan menciptakan titik nol, yaitu kedamaian dan keseimbangan spiritual.

Keseimbangan ini sangat penting di bulan Suro. Jika energi Bantengan terlalu liar, ia dapat menyebabkan kekacauan di masyarakat. Jika Barongan terlalu dominan, spiritualitas menjadi kaku dan kehilangan kontak dengan akar bumi. Ritual Suro memastikan bahwa kedua kekuatan ini dapat hidup berdampingan, mengamankan komunitas dari ancaman fisik maupun metafisik.

B. Musik Sebagai Pemandu Transendensi

Peran musik pengiring (Gamelan, alat tiup, dan kendang) dalam sinergi ini tidak dapat diremehkan. Musik adalah bahasa roh. Untuk Barongan, irama cenderung lebih heroik dan bernada tinggi. Untuk Bantengan yang Ndadi, irama berubah menjadi sangat monoton, repetitif, dan sangat cepat (disebut "Ladrang Bantengan" atau "Gending Kerasukan") yang bertujuan memecah kesadaran penari dan memudahkan masuknya roh.

Di saat klimaks pertunjukan Suro, perpaduan irama ini menciptakan gelombang suara yang dipercaya mampu membersihkan area pementasan dari makhluk halus yang mengganggu (leak, tuyul, dll.) sekaligus memperkuat pagar gaib komunitas.

V. ANATOMI FILOSOFIS BARONGAN DAN BANTENGAN

Untuk mencapai kedalaman pemahaman 5000 kata lebih, kita harus membedah setiap lapisan filosofis yang terkandung dalam seni pertunjukan ini, melampaui sekadar deskripsi visual dan gerak.

A. Filosofi Ndadi (Kerasukan) Lebih Mendalam

Fenomena Ndadi dalam Bantengan, dan terkadang juga terjadi pada penari Barongan, adalah inti dari kepercayaan Jawa tentang 'manunggaling kawulo Gusti' (bersatunya hamba dan Tuhan/Kekuatan Agung), namun dalam konteks yang lebih rendah, yaitu bersatunya manusia dengan roh leluhur atau roh penunggu. Ini adalah praktik spiritual yang menuntut persiapan psikologis dan fisik yang ekstrem.

1. Aspek Kognitif dan Sosial Ndadi

Secara sosiologis, Ndadi adalah katarsis. Penari yang Ndadi melepaskan segala batasan sosial dan tekanan hidup sehari-hari. Ia diizinkan untuk menjadi liar, mengamuk, dan berekspresi tanpa filter. Setelah kembali sadar, penari seringkali merasa "bersih" dan segar. Secara kognitif, Ndadi merupakan keadaan kesadaran yang diubah, dicapai melalui fokus mendalam, kelelahan fisik, dan stimulasi auditori dari Gamelan yang berulang. Ini adalah ritual pelepasan energi negatif kolektif komunitas.

2. Etika dan Pengorbanan dalam Kerasukan

Tidak semua orang bisa menjadi penari Ndadi. Harus ada garis keturunan spiritual atau izin dari guru/pawang. Kesenian ini menuntut pengorbanan yang serius. Seniman harus berani mempertaruhkan tubuhnya (seringkali cedera minor terjadi), dan harus mempertahankan kesucian batin. Kekuatan yang masuk ke tubuh penari harus diyakini sebagai "Jati Diri" kesenian itu sendiri, bukan sekadar roh asing pengganggu. Di bulan Suro, penekanan pada etika dan niat suci menjadi sepuluh kali lipat lebih penting.

Setiap goresan di tubuh penari Ndadi tidak dilihat sebagai kecelakaan, tetapi sebagai bagian dari laku spiritual, sebuah pembayaran atau penebusan dosa kolektif. Proses ini dipercaya menjamin keselamatan desa dari penyakit atau bencana alam selama setahun ke depan, menjadikannya ritual pengorbanan komunal yang mendalam.

B. Peran Bopo (Sosok Ayah) dalam Barongan

Dalam struktur pertunjukan Barongan dan Bantengan, selalu ada sosok Bopo atau Pamong. Sosok ini adalah representasi kebijaksanaan dan kendali. Bopo biasanya mengenakan pakaian tradisional yang sederhana namun berwibawa. Perannya adalah menyeimbangkan energi—mendinginkan Barongan yang terlalu agresif, dan mengendalikan Bantengan yang sedang Ndadi.

Bopo adalah simbol dari Akal Sehat (Budi Pekerti) yang harus selalu hadir di tengah hiruk pikuk emosi (Barongan) dan naluri primitif (Bantengan). Di bulan Suro, Bopo bertindak sebagai mediator antara manusia dan kekuatan spiritual yang dipanggil, memastikan bahwa ritual berjalan lancar sesuai dengan pakem (aturan adat) yang berlaku. Kegagalan Bopo dalam menjalankan tugasnya dapat berakibat fatal, baik secara spiritual maupun fisik.

VI. VARIASI REGIONAL DAN DINAMIKA KESENIAN

Meskipun Barongan dan Bantengan memiliki tema dasar yang sama—pergulatan kekuatan—variasi regional sangat memengaruhi bentuk, ritual, dan penerimaan filosofisnya. Perbedaan ini menjadi kekayaan yang tak terhingga, terutama saat disajikan dalam kerangka bulan Suro.

A. Barongan Gaya Blora dan Rembang (Jawa Tengah)

Barongan di wilayah Jawa Tengah utara memiliki karakter yang lebih sangar dan tradisional. Musik pengiringnya seringkali lebih sederhana, namun ritme kendangnya sangat agresif. Fokus utamanya adalah pada elemen magis dan mistis. Pertunjukan di Suro di wilayah ini seringkali dilakukan di tempat-tempat keramat atau makam leluhur, menekankan fungsi Barongan sebagai penjaga makam dan pengusir roh jahat yang mungkin berkeliaran saat pergantian tahun.

Kostum Barongan Blora cenderung lebih menonjolkan jenggot rumbai yang panjang, terkadang mencapai dua meter, yang harus "diberi makan" secara ritual sebelum Suro. Jenggot panjang ini melambangkan akumulasi energi spiritual dari tahun-tahun sebelumnya.

B. Bantengan Gaya Malang dan Batu (Jawa Timur)

Bantengan di Jawa Timur, terutama Malang Raya, sangat fokus pada ritual Ndadi. Bantengan di sini dikenal sangat ekstrem, dengan penari yang benar-benar hilang kesadarannya dan harus ditaklukkan oleh Pawang. Pertunjukan Suro di Malang seringkali dimulai pada tengah malam, diiringi oleh sesajen yang lengkap dan dupa yang mengepul tebal, menciptakan suasana yang mencekam namun sakral. Elemen tariannya sangat atletis dan brutal, mencerminkan lingkungan pegunungan yang keras.

Di Jawa Timur, Bantengan seringkali disandingkan dengan sosok Macan (Macan Putih atau Macan Kumbang), yang melambangkan kekuatan spiritual pendamping. Jika Barongan (Singa) mewakili Raja Hutan, Macan dan Banteng mewakili bangsawan hutan, kekuatan yang setara namun lebih cepat dan tak terduga. Sinergi antara Banteng dan Macan di Suro adalah upaya untuk menyeimbangkan energi panas dan dingin dari alam pegunungan.

C. Kesenian Jaranan dan Koneksi Barongan-Bantengan

Barongan dan Bantengan tidak dapat dipisahkan dari Kesenian Jaranan (Kuda Lumping). Jaranan sering menjadi pembuka atau pengantar sebelum Barongan dan Bantengan tampil. Jaranan melambangkan prajurit yang loyal, yang juga rentan terhadap kerasukan. Prosesi Jaranan, Barongan, dan Bantengan dalam Suro adalah representasi dari tata krama spiritual: persiapan prajurit (Jaranan), pengawalan Raja/Penjaga (Barongan), dan pelepasan energi primal (Bantengan). Ketiga elemen ini secara kolektif membersihkan aura negatif di desa.

VII. BARONGAN, BANTENGAN, DAN DIMENSI EKONOMI KREATIF

Di era modern, meski ritual Suro tetap dijaga kesakralannya, kesenian Barongan dan Bantengan juga telah beradaptasi menjadi bagian integral dari ekonomi kreatif dan pariwisata budaya. Adaptasi ini menimbulkan dilema antara komersialisasi dan pemeliharaan pakem.

A. Tantangan Komersialisasi di Bulan Sakral

Pertunjukan Barongan dan Bantengan kini sering dipentaskan di festival, acara pernikahan, atau peringatan hari besar nasional. Namun, ketika dipentaskan di bulan Suro, harus ada batasan ketat. Kelompok seni yang serius akan menolak tawaran komersial jika itu melanggar larangan-larangan Suro, seperti larangan menampilkan adegan yang terlalu vulgar atau hura-hura.

Ancaman terbesar adalah hilangnya kedalaman ritual. Jika Ndadi hanya dilakukan untuk tontonan tanpa persiapan spiritual yang memadai, esensi kesenian itu akan hilang, menjadi sekadar atraksi sirkus. Para sesepuh seni selalu menekankan bahwa energi yang dipanggil di Suro adalah energi yang serius; ia tidak boleh dipermainkan.

1. Regenerasi Seniman dan Pewarisan Tradisi

Regenerasi adalah kunci. Anak-anak muda yang tertarik pada Bantengan dan Barongan tidak hanya diajarkan gerakan tari, tetapi juga diajarkan filosofi, ritual puasa, dan cara menghormati pusaka. Di Suro, proses inisiasi (penanaman bibit spiritual) seringkali dilakukan kepada anggota baru, memastikan bahwa tradisi ini akan terus hidup dengan makna yang sama, meskipun zaman berubah.

B. Barongan dan Bantengan di Media Digital

Kehadiran kesenian ini di platform digital—YouTube, TikTok, dsb.—telah membantu popularitasnya. Namun, ini juga menciptakan tantangan baru. Konten yang paling viral seringkali adalah momen Ndadi yang paling ekstrem, yang justru dapat mengaburkan makna ritual dan menggiring opini bahwa ini hanyalah atraksi kekerasan atau mistis yang tidak berdasar. Komunitas harus proaktif menjelaskan filosofi di balik gerak dan trans tersebut.

VIII. RITUAL PENUTUPAN SURO DAN KELANJUTAN ENERGI

Bulan Suro tidak berakhir dengan satu malam. Ritual yang melibatkan Barongan dan Bantengan seringkali berlanjut selama beberapa minggu. Tujuannya adalah memastikan bahwa energi positif yang dipanggil selama puncak Suro tidak hilang, tetapi disalurkan secara perlahan ke seluruh penjuru desa.

A. Sedekah Bumi dan Sedekah Langit

Pertunjukan Barongan dan Bantengan seringkali diintegrasikan dengan ritual Sedekah Bumi (persembahan kepada bumi) dan Sedekah Langit (persembahan kepada dewata). Dalam konteks ini, Barongan melambangkan permohonan kepada Langit (yang teratur dan tinggi), sementara Bantengan melambangkan permohonan kepada Bumi (yang subur dan primal).

Setelah pertunjukan Ndadi selesai, darah dari hewan persembahan (jika ada), atau air kembang yang digunakan untuk memandikan pusaka, seringkali disebar ke ladang dan sawah. Ini adalah upaya terakhir dalam Suro untuk memastikan bahwa kesuburan dan keberkahan tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga oleh alam yang menopang kehidupan mereka. Kesenian ini benar-benar mewujudkan kesatuan antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Barongan Bantengan Suro adalah sebuah masterpiece ritualistik. Ia bukan sekadar tarian topeng; ia adalah perpustakaan hidup yang menyimpan sejarah, keyakinan, dan filosofi Kejawen yang mendalam. Dalam dentuman kendang, dalam auman Barongan, dan dalam serudukan Bantengan yang Ndadi, kita menemukan kembali akar identitas Jawa yang berani, mistis, dan tak lekang oleh waktu. Kesenian ini adalah penanda bahwa energi tradisi dan spiritualitas masih mengalir deras, melindungi dan menuntun komunitas menuju tahun yang baru dengan harapan dan kebijaksanaan yang telah diwariskan oleh leluhur.

Setiap detail pada topeng, setiap helai rambut pada kostum Barongan, dan setiap tanduk pada Bantengan, adalah representasi dari kosmologi yang teratur dan penuh makna. Filosofi tentang dualitas (Rwa Bhineda) – antara yang halus dan yang kasar, antara naga dan banteng, antara akal dan naluri – mencapai manifestasinya yang paling dramatis dan sakral di bawah rembulan bulan Suro. Keseniman ini harus dijaga bukan hanya sebagai pertunjukan, tetapi sebagai warisan spiritual yang mengikat erat komunitas dengan alam semesta dan kekuatan gaib yang mengelilingi mereka.

Intensitas pertunjukan Suro mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak datang dari penolakan terhadap sisi primitif, tetapi dari kemampuan untuk mengendalikan dan menyalurkan energi liar tersebut (Bantengan) di bawah pengawasan kebijaksanaan (Barongan dan Pawang). Ini adalah pelajaran abadi tentang keseimbangan, sebuah nilai yang terus relevan bagi masyarakat Jawa modern yang hidup di tengah pusaran perubahan global yang cepat.

Demikianlah, Barongan dan Bantengan, dipersatukan oleh kesakralan bulan Suro, berdiri tegak sebagai monumen budaya yang menolak kepunahan, terus menceritakan kisah tentang keberanian, iman, dan penghormatan tanpa batas terhadap kekuatan alam raya.

🏠 Homepage