Tarian singa, atau yang secara umum dikenal di Asia Tenggara sebagai Barongsai, adalah salah satu manifestasi seni pertunjukan Tiongkok yang paling spektakuler dan penuh makna. Tarian ini bukan sekadar pertunjukan akrobatik; ia adalah ritual sakral, penjaga tradisi, dan pembawa keberuntungan yang dipercaya mampu mengusir roh jahat serta mendatangkan kemakmuran. Namun, di balik istilah umum "Barongsai", terdapat perbedaan gaya, filosofi, dan teknik yang sangat mendasar, terutama antara gaya tarian singa yang berasal dari wilayah Selatan (Nán Shī) dan Utara (Běi Shī) Tiongkok. Perbedaan inilah yang melahirkan kontras antara Barongsai (yang kini lekat dengan gaya Selatan) dan Pekingsai (gaya Utara).
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam evolusi, karakteristik visual, aransemen musik, hingga detail gerakan kompleks yang membedakan dua pilar utama tarian singa Tiongkok ini. Pemahaman tentang Barongsai dan Pekingsai menawarkan jendela yang luas ke dalam sejarah seni bela diri, struktur sosial, dan kepercayaan kosmologis masyarakat Tiongkok selama berabad-abad.
Meskipun sulit untuk menentukan tanggal pasti kemunculan tarian singa, sebagian besar sejarawan setuju bahwa akarnya dapat dilacak kembali ke era Dinasti Tang (abad ke-7 hingga ke-10 Masehi). Singa sendiri bukanlah hewan asli Tiongkok, namun diperkenalkan melalui jalur perdagangan dan menjadi simbol kekuatan, keberanian, dan status kekaisaran dalam Buddhisme. Tarian singa kemungkinan besar berevolusi dari ritual pengusiran penyakit atau perayaan panen yang kemudian diresapi dengan elemen seni bela diri dan opera.
Pekingsai (secara harfiah berarti "Singa Peking", merujuk pada gaya Utara) dikembangkan di wilayah Tiongkok Utara, seperti Beijing, Tianjin, dan provinsi-provinsi di sekitar Sungai Kuning. Gaya ini memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan istana dan pertunjukan akrobatik sirkus. Karena sifat geografis dan iklim yang lebih keras, Pekingsai menekankan kekuatan fisik, kelincahan, dan kemampuan akrobatik ekstrem, seringkali dipertunjukkan di atas panggung tinggi atau di tengah arena yang luas.
Barongsai, khususnya yang dikenal luas di Indonesia, Malaysia, dan diaspora Tiongkok, adalah gaya Nán Shī (Singa Selatan). Gaya ini berasal dari provinsi-provinsi seperti Guangdong (Kanton) dan Fujian, wilayah yang merupakan pusat seni bela diri dan pelabuhan perdagangan utama. Oleh karena itu, Barongsai Selatan tidak hanya bersifat hiburan, tetapi juga merupakan bagian integral dari pelatihan seni bela diri, khususnya gaya Hung Gar dan Choi Lei Fut. Gerakannya lebih ekspresif, menekankan drama, emosi, dan ritual, seringkali menampilkan cerita heroik dan mitologis.
Perbedaan paling mencolok antara Barongsai dan Pekingsai terletak pada penampilan fisik singa itu sendiri. Konstruksi kepala dan tubuh mencerminkan fungsi tarian serta lingkungan budayanya.
Kepala Barongsai Selatan dirancang dengan struktur yang kokoh dan kompleks. Kepala ini biasanya memiliki tanduk (meskipun kadang hanya tonjolan yang samar), mata yang sangat ekspresif, telinga yang besar dan dapat digerakkan, dan mulut yang bisa dibuka lebar, seringkali memperlihatkan gigi taring besar. Kepala ini bisa sangat berat (mencapai 5 hingga 10 kilogram) karena dirancang untuk menahan guncangan saat melakukan gerakan dinamis dan melompat tinggi.
Di Selatan, warna kepala singa sering kali merujuk pada karakter pahlawan dari Kisah Tiga Negara (Sam Kok), menghubungkan tarian dengan nilai-nilai keberanian dan persaudaraan:
Ilustrasi skematis kepala Barongsai Selatan (Nán Shī) yang dikenal karena ekspresinya yang dramatis, mata besar, dan tanduk di dahi.
Pekingsai jauh lebih realistis dalam representasi singa, menyerupai singa yang ditemukan di patung-patung kekaisaran, namun dengan tambahan bulu-bulu yang tebal dan panjang. Kepala Pekingsai lebih ringan, berbentuk bulat, dan seluruhnya ditutupi oleh rambut yang tebal (seringkali berwarna emas atau merah cerah), memberikan kesan yang lebih lembut dan "menggemaskan" seperti anak singa atau anjing Peking.
Kepala Pekingsai memiliki mekanisme mata dan telinga yang lebih sederhana, namun tubuhnya dirancang untuk memaksimalkan gerakan berguling, melompat, dan menyeimbangkan. Rambut panjang (seringkali dari wol atau bahan sintetis) menutupi kaki penari, membuatnya terlihat seperti satu kesatuan makhluk berbulu. Pekingsai sering tampil berpasangan, satu jantan dan satu betina, menekankan interaksi yang ceria dan main-main.
Dalam Pekingsai, seringkali ada karakter tambahan yang menggunakan bola berwarna-warni besar (disebut Xiù Qiú atau Bola Sutra) untuk memprovokasi dan membimbing singa. Bola ini tidak hanya sebagai properti, tetapi juga sebagai fokus akrobatik. Singa Utara akan mengejar, berguling, dan bahkan berdiri di atas bola ini, menunjukkan koordinasi dan kekuatan inti yang luar biasa.
Ilustrasi skematis kepala Pekingsai Utara (Běi Shī). Penampilannya lebih berbulu, bulat, dan seringkali menunjukkan gerakan yang lincah dan jenaka.
Inti dari tarian singa terletak pada gerakan yang meniru sifat singa—rasa ingin tahu, ketakutan, kegembiraan, dan kemarahan—namun disajikan dengan disiplin seni bela diri. Perbedaan filosofi antara Selatan dan Utara tercermin jelas dalam langkah kaki dan tingkat kesulitan akrobatik yang dipilih.
Gerakan Nán Shī didominasi oleh kuda-kuda Kung Fu yang stabil dan bertenaga. Setiap langkah memiliki nama dan makna yang spesifik, diambil dari gaya bertarung seperti *Ma Bu* (kuda-kuda), *Gong Bu* (kuda-kuda busur), dan *Xie Bu* (kuda-kuda silang). Penari depan (kepala singa) harus memiliki kekuatan kaki dan pinggang yang luar biasa untuk menopang berat kepala dan menjaga keseimbangan emosional tarian, sementara penari belakang memberikan kekuatan dorong dan kelenturan untuk tubuh singa.
Cai Qing adalah puncak dari tarian Barongsai Selatan. Qing (sayuran) merujuk pada persembahan keberuntungan, seringkali berupa selada (yang secara fonetik mirip dengan kata 'kemakmuran') yang digantung tinggi bersama angpau. Ritual ini bukan hanya tentang mengambil persembahan, tetapi tentang bagaimana singa mengatasi rintangan (air, ketinggian, jerat, atau cermin). Proses Cai Qing menampilkan urutan gerakan yang kompleks:
Dalam Barongsai kompetisi modern (terutama gaya He Shan), tiang-tiang baja (Jong) digunakan untuk meningkatkan kesulitan. Penari melakukan lompatan, transisi, dan kuda-kuda di atas tiang yang tingginya mencapai tiga meter. Teknik ini membutuhkan sinkronisasi sempurna dan keberanian, sebab satu kesalahan kecil dapat mengakibatkan cedera serius. Ketinggian Jong menekankan status Barongsai sebagai tarian yang menantang batas kemampuan manusia.
Seorang penari Barongsai Selatan yang handal harus menguasai setidaknya dua belas hingga dua puluh kuda-kuda dasar Kung Fu. Kualitas utama dari tarian yang baik adalah Shen (semangat) dan Li (kekuatan batin), bukan hanya Wai Li (kekuatan fisik). Tarian adalah perwujudan energi batin yang diwariskan dari guru bela diri.
Pekingsai lebih fokus pada akrobatik murni, kelenturan, dan kecepatan. Gerakan singa utara meniru tingkah laku anak singa yang bermain, berguling-guling, menggaruk, dan saling berinteraksi. Musik pengiringnya, meskipun masih menggunakan drum, gong, dan simbal, cenderung memiliki tempo yang lebih cepat dan ritme yang lebih lincah untuk mendukung gerakan bergulir dan melompat.
Pekingsai unggul dalam akrobatik lantai, seringkali melibatkan:
Pekingsai sering dipentaskan oleh sepasang singa (jantan, biasanya berkostum kuning atau emas, dan betina, seringkali merah atau hijau). Tarian mereka menekankan interaksi romantis atau persahabatan yang jenaka, berbeda dengan Barongsai Selatan yang fokus pada pertempuran melawan kejahatan atau mengatasi rintangan. Pekingsai sering mengakhiri pertunjukan dengan pose yang harmonis, melambangkan kesatuan dan kedamaian.
Musik adalah jiwa dari tarian singa. Dalam kedua gaya, komposisi drum, gong, dan simbal tidak hanya berfungsi sebagai pengiring, tetapi juga sebagai panduan emosi dan penentu langkah kaki bagi para penari. Drum utama, atau *Da Gu*, berfungsi sebagai detak jantung tarian.
Musik Selatan (terutama gaya Fo Shan) dicirikan oleh ritme yang keras, tegas, dan bervariasi. Ritme drum seringkali lambat, lalu mendadak cepat, dan kembali lambat, meniru detak jantung singa yang sedang waspada, marah, atau riang. Setiap ritme (disebut *Luò*) memiliki makna:
Peran gong dan simbal di Selatan sangat penting dalam menghasilkan "suara singa" yang menggeram. Simbal yang dibenturkan keras memberikan efek agresif yang dramatis.
Musik Utara cenderung lebih ritmis, cepat, dan konstan, tidak terlalu banyak variasi emosi mendadak. Fokusnya adalah menjaga tempo yang tinggi dan energik untuk mendukung gerakan akrobatik dan putaran yang membutuhkan irama yang stabil. Penggunaan alat musik tiup (seperti *Suǒ Nà* atau terompet Tiongkok) lebih umum dalam Pekingsai, memberikan nuansa yang lebih ceria dan sirkus.
Perbedaan inti: Musik Selatan adalah naratif emosional yang menggerakkan tarian, sedangkan Musik Utara adalah latar belakang energik yang memicu akrobatik.
Barongsai dan Pekingsai jauh melampaui pertunjukan fisik; keduanya adalah ritual yang mengakar kuat dalam kepercayaan Tiongkok tentang keberuntungan, perlindungan, dan penghormatan leluhur.
Setiap kepala singa baru, terutama di tradisi Selatan, harus melalui upacara pembukaan mata, atau *Diǎn Jīng*. Ritual ini dilakukan oleh seorang tokoh masyarakat terhormat, seorang biksu, atau seorang master Kung Fu senior. Dengan menggunakan kuas yang dicelupkan ke dalam tinta merah cinnabar, mata, cermin di dahi (cermin untuk memantulkan roh jahat), dan tanduk singa dicat.
Ritual ini dipercaya menanamkan 'roh' atau 'semangat' (Shen) ke dalam kostum yang tadinya hanya kerangka bambu dan kain. Tanpa Dian Jing, singa dianggap mati atau hanya properti. Setelah Dian Jing, singa dianggap hidup dan mampu membawa berkat. Penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi yang sangat ketat, singa yang sudah di-Dian Jing tidak boleh menyentuh tanah sebelum pertunjukan resmi pertamanya, sebagai tanda kesucian.
Dalam pertunjukan Barongsai Selatan, sering muncul sosok konyol berkepala besar yang disebut Biksu Tertawa (*Da Tou Fo*). Karakter ini berfungsi sebagai pemandu, pengusir roh jahat, dan jembatan antara singa yang menakutkan dan penonton. Dengan kipas besar dan sikap jenaka, Biksu Tertawa memprovokasi singa dan membersihkan jalan di depannya. Kehadiran Da Tou Fo menambahkan unsur komedi dan interaksi, namun secara spiritual, ia mewakili sosok bijak yang mampu menjinakkan kekuatan alam liar (singa).
Di Indonesia, tarian singa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Imlek dan budaya Tionghoa-Indonesia. Namun, perjalanan Barongsai di Nusantara sangat dipengaruhi oleh sejarah politik dan sosial.
Selama era Orde Baru (1967–1998), pertunjukan kebudayaan Tionghoa di depan umum, termasuk Barongsai, dilarang secara ketat. Seni ini bertahan secara sembunyi-sembunyi di kelenteng dan dalam komunitas tertutup, menjaga tradisi tetap hidup meskipun tanpa visibilitas publik. Ketika larangan dicabut pada era Reformasi, terjadi kebangkitan Barongsai yang eksplosif. Kelompok-kelompok Barongsai modern, yang dibentuk dengan cepat, didorong untuk meningkatkan standar kompetisi, yang seringkali mengadopsi gaya He Shan dan fokus pada teknik Jong yang spektakuler.
Di Indonesia, istilah "Barongsai" hampir secara eksklusif merujuk pada gaya Selatan (Nán Shī), terutama karena mayoritas migran Tiongkok berasal dari provinsi Selatan (Fujian, Kanton). Pekingsai (Singa Utara) jauh lebih jarang dipentaskan dan seringkali hanya dilihat sebagai variasi tarian yang lebih berfokus pada akrobatik lantai sirkus, bukan sebagai ritual pembawa berkat utama di depan rumah atau toko.
Untuk memahami sepenuhnya kontras antara kedua gaya ini, penting untuk merangkum perbedaan filosofis dan teknis mereka:
| Aspek | Barongsai Selatan (Nán Shī) | Pekingsai Utara (Běi Shī) |
|---|---|---|
| Asal Daerah | Guangdong, Fujian (Selatan) | Beijing, Hebei, Shanxi (Utara) |
| Penampilan Kepala | Ekspresif, mata besar, memiliki tanduk, mulut lebar, berotot. | Lebih realistis/mirip anjing Peking, berbulu tebal, bulat, mata lebih kecil. |
| Kuda-Kuda Utama | Kuda-kuda Kung Fu (Ma Bu, Gong Bu), kuat dan stabil. | Kuda-kuda akrobatik, lincah, penekanan pada kaki depan dan tangan. |
| Fokus Pertunjukan | Ritual Cai Qing, drama emosional, lompatan Jong (tiang tinggi). | Akrobatik lantai, keseimbangan, interaksi jenaka dengan Bola Sutra. |
| Musik | Dramatis, tempo berubah-ubah, keras, meniru emosi singa. | Cepat, stabil, ritmis, sering menggunakan alat musik tiup. |
| Jumlah Penari | Dua orang per singa. | Dua orang per singa, sering tampil berpasangan (Jantan-Betina). |
Baik Barongsai maupun Pekingsai menuntut tingkat sinkronisasi yang melampaui koordinasi fisik biasa. Ini adalah kemitraan yang membutuhkan kesatuan pikiran (*Yi*) dan energi (*Qi*).
Dalam Nán Shī, penari depan dan belakang harus bergerak sebagai satu kesatuan singa yang bernapas. Penari depan mengendalikan ekspresi wajah, emosi, dan kecepatan, sementara penari belakang mengendalikan postur punggung, kekuatan lompatan, dan ekor. Sinkronisasi paling krusial terjadi saat melakukan lompatan Jong. Transisi dari satu tiang ke tiang lain harus dilakukan dalam sepersekian detik. Penari belakang harus menggunakan momentum tubuhnya sebagai pegas, melontarkan singa ke udara sambil memastikan penari depan mendarat tepat pada kuda-kuda yang stabil di tiang berikutnya.
Sebagai contoh, ketika singa melakukan gerakan 'Menggaruk Telinga' (simbol kehati-hatian), penari depan mencondongkan badan, sementara penari belakang harus secara bersamaan mengangkat kaki singa dan menjaganya agar tetap seimbang, semua tanpa terlihat adanya upaya individu.
Pekingsai menekankan pusat gravitasi yang fleksibel. Karena Pekingsai sering tampil di atas properti bergerak (seperti bola besar, atau gulungan bambu), penari harus ahli dalam menjaga keseimbangan meskipun dalam posisi canggung. Misalnya, saat singa berjalan di atas 'jembatan' yang terbuat dari bangku atau papan tipis, penari belakang mungkin harus menopang hampir seluruh beban di lutut dan tumit, sementara penari depan berfokus pada langkah hati-hati dan ekspresi penasaran.
Salah satu gerakan paling menantang adalah "menggulingkan singa di atas punggung". Penari belakang harus berbaring telentang sambil tetap memegang erat penari depan, memungkinkan singa untuk berguling-guling 360 derajat sebelum kembali berdiri. Ini menuntut kekuatan inti yang masif dan kepercayaan mutlak antara dua penari.
Pembuatan kepala Barongsai dan Pekingsai adalah seni tersendiri yang diwariskan secara turun-temurun, terutama di wilayah Guangdong untuk Nán Shī dan Beijing untuk Běi Shī. Proses pembuatan kepala dapat memakan waktu berminggu-minggu, melibatkan teknik tradisional yang sangat spesifik.
Kepala Nán Shī dibuat menggunakan kerangka bambu yang dililit kawat. Kerangka ini kemudian ditutupi kain kasa yang direkatkan dengan lem tradisional (seringkali terbuat dari tepung beras atau kulit hewan). Setelah mengering, kepala menjadi sangat keras. Proses selanjutnya adalah melukis detail wajah, mata, dan sisik (jika ada) dengan cat yang cerah dan menambahkan dekorasi seperti cermin kecil di dahi (untuk menangkal nasib buruk), bulu, dan ekor pom-pom yang besar.
Bobot kepala ini disengaja. Bobot yang signifikan memaksa penari menggunakan kuda-kuda yang kuat dan stabil, yang sesuai dengan filosofi seni bela diri di Selatan yang menekankan basis yang kokoh dan pergerakan dari pinggul, bukan hanya lengan.
Kepala Běi Shī sering menggunakan kerangka yang lebih ringan, kadang-kadang menggunakan material modern atau rotan yang lebih ramping. Fokus utama adalah pada tekstur luar. Rambut dan bulu tebal (dibuat dari wol yak, sutra, atau bahan sintetis tebal) dijahit secara cermat ke permukaan untuk memberikan penampilan singa yang 'beruang' dan ramah. Mekanisme telinga dan mulut seringkali sederhana, karena gerakan Pekingsai lebih banyak mengandalkan kelenturan tubuh daripada ekspresi wajah yang dramatis.
Dalam era modern, baik Barongsai (Selatan) maupun Pekingsai (Utara) terus berkembang, didorong oleh kompetisi internasional. Meskipun gaya Selatan yang didukung Jong mendominasi sirkuit kompetisi global (seperti Genting World Lion Dance Championship), gaya Utara menemukan tempatnya dalam pertunjukan seni dan perayaan kebudayaan yang lebih fokus pada narasi dan interaksi sosial.
Kompetisi telah memaksa standardisasi teknik dan penilaian, namun juga memicu inovasi. Tim-tim modern tidak hanya fokus pada akrobatik, tetapi juga pada narasi yang kaya, seperti kisah singa yang menjelajahi hutan bambu atau mengatasi rintangan air. Inovasi ini memastikan bahwa tradisi tarian singa tetap relevan, menarik bagi generasi muda, sambil tetap menghormati akar seni bela diri dan filosofisnya yang mendalam.
Baik sebagai Barongsai yang gagah berani melompat di atas tiang baja, atau Pekingsai yang lincah bermain dengan bola sutra, tarian singa tetap menjadi simbol abadi dari keberanian, penghormatan, dan harapan akan masa depan yang makmur. Kedua gaya ini, meskipun berbeda dalam penampilan dan teknik, sama-sama mewakili kekayaan luar biasa dari warisan budaya Tiongkok yang terus bergema di seluruh dunia.