Representasi visual gabungan dari dua tokoh
Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah panjang yang diwarnai oleh peran para ulama dalam membentuk peradaban dan keislaman masyarakatnya. Di antara sekian banyak tokoh ulama yang memberikan kontribusi signifikan, nama Abah Anom (Syekh Abdul Qodir bin Abdul Wahab) dan Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kerap disebut sebagai dua figur yang sangat berpengaruh. Meskipun keduanya memiliki latar belakang, jalur dakwah, dan gaya kepemimpinan yang berbeda, jejak pemikiran dan perjuangan mereka senantiasa menjadi sumber inspirasi bagi generasi Muslim Indonesia.
Abah Anom, yang akrab disapa oleh para santrinya dan masyarakat luas, adalah seorang mursyid tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN) yang karismatik. Beliau lahir di Garut, Jawa Barat, dan melanjutkan perjuangan dakwah serta pendidikan pesantren yang telah dirintis oleh leluhurnya. Pesantren Suryalaya, yang dipimpinnya, tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama klasik, tetapi juga mengintegrasikan metode-metode modern dalam pembelajarannya. Abah Anom dikenal sebagai sosok yang visioner, menggabungkan ajaran tasawuf yang mendalam dengan praktik-praktik yang relevan bagi kehidupan masyarakat kontemporer. Beliau menekankan pentingnya pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) melalui dzikir dan ibadah, seraya mengajarkan bahwa keimanan yang kuat harus dibarengi dengan kontribusi positif bagi kemaslahatan umat dan bangsa. Pendekatannya yang inklusif, tanpa memandang latar belakang santri, menjadikan Pesantren Suryalaya sebagai tempat menimba ilmu bagi ribuan orang dari berbagai lapisan masyarakat. Abah Anom juga berperan penting dalam menghidupkan kembali semangat spiritualitas di tengah modernisasi yang semakin pesat, mengajarkan bahwa keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah kunci kebahagiaan sejati.
Berbeda dengan Abah Anom yang berfokus pada ranah tarekat dan pendidikan pesantren, Buya Hamka adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan tokoh pergerakan nasional yang memiliki cakupan dakwah yang sangat luas. Lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, Buya Hamka adalah pribadi yang luar biasa multifaset. Karyanya dalam bidang sastra, seperti novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" dan "Di Bawah Lindungan Ka'bah," tidak hanya menghibur tetapi juga sarat dengan nilai-nilai moral dan keislaman. Sebagai seorang orator ulung dan penulis produktif, Buya Hamka mampu menyampaikan ajaran Islam dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat awam, baik melalui mimbar dakwah, mimbar umum, maupun tulisan-tulisannya di berbagai media massa.
Buya Hamka juga dikenal sebagai pembela akidah Islam yang gigih, terutama di masa-masa penuh gejolak politik dan ideologi. Beliau tidak segan-segan untuk bersuara lantang dalam membantah ajaran yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kecintaannya pada Al-Qur'an tertuang dalam tafsirnya yang monumental, "Tafsir Al-Azhar," yang menjadi rujukan penting bagi banyak kalangan. Melalui karya-karyanya, Buya Hamka berhasil menyajikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, yang selaras dengan perkembangan zaman, serta mampu memberikan jawaban atas berbagai persoalan kehidupan. Ia menunjukkan bahwa keilmuan agama tidaklah bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya.
Meskipun keduanya memiliki area fokus dan gaya penyampaian yang berbeda, Abah Anom dan Buya Hamka memiliki kesamaan mendasar dalam visi mereka untuk kemajuan umat Islam Indonesia. Keduanya sama-sama berjuang untuk menegakkan ajaran Islam yang otentik, memperkuat moralitas masyarakat, dan meningkatkan kualitas keimanan. Abah Anom melakukannya melalui pembinaan spiritual yang intensif di lingkungan pesantren dan tarekat, sementara Buya Hamka melalui dakwah yang luas, karya tulis yang inspiratif, serta partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keberadaan kedua tokoh ini, dalam perbedaan corak perjuangan mereka, menunjukkan kekayaan khazanah keilmuan dan spiritualitas Islam di Indonesia. Mereka menjadi bukti bahwa dakwah dapat dilakukan melalui berbagai jalur, dan setiap jalur memiliki audiens serta dampaknya sendiri. Abah Anom mengingatkan pentingnya ketenangan jiwa dan kedekatan dengan Tuhan melalui zikir dan suluk, sementara Buya Hamka membekali umat dengan pemahaman agama yang luas melalui ilmu dan karya sastra. Keduanya adalah pilar yang kokoh dalam sejarah Islam Indonesia, dan warisan pemikiran serta keteladanan mereka akan terus hidup dan menjadi lentera bagi generasi mendatang.