Simbol persatuan dan interaksi.
Hubungan antara tokoh agama dan penguasa selalu menjadi elemen penting dalam dinamika sosial dan politik suatu negara. Di Indonesia, interaksi antara ulama karismatik dan pemimpin negara seringkali membentuk narasi sejarah yang unik. Salah satu contoh yang menarik untuk dikaji adalah hubungan antara KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin, atau yang lebih dikenal sebagai Abah Anom, mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, dengan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto.
Abah Anom merupakan sosok ulama besar yang memiliki pengaruh luas tidak hanya di kalangan santri dan pengikut tarekatnya, tetapi juga di masyarakat umum. Beliau dikenal sebagai pribadi yang tawadhu', zuhud, dan memiliki kedalaman spiritual yang mendalam. Tarekat TQN yang diasuhnya menjadi salah satu wadah pembinaan spiritual terbesar di Indonesia. Di sisi lain, Soeharto adalah pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari tiga dekade. Keduanya, meski berasal dari latar belakang yang berbeda secara fundamental, pernah menjalin hubungan yang cukup dekat.
Dinamika hubungan antara Abah Anom dan Soeharto dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Presiden Soeharto, yang dikenal sebagai seorang Muslim yang taat, kerap menunjukkan sikap hormat dan penghargaan terhadap para ulama dan tokoh agama. Keberadaan Abah Anom sebagai salah satu pilar spiritual di Indonesia tampaknya mendapatkan perhatian khusus dari Soeharto. Laporan dan kesaksian dari berbagai sumber menyebutkan bahwa Soeharto beberapa kali mengunjungi Pondok Pesantren Suryalaya, bahkan sebelum beliau menjadi presiden.
Kunjungan-kunjungan tersebut bukan sekadar kunjungan seremonial. Seringkali, pertemuan antara keduanya diisi dengan dialog-dialog mendalam mengenai pembangunan spiritual bangsa, masalah-masalah sosial keagamaan, dan upaya menjaga keharmonisan masyarakat. Soeharto tampaknya melihat Abah Anom bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai penyejuk dan penasihat yang dapat memberikan perspektif yang berharga bagi pemerintahannya. Keberadaan tokoh agama yang dihormati seperti Abah Anom dapat menjadi jembatan antara penguasa dan rakyat, serta membantu menjaga stabilitas sosial.
Pada masa Orde Baru, isu stabilitas nasional menjadi prioritas utama pemerintah. Dalam konteks ini, peran ulama seperti Abah Anom menjadi sangat strategis. Dengan basis pengikut yang besar dan pengaruh yang kuat, Abah Anom memiliki potensi untuk mengarahkan massa. Sikap Abah Anom yang senantiasa menyerukan kedamaian, kerukunan, dan ketakwaan kepada Allah SWT, selaras dengan upaya pemerintah untuk menciptakan suasana yang kondusif. Beliau tidak pernah terlibat dalam gejolak politik yang mengancam stabilitas, melainkan fokus pada pembinaan akhlak dan spiritualitas.
Banyak pengamat yang menilai bahwa dukungan, atau setidaknya netralitas yang diberikan oleh tokoh-tokoh agama besar seperti Abah Anom, turut berkontribusi pada keberhasilan Soeharto dalam mempertahankan kekuasaannya dalam jangka waktu yang lama. Abah Anom, melalui pengajian dan ceramahnya, secara tidak langsung turut menanamkan nilai-nilai kepatuhan kepada pemimpin yang sah, selama pemimpin tersebut tidak memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan. Ini adalah prinsip yang umum dalam ajaran Islam.
Meskipun terdapat kedekatan dan saling menghargai, penting untuk diingat bahwa Abah Anom dan Soeharto adalah dua pribadi yang berbeda dengan ranah tugas yang berbeda pula. Abah Anom adalah seorang mursyid tarekat yang fokus pada pembinaan ruhani umat. Beliau bukanlah politisi atau administrator negara. Peranannya lebih bersifat membimbing dan menasihati. Soeharto, sebagai penguasa, memiliki tanggung jawab yang jauh lebih luas terkait tata kelola negara, ekonomi, dan keamanan.
Ada kalanya pandangan atau aspirasi dari kalangan ulama mungkin tidak sepenuhnya sejalan dengan kebijakan pemerintah. Namun, dalam konteks hubungan Abah Anom dan Soeharto, hal tersebut seringkali diselesaikan melalui dialog pribadi dan pendekatan yang bijaksana. Abah Anom dikenal sebagai sosok yang tidak pernah menuntut atau meminta-minta fasilitas duniawi dari penguasa. Fokus utamanya adalah pada peningkatan kualitas spiritual masyarakat.
Kisah hubungan Abah Anom dan Soeharto memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana dialog dan interaksi antara ulama dan penguasa dapat terjalin secara harmonis. Ini menunjukkan bahwa legitimasi spiritual dan dukungan moral dari tokoh agama bisa menjadi aset berharga bagi seorang pemimpin negara, asalkan dijalankan atas dasar saling menghormati dan tanpa adanya pemaksaan kehendak dari salah satu pihak. Dinamika ini juga menegaskan bahwa agama, dalam hal ini Islam, dapat memberikan kontribusi positif bagi stabilitas dan keharmonisan sosial jika para pemeluknya, baik ulama maupun masyarakat awam, mampu memahami peranannya dalam membangun bangsa.
Abah Anom tetap dikenang sebagai seorang ulama besar yang berhasil menjaga independensinya sebagai mursyid tarekat sekaligus menjalin hubungan baik dengan penguasa. Sementara itu, figur Soeharto, di mata sebagian kalangan, juga mendapat citra positif karena kebijakannya yang menghargai ulama. Namun, seperti halnya hubungan antara kekuasaan dan agama, dinamika ini tetap kompleks dan terus menjadi bahan kajian sejarah dan sosial.