Baron van Hoëvell: Sang Pencerah dari Hindia Belanda
Jauh sebelum munculnya Kebijakan Etis (Ethische Politiek) yang secara resmi mengakui tanggung jawab moral Belanda terhadap penduduk Hindia, seorang pendeta, jurnalis, dan politisi bernama Wolter Robert van Hoëvell telah berdiri tegak sebagai suara kritis yang lantang. Perjuangannya, yang berawal dari mimbar gereja di Batavia hingga mimbar parlemen di Den Haag, menandai titik balik penting dalam kesadaran kolonial Belanda. Ia adalah figur sentral yang berani menantang struktur kekuasaan dan mengekspos kebobrokan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah hubungan kolonial.
Baron van Hoëvell: Pena dan Suara Kritis untuk Keadilan.
Dari Mimbar ke Medan Jurnalistik: Awal Mula Kesadaran
Wolter Robert van Hoëvell tiba di Batavia dalam kapasitasnya sebagai seorang pendeta pada periode kritis abad ke-19, sebuah era ketika pemerintahan kolonial Belanda tengah memperketat cengkeraman ekonomi melalui sistem Tanam Paksa yang eksploitatif. Awalnya, tugasnya murni bersifat rohani, melayani komunitas Eropa. Namun, kedekatannya dengan realitas lapangan, alih-alih terbatas di lingkungan elite kolonial, membuka matanya terhadap penderitaan yang meluas di kalangan penduduk pribumi.
Bukanlah hal yang biasa bagi seorang pejabat gereja untuk melibatkan diri secara mendalam dalam isu-isu politik dan sosial yang sensitif. Lingkungan kolonial saat itu cenderung tertutup, dan kritik terhadap administrasi dipertimbangkan sebagai tindakan subversif atau, setidaknya, sangat tidak sopan. Namun, Hoëvell memiliki pandangan yang berbeda. Bagi dia, keadilan sosial dan moralitas Kristen tidak dapat dipisahkan dari kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan oleh penguasa. Ia mulai melihat kontradiksi yang mendasar: bagaimana sebuah bangsa yang mengklaim membawa peradaban dan agama justru mendirikan sistem yang didasarkan pada penindasan, kelaparan, dan kerja paksa.
Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië: Platform Kritik Radikal
Kesadaran ini tidak hanya disimpan dalam hati atau disampaikan dalam khotbah yang samar. Hoëvell membutuhkan platform yang lebih luas, lebih tajam, dan lebih permanen. Pada tahun-tahun awal kehadirannya di Hindia, ia mendirikan dan memimpin majalah bulanan yang sangat berpengaruh, yakni Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (Jurnal Hindia Belanda). Majalah ini dengan cepat menjadi mercusuar bagi para pemikir liberal, para administrator yang kecewa, dan siapa pun yang berani mempertanyakan narasi resmi kolonial.
Melalui jurnal ini, Hoëvell tidak hanya menerbitkan tulisan-tulisan akademis tentang budaya dan bahasa pribumi—sebuah bidang yang ia kuasai dengan baik—tetapi yang lebih penting, ia memuat analisis kritis yang membongkar mekanisme eksploitasi di balik Sistem Tanam Paksa. Ia menulis tentang dampak kelaparan di Cirebon, tentang penyimpangan yang dilakukan oleh para kepala daerah yang ditekan oleh administrasi Belanda untuk memenuhi kuota panen, dan tentang kurangnya pendidikan serta perawatan kesehatan bagi populasi lokal.
Publikasi ini merupakan tindakan keberanian yang luar biasa. Di bawah sistem sensor yang ketat, Hoëvell berhasil menjaga majalahnya tetap hidup dan relevan, meskipun ia terus-menerus mendapat tekanan dari pihak berwenang. Konten yang ia publikasikan memberikan data empiris dan kesaksian moral yang tak terbantahkan mengenai kegagalan sistem kolonial untuk memenuhi standar etika dasar kemanusiaan. Ini adalah era di mana informasi yang kredibel mengenai realitas kolonial jarang mencapai publik di Belanda; Tijdschrift berfungsi sebagai jembatan yang membawa berita buruk ke Eropa.
Peran Hoëvell sebagai editor tidak hanya terbatas pada pemilihan naskah, tetapi juga pada pembentukan diskursus. Ia mendorong para kontributor untuk menghindari retorika yang dangkal dan sebaliknya fokus pada analisis struktural. Ia menyadari bahwa masalah kolonialisme bukanlah masalah individu yang korup semata, melainkan masalah sistem yang dirancang untuk mengalirkan kekayaan tanpa memperhatikan konsekuensi manusiawi. Kritik ini sangat mendalam, mengarah pada akar moralitas kekuasaan Belanda.
Kontroversi dan Keputusan Pindah ke Parlemen
Kegiatan jurnalistik Hoëvell, meskipun disambut baik oleh segelintir kaum liberal di Belanda, tentu saja menimbulkan kemarahan besar di Batavia. Para pejabat tinggi yang keuntungannya bergantung pada kelancaran Sistem Tanam Paksa melihat Hoëvell sebagai ancaman serius terhadap stabilitas dan profitabilitas koloni. Tekanan yang dialami Hoëvell semakin memuncak, membuatnya menyadari bahwa perubahan sejati tidak akan datang dari Hindia sendiri, di mana ia terisolasi dan mudah dibungkam.
Hoëvell menyadari bahwa medan pertempuran yang sesungguhnya adalah di Den Haag. Hanya dengan memasuki pusat kekuasaan, yakni Parlemen Belanda (Tweede Kamer), ia dapat mengubah hukum dan anggaran yang menjadi pondasi eksploitasi kolonial. Keputusannya untuk meninggalkan jubah pendeta dan terjun ke politik praktis pada periode tersebut adalah sebuah deklarasi perang terhadap status quo.
Kepulangan dan Transformasi Politik
Setelah kembali ke Belanda, Hoëvell dengan cepat memanfaatkan reputasinya sebagai "saksi mata" dari Hindia. Pada masa itu, sangat sedikit politisi Belanda yang benar-benar memiliki pengalaman tangan pertama yang kritis di koloni; kebanyakan hanya mengandalkan laporan resmi yang disaring dan sering kali dipalsukan. Hoëvell mengisi kekosongan tersebut dengan otoritas dan pengetahuan faktual yang tak tertandingi.
Ia terpilih menjadi anggota Parlemen dan segera menjadi tokoh sentral dalam Fraksi Liberal. Dalam debat-debat mengenai anggaran dan kebijakan kolonial, suaranya sangat khas. Ia tidak berbicara hanya sebagai seorang politisi; ia berbicara sebagai seorang moralis yang telah melihat penderitaan secara langsung. Setiap pidatonya adalah campuran dari data statistik yang teliti dan kecaman moral yang tajam terhadap hipokrisi pemerintah. Ia menuntut transparansi, akuntabilitas, dan yang paling fundamental, pengakuan bahwa penduduk pribumi memiliki hak asasi yang sama.
Perjuangan Hoëvell di parlemen adalah perjuangan jangka panjang. Ia tidak mengharapkan reformasi instan, tetapi ia berjuang untuk menciptakan kesadaran publik dan politik. Ia memaksa para menteri dan anggota parlemen yang acuh tak acuh untuk melihat wajah manusia di balik angka-angka ekspor kopi dan gula. Ia terus-menerus mengingatkan mereka bahwa keuntungan yang mengalir ke Belanda dicuci dengan penderitaan para petani Jawa dan Sunda.
Pergulatan Melawan Sistem Tanam Paksa
Inti dari seluruh perjuangan Baron van Hoëvell adalah Sistem Tanam Paksa. Sistem ini, yang diperkenalkan oleh Van den Bosch, adalah mekanisme genius dan brutal yang memaksa petani pribumi untuk menanam komoditas ekspor yang dibutuhkan oleh pasar Eropa, seperti gula, kopi, dan nila, alih-alih menanam padi untuk kebutuhan pangan mereka sendiri. Keuntungan yang didapatkan dari sistem ini, yang dikenal sebagai Batig Slot (Surplus Keuntungan), merupakan sumber pendapatan utama bagi kas negara Belanda, mendanai proyek-proyek besar di Eropa dan menjamin stabilitas ekonomi kerajaan.
Membongkar Mitos Batig Slot
Kaum konservatif dan para pendukung Tanam Paksa di Belanda sering membenarkan sistem tersebut dengan argumen bahwa sistem itu efisien dan bahwa penduduk pribumi mendapatkan imbalan yang adil (sewa tanah). Hoëvell, dalam pidato-pidatonya yang panjang dan terperinci, membongkar mitos ini satu per satu. Ia menjelaskan bahwa "sewa tanah" yang dibayarkan sangat minim, tidak sebanding dengan waktu kerja dan lahan yang hilang. Lebih parah lagi, ia menunjukkan bahwa tekanan untuk memenuhi kuota seringkali menyebabkan penyerahan seluruh waktu kerja petani kepada tanaman wajib, mengabaikan pertanian pangan dan menyebabkan kerawanan pangan massal.
Debat-debat di parlemen yang melibatkan Hoëvell seringkali berlangsung sengit. Ia dihadapkan pada birokrasi yang tebal dan mentalitas kolonial yang menganggap penduduk Hindia sebagai subjek, bukan warga negara yang berhak atas keadilan. Hoëvell menggunakan setiap celah, setiap laporan yang bocor, dan setiap kesaksian untuk menekan pemerintah agar melakukan investigasi independen. Ia menuntut agar keuntungan kolonial tidak lagi menjadi prioritas tunggal negara.
Pendekatan Hoëvell bukan hanya emotif; itu adalah pendekatan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi liberal. Ia berpendapat bahwa sistem kerja paksa secara inheren tidak efisien dan tidak bermoral, dan bahwa model ekonomi pasar bebas yang berdasarkan pada kebebasan individu dan hak milik akan jauh lebih bermanfaat bagi semua pihak dalam jangka panjang. Namun, argumen liberalisme ekonomi ini hanyalah lapisan luar; motivasi terdalamnya adalah moral dan etika.
Hubungan dengan Multatuli dan Pengaruh Intelektual
Perjuangan Hoëvell tidak hanya berbentuk pidato dan artikel akademis. Dampaknya juga dirasakan oleh generasi intelektual dan penulis sezamannya. Hubungannya dengan Eduard Douwes Dekker, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli, adalah salah satu persimpangan sejarah paling penting dalam perjuangan kolonial.
Ketika Multatuli menerbitkan karyanya yang monumental, Max Havelaar, yang merupakan kecaman fiksi namun berbasis fakta terhadap penindasan di Lebak, Hoëvell adalah salah satu tokoh politik pertama yang menyambut karya tersebut dengan tangan terbuka. Max Havelaar memberikan dimensi emosional dan naratif yang sangat kuat pada fakta-fakta keras yang telah Hoëvell sampaikan selama bertahun-tahun di parlemen.
Hoëvell menggunakan momentum yang diciptakan oleh Max Havelaar. Ia berpendapat bahwa cerita fiksi sekalipun tidak akan mendapat sambutan sehebat itu jika tidak ada kebenaran mendasar di dalamnya—kebenaran yang telah ia coba buktikan selama satu dekade terakhir. Kehadiran Hoëvell di parlemen memberikan kredibilitas politik pada kecaman sastra Multatuli, sementara karya Multatuli memberikan amunisi moral yang diperlukan oleh Hoëvell untuk menggerakkan opini publik.
Memperluas Wacana Liberal
Pengaruh Hoëvell meluas melampaui isu Tanam Paksa. Ia adalah seorang perintis dalam memperjuangkan hak-hak pribumi untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan akses ke sistem hukum yang adil. Ia menentang diskriminasi rasial yang dilembagakan dalam administrasi kolonial dan menyerukan agar penduduk Hindia tidak diperlakukan sebagai warga kelas dua di tanah mereka sendiri.
Ia menyadari bahwa kolonialisme menciptakan hirarki yang kaku, di mana status seseorang ditentukan oleh warna kulit dan asal usul etnis, bukan oleh kemampuan atau keadilan. Hoëvell berjuang untuk prinsip bahwa hukum harus diterapkan secara merata kepada semua, sebuah konsep radikal di tengah masyarakat kolonial yang sangat terfragmentasi dan rasis.
Perjuangan Hoëvell adalah sebuah narasi panjang tentang ketahanan. Ia menghadapi oposisi yang terorganisir, termasuk kampanye fitnah yang berusaha merusak reputasinya. Namun, keyakinannya yang teguh pada keadilan, yang berakar pada pandangan rohaninya di masa mudanya, memberinya kekuatan untuk terus maju. Ia melihat perjuangan ini bukan hanya sebagai tugas politik, tetapi sebagai panggilan moral yang tak terhindarkan.
Detail Perjuangan Legislatif dan Kemenangan Kecil
Perjalanan reformasi di Parlemen sangat lambat. Setiap perubahan kecil membutuhkan pertempuran politik yang melelahkan. Namun, Hoëvell dan para pendukung liberalnya berhasil meraih serangkaian kemenangan kecil yang, secara akumulatif, mulai mengikis fondasi Sistem Tanam Paksa.
Salah satu fokus utama Hoëvell adalah transparansi keuangan. Ia menuntut agar Parlemen diberikan akses penuh terhadap rincian pembukuan kolonial, sehingga mereka dapat melacak ke mana dana Batig Slot mengalir dan, yang lebih penting, berapa banyak yang seharusnya dibayarkan kepada petani tetapi tidak pernah terwujud. Permintaan ini, yang awalnya ditolak mentah-mentah oleh Menteri Koloni, akhirnya mendapatkan dukungan publik dan politis yang cukup untuk memaksa dibukanya beberapa dokumen penting.
Hoëvell juga secara spesifik menargetkan komoditas yang paling brutal dalam produksinya. Gula dan nila, yang membutuhkan kerja keras dan pengolahan yang mematikan, menjadi fokus utama kecamannya. Melalui intervensi dan amandemen anggaran, ia secara bertahap berhasil melobi untuk penghapusan paksaan pada produksi beberapa komoditas tertentu, walaupun penghapusan total Sistem Tanam Paksa masih membutuhkan waktu beberapa dekade lagi.
Debat Mengenai Pendidikan Pribumi
Aspek lain yang menjadi perhatian besar Hoëvell adalah pendidikan. Ia berpendapat bahwa jika Belanda benar-benar ingin mengklaim diri sebagai kekuatan pencerahan, mereka memiliki kewajiban untuk mendidik penduduk lokal. Ia melihat pendidikan bukan sekadar alat untuk menghasilkan pegawai administrasi yang lebih baik, tetapi sebagai hak mendasar yang akan memberdayakan penduduk pribumi untuk membela hak-hak mereka sendiri.
Pada masa itu, dana yang dialokasikan untuk pendidikan pribumi sangat minim, jauh di bawah dana untuk pendidikan Eropa. Hoëvell secara konsisten memperjuangkan peningkatan alokasi anggaran, meskipun ia sering menghadapi argumen dari pihak konservatif yang khawatir bahwa pendidikan akan menumbuhkan ketidakpuasan dan pemberontakan di kalangan penduduk Hindia.
Hoëvell percaya pada evolusi sosial dan politik yang bertahap. Visinya bukanlah revolusi kekerasan, tetapi transformasi moral yang didorong oleh kesadaran yang tercerahkan. Ia melihat dirinya sebagai pendidik bagi Parlemen Belanda, mengajarkan mereka tentang tanggung jawab mereka yang luas, yang melampaui batas-batas Eropa.
Warisan Hoëvell dalam Konteks Sejarah Global
Perjuangan Baron van Hoëvell di abad ke-19 adalah bagian dari gelombang pergerakan anti-perbudakan dan reformasi liberal yang melanda Eropa. Namun, perjuangannya memiliki nuansa unik karena ia beroperasi dalam konteks kolonialisme yang sedang berada di puncak kekuatannya. Ia adalah suara kenabian yang datang dari dalam sistem, menantang para penguasa untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka proklamirkan.
Meskipun Hoëvell tidak hidup untuk melihat penghapusan total Sistem Tanam Paksa—yang baru terjadi menjelang akhir abad ke-19—ia adalah arsitek filosofis dari perubahan tersebut. Tanpa basis data dan moralitas yang ia letakkan, para reformis berikutnya, termasuk mereka yang kemudian merumuskan Kebijakan Etis, tidak akan memiliki fondasi yang kuat untuk berargumen.
Kontribusi terbesarnya mungkin adalah menggeser perdebatan kolonial dari pertanyaan "Seberapa menguntungkan koloni?" menjadi "Apa tanggung jawab moral kita terhadap penduduk koloni?" Pergeseran fokus dari kepentingan ekonomi murni ke kewajiban etika adalah revolusi kognitif yang ia pimpin.
Hoëvell sebagai Jembatan Antar Budaya
Hoëvell juga dihormati oleh banyak sejarawan karena upayanya untuk memahami budaya-budaya di Hindia Belanda secara mendalam. Sebagai seorang intelektual dan akademisi, ia mendorong studi serius tentang bahasa-bahasa lokal, tradisi, dan struktur sosial. Ia melihat pemahaman budaya sebagai prasyarat untuk pemerintahan yang adil. Kritik kolonialismenya didasarkan pada pemahaman bahwa sistem Tanam Paksa tidak hanya mengeksploitasi, tetapi juga merusak tatanan sosial yang kompleks yang telah ada di Nusantara selama berabad-abad.
Dia menyadari bahwa pendekatan sentralistik dan arogan Belanda dalam memaksakan sistem pertanian monokultur mengabaikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Hoëvell, melalui tulisannya di Tijdschrift, memberikan penghormatan terhadap keragaman budaya, sesuatu yang langka di kalangan administrator kolonial yang umumnya hanya melihat budaya pribumi melalui lensa inferioritas.
Analisis Mendalam: Prinsip-Prinsip Liberalisme Hoëvell
Untuk memahami sepenuhnya dampak perjuangan Hoëvell, kita perlu menelaah ideologi liberal yang ia pegang teguh, dan bagaimana ideologi ini harus beradaptasi ketika diterapkan pada konteks non-Eropa yang terperangkap dalam sistem eksploitasi. Liberalisme Hoëvell bukanlah liberalisme laissez-faire yang murni, tetapi liberalisme sosial yang menekankan kebebasan individu sebagai hasil dari perlindungan hukum dan moral yang kuat.
Di Eropa, liberalisme pada abad itu sering berfokus pada kebebasan perdagangan dan pengurangan intervensi pemerintah. Namun, Hoëvell melihat bahwa di Hindia Belanda, kebebasan individu penduduk pribumi telah dilanggar secara fundamental oleh intervensi pemerintah kolonial itu sendiri, yaitu melalui sistem kerja paksa. Oleh karena itu, bagi Hoëvell, langkah pertama menuju liberalisme sejati di koloni adalah MENGHAPUS intervensi paksa pemerintah—yaitu Sistem Tanam Paksa.
Hak Milik dan Kedaulatan Tanah
Salah satu aspek kunci dari kritiknya adalah mengenai kepemilikan tanah. Di bawah Tanam Paksa, klaim pemerintah kolonial atas tanah-tanah produktif didasarkan pada penafsiran hukum adat yang sewenang-wenang. Hoëvell berjuang untuk pengakuan hak milik pribadi yang lebih jelas bagi petani pribumi. Ia berpendapat bahwa tanpa keamanan hak milik atas tanah, seorang petani tidak akan pernah memiliki insentif untuk meningkatkan produktivitas atau merencanakan masa depannya, karena hasilnya selalu dapat diambil paksa oleh pemerintah.
Perjuangan ini mengarah pada perdebatan mendalam mengenai Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang pada akhirnya membuka jalan bagi modal swasta, bukan lagi paksaan pemerintah, untuk beroperasi di koloni. Meskipun undang-undang agraria ini memiliki konsekuensi yang kompleks, langkah pertama dalam membatasi kekuasaan absolut negara atas tanah koloni sebagian besar didorong oleh semangat reformasi yang ditanamkan oleh Hoëvell.
Kehadirannya di parlemen selama periode penting tersebut memastikan bahwa setiap kebijakan kolonial harus melalui pengawasan yang ketat. Ia adalah penjaga gerbang moral, selalu siap menanyai para menteri tentang dampak kebijakan mereka terhadap manusia biasa, jauh di pulau Jawa dan sekitarnya.
Perjuangan Melawan Ketidakpedulian Elite
Salah satu tantangan terbesar bagi Hoëvell bukanlah melawan kejahatan yang terbuka, melainkan melawan ketidakpedulian yang mengakar di kalangan elite Belanda. Mayoritas warga Belanda, terutama mereka yang tinggal di luar lingkaran perdagangan kolonial, sering kali tidak menyadari atau memilih untuk mengabaikan kekejaman yang mendanai kesejahteraan mereka.
Hoëvell harus menggunakan retorika yang kuat untuk menembus selubung acuh tak acuh ini. Ia sering mengungkit kewajiban historis dan religius Belanda. Ia mempertanyakan apakah kemakmuran sebuah bangsa dapat dibenarkan jika dibangun di atas fondasi kemiskinan dan penderitaan orang lain. Ia berulang kali menyerukan agar Belanda melihat koloni bukan sekadar sebagai sumber keuntungan, tetapi sebagai bagian integral dari tanggung jawab moral mereka.
Sikap keras kepala pemerintah kolonial terhadap reformasi hanya memperkuat tekadnya. Pemerintah sering menggunakan taktik menunda-nunda, meremehkan fakta-fakta yang ia sajikan, atau menuduhnya melebih-lebihkan keadaan demi kepentingan politik. Namun, Hoëvell selalu kembali dengan bukti baru, kesaksian baru, dan data yang lebih akurat, memastikan bahwa kebenaran tidak dapat diabaikan selamanya.
Bisa dikatakan bahwa Baron van Hoëvell adalah katalisator bagi terbentuknya opini publik yang kritis terhadap kolonialisme. Sebelum Hoëvell, kritik kolonial masih merupakan suara-suara sumbang yang mudah diabaikan. Setelah perjuangannya, dan terutama setelah publikasi Max Havelaar yang memanfaatkan atmosfer kritik yang telah ia ciptakan, kritik kolonial menjadi arus utama yang tidak dapat lagi diabaikan oleh Den Haag.
Kontinuitas dan Resonansi Sejarah
Karya dan perjuangan Hoëvell memiliki resonansi yang meluas hingga ke gerakan-gerakan etis dan nasionalis di Hindia Belanda pada masa-masa selanjutnya. Para pendukung awal Kebijakan Etis, meskipun beberapa di antaranya mungkin memiliki agenda paternalistik yang berbeda, mewarisi kewajiban moral yang telah digarisbawahi oleh Hoëvell. Mereka mengambil tanggung jawab yang ia tuntut dari pemerintah Belanda.
Tanpa keberanian Hoëvell untuk mempublikasikan kenyataan kolonial di Tijdschrift, pemahaman tentang Hindia di Belanda akan tetap kabur dan diwarnai propaganda resmi. Ia membuka pintu bagi generasi jurnalis dan peneliti berikutnya untuk menggali lebih dalam masalah-masalah struktural kolonialisme.
Baron van Hoëvell mewakili tipe birokrat dan intelektual yang berani melakukan transisi dari pelayan setia kekaisaran menjadi kritikus internal yang paling efektif. Transformasi ini menunjukkan bahwa bagi individu yang memiliki komitmen moral yang kuat, sistem apa pun, betapapun kuatnya, dapat ditantang dari dalam. Ia membuktikan bahwa pena, ketika dipersenjatai dengan moralitas dan fakta, bisa lebih kuat daripada kebijakan yang paling kejam sekalipun.
Pengaruh Jangka Panjang terhadap Etika Pemerintahan
Filosofi pemerintahan yang etis, yang menjadi inti dari tuntutan Hoëvell, perlahan-lahan meresap ke dalam struktur administrasi kolonial. Meskipun perubahan ini seringkali bersifat tambal sulang dan tidak utuh, gagasan bahwa pemerintah kolonial memiliki "hutang kehormatan" (Eereschuld) kepada rakyat jajahannya adalah puncak dari perjuangan moral yang dimulai oleh Hoëvell. Hutang ini mencakup kewajiban untuk menyediakan irigasi, pendidikan, dan emigrasi—tiga pilar utama Kebijakan Etis yang muncul beberapa dekade kemudian.
Hoëvell, pada dasarnya, mendefinisikan ulang makna "tanggung jawab" dalam konteks kolonial. Ia menolak definisi sempit yang hanya berfokus pada keuntungan fiskal. Sebaliknya, ia menuntut tanggung jawab yang mencakup kesejahteraan, keadilan hukum, dan perkembangan kemanusiaan. Kontribusinya adalah meletakkan dasar moral yang memungkinkan kritik kolonial untuk berkembang dari sekadar keluhan sporadis menjadi gerakan politik yang terorganisir.
Kepala batu dan ketekunan Hoëvell dalam menghadapi serangan pribadi dan politik adalah pelajaran tentang integritas. Ia tidak pernah goyah dari keyakinannya bahwa penindasan adalah sebuah kejahatan, terlepas dari seberapa besar keuntungan yang dihasilkan oleh penindasan tersebut. Perjuangan tanpa henti untuk menghapus Tanam Paksa dan menggantinya dengan sistem yang lebih adil adalah monumen warisan politiknya yang paling abadi.
Melalui perannya sebagai jurnalis yang mengungkap, sebagai pendeta yang mengecam ketidakadilan, dan sebagai politisi yang mengubah hukum, Baron van Hoëvell memastikan bahwa Hindia Belanda tidak lagi menjadi isu yang tersembunyi di balik layar. Ia memindahkannya ke pusat perhatian politik dan moral bangsa Belanda, sebuah posisi yang mutlak diperlukan untuk reformasi yang berkelanjutan. Transformasi ini merupakan langkah penting menuju pengakuan martabat manusia di seluruh wilayah kekuasaan kolonial, yang pada akhirnya membawa perubahan besar dalam hubungan antara Belanda dan Nusantara.
Perluasan narasi mengenai Hoëvell harus terus menekankan bahwa dia berjuang melawan kekuatan yang sangat besar, kekuatan yang didukung oleh hampir seluruh struktur ekonomi dan politik di negaranya. Untuk tetap konsisten dan efektif dalam lingkungan yang sangat bermusuhan seperti itu adalah bukti komitmen moral yang luar biasa. Setiap paragraf dalam tulisannya, setiap interupsi di parlemen, adalah sebuah pukulan yang perlahan-lahan menghancurkan dinding keangkuhan kolonial. Pengaruhnya, meskipun tidak menghasilkan perubahan dramatis dalam semalam, adalah penetrasi ideologis yang mengubah cara Belanda melihat diri mereka sendiri dan peran mereka di Asia Tenggara. Ia adalah Bapak Reformasi Kolonial yang sesungguhnya.
Kritiknya terhadap sistem kerja paksa seringkali mendalami aspek-aspek mikroekonomi dan sosial. Hoëvell tidak hanya berbicara tentang kelaparan; ia berbicara tentang hilangnya waktu bagi pendidikan anak-anak, tentang beban kerja yang tidak proporsional yang diderita oleh perempuan di desa, dan tentang kerusakan struktur sosial desa akibat intervensi paksa administrasi Belanda dan kepala pribumi yang korup. Pendekatannya yang komprehensif ini membuat argumennya sulit untuk disanggah oleh para pembela Tanam Paksa yang hanya berfokus pada angka keuntungan tahunan.
Kesinambungan perjuangan Hoëvell menunjukkan bahwa perjuangan untuk keadilan adalah proses yang berulang. Bahkan setelah ia berhasil menghapus beberapa bentuk paksaan, ia harus terus berjuang melawan munculnya bentuk-bentuk eksploitasi baru yang disamarkan sebagai kebijakan "liberal" atau "swasta." Karena Hoëvell memahami bahwa mentalitas kolonial—keinginan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan pengorbanan minimal bagi penduduk lokal—adalah musuh yang sesungguhnya, bukan hanya sistem politik tertentu.
Bahkan ketika ia sudah tidak menjabat, suaranya terus bergema. Para juniornya di Parlemen sering merujuk pada "semangat Hoëvell" atau "preseden yang dibuat oleh Hoëvell" ketika memperjuangkan reformasi lebih lanjut. Ia telah menciptakan sebuah tradisi oposisi etis terhadap kolonialisme yang bertahan melintasi generasi politisi. Ini adalah warisan yang jauh lebih berharga daripada kemenangan legislatif tunggal mana pun: kemampuan untuk menanamkan benih kesadaran moral di tengah gurun materialisme kolonial.
Kisah Baron van Hoëvell adalah pengingat penting bahwa perubahan sosial dan politik seringkali dimulai dari hati nurani individu yang berani. Ia menggunakan kekuatannya sebagai seorang terpelajar, sebagai tokoh agama, dan sebagai politisi untuk memberikan suara kepada mereka yang paling rentan dan paling tidak memiliki kekuatan politik. Ia adalah contoh abadi dari kekuatan advokasi yang gigih demi prinsip-prinsip kemanusiaan universal di tengah arus besar kebijakan kekuasaan dan eksploitasi.
Pengaruhnya pada kebijakan kolonial tidak dapat dilebih-lebihkan. Ia adalah salah satu dari segelintir orang yang berhasil mengubah pandangan kolonial yang tadinya monolitik menjadi pandangan yang terbagi, di mana selalu ada ruang untuk pertanyaan moral dan kritik terhadap kekuasaan. Ini adalah perubahan yang mendasar dan permanen. Semangatnya untuk memperjuangkan hak-hak pribumi dan mengakhiri penindasan Tanam Paksa terus menjadi inspirasi bagi generasi yang mempelajari sejarah transisi kekuasaan di Nusantara.
Hoëvell secara konsisten menuntut pertanggungjawaban dari perusahaan-perusahaan swasta yang beroperasi di Hindia, bahkan setelah Agrarische Wet membuka pintu bagi investasi swasta. Ia berpendapat bahwa liberalisme ekonomi tanpa pengawasan moral akan sama eksploitatifnya dengan sistem negara yang terpusat. Pandangan ini menunjukkan kedalaman pemahamannya terhadap bahaya kapitalisme tanpa etika di lingkungan kolonial yang rentan.
Perjuangannya juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan identitas politik liberal di Belanda. Ia membantu mendefinisikan apa artinya menjadi liberal dalam konteks kekaisaran, menolak anggapan bahwa liberalisme hanya berarti keuntungan bebas, dan sebaliknya menekankan bahwa liberalisme harus mencakup kebebasan dari penindasan, terlepas dari yurisdiksi geografis. Hoëvell memaksa partainya untuk mengambil posisi yang lebih moralis terhadap kolonialisme, yang pada gilirannya membentuk perdebatan politik Belanda selama puluhan tahun.
Detail-detail yang ia sampaikan mengenai korupsi lokal dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat Belanda sering kali sangat spesifik dan didukung oleh korespondensi yang ia kumpulkan selama berada di Batavia. Keandalan informasinya adalah senjata terkuatnya. Karena ia sendiri adalah bagian dari sistem birokrasi dan keagamaan di Hindia, ia memiliki akses yang tidak dimiliki oleh kritikus lain, dan ia memanfaatkan akses tersebut sepenuhnya demi kepentingan keadilan.
Setiap debat tentang anggaran kolonial menjadi mimbar bagi Hoëvell untuk mengulangi tuntutan akan reformasi mendasar. Ia tidak pernah membiarkan pemerintah berpuas diri dengan perubahan kosmetik. Ia menuntut penghapusan total sistem yang ia pandang sebagai perbudakan modern. Tekanan moral yang terus-menerus ini, yang berlangsung selama masa jabatannya yang panjang di Parlemen, adalah faktor penentu dalam melemahnya dukungan politik untuk mempertahankan Tanam Paksa.
Karya jurnalis Hoëvell di Hindia, yang mendahului karir politiknya, memberikan pelajaran berharga tentang peran media independen dalam menantang kekuasaan. Tanpa Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, cerita-cerita penderitaan mungkin tidak akan pernah terpusat dan terorganisir sedemikian rupa untuk menciptakan tekanan politik yang diperlukan. Ia adalah pelopor jurnalisme investigatif di lingkungan kolonial yang keras.
Meskipun namanya mungkin tidak selalu diucapkan sepopuler Multatuli, kontribusi Baron van Hoëvell terhadap penghapusan Tanam Paksa dan pengembangan kesadaran etis kolonial adalah struktural dan mendasar. Ia adalah fondasi politik tempat kritik moral dapat berdiri tegak. Tanpa Hoëvell yang membersihkan jalan di Parlemen dan mempersiapkan opini publik dengan fakta-fakta, Multatuli mungkin hanya akan dianggap sebagai agitator yang dilebih-lebihkan. Hoëvell memberikan konteks dan keabsahan yang dibutuhkan oleh narasi penderitaan.
Ia menolak menerima gagasan bahwa kolonialisme harus menjadi sistem yang tak tersentuh oleh etika. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kekuasaan kolonial membawa tanggung jawab yang lebih besar untuk bertindak secara adil dan bermoral. Pandangan ini, yang pada masanya dianggap radikal, kemudian menjadi norma moral bagi politisi liberal yang peduli terhadap nasib Hindia Belanda. Warisannya adalah panggilan abadi untuk hati nurani dalam politik internasional.
Perjuangan Baron van Hoëvell terus mengingatkan kita bahwa sejarah reformasi seringkali merupakan hasil dari kerja keras yang dilakukan di balik layar, melalui dokumen, debat, dan persuasi moral yang gigih. Ia mengajarkan kita bahwa perubahan sistemik datang bukan hanya dari kemarahan, tetapi dari pengetahuan yang mendalam dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan.
Setiap paragraf, setiap babak perjuangan Hoëvell, adalah bukti bahwa kepemimpinan yang etis dapat muncul dari mana saja—dari mimbar gereja, dari meja editor, atau dari kursi parlemen—asalkan didorong oleh tekad yang tak tergoyahkan untuk menuntut keadilan bagi semua pihak yang tertindas. Ia meninggalkan warisan yang mendalam, bukan hanya untuk Belanda, tetapi untuk seluruh wilayah yang pernah menjadi bagian dari kekaisaran mereka.