Nama Baron Adolph Franz Friedrich Ludwig Knigge (1752–1796) hampir selalu diasosiasikan dengan satu hal: aturan etiket yang kaku, daftar panjang tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam masyarakat kelas atas. Di banyak budaya, frasa “ala Knigge” telah menjadi sinonim untuk tata krama yang sangat formal dan terkadang berlebihan. Namun, ironi sejarah telah menyelimuti figur sejati Baron von Knigge. Realitasnya, karya besarnya, “Über den Umgang mit Menschen” (Tentang Hubungan dengan Manusia), yang diterbitkan, sama sekali bukan sekumpulan aturan dangkal. Sebaliknya, itu adalah sebuah mahakarya filosofis Pencerahan yang sarat dengan psikologi, kritik sosial, dan seruan tulus untuk toleransi serta pemahaman antarmanusia. Knigge adalah seorang revolusioner sosial, seorang penulis satir yang tajam, dan seorang intelektual yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesulitan finansial, jauh dari kemewahan istana yang ia gambarkan dalam beberapa bagian tulisannya. Memahami Knigge membutuhkan pelepasan diri dari mitos "guru etiket" dan menyelam ke dalam jiwa seorang filsuf yang mencari harmoni sosial di tengah kekacauan politik dan ketidaksetaraan masyarakat feodal.
Buku yang membuatnya abadi justru disalahpahami oleh generasi penerus yang hanya mengambil kulit luarnya. Knigge tidak mengajarkan bagaimana cara menggunakan garpu yang benar di meja makan bangsawan, melainkan bagaimana cara berinteraksi secara efektif dan etis dengan berbagai jenis karakter, mulai dari teman hingga musuh, dari atasan hingga bawahan. Tujuannya adalah mempromosikan kebahagiaan universal melalui empati, bukan kepatuhan buta pada formalitas. Kehidupan pribadi Knigge yang penuh gejolak—melibatkan pengasingan politik, keterlibatan dalam gerakan rahasia seperti Illuminati, dan perjuangan finansial yang tak berkesudahan—memberinya perspektif unik yang membentuk dasar filosofi interaksi sosialnya.
Adolph Knigge lahir dalam keluarga bangsawan rendah di Hanover, Jerman. Meskipun menyandang gelar Baron, kemewahan bangsawan cepat hilang. Ayahnya meninggal saat Knigge masih muda, meninggalkan warisan yang sarat hutang. Kenyataan pahit ini memaksa Knigge untuk tumbuh dalam situasi yang kontras: ia dididik secara cermat sesuai standar bangsawan, tetapi ia harus menghadapi kenyataan ekonomi yang menekan. Pendidikan formalnya yang luas, terutama dalam bidang hukum dan administrasi di Göttingen, mempersiapkannya untuk melayani di istana. Namun, pengalaman awal ini hanya memberinya pandangan sinis terhadap birokrasi dan kekakuan aristokrasi yang ia anggap munafik dan tidak efektif.
Pengalaman pribadinya yang harus berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat—dari para kreditor yang menagih utang, birokrat yang korup, hingga bangsawan arogan—memberi fondasi bagi karyanya kelak. Knigge belajar seni bertahan hidup sosial bukan dari teori, tetapi dari praktik lapangan yang keras. Ia mencoba berbagai posisi, termasuk jabatan di pengadilan, administrasi negara, dan bahkan sebagai pengurus perkebunan, tetapi kariernya sering terhenti karena ketidakmampuannya untuk menjilat atasan atau karena kejujuran filosofisnya yang terlalu blak-blakan. Pergulatan ini memicu penulisan karya-karya satir awalnya, di mana ia mencela kekosongan kehidupan istana dan kesombongan para bangsawan. Ketidakstabilan ini pula yang mendorongnya mencari penghiburan dan tujuan dalam gerakan Pencerahan.
Abad Pencerahan adalah masa ketika pengetahuan disebarluaskan melalui jurnal, surat-menyurat, dan perkumpulan rahasia. Knigge, dengan idealisme yang kuat dan keinginan untuk mereformasi masyarakat, secara alami tertarik pada gerakan-gerakan ini. Ia menjadi anggota Freemasonry dan kemudian, yang lebih signifikan, bergabung dengan Ordo Illuminati Bavaria. Keterlibatannya dalam Illuminati sangatlah penting; Knigge adalah salah satu tokoh kunci yang membantu mengembangkan dan menyebarkan struktur Ordo di seluruh Jerman Utara, berperan besar dalam merekrut intelektual, penulis, dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.
Knigge melihat Illuminati, di bawah pimpinan Adam Weishaupt, sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang ia yakini: pendidikan masyarakat, penghapusan takhayul, dan pembentukan negara yang lebih rasional dan manusiawi. Namun, ia segera kecewa dengan hierarki yang semakin otoriter dan ritualistik yang diterapkan oleh Weishaupt. Knigge, yang selalu membenci kekakuan, merasa bahwa Ordo tersebut mulai menyimpang dari tujuan Pencerahan yang sesungguhnya. Konflik ideologis ini akhirnya menyebabkan perpisahan pahitnya dengan Illuminati, sebuah episode yang menggarisbawahi komitmen Knigge pada kebebasan berpikir dan penolakannya terhadap segala bentuk otoritas absolut, bahkan dalam perkumpulan reformis. Pengalaman ini juga menjadi bahan baku bagi kritik-kritiknya terhadap manipulasi dan retorika yang ia masukkan ke dalam karya-karya sastranya.
Ketika pekerjaan formal gagal menopang kehidupannya, Knigge beralih total menjadi penulis profesional. Ini adalah era yang penuh perjuangan, karena royalti masih minim. Ia harus menghasilkan karya dengan kecepatan tinggi untuk membayar tagihan. Output sastranya sangat beragam: mulai dari novel sentimental (genre populer saat itu), drama, opera komik, hingga yang paling signifikan, karya-karya satir politik dan sosial. Novel-novelnya, seperti “Geschichte Peter Clausens” (Kisah Peter Clausen), mencerminkan keprihatinannya terhadap penderitaan kelas menengah dan kritik terhadap kesombongan bangsawan. Ia menggunakan fiksi sebagai wadah untuk menyuntikkan pesan-pesan Pencerahan mengenai moralitas, keadilan, dan persamaan.
Kemampuannya untuk menulis dengan beragam gaya menunjukkan kecerdasannya yang serbaguna, tetapi juga mencerminkan tekanan untuk menghasilkan uang. Meskipun ia menikmati kesuksesan finansial sporadis dari penjualan bukunya, terutama dari buku yang paling terkenal, keuangannya jarang stabil. Kehidupan ini, diwarnai oleh tuntutan kreator dan idealisme reformis yang sering bertabrakan dengan realitas monarki absolut Jerman, menyiapkan panggung untuk karyanya yang paling transformatif—buku yang ironisnya akan mengubur dirinya dalam citra yang salah.
Ketika “Über den Umgang mit Menschen” diterbitkan, ia langsung menjadi fenomena. Popularitasnya luar biasa karena ia memenuhi kebutuhan besar di Jerman pada abad ke-18—masyarakat yang sedang mengalami transisi sosial, di mana batas antara bangsawan dan borjuis menjadi kabur, dan mobilitas sosial mulai muncul. Orang-orang membutuhkan panduan tentang bagaimana cara menavigasi struktur sosial yang kompleks dan berubah ini. Knigge menjawabnya, tetapi dengan sentuhan filosofis yang dalam. Inti dari karyanya bukanlah instruksi, melainkan saran strategis dan psikologis tentang bagaimana menjalin hubungan yang saling menguntungkan dan jujur.
Knigge menekankan bahwa interaksi sosial yang berhasil bergantung pada tiga pilar utama: pengenalan diri (self-knowledge), empati, dan fleksibilitas. Ia berpendapat bahwa seseorang harus terlebih dahulu memahami motivasi, kelemahan, dan kekuatan dirinya sendiri sebelum mencoba memahami orang lain. Selanjutnya, ia menyarankan agar setiap tindakan diarahkan oleh prinsip untuk tidak menyakiti orang lain dan berusaha untuk membuat orang di sekitar merasa nyaman. Inilah etiket sesungguhnya bagi Knigge: bukan kepatuhan pada aturan eksternal, melainkan manifestasi moralitas internal yang bertujuan pada keharmonisan komunal. Baginya, etiket adalah alat untuk menunjukkan rasa hormat, bukan penanda status sosial.
Untuk memahami kedalaman karya ini, penting untuk melihat bagaimana Knigge menyusunnya. Buku ini jauh lebih panjang dan lebih detail daripada buku etiket modern mana pun. Struktur utamanya membagi saran interaksi berdasarkan kelompok sosial tertentu, menunjukkan bagaimana pendekatan harus diubah tergantung pada audiens:
Detail ini menunjukkan bahwa buku tersebut berfungsi sebagai panduan moralitas sipil, bukan sekadar buku saku formalitas. Knigge mendesak pembaca untuk menggunakan akal sehat dan hati nurani sebagai pedoman utama, melampaui aturan yang dibuat-buat oleh bangsawan yang seringkali hanya mencari keunggulan palsu. Ia berulang kali memperingatkan pembaca agar tidak menjadi "budak formalitas."
Salah satu kontribusi terbesar Knigge adalah analisisnya tentang tipe-tipe karakter sulit. Ia tidak hanya menyajikan daftar sifat yang harus dihindari, tetapi menawarkan strategi praktis untuk berinteraksi dengan mereka, misalnya, dengan orang yang suka pamer, penggosip, atau orang yang selalu mengeluh. Knigge menyarankan agar kita tidak berusaha mengubah sifat buruk orang lain secara langsung, melainkan mengatur perilaku kita sendiri untuk meminimalkan konflik dan mempertahankan kedamaian pikiran. Ini adalah pendekatan pragmatis yang sangat berbau stoicisme—mengendalikan apa yang bisa dikendalikan (diri sendiri) dan menerima apa yang tidak bisa dikendalikan (perilaku orang lain).
Secara mendalam, Knigge membahas bagaimana menghadapi prasangka dan kebencian sosial yang muncul dari perbedaan agama, kelas, atau profesi. Ia adalah suara yang kuat untuk toleransi agama, sebuah posisi berani di era ketika Jerman masih terpecah belah oleh konflik Protestan dan Katolik. Knigge menggunakan karya ini sebagai platform untuk mempromosikan visi Pencerahan tentang masyarakat di mana perbedaan diselesaikan melalui dialog rasional dan niat baik, bukan melalui permusuhan atau dogma kaku. Ia mengajarkan seni mendengarkan, mengakui kesalahan, dan memberikan pujian yang tulus dan tepat waktu—semua elemen yang jauh melampaui aturan tentang cara makan sup.
Jika kita membaca karya Knigge secara keseluruhan—tidak hanya *Umgang* tetapi juga novel dan esainya—kita melihat seorang penulis yang sangat terlibat dalam perdebatan politik masanya. Knigge adalah seorang pro-revolusioner dalam semangat Pencerahan, meskipun ia skeptis terhadap ekstremisme. Ia mendukung reformasi yang bertahap tetapi substansial dalam pemerintahan dan peradilan. Karyanya sering mengandung sindiran terselubung terhadap monarki absolut yang tidak peduli pada rakyat jelata.
Sikapnya terhadap bangsawan sangat ambigu, yang mungkin menjelaskan mengapa ia disalahartikan. Sebagai seorang Baron, ia memiliki akses ke dalam lingkaran tersebut, tetapi sebagai seorang idealis yang bangkrut, ia membenci kemunafikan mereka. Ia menulis tentang perlunya kaum bangsawan untuk bersikap elegan dan bermartabat, tetapi ia selalu mendefinisikan martabat bukan melalui garis keturunan atau kekayaan, melainkan melalui karakter moral dan pelayanan publik yang tulus. Kritiknya terhadap ‘orang yang menggunakan formalitas untuk menutupi kekosongan batin’ adalah tema yang konstan dalam seluruh korpusnya.
Ironisnya, saat Revolusi Prancis pecah dan ide-ide Pencerahan yang diperjuangkan Knigge berubah menjadi kekerasan massa, banyak bangsawan Jerman yang khawatir justru menggunakan *Über den Umgang mit Menschen* sebagai panduan defensif. Mereka menganggapnya sebagai manual untuk menjaga tatanan sosial yang terancam. Meskipun Knigge berjuang untuk masyarakat yang lebih setara, bukunya diserap oleh kelas atas yang ingin mempertahankan status quo dengan cara terlihat sopan dan beradab. Mereka hanya mengikuti aturan formalitas tanpa menyerap pesan filosofis tentang empati dan reformasi sosial. Fenomena inilah yang akhirnya membekukan Knigge dalam citra yang keliru.
Banyak kritikus di zamannya yang menuduh Knigge terlalu pragmatis, bahkan oportunistik. Mereka berpendapat bahwa fokusnya pada bagaimana ‘bergaul dengan orang-orang penting’ adalah bentuk ajaran menjilat terselubung. Namun, pembela Knigge menegaskan bahwa ini adalah realisme Pencerahan. Knigge tahu bahwa untuk mengubah sistem, seseorang harus beroperasi di dalamnya. Ia mengajarkan orang bagaimana berinteraksi dengan kekuatan, bukan untuk tunduk, tetapi untuk memajukan tujuan mereka tanpa mengorbankan martabat mereka sendiri. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang psikologi manusia dan dinamika kekuasaan.
Sikap Knigge terhadap kesulitan hidup dan kematian juga mencerminkan filosofi Pencerahannya. Ia menghadapi penyakit kronis dan masalah keuangan yang tidak pernah terselesaikan dengan semacam stoicisme yang tenang. Dalam beberapa surat terakhirnya, ia mengungkapkan kepuasan bahwa ia telah menggunakan bakatnya untuk menyebarkan ide-ide yang ia yakini benar, meskipun hal itu tidak memberinya kemuliaan duniawi atau kekayaan. Kematiannya menandai akhir dari seorang figur yang sangat kontradiktif: seorang bangsawan yang membenci bangsawan, seorang anggota gerakan rahasia yang benci ritual rahasia, dan seorang filsuf yang bukunya menjadi panduan formalitas kaku. Warisan sejati Knigge terletak pada ajakannya untuk menggunakan akal budi sebagai kompas sosial.
Bagaimana mungkin seorang kritikus sosial dan anggota Illuminati diubah menjadi simbol konservatif dari etiket kaku? Penyebabnya adalah selektivitas penerbitan dan perubahan konteks budaya. Setelah Knigge wafat, edisi-edisi baru *Über den Umgang mit Menschen* mulai muncul. Para editor dan penerbit, terutama pada abad ke-19, sadar bahwa bagian-bagian filosofis yang mendalam dan kritik sosial yang tajam kurang diminati dibandingkan dengan bab-bab yang membahas saran-saran praktis tentang perilaku sehari-hari.
Mereka mulai menghilangkan bagian-bagian yang dianggap terlalu politik, terlalu filosofis, atau terlalu subversif, dan justru memperluas bab-bab mengenai perilaku di meja makan, korespondensi, dan pakaian—topik-topik yang sebenarnya hanya disinggung singkat oleh Knigge. Akibatnya, buku tersebut bertransformasi dari sebuah traktat Pencerahan menjadi manual tata krama kelas menengah yang ambisius. Ironi ini diperkuat oleh fakta bahwa Knigge sendiri telah dengan tegas menolak formalitas yang tidak berjiwa. Ia ingin mengajarkan kebajikan, tetapi pembaca hanya menginginkan daftar periksa perilaku yang bisa mereka tunjukkan untuk meningkatkan status sosial mereka.
Hingga hari ini, di negara-negara berbahasa Jerman, frasa “Ini adalah Knigge!” digunakan, sering kali setengah bercanda, untuk merujuk pada aturan yang sangat spesifik dan ketat mengenai perilaku sosial, baik di tempat kerja, saat jamuan makan, atau dalam komunikasi digital. Namun, dalam konteks akademik dan sastra, telah terjadi gerakan yang berhasil untuk merehabilitasi nama Knigge. Para sarjana telah menerbitkan edisi asli karyanya, menyoroti konten revolusionernya yang hilang, dan membedakan antara Baron von Knigge yang nyata (filsuf) dan "Knigge" yang legendaris (aturan etiket).
Pemahaman modern yang lebih bernuansa melihat Knigge sebagai pelopor psikologi sosial. Jauh sebelum munculnya studi sosiologi formal, ia telah menyusun sebuah analisis komprehensif tentang perilaku manusia dan cara kerja masyarakat. Ajaran intinya—bahwa komunikasi yang efektif didasarkan pada empati dan adaptasi situasional—tetap relevan, terlepas dari konteks abad ke-18. Saat masyarakat semakin terfragmentasi dan komunikasi digital menjadi dominan, prinsip Knigge tentang "bergaul dengan orang lain" melalui rasa hormat yang tulus menawarkan sebuah oasis moral.
Meskipun *Umgang mit Menschen* mendominasi warisannya, penting untuk mengakui dampak karya-karya Knigge yang lain, terutama novel-novel satirnya. Ia adalah seorang komentator ulung yang menggunakan humor dan ironi untuk mengkritik institusi. Karyanya membantu membentuk lanskap sastra Jerman pada periode antara Pencerahan dan Romantisisme awal. Novel-novelnya sering menampilkan karakter yang mencari kebebasan pribadi dan moral di tengah masyarakat yang membatasi, mencerminkan perjuangan pribadinya sendiri.
Karya-karya ini, meskipun kurang dibaca saat ini, memberikan konteks penting untuk memahami bahwa Knigge adalah seorang intelektual yang konsisten dalam kritiknya terhadap otoritas dan promosi individualitas yang bertanggung jawab. Ia tidak menulis *Umgang* sebagai pengecualian dari ideologinya, tetapi sebagai manifestasi praktis dari ideologi tersebut: jika masyarakat ingin bebas dan rasional, anggotanya harus tahu bagaimana berinteraksi tanpa memerlukan campur tangan hukum atau dogma agama yang kaku.
Prinsip utama Knigge yang sering diabaikan adalah pentingnya fleksibilitas. Ia dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada aturan tunggal yang berlaku untuk semua orang. Sebaliknya, seseorang harus mengamati konteks (tempat, waktu, dan orang yang terlibat) dan menyesuaikan perilaku. Dalam dunia modern yang serba cepat dan global, di mana kita berinteraksi dengan orang-orang dari budaya, latar belakang, dan harapan sosial yang berbeda, prinsip adaptasi Knigge menjadi sangat berharga. Ia mengajarkan bahwa kepatuhan kaku pada satu set aturan di semua situasi adalah kebodohan sosial.
Knigge mendorong apa yang sekarang kita sebut kecerdasan emosional atau EQ. Ia tidak hanya menyuruh pembaca untuk "berperilaku baik," tetapi untuk "memahami apa yang membuat orang lain merasa dihormati" dalam konteks mereka sendiri. Ini adalah lompatan filosofis yang besar melampaui etiket abad ke-18 yang biasanya hanya berfokus pada penampilan luar istana. Knigge menyadari bahwa kebahagiaan dan produktivitas sosial didasarkan pada perasaan diterima dan diakui secara individu.
Meskipun Knigge hidup jauh sebelum era internet, ajarannya mengenai korespondensi dan interaksi publik sangat relevan dalam komunikasi digital saat ini. Knigge sangat kritis terhadap mereka yang menggunakan bahasa berlebihan, sarkasme yang menyakitkan, atau formalitas yang berlebihan dalam surat-menyurat. Ia menekankan kejernihan, kesederhanaan, dan niat baik dalam semua komunikasi tertulis.
Bila kita terapkan pada media sosial, prinsip Knigge akan menganjurkan moderasi, penolakan terhadap 'flaming' (argumen agresif online), dan kehati-hatian dalam menyampaikan kritik. Ia mengajarkan bahwa platform komunikasi, apakah itu surat di atas kertas atau komentar di forum publik, harus digunakan untuk memajukan pemahaman dan bukan untuk memperburuk perpecahan. Kebajikan untuk tidak menuliskan apa yang tidak akan kita katakan secara langsung adalah esensi dari etiket Knigge yang sejati, yang berakar pada integritas moral.
Dalam konteks profesional, saran Knigge tentang berinteraksi dengan atasan, rekan kerja, dan bawahan berfungsi sebagai manual manajemen hubungan. Ia menyarankan agar kita berhati-hati terhadap kecemburuan profesional, menghindari pengkhianatan, dan selalu memberikan penghargaan yang pantas kepada kontribusi orang lain. Knigge memahami bahwa lingkungan kerja, seperti istana abad ke-18, adalah arena persaingan yang rentan terhadap intrik.
Strateginya bukan untuk menghindari konflik sama sekali, tetapi untuk menghadapinya dengan cara yang terhormat dan terukur. Ia menyarankan para pemimpin untuk menunjukkan kerendahan hati dan mendengarkan bawahan, sementara bawahan didorong untuk menyampaikan pandangan mereka dengan rasa hormat namun tanpa ketakutan. Keseimbangan ini mencerminkan upayanya untuk mendemokratisasi hubungan sosial, bahkan di lingkungan yang secara inheren hierarkis. Dengan demikian, Knigge dapat dianggap sebagai salah satu pelopor pemikiran modern tentang budaya organisasi yang sehat.
Secara keseluruhan, pesan Knigge adalah tentang kekuatan ketulusan (Aufrichtigkeit). Ia percaya bahwa semua formalitas eksternal menjadi tidak berarti jika tidak didorong oleh niat baik yang mendalam. Seseorang mungkin tahu semua aturan etiket yang ada, tetapi jika hati mereka penuh dengan kebencian, kesombongan, atau niat manipulatif, interaksi mereka akan gagal. Knigge melihat formalitas sebagai lapisan luar yang rapuh, sementara karakter moral adalah fondasi yang tak tergantikan.
Pemahaman ini menempatkannya sebagai seorang etis, bukan sekadar pelatih tata krama. Ia menantang pembaca untuk merenungkan, "Mengapa saya melakukan ini?" Apakah saya bersikap sopan karena saya benar-benar menghormati orang ini, atau hanya karena saya ingin sesuatu dari mereka? Hanya melalui motivasi yang jujur, menurut Knigge, kita dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kolektif. Filantropi, akal, dan kerendahan hati adalah mata uang sosial sejati yang ia anjurkan, sebuah warisan yang jauh lebih kaya dan lebih kompleks daripada sekumpulan aturan makan malam yang kaku.
Bagian yang sangat ditekankan oleh Knigge adalah bagaimana memilih dan mempertahankan teman sejati. Di tengah masyarakatnya yang penuh kepalsuan, ia merindukan hubungan yang autentik. Knigge menghabiskan banyak halaman untuk membahas bagaimana cara membedakan teman seteman sejati dari 'pengikut' atau oportunis. Ia menasihati untuk berhati-hati dalam berbagi rahasia, dan lebih penting lagi, untuk menjadi teman yang bisa diandalkan dalam kesulitan. Persahabatan sejati, menurutnya, membutuhkan pengorbanan dan kesabaran, melampaui kesenangan sosial yang dangkal.
Ia memperingatkan agar tidak membebani teman dengan masalah yang tidak perlu atau mengharapkan kepastian finansial dari mereka, sebuah nasihat yang jelas-jelas diambil dari pengalaman pribadinya yang pahit. Knigge memahami bahwa persahabatan, sama seperti pernikahan, adalah kontrak moral yang harus dijaga dengan hati-hati. Ia menekankan bahwa hubungan yang tulus adalah jangkar bagi integritas moral seseorang di tengah badai kehidupan publik yang penuh gejolak. Tanpa persahabatan yang kuat, manusia akan mudah terperosok ke dalam kekosongan dan keputusasaan, sebuah tema yang sering ia jelajahi dalam novel-novel sentimentalnya.
Baron Adolph Franz Friedrich Ludwig Knigge adalah representasi klasik dari seorang intelektual Pencerahan Jerman yang berjuang melawan sistem yang ingin ia reformasi. Meskipun namanya tercatat dalam sejarah modern sebagai pembuat aturan etiket yang paling kaku, karya dan kehidupannya menceritakan kisah yang jauh lebih subversif. Ia adalah seorang filsuf yang percaya pada kemampuan rasio manusia untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, seorang penulis satir yang berani menantang otoritas, dan seorang idealis yang rela menderita kesulitan finansial demi kebebasan berekspresi.
Warisan Knigge yang sesungguhnya bukanlah tentang cara memegang pisau ikan, tetapi tentang bagaimana membangun jembatan pemahaman antarmanusia di tengah perbedaan yang memecah-belah. Ia mengajarkan seni berinteraksi sebagai seni bertahan hidup yang etis, menempatkan empati di atas formalitas, dan ketulusan di atas penampilan. Untuk menghargai Knigge adalah untuk membaca dia sebagaimana ia ingin dibaca: bukan sebagai penyusun daftar aturan, tetapi sebagai seorang guru yang mengajarkan kita bagaimana menjadi manusia yang lebih baik dan warga negara yang lebih bertanggung jawab di setiap kesempatan interaksi sosial.