BARONGAN TELON MERAH: EKSPLORASI FILOSOFIS SINGO BARONG

I. Gerbang Kosmologi: Pengantar Barongan Telon Warna Merah

Barongan, khususnya dalam konteks kesenian Reog atau Jaranan di tanah Jawa, bukanlah sekadar properti pementasan biasa. Ia adalah manifestasi spiritual, sebuah entitas yang diukir dari kayu pilihan, dihias dengan rafal dan bulu-bulu merak, dan yang paling krusial, diwarnai dengan pigmen yang membawa makna mendalam. Di antara berbagai varian topeng Barongan, fenomena Barongan Telon warna merah menempati posisi istimewa, memancarkan aura kegarangan, keberanian, dan kekuasaan yang tak tertandingi.

Istilah ‘Telon’ merujuk pada tiga warna dasar kosmik dalam tradisi Jawa dan Bali (Tri Murti atau Tri Warna), yaitu Merah, Putih, dan Hitam (Kadang diganti dengan Emas/Kuning). Telon pada Barongan menunjukkan sebuah kesatuan polaritas: Putih mewakili kesucian dan kebaikan; Hitam mewakili misteri dan kegelapan; sementara Merah, fokus utama pembahasan ini, mewakili ‘Nafsu Amarah’ atau kekuatan vital yang tak terkendali (Angkara Murka), namun sekaligus melambangkan keberanian, energi, dan darah kehidupan.

Visualisasi Topeng Singo Barong Merah Barongan Merah Topeng Barongan Singo Barong dengan dominasi warna merah yang garang dan mata merah menyala.
Visualisasi topeng Singo Barong yang didominasi warna merah, melambangkan keberanian dan kekuatan yang tak tertandingi.

Dalam artikel panjang ini, kita akan menyelami setiap serat budaya dan filosofi di balik Barongan Telon warna merah. Kita akan mengupas bagaimana warna ini tidak hanya berfungsi sebagai estetika, tetapi sebagai kunci naratif yang membuka pemahaman tentang kosmos Jawa, teknik pengecatan tradisional, hingga peran ritualistik topeng dalam sebuah pementasan. Eksplorasi ini akan menyingkapkan bahwa merah pada Barongan adalah cermin jiwa yang bergejolak, perwujudan energi primal yang harus diakui dan dikelola.

II. Jejak Sejarah dan Asal-Usul Telon

Untuk memahami kedalaman Barongan Telon merah, kita harus kembali ke akar kesenian Reog, yang diperkirakan berkembang pesat sejak era Kerajaan Majapahit, atau bahkan lebih awal. Barongan, atau Singo Barong, adalah representasi dari makhluk buas, singa raksasa (sering dikaitkan dengan raja hutan mitologis) yang kepalanya didominasi bulu merak. Singo Barong adalah simbol kekuasaan dan hegemoni yang berhadapan dengan kekuatan spiritual Warok dan keindahan Jathilan.

II.A. Konsep Tri Murti dan Telon dalam Budaya Nusantara

Penerapan konsep Telon dalam pewarnaan Barongan bukanlah kebetulan. Ini adalah adopsi visual dari filosofi Jawa-Hindu kuno, Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) atau Tri Kona (Lahir, Hidup, Mati) yang diterjemahkan ke dalam tiga warna dominan. Merah secara konsisten dikaitkan dengan elemen api, Brahma, dan unsur penciptaan atau awal mula kehidupan yang penuh gejolak emosi.

Jauh sebelum cat sintetis dikenal, para pembuat topeng (disebut Pandhe Dhalang) menggunakan bahan-bahan alami. Pigmen merah diperoleh dari gilingan batu merah (oksida besi), sari mengkudu, atau tanah liat merah yang dikombinasikan dengan getah pohon. Proses ini memastikan bahwa warna merah yang dihasilkan memiliki tekstur dan spiritualitas yang berbeda, bukan sekadar pewarna, melainkan ‘sumbatan’ (isian) energi.

Pada awalnya, Barongan mungkin didominasi warna hitam atau cokelat alami kayu. Namun, seiring dengan evolusi pertunjukan menjadi lebih dramatis dan memvisualisasikan konflik batin yang lebih intens, warna merah mulai mengambil peran sentral. Merah pada wajah Barongan menjadi penanda yang jelas akan karakter Singo Barong yang ‘garang’, memiliki ambisi, dan kekuatan fisik yang luar biasa. Jika Warok mewakili kebijaksanaan dan kesederhanaan (seringkali diwakili oleh hitam dan putih), maka Singo Barong Merah adalah kekuatan liar yang harus dijinakkan atau disalurkan.

II.B. Struktur Muka Barongan Merah

Penggunaan warna merah tidak hanya terbatas pada area kulit wajah Singo Barong. Merah seringkali diaplikasikan secara intens pada bagian lidah, gusi, dan pinggiran mata. Lidah yang menjulur merah melambangkan hasrat yang tak terpuaskan (Kama), sementara mata yang diberi bingkai merah tebal menunjukkan fokus pandangan yang membakar (Tapa Brata dalam konteks negatif, yaitu nafsu yang membara). Bahkan, beberapa seniman menambahkan sentuhan merah pada rambut Barongan (Rafa) untuk meningkatkan intensitas visual dari kejauhan, menjadikan topeng tersebut tampak 'hidup' dan siap menerkam.

III. Merah: Nafsu, Darah, dan Prana Kehidupan

Warna merah dalam budaya Jawa dan kosmologi Nusantara memiliki spektrum makna yang sangat luas, melampaui sekadar agresivitas. Pada Barongan Telon, merah adalah kunci untuk memahami peran tokoh tersebut dalam tatanan pertunjukan dan tatanan semesta yang diyakini.

III.A. Simbolisasi Angkara Murka dan Keberanian (Wani)

Merah (Abang) secara primer dikaitkan dengan Angkara Murka (kemarahan besar) dan Kamukten (nafsu duniawi/ambisi). Singo Barong adalah figur yang didorong oleh hasrat kekuasaan, suatu kekuatan yang tak tertahankan. Warna merah pada kulit topeng menjadi semacam ‘penyimpan’ energi amarah ini. Dalam konteks pertunjukan, ketika Barongan mulai menari dengan gerakan kepala yang cepat dan mengentak, warna merah memantulkan cahaya panggung, memberikan ilusi bahwa topeng tersebut dipenuhi oleh panas dan amarah yang nyata.

Namun, merah juga melambangkan ‘Wani’, keberanian yang tak kenal takut. Ini adalah keberanian untuk menghadapi musuh, keberanian untuk memimpin, dan keberanian untuk memanifestasikan keinginan. Seorang penari yang mengenakan Barongan merah harus mampu menyalurkan energi ini, menjadikan tarian Singo Barong bukan hanya gerakan fisik, tetapi juga pelepasan energi psikis yang diwakili oleh warna tersebut.

III.B. Merah dan Pusat Energi (Cakra)

Dalam sistem kepercayaan Jawa kuno yang banyak dipengaruhi oleh Tantra, warna merah erat kaitannya dengan Cakra Dasar (Mūlādhāra), yang berlokasi di pangkal tulang belakang. Cakra ini mengendalikan naluri bertahan hidup, energi fisik, dan vitalitas dasar. Barongan Telon Merah secara visual mengakui energi Cakra Dasar ini, menunjukkan bahwa Singo Barong adalah representasi dari kekuatan alam bawah sadar, insting murni yang belum tersaring oleh logika (Putih) atau misteri spiritual (Hitam).

Korelasi ini menjelaskan mengapa Barongan Merah sering ditampilkan dengan gerakan yang sangat energetik, seringkali menyentuh tanah, melompat, dan menghentakkan kaki. Itu adalah tarian yang membumi, tarian primal yang menarik kekuatan dari Bumi (Ibu Pertiwi) yang juga sering dikaitkan dengan warna cokelat kemerahan tanah liat.

Simbolisme Telon Merah (Api, Nafsu) Putih (Air, Kesucian) Hitam (Tanah, Misteri) Tiga lingkaran berwarna merah, putih, dan hitam, melambangkan konsep Tri Warna atau Telon dalam kosmologi Jawa.
Konsep Telon (Tri Warna) adalah landasan filosofis pewarnaan Barongan.

III.C. Merah dalam Konteks Keseimbangan

Meskipun merah mewakili amarah, dalam konteks Telon yang utuh, ia tidak dianggap sebagai kejahatan absolut. Merah adalah energi yang diperlukan. Sama seperti api yang dapat menghangatkan atau membakar, Angkara harus ada sebagai pendorong, sebagai api semangat. Barongan Telon Merah berfungsi sebagai pengingat visual bahwa kekuatan primal harus selalu ada, namun harus diseimbangkan oleh hikmah (Putih) dan kedalaman spiritual (Hitam). Jika Barongan hanya berwarna merah tanpa sentuhan hitam dan putih (biasanya pada mata, gigi, dan rambut), ia akan dianggap ‘cacat’ secara spiritual dan terlalu agresif, tidak seimbang, dan sulit dikendalikan oleh penarinya.

Detail ini sangat penting bagi para Sesepuh (tetua) penari Barongan. Mereka percaya bahwa penari harus mampu menyeimbangkan energi Merah yang menggebu dalam topeng, sehingga tarian yang dihasilkan adalah tarian kekuatan yang terkontrol, bukan sekadar kekerasan. Barongan merah yang sukses adalah yang mampu mengkomunikasikan kekuatan Singo Barong sekaligus kerentanan dan kesadarannya terhadap kekuatan lain di sekelilingnya.

IV. Anatomi dan Estetika Telon: Teknik Pengecatan dan Bahan Pilihan

Penciptaan topeng Barongan Telon merah adalah sebuah seni kerajinan tinggi yang menggabungkan ukiran, pewarnaan, dan ritual. Pemilihan material dan teknik pengecatan sangat menentukan kualitas spiritual dan visual topeng tersebut.

IV.A. Pemilihan Kayu dan Persiapan Permukaan

Kayu yang paling umum digunakan untuk membuat topeng Barongan adalah Kayu Dadap, Kayu Pule, atau Kayu Cangkring. Kayu-kayu ini dipilih karena sifatnya yang ringan, mudah diukir, dan diyakini memiliki ‘kekuatan’ spiritual tertentu, membuatnya ideal sebagai media untuk menampung energi yang kuat dari Singo Barong. Setelah ukiran kepala selesai, tahap persiapan pengecatan sangat krusial, terutama untuk memastikan pigmen merah dapat melekat kuat dan memancarkan intensitas.

Permukaan kayu diamplas halus, kemudian seringkali dilapisi dengan ‘dasaran putih’ (gesso atau lapisan kapur putih yang dicampur lem alami). Lapisan putih ini berfungsi ganda: sebagai pondasi untuk pigmen Telon dan sebagai representasi awal dari warna Putih kosmik. Tanpa dasaran ini, warna merah tidak akan ‘keluar’ atau menjadi buram karena diserap oleh serat kayu alami. Warna putih di bawah lapisan merah adalah simbol bahwa bahkan amarah dan keberanian Singo Barong tetap berada di atas landasan kesucian dan niat baik (meskipun niat baik versi Singo Barong). Proses pendasaran ini membutuhkan kesabaran luar biasa, seringkali diulang beberapa kali.

IV.B. Aplikasi Pigmen Merah Tradisional (Pewarnaan Inti)

Dalam tradisi otentik, pigmen merah (misalnya dari mineral cinnabar atau campuran oksida besi) dicampur dengan minyak alami (seperti minyak jarak atau minyak biji wijen) untuk menciptakan cat yang kental dan tahan lama. Aplikasi warna merah pada Barongan Telon dibagi menjadi beberapa zona penting:

Teknik ‘gradasi telon’ juga sering ditemukan, di mana warna merah pekat di bagian tengah wajah bergradasi menjadi coklat atau hitam menuju tepi topeng. Gradasi ini menciptakan kedalaman visual, seolah-olah kekuatan energi Singo Barong memancar dari pusat wajahnya.

IV.C. Bulu dan Mahkota (Rafa dan Dadak Merak)

Meskipun wajah topeng didominasi merah, estetika Barongan Merah disempurnakan oleh rafal (rambut ijuk atau tali serat) dan hiasan Dadak Merak. Rafa pada Barongan merah seringkali dipertahankan warna hitamnya (sebagai kontras Telon) atau diberi aksen merah pekat pada ujung-ujungnya. Kontras antara wajah merah membara dengan rambut hitam legam semakin memperkuat polaritas energi yang ditawarkan oleh kesenian ini.

Pengrajin Barongan Merah seringkali sangat teliti dalam menempatkan rafal. Mereka tidak hanya memasangnya sebagai hiasan, tetapi sebagai ‘penyambung’ antara energi kepala (akal/nafsu) dan energi tubuh (kostum). Rafa yang berwarna merah di beberapa bagian tertentu dapat menjadi titik fokus yang menarik perhatian penonton, menegaskan dominasi warna Merah dalam keseluruhan penampilan Barongan tersebut.

V. Proses Sakral Penciptaan: Ritual dan Penghayatan Jiwa Merah

Pembuatan Barongan Telon Merah bukanlah sekadar proses kerajinan tangan, melainkan ritual yang melibatkan transfer energi dan penghayatan spiritual. Pandhe Dhalang, sang pengukir, seringkali harus menjalankan laku (tirakat) tertentu agar topeng yang ia ciptakan memiliki ‘isi’ atau kekuatan magis (Yoni).

V.A. Tirakat Pemilihan Bahan

Sebelum kapak menyentuh kayu, ritual pemilihan kayu dilakukan. Kayu Dadap yang dipilih harus memiliki karakter khusus, seringkali diambil dari pohon yang tumbuh di tempat wingit (angker) atau di perempatan jalan (pertemuan energi). Pemilihan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kayu tersebut sudah memiliki ‘energi dasar’ yang kuat, yang nantinya akan diperkuat oleh pewarnaan Merah.

Pandhe Dhalang biasanya melakukan puasa atau pantangan sebelum dan selama proses mengukir. Ritual ini bertujuan untuk membersihkan diri dan memfokuskan Prana (energi hidup) mereka ke dalam ukiran. Kesalahan kecil dalam ukiran topeng Barongan Merah dianggap fatal, karena dapat mengganggu keseimbangan energi Merah yang agresif, menyebabkan topeng menjadi ‘liar’ atau sulit dikuasai oleh penari.

V.B. Ritual Pewarnaan Merah

Tahap pewarnaan Merah adalah momen klimaks dalam proses pembuatan. Jika ukiran memberikan bentuk fisik, pewarnaanlah yang memberikan jiwa. Secara tradisional, pengecatan warna Merah sering dilakukan pada hari atau waktu tertentu yang dianggap memiliki energi panas atau keberanian, misalnya pada hari Anggoro Kasih (Selasa Kliwon) atau saat bulan purnama (untuk menyerap energi kosmik yang intens).

Sebelum pigmen Merah diaplikasikan, Pandhe Dhalang biasanya membacakan ‘mantra sumbatan’. Mantra ini berfungsi untuk ‘mengisi’ warna Merah dengan kekuatan amarah Singo Barong yang sesungguhnya. Mereka meyakini bahwa pigmen merah yang sudah diisi energi akan membuat topeng terasa lebih berat dan hangat saat disentuh, seolah-olah memiliki detak jantung sendiri. Penggunaan kuas pun tidak sembarangan; seringkali digunakan kuas dari bulu hewan tertentu atau bahkan rambut yang sudah disucikan, sebagai media penyalur energi.

Perbedaan antara Barongan Merah yang ‘biasa’ dengan Barongan Merah yang ‘berisi’ (pusaka) terletak pada intensitas ritual pewarnaan ini. Barongan pusaka yang didominasi Merah seringkali hanya boleh dipegang oleh Warok yang telah menjalani laku keras, karena energi Merah di dalamnya dianggap terlalu kuat untuk manusia biasa.

Alat Ukir Tradisional Pahat Ukir (Pangot) Palu Kayu Sketsa alat ukir tradisional seperti pahat dan palu kayu, melambangkan proses penciptaan topeng Barongan.
Peralatan sederhana yang digunakan para Pandhe Dhalang dalam mengukir Barongan, sebuah proses yang sarat ritual.

V.C. Simbolisme Aroma dan Penguatan Spiritual

Selain pewarnaan visual, Barongan Telon Merah sering dihubungkan dengan aroma. Setelah topeng selesai diwarnai dan dikeringkan, ia akan diolesi dengan minyak wangi khusus (misalnya Minyak Jafaron atau minyak Gaharu, yang keduanya memiliki warna kemerahan atau aroma kuat yang dianggap ‘panas’). Aroma ini bukan hanya untuk keharuman, tetapi merupakan lapisan energi spiritual terakhir yang memperkuat karakter Merah yang melekat pada topeng, menjadikannya siap untuk dihidupkan dalam pertunjukan.

VI. Barongan Merah dalam Pementasan: Interaksi dan Dinamika Emosi

Kehadiran Barongan Telon Merah di panggung memberikan dinamika emosional yang jauh lebih intens dibandingkan Barongan yang didominasi warna lain (misalnya hijau atau coklat yang lebih netral). Merah mendominasi narasi pertarungan antara naluri dan kearifan.

VI.A. Kontras dengan Karakter Lain

Barongan Merah menjadi fokus kontras utama, terutama ketika berinteraksi dengan:

VI.B. Tarian ‘Kekuatan’ Merah

Penari Barongan Merah (disebut Penggerong) harus memiliki stamina fisik yang luar biasa untuk menopang topeng berat tersebut sambil menyalurkan energi Merah. Gerakan tarian Barongan Merah ditandai oleh:

Saat Barongan Telon Merah ‘Ndadi’ (kerasukan atau mencapai puncak energi), warna merah pada topeng seolah-olah memancarkan panas. Fenomena ini diyakini oleh banyak penonton dan pemain sebagai bukti bahwa topeng tersebut benar-benar telah menyerap energi Singo Barong Sejati, yang selalu diasosiasikan dengan api dan kekuatan Merah yang tak terkalahkan.

VI.C. Reaksi Penonton terhadap Merah

Dalam psikologi visual pertunjukan, warna Merah adalah warna yang paling menarik perhatian dan memicu reaksi emosional yang kuat. Ketika Barongan Merah tampil, penonton merasakan ketegangan, ketakutan, dan kekaguman secara bersamaan. Merah yang intens membuat penonton merasa dekat dengan bahaya, yang merupakan tujuan utama dari tarian Singo Barong—untuk menunjukkan kekuatan yang paling primal dan menakutkan dari alam semesta. Ini adalah pengalaman katarsis, di mana ketakutan dilepaskan melalui apresiasi seni.

VII. Konservasi dan Masa Depan Barongan Telon Merah

Di era modern, konservasi Barongan Telon Merah menghadapi tantangan signifikan, terutama dalam hal mempertahankan otentisitas filosofi dan teknik pembuatannya. Kecepatan produksi seringkali mengorbankan kedalaman ritual dan kualitas spiritual.

VII.A. Tantangan Material dan Otentisitas Pigmen

Saat ini, sebagian besar Barongan diwarnai menggunakan cat sintetik (cat duco atau cat minyak komersial). Meskipun cat sintetik menawarkan warna Merah yang lebih cerah dan tahan lama, ia seringkali kehilangan dimensi spiritual yang inheren dalam pigmen alami (seperti oksida besi atau sari tumbuhan). Barongan Merah modern seringkali hanya memiliki ‘wajah’ merah, tanpa ‘jiwa’ merah yang ditanamkan melalui ritual pewarnaan tradisional.

Upaya konservasi harus fokus pada revitalisasi teknik pengecatan ‘Abang Alami’. Beberapa komunitas Pandhe Dhalang mulai kembali menanam pohon mengkudu atau mencari sumber mineral pewarna Merah tradisional, meski prosesnya jauh lebih lambat dan mahal. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa warna Merah pada Barongan tidak hanya estetis, tetapi juga mempertahankan resonansi mistisnya.

VII.B. Transmisi Pengetahuan Ritual

Tantangan lain adalah transmisi pengetahuan ritual. Filosofi Telon, laku puasa, dan mantra sumbatan yang menyertai ukiran dan pewarnaan Barongan Merah semakin jarang diajarkan secara mendalam kepada generasi muda. Barongan Telon Merah menjadi kurang ‘sekti’ (sakti) karena kurangnya penghayatan spiritual dari pembuatnya.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh beberapa sanggar budaya adalah menciptakan sekolah khusus untuk Pandhe Dhalang yang menekankan laku batin (spiritual practice) sebagai bagian integral dari kerajinan. Hal ini memastikan bahwa energi Merah pada topeng tetap dihormati dan dikendalikan, bukan hanya disalin secara visual.

VII.C. Kedudukan Merah dalam Globalisasi

Ketika kesenian Barongan Telon semakin dikenal dunia, warna Merah menjadi penanda visual yang kuat. Namun, terdapat risiko simplifikasi di mana Merah hanya diartikan sebagai ‘warna yang bagus’ atau ‘agresif’ tanpa pemahaman konteks kosmiknya (sebagai bagian dari Tri Warna). Tugas para budayawan adalah terus menerus mengedukasi bahwa Barongan Telon warna merah adalah narasi visual tentang bagaimana energi amarah, nafsu, dan keberanian (Merah) adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia, yang harus diakui dan diatur dalam bingkai keseimbangan kosmik (Telon).

Dengan melestarikan proses ritual dan memahami filosofi Tri Warna, Barongan Telon Merah akan terus menjadi simbol keagungan budaya Jawa, mewakili kekuatan primal yang abadi, diukir dalam kayu, dan dihidupkan oleh pigmen darah kehidupan yang membara.

🏠 Homepage