Legenda Kekejaman, Mistisisme, dan Perjuangan Melawan Zaman Modern
Roman Fyodorovich von Ungern-Sternberg adalah salah satu figur paling aneh, kejam, dan sekaligus paling menarik yang muncul dari kekacauan Perang Saudara Rusia. Ia sering dijuluki sebagai "Jenderal Gila" (The Mad Baron) atau "Dewa Perang Berdarah" oleh musuh-musuhnya. Kisahnya adalah perpaduan antara ksatria monarki abad pertengahan, pemimpin perang Asia, dan mistikus fanatik yang percaya bahwa takdirnya adalah mengembalikan kekaisaran Genghis Khan dan menyelamatkan dunia dari "racun" Revolusi Bolshevik.
Lahir dari bangsawan Jerman Baltik di Estonia, Ungern adalah keturunan dari tradisi Ksatria Teutonik. Namun, takdirnya membawanya jauh melampaui batas-batas Eropa. Selama Perang Saudara, ia menjadi komandan Divisi Kavaleri Asia, sebuah unit multinasional yang terdiri dari Rusia, Buryat, Mongol, dan berbagai etnis Asia lainnya. Divisi ini terkenal karena kekejaman ekstremnya terhadap Bolshevik dan siapa pun yang dianggapnya mendukung modernitas dan liberalisme.
Puncak karirnya terjadi di Mongolia pada tahun 1921. Saat itu, Mongolia dikuasai oleh pasukan China. Ungern, dengan pasukannya yang compang-camping namun fanatik, berhasil merebut ibukota Urga (sekarang Ulaanbaatar), mengusir pasukan China, dan mengembalikan kekuasaan teokratis Bogd Khan. Tindakan ini menjadikannya Pahlawan Nasional Mongolia—sebuah peran yang sangat ironis mengingat latar belakangnya—tetapi juga mempercepat konfrontasinya dengan Tentara Merah yang sedang bangkit.
Alt: Ilustrasi digital Baron Roman von Ungern-Sternberg dalam seragam kavaleri.
Roman Nikolai Maximilian von Ungern-Sternberg lahir pada tahun 1885 di Graz, Austria. Meskipun lahir di luar Rusia, ia berasal dari keluarga bangsawan Jerman Baltik (Deutschbalten) yang secara turun-temurun mengabdi pada Kekaisaran Rusia sejak abad ke-18. Keluarga Ungern-Sternberg dikenal memiliki sejarah yang panjang, yang sering kali dikaitkan dengan legenda kejam dan eksentrisitas. Mereka bahkan dijuluki sebagai "Baron Gila" jauh sebelum Roman muncul, menunjukkan adanya garis keturunan yang cenderung melampaui batas norma sosial.
Masa kecilnya dihabiskan di Estonia (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Rusia). Kehidupan di sana sangat dipengaruhi oleh tradisi militer dan kode etik ksatria lama. Ayahnya, Theodor, meninggal ketika Roman masih muda, dan ia dibesarkan oleh ayah tirinya yang otoriter, Oskar von Hoyningen-Huene. Lingkungan ini membentuk karakternya yang keras, anti-intelektual, dan haus akan tindakan fisik serta petualangan.
Ungern menerima pendidikan militer di Korps Kadet Pavlovsk di St. Petersburg. Namun, ia tidak pernah menjadi siswa yang berprestasi dalam hal akademis. Sebaliknya, ia unggul dalam keterampilan berkuda dan keahlian fisik. Di sekolah militer, rekan-rekannya mulai melihat tanda-tanda ketidakstabilan emosional dan sifat agresifnya. Ia sering terlibat dalam duel dan perselisihan, menunjukkan ketidaksabaran terhadap disiplin birokratis yang formal.
Setelah lulus, pada tahun 1908, Ungern secara sukarela meminta dipindahkan ke Siberia Timur, tepatnya ke resimen Cossack di Transbaikal. Kepindahan ini menandai titik balik penting. Ia tidak hanya tertarik pada tugas militer di perbatasan, tetapi juga pada budaya Asia Tengah yang eksotis, misterius, dan, dalam pandangannya, 'murni'. Di sinilah ia mulai menyerap kebiasaan lokal, mempelajari Buddhisme, dan mengembangkan apresiasi yang mendalam terhadap struktur sosial feodal dan tradisi klan yang ia anggap superior dibanding modernitas Eropa yang ia benci.
Ketika Perang Dunia I pecah pada tahun 1914, Ungern dengan cepat membuktikan dirinya sebagai perwira kavaleri yang luar biasa berani—atau, tergantung sudut pandang, sangat nekat. Ia bertugas di Front Timur, berpartisipasi dalam pertempuran melawan Jerman dan Austria-Hongaria. Keterampilan berkudanya tak tertandingi, dan ia terkenal karena memimpin serangan-serangan kavaleri yang mendebarkan, sering kali mengabaikan keselamatan dirinya sendiri dan pasukannya.
Ia dianugerahi beberapa penghargaan, termasuk Ordo St. George. Namun, keberaniannya dibarengi dengan kegilaan yang semakin jelas. Ungern dikenal karena tidak hanya membunuh musuh di medan perang, tetapi juga menunjukkan kekejaman yang ekstrem terhadap tawanan. Ia memiliki toleransi nol terhadap tindakan yang dianggapnya sebagai pengecut atau tidak terhormat, dan ia menghukum pelanggaran dengan eksekusi instan.
Pada periode ini, ia mengembangkan kebencian mendalam terhadap apa yang disebutnya sebagai "korupsi" birokrasi dan "liberalisme" militer, yang ia yakini telah merusak etos prajurit sejati. Pandangannya menjadi semakin apokaliptik: ia melihat Perang Dunia I bukan sekadar konflik politik, tetapi pertarungan kosmis antara kejahatan materialis yang diwakili oleh peradaban modern dan kebaikan spiritual yang diwakili oleh tradisi monarki.
Setelah terluka beberapa kali, dan insiden perkelahian serius yang menyebabkan pengadilan militer, Ungern dikirim kembali ke Transbaikal pada tahun 1917, tepat sebelum Revolusi Februari meletus. Ia bergabung dengan Grigory Semenov, seorang ataman Cossack yang anti-Bolshevik, dan mulai merekrut pasukan lokal yang fanatik. Semenov dan Ungern menjadi duo yang ditakuti di Siberia Timur, menggunakan taktik gerilya brutal untuk menguasai jalur kereta api dan wilayah kekuasaan mereka.
Di bawah Semenov, Ungern diberi tugas memimpin Divisi Kavaleri Asia, sebuah unit yang menjadi semakin independen dan dipenuhi dengan prajurit yang loyal hanya pada dirinya. Transisi ini sangat penting: Ungern meninggalkan konteks peperangan Eropa dan sepenuhnya merangkul peran sebagai panglima perang Asia, jauh dari otoritas pusat White Army yang sering ia cemooh.
Untuk memahami Ungern, penting untuk memahami ideologinya yang kacau dan mistis. Ia bukanlah seorang ideolog politik dalam arti modern, melainkan seorang penganut ideologi agama-filosofis yang ekstrem. Meskipun dibesarkan dalam tradisi Ortodoks Rusia (dan merupakan seorang Kristen Ortodoks), ia memiliki ketertarikan mendalam pada Buddhisme Vajrayana, khususnya versi Tibet dan Mongolia.
Ungern percaya pada reinkarnasi dan takdir karmik. Ia sering mengunjungi biksu dan paranormal lokal, dan beberapa biksu Mongol bahkan menganggapnya sebagai reinkarnasi Mahakala, dewa perang dan pelindung Buddha yang murka, yang datang untuk membersihkan dunia dari kejahatan. Ungern memadukan konsep ini dengan keyakinan monarchist Tsarist yang fanatik. Baginya, satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran liberalisme, industrialisasi, dan sosialisme adalah melalui pembentukan kembali Imperium Asia yang besar, dipimpin oleh seorang kaisar spiritual, yang akan menghancurkan peradaban Barat dari Timur.
Ungern melihat Bolshevik, Yahudi, kaum borjuis, dan liberal sebagai satu kesatuan 'racun' yang harus dieliminasi. Kekejaman yang ia lakukan bukanlah sekadar tindakan tanpa tujuan; itu adalah ritual pemurnian yang ia yakini akan membersihkan karma dunia. Ia sering memerintahkan pasukannya untuk tidak menjarah atau memperkaya diri, melainkan murni fokus pada pemusnahan 'kekuatan jahat'.
Divisi Kavaleri Asia (DKA) di bawah Ungern adalah cerminan dari ideologinya. Pasukan ini merupakan gabungan yang luar biasa dari orang Rusia, Cossack, Buryat, Mongol, Tiongkok, dan bahkan Jepang. Disiplin internal DKA sangat brutal. Ungern menerapkan sistem hukum yang sangat primitif: kesalahan militer kecil sering dihukum dengan cambukan atau pemukulan sampai mati.
Namun, bagi prajurit Mongol dan Buryat, Ungern menawarkan sesuatu yang tidak ditawarkan oleh Bolshevik atau White Army lainnya: penghormatan terhadap tradisi klan mereka dan kesempatan untuk berjuang demi identitas Asia mereka. Bagi mereka, Ungern bukan hanya seorang jenderal Rusia, tetapi seorang ksatria yang ditakdirkan untuk mengembalikan kemuliaan Mongolia. Pasukan ini didorong oleh legenda, ketakutan, dan loyalitas karismatik terhadap komandan mereka yang tampaknya tidak takut mati.
Pada tahun 1920, Mongolia Luar berada dalam keadaan yang genting. Meskipun secara resmi otonom di bawah Bogd Khan (pemimpin spiritual dan politik), wilayah tersebut secara efektif diduduki oleh pasukan Republik Tiongkok sejak tahun 1919, yang berusaha mengintegrasikan kembali Mongolia ke dalam Tiongkok setelah kejatuhan Dinasti Qing.
Mongolia berada di bawah penindasan China, dan Bogd Khan berada di bawah tahanan rumah. Ini menciptakan kebencian yang meluas di kalangan bangsawan dan rakyat Mongolia, yang mendambakan kemerdekaan dan kembalinya kepemimpinan spiritual mereka. Situasi inilah yang dilihat Ungern sebagai peluang—sebuah 'tanah suci' yang perlu diselamatkan dari penjajah materialis (China) dan ancaman revolusioner (Bolshevik).
Pada akhir tahun 1920, Ungern memimpin Divisi Kavaleri Asia, yang saat itu berjumlah sekitar 1.500 hingga 2.000 pria, melintasi perbatasan ke Mongolia. Tujuan langsungnya adalah Urga. Pasukan China di Urga, yang jauh lebih besar (sekitar 10.000 prajurit), dipimpin oleh Jenderal Xu Shuzheng (sebelumnya) dan kemudian oleh Jenderal Zhang Jinghui.
Upaya pertama Ungern untuk merebut Urga pada November 1920 gagal total. Pasukannya dipukul mundur dengan kerugian besar. Alih-alih mundur ke Transbaikal, Ungern membuat keputusan strategis yang berani: ia mundur ke wilayah yang lebih terpencil, menggunakan musim dingin yang keras untuk menyusun kembali pasukannya, melatih mereka dalam perang gerilya di pegunungan, dan yang paling penting, memperkuat hubungan mistisnya dengan para biksu dan pemimpin lokal Mongolia.
Pada Februari 1921, Ungern melancarkan serangan kejutan kedua. Kali ini, ia menggunakan elemen psikologis dan taktik yang lebih cerdik. Serangan tidak dilakukan melalui gerbang utama. Salah satu momen paling terkenal adalah pembebasan Bogd Khan dari tahanan rumahnya. Sebuah detasemen kecil yang dipimpin oleh Ungern sendiri menyelinap ke kuil tempat Khan ditahan, membebaskannya, dan membawanya ke gunung suci, tempat Bogd Khan dilantik kembali sebagai penguasa yang sah.
Tindakan ini memberikan legitimasi religius yang luar biasa kepada Ungern di mata rakyat Mongolia. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pasukan utamanya melancarkan serangan yang mematikan ke benteng pertahanan China. Pasukan China, yang terkejut oleh keberanian serangan dan terguncang secara moral karena Bogd Khan telah melarikan diri, panik dan melarikan diri dari kota dalam kekacauan total.
Alt: Simbol Divisi Kavaleri Asia, kombinasi simbol militer dan spiritual.
Setelah merebut Urga, Ungern mendirikan pemerintahan militer yang singkat namun brutal. Kemenangannya disambut baik oleh rakyat Mongolia, tetapi diikuti oleh periode pembersihan massal. Kekejaman Ungern mencapai puncaknya di Urga.
Target utamanya adalah kaum Bolshevik, simpatisan Komunis, dan semua orang yang terkait dengan modernitas—termasuk insinyur, intelektual, dan pedagang. Namun, sasaran terburuk dari pembersihan ini adalah komunitas Yahudi di Urga. Ungern, yang merupakan seorang antisemit fanatik, memandang orang Yahudi sebagai inti dari revolusi dan korupsi modern. Ratusan warga Yahudi dibunuh dengan kejam, sering kali setelah disiksa.
Pembersihan juga ditujukan kepada warga Tiongkok yang tersisa yang dianggap sebagai mata-mata atau musuh. Selama beberapa minggu, Urga berada di bawah kekuasaan teror yang dingin dan terorganisir, dijalankan dengan efisiensi yang mengerikan oleh Ungern dan unit khususnya.
Sebagai imbalan atas pembebasan Bogd Khan, Ungern dianugerahi gelar Pangeran (Khan) oleh Bogd Khan sendiri. Ia juga menerima gelar kehormatan "Tarnung Eejin Khurulu Khoshoi Chin Wang," atau "Pangeran yang Luar Biasa, Komandan yang Luar Biasa, dan Pahlawan yang Membawa Kembali Agama."
Ungern secara resmi menjadi penasihat militer tertinggi bagi Bogd Khan dan penguasa de facto Mongolia. Namun, pemerintahan Ungern aneh dan tidak terduga. Ia mencoba menegakkan disiplin moral yang ketat, melarang minum alkohol di kalangan pasukannya, dan memerintahkan tindakan yang aneh untuk menghormati tradisi Buddha dan Shamanistik. Ia bermimpi mendirikan kembali kekaisaran agung yang akan menyatukan semua orang Asia di bawah ideologi monarki-mistisnya, sebuah ambisi yang sama sekali tidak realistis.
Meskipun ia berusaha mengelola negara dan bahkan mengeluarkan mata uang kertas baru dan mengatur undang-undang, kekuasaannya didasarkan pada kekerasan dan ketakutan. Stabilitasnya bersifat ilusi, karena kekuatan yang lebih besar sedang bergerak di utara.
Bagi Bolshevik yang baru memenangkan Perang Saudara di sebagian besar Rusia, kehadiran seorang panglima perang anti-Komunis, monarki, dan kejam yang menguasai perbatasan selatan mereka di Urga merupakan ancaman serius. Mereka khawatir Ungern akan menggunakan Mongolia sebagai basis untuk melancarkan serangan terhadap Siberia yang dikuasai Komunis dan mengobarkan pemberontakan anti-Soviet di antara masyarakat Buryat dan Cossack.
Sebagai tanggapan, Tentara Merah Siberia mulai berkoordinasi dengan nasionalis revolusioner Mongolia, yang dipimpin oleh Damdin Sükhbaatar. Sükhbaatar dan pasukannya, yang dikenal sebagai Tentara Rakyat Mongolia, menerima dukungan militer dan ideologis penuh dari Moskow. Tujuannya adalah menghancurkan Ungern dan mendirikan negara sosialis di Mongolia.
Pada musim semi 1921, daripada menunggu serangan Bolshevik di Urga, Ungern membuat keputusan militer yang fatal: ia memutuskan untuk menyerang terlebih dahulu. Ia membagi pasukannya menjadi dua brigade dan memimpin salah satunya, dengan tujuan menyerang wilayah Soviet di Buryatia. Keputusan ini didorong oleh kepercayaan mistis bahwa ia harus melakukan perang suci di utara untuk menghancurkan Komunisme.
Ekspedisi ini adalah bencana total. Pasukan Ungern, meskipun berani, tidak memiliki persenjataan berat dan logistik untuk menghadapi Tentara Merah yang terorganisir dan termotivasi. Mereka menghadapi perlawanan keras dari pasukan Soviet dan partisan lokal. Setelah beberapa kekalahan yang menghancurkan, moral di kalangan pasukan Ungern mulai runtuh.
Sementara Ungern berjuang di utara, Brigade yang tersisa di Urga di bawah Jenderal Rezukhin juga tidak mampu menahan serangan gabungan Tentara Merah dan Tentara Rakyat Mongolia. Pada awal Juli 1921, Urga jatuh ke tangan Komunis. Bogd Khan diizinkan untuk tetap menjadi penguasa seremonial, tetapi kekuasaan riil berpindah tangan ke partai revolusioner yang didukung Soviet. Kerajaan mistis Ungern berakhir hanya dalam waktu lima bulan.
Setelah kehancuran pasukannya di Siberia, Ungern mundur kembali ke Mongolia. Ia kehilangan kendali atas unitnya; banyak prajurit yang kelelahan dan ketakutan meninggalkannya. Ungern, yang kepribadiannya semakin tidak menentu dan kejam di bawah tekanan, mulai mengeksekusi perwiranya sendiri yang ia anggap tidak loyal atau tidak kompeten. Hal ini semakin memperburuk moral dan memicu konspirasi.
Pada Agustus 1921, Ungern dan sisa-sisa pasukannya yang kecil mencoba bergerak ke arah Tibet, mencari suaka atau basis baru untuk melanjutkan perjuangan. Namun, kelompoknya yang tersisa—terdiri dari orang Rusia dan beberapa Mongol yang loyal—tidak tahan lagi dengan kegilaan dan kekejamannya. Mereka memberontak.
Saat berkemah, Ungern dilucuti dan diikat oleh sekelompok prajurit Mongol yang telah bersekongkol melawannya. Ironisnya, mereka menyerahkannya kepada sebuah detasemen Tentara Merah yang sedang berpatroli di dekatnya. Ungern, sang musuh bebuyutan Komunisme, ditangkap tanpa perlawanan yang berarti oleh musuh yang paling ia benci.
Penangkapannya disambut gembira di Moskow. Soviet melihat Ungern bukan hanya sebagai panglima perang yang dikalahkan, tetapi sebagai simbol dari seluruh tatanan lama: monarki, bangsawan, agama, dan kekejaman kontra-revolusioner. Penangkapannya adalah kemenangan propaganda yang besar.
Ungern dibawa ke Novonikolayevsk (sekarang Novosibirsk) di Siberia. Ia diadili pada 15 September 1921, dalam apa yang merupakan salah satu "pengadilan pertunjukan" publik pertama yang diselenggarakan oleh Bolshevik. Pengadilan dipimpin oleh Yemelyan Yaroslavsky, seorang anggota Komite Pusat Partai Komunis Rusia.
Persidangan difokuskan pada tiga tuduhan utama: (1) Perjuangan bersenjata melawan Republik Soviet, (2) Kerjasama dengan Jepang (klaim yang agak dilebih-lebihkan, tetapi Ungern memang menerima bantuan finansial minimal dari Jepang pada tahap awal Perang Saudara), dan (3) Teror dan kekejaman terhadap populasi sipil dan Tentara Merah.
Ungern menampilkan dirinya dengan keangkuhan dan penghinaan mutlak terhadap pengadilan. Ia menolak untuk meminta maaf, malah dengan bangga menyatakan bahwa ia akan terus memerangi semua revolusioner jika ia diberi kesempatan. Ia melihat persidangan sebagai validasi perjuangan spiritualnya. Pengadilan hanya berlangsung selama enam jam. Ungern-Sternberg dinyatakan bersalah atas semua tuduhan dan dijatuhi hukuman mati.
Pada malam yang sama, 15 September 1921, Baron Roman von Ungern-Sternberg dieksekusi oleh regu tembak. Legenda mengatakan bahwa bahkan di saat-saat terakhirnya, ia tetap teguh dan menolak menutup mata.
Alt: Pemandangan padang rumput Mongolia, melambangkan perjalanan terakhir Baron Ungern.
Ungern adalah subjek dari spekulasi psikologis yang intensif. Banyak sejarawan dan psikiater retroaktif menduga ia menderita gangguan bipolar, skizofrenia, atau kombinasi dari keduanya, diperparah oleh cedera kepala selama dinas militer dan penggunaan alkohol yang berlebihan (meskipun ia dilaporkan abstain di Urga). Sifatnya yang berubah-ubah, dari karismatik dan cerdas menjadi mengamuk dan destruktif, sangat khas dari gangguan mental serius.
Namun, bagi yang lain, Ungern lebih merupakan produk dari lingkungannya—seorang bangsawan kekaisaran yang tidak dapat menerima kehancuran tatanan lama. Ia adalah arketipe "kekerasan perbatasan" yang dilepaskan oleh Perang Dunia I dan Revolusi, di mana norma-norma sipil runtuh dan hanya kekuatan mentah yang berlaku.
Dalam historiografi Soviet, Ungern-Sternberg disajikan sebagai lambang monster feodal yang harus dihancurkan: seorang tiran gila yang mengeksploitasi takhayul Asia. Kisah-kisah kekejamannya diperbesar dan digunakan untuk membenarkan intervensi Soviet di Mongolia dan pembentukan rezim komunis di sana.
Di Barat, terutama setelah publikasi buku seperti Beasts, Men and Gods oleh Ferdinand Ossendowski (seorang mitologizer dari Ungern), Baron ini sering diromantisasi sebagai seorang "romantik gila" atau "ksatria apokaliptik" yang melawan modernitas. Gambaran ini, meskipun menarik, sering kali mengabaikan tingkat kekejaman dan penderitaan nyata yang ia sebabkan.
Warisan Ungern di Mongolia adalah yang paling kompleks. Meskipun kekuasaannya berumur pendek dan brutal, ia dihormati oleh banyak pihak karena satu alasan fundamental: ia mengusir penjajah China. Ia adalah orang luar yang memimpin pembebasan ibu kota dan mengembalikan Bogd Khan ke takhta. Namun, ia bukanlah seorang nasionalis Mongolia; ia adalah seorang monarkis yang hanya menggunakan Mongolia sebagai alat untuk ambisi kekaisaran spiritualnya yang lebih besar.
Setelah kebangkitan demokrasi di Mongolia pada tahun 1990-an, minat terhadap Ungern sebagai tokoh pembebasan dari dominasi asing telah meningkat, meskipun pandangan resmi tetap hati-hati karena sifatnya yang kejam dan ekstrem.
Ungern-Sternberg mewakili kontra-revolusi yang paling ekstrem. Ia tidak hanya menentang Bolshevik secara politik, tetapi ia menentang seluruh tren sejarah modern sejak Abad Pencerahan. Ia melihat masyarakat liberal, borjuis, dan sosialis sebagai penyakit yang merusak jiwa manusia dan menghancurkan hubungan hierarkis alami antara Tuhan/Takdir dan Manusia.
Keputusannya untuk bertarung di Mongolia adalah pelarian. Stepa Asia, dengan budaya pastoral, hirarki feodal yang jelas, dan spiritualisme Buddha yang mendalam, adalah antitesis dari apa yang ia benci di Barat. Ungern berusaha mendirikan utopia pra-industri yang kejam, sebuah imperium yang didasarkan pada rasa takut dan tradisi kuno.
Ungern tetap menjadi tokoh yang menginspirasi banyak karya fiksi dan non-fiksi yang berhubungan dengan kekejaman psikologis di medan perang dan persimpangan budaya. Kehidupannya menunjukkan bagaimana perang dapat memecah batas-batas antara kejeniusan militer dan kegilaan total, serta bagaimana ideologi dapat menjadi senjata yang sama mematikannya dengan peluru.
Pada akhirnya, Roman von Ungern-Sternberg adalah sisa terakhir yang aneh dari dunia yang sudah lama mati—seorang ksatria abad pertengahan yang terlempar ke medan tempur mesin dan ideologi massal. Ia gagal total untuk menghentikan gelombang sejarah, tetapi dalam kegagalannya, ia meninggalkan jejak darah dan legenda di padang rumput Mongolia, memastikan bahwa namanya akan selalu dikaitkan dengan pertempuran terakhir antara tradisi kuno dan fajar revolusioner yang baru.
Artikel ini adalah penelusuran mendalam terhadap Baron Roman von Ungern-Sternberg dan perannya dalam sejarah Asia Tengah dan Perang Saudara Rusia.