Ketika kalender Lunar beralih, sebuah energi yang bergemuruh dan visual yang memukau memenuhi jalanan, pusat perbelanjaan, dan kelenteng di seluruh Nusantara. Energi ini tak lain berasal dari tarian singa yang perkasa, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Barongsai. Lebih dari sekadar pertunjukan akrobatik, Barongsai adalah perwujudan sejarah panjang, filosofi mendalam, dan harapan baru yang dihidupkan kembali dalam setiap ayunan kepala, lompatan dinamis, dan tabuhan drum yang ritmis. Tarian ini telah menjadi penanda universal perayaan Tahun Baru Imlek, menjembatani generasi dan budaya, sekaligus menjadi simbol kuat keberuntungan, kemakmuran, dan pengusiran roh jahat.
Dalam konteks budaya Indonesia, Barongsai memiliki lapisan makna yang lebih kaya. Ia bukan hanya warisan leluhur Tionghoa, melainkan juga bagian integral dari mozaik budaya bangsa, sebuah seni yang telah mengalami proses adaptasi, penindasan, dan akhirnya, kebangkitan yang heroik. Memahami Barongsai berarti menyelami jantung perayaan Imlek itu sendiri—mencari tahu bagaimana gerakan yang agresif dan musik yang nyaring justru membawa pesan damai dan berkah bagi komunitas yang merayakannya.
Visualisasi sederhana kepala Barongsai yang melambangkan kekuatan dan umur panjang.
Barongsai, atau Wu Shi (舞獅) dalam bahasa Mandarin, bukanlah kreasi tunggal, melainkan evolusi dari berbagai kisah dan praktik tarian rakyat selama berabad-abad di Tiongkok. Meskipun asal-usul pastinya sering diperdebatkan, sebagian besar sejarawan setuju bahwa tarian ini mulai menguat pada masa Dinasti Tang (abad ke-7 hingga ke-10) dan terkait erat dengan ritual istana serta perayaan keagamaan.
Kisah yang paling populer dan relevan dengan Imlek adalah legenda tentang Nian (年). Nian digambarkan sebagai makhluk buas yang muncul di akhir setiap siklus tahun untuk memakan hasil panen, ternak, dan bahkan manusia. Masyarakat kuno menemukan bahwa Nian sangat takut pada tiga hal: suara keras, warna merah, dan api. Untuk mengusir Nian, penduduk desa mulai mengenakan kostum singa—singa yang menakutkan dianggap sebagai makhluk yang dapat mengalahkan Nian—diiringi tabuhan drum, gong, dan simbal yang menghasilkan kebisingan memekakkan telinga.
Prinsip inilah yang mendasari seluruh pertunjukan Barongsai hingga hari ini. Setiap pertunjukan Barongsai adalah pengulangan ritual pengusiran bahaya. Bunyi yang ritmis dan keras memastikan bahwa roh-roh jahat dan energi negatif (seperti Nian) tidak dapat berdiam di tempat tersebut, sehingga membuka jalan bagi keberuntungan dan kemakmuran untuk masuk. Oleh karena itu, Barongsai selalu menjadi pembuka yang wajib dalam perayaan besar dan pembukaan usaha baru.
Seiring waktu, tarian singa berkembang menjadi dua gaya utama yang memiliki ciri khas dan filosofi gerak yang berbeda:
Perbedaan filosofis ini krusial: singa Utara lebih ceria dan akrobatik, sementara singa Selatan, yang dikenal di Nusantara, memiliki aura yang lebih berwibawa, kuat, dan penuh misteri, merefleksikan latar belakang mereka dalam tradisi seni bela diri yang ketat.
Kostum Barongsai bukanlah sekadar kain dan rangka; ia adalah manifestasi dari dewa pelindung yang membawa keberuntungan. Setiap elemen, mulai dari warna hingga bentuk mata, memiliki makna simbolis yang mendalam dan berakar pada kosmologi Tiongkok kuno.
Kepala Barongsai, bagian terpenting dari kostum, biasanya terbuat dari bambu, kertas, dan kain yang diperkuat. Desainnya memungkinkan penari di bagian depan untuk mengontrol mata, telinga, dan mulut, menciptakan berbagai ekspresi mulai dari rasa ingin tahu, kegembiraan, hingga kemarahan.
Warna Barongsai tidak dipilih secara acak. Masing-masing warna merepresentasikan karakter sejarah atau konsep filosofis yang berbeda:
Warna-warna ini adalah kode visual yang memungkinkan penonton yang berpengetahuan untuk mengidentifikasi kepribadian singa tanpa perlu diperkenalkan. Singa tua (Kuning/Putih) bergerak lebih lambat dan bijaksana, sementara singa muda (Merah/Hitam) bergerak dengan energi yang cepat dan agresif.
Singa Merah (Guan Gong): Melambangkan keberanian, loyalitas, dan kekuatan. Seringkali merupakan singa utama yang memimpin pertunjukan. Singa Hitam (Zhang Fei): Melambangkan sifat yang cepat, temperamental, dan berani. Gerakannya sangat eksplosif. Singa Kuning (Liu Bei): Mewakili kaisar atau pemimpin, melambangkan kebijaksanaan, keagungan, dan kemakmuran yang bersifat damai. Singa Putih/Perak (Ma Chao): Terkadang dianggap sebagai singa yang sakit atau pemalu, namun juga melambangkan kesucian atau energi baru.
Tanpa musik, Barongsai hanyalah sepasang penari yang mengenakan kostum singa. Musik adalah instruktur, pendorong emosi, dan penjaga ritme yang memastikan gerakan singa memiliki narasi. Komposisi musik Barongsai sangat spesifik dan menggunakan instrumen tradisional yang jumlahnya terbatas namun memiliki resonansi yang luar biasa.
Tiga instrumen utama: Drum, Gong, dan Simbal. Kunci ritme dalam tarian singa.
Setiap instrumen memiliki peran yang tak tergantikan dalam menciptakan melodi non-melodi Barongsai:
Ritme yang paling dasar dan penting adalah ritme "Tiga Bintang", di mana Drum (Tubu), Gong (Da Luo), dan Simbal (Bo) berinteraksi dalam pola 1-2-3 yang menjadi fondasi untuk semua gerakan dan emosi Barongsai. Seorang pemain Barongsai yang handal harus bisa menari seolah-olah mereka adalah perwujudan langsung dari musik tersebut.
Musik ini sangat repetitif namun memiliki variasi ritmis yang tak terbatas. Dalam pertunjukan yang panjang, variasi ritme digunakan untuk menceritakan kisah: ritme air mengalir (saat singa minum), ritme mencari makan (saat singa berburu), dan ritme perayaan penuh kemenangan (saat singa memakan 'sayuran').
Di balik kostum Barongsai yang indah, terdapat dua penari yang harus bekerja dalam sinkronisasi sempurna, menggabungkan kekuatan atletik, seni bela diri, dan pemahaman mendalam tentang karakter singa yang mereka hidupkan.
Penari kepala memegang kendali atas ekspresi dan arah singa. Posisi ini menuntut kekuatan fisik yang luar biasa di bagian atas tubuh, leher, dan bahu, karena ia harus mengangkat, memutar, dan mengayunkan kepala singa yang beratnya bisa mencapai 10 hingga 15 kilogram, sambil terus bergerak lincah. Penari kepala adalah 'otak' singa; ia yang memutuskan kapan singa harus tidur, kapan harus curiga, dan kapan harus melompat.
Penari ekor adalah 'kaki' singa. Perannya adalah memberikan fondasi yang kuat, mendukung berat penari kepala (terutama saat melakukan pengangkatan atau akrobatik), dan memastikan tubuh singa mengalir secara alami dan mulus. Sinkronisasi dengan penari kepala sangat penting; jika penari ekor salah langkah, seluruh ilusi singa yang hidup akan runtuh. Penari ekor harus memiliki kekuatan kaki dan pinggul yang luar biasa untuk menopang posisi yang tidak biasa, seperti posisi kuda-kuda rendah atau posisi berdiri tegak di pundak penari kepala.
Mayoritas penari Barongsai modern berasal dari latar belakang seni bela diri (Wushu atau Kung Fu). Postur dan gerakan dasar Barongsai diambil langsung dari kuda-kuda seni bela diri, seperti kuda-kuda Kuda (Ma Bu), Kucing (Mao Bu), dan Harimau (Gong Bu). Penggunaan kuda-kuda yang tepat memberikan ilusi kekuatan dan stabilitas, bahkan ketika singa sedang melakukan gerakan yang paling sulit, seperti melompat di atas tiang.
Latihan Barongsai yang intensif tidak hanya berfokus pada sinkronisasi; ia juga melibatkan latihan daya tahan, fleksibilitas, dan kekuatan otot inti. Tim yang solid membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai tingkat sinkronisasi di mana dua individu berfungsi sebagai satu makhluk yang bernyawa.
Ritual inti dari setiap pertunjukan Barongsai, terutama di hadapan pebisnis atau tuan rumah, adalah Qing Cai (採青), yang secara harfiah berarti "memetik sayuran" (atau lebih akurat, "mengumpulkan kehijauan").
Dalam Qing Cai, sayuran hijau (biasanya selada, yang melambangkan kemakmuran) digantung di tempat yang tinggi—kadang digantung di atas pintu, kadang diletakkan di tiang, seringkali diselipkan bersama amplop merah berisi uang (*Angpau*). Seluruh pertunjukan Barongsai mengarah pada momen ini.
Singa akan mendekati 'sayuran' dengan rasa ingin tahu, kecurigaan, dan akhirnya, kegembiraan. Gerakannya mungkin menunjukkan rasa takut (mencurigai sayuran itu jebakan), bermain-main (menggoyangkan sayuran), dan akhirnya menyerang dengan cepat. Proses memetik sayuran dan Angpau melambangkan singa yang berhasil menaklukkan tantangan dan membawa pulang keberuntungan serta rezeki bagi tuan rumah.
Setelah berhasil memetik, singa akan mengunyah 'sayuran' tersebut dan memuntahkannya kembali ke arah penonton atau tuan rumah dalam bentuk remah-remah. Tindakan memuntahkan sayuran hijau ini melambangkan penyebaran berkah, kemakmuran, dan energi baik kepada semua yang hadir. Angpau yang diambil adalah hadiah bagi tim penari sebagai imbalan atas pengusiran roh jahat dan penyebaran keberuntungan yang telah mereka lakukan.
Tingkat tertinggi dari keahlian tarian singa Selatan adalah pertunjukan di atas tiang-tiang tinggi yang disebut Mei Hua Zhuang (梅花樁), atau Tiang Bunga Plum. Teknik ini mengubah tarian singa menjadi olahraga akrobatik ekstrem yang membutuhkan presisi, kekuatan inti, dan keberanian luar biasa.
Ilustrasi Tiang Bunga Plum, landasan bagi akrobatik paling ekstrem dalam Barongsai.
Tiang-tiang ini terbuat dari baja atau kayu, memiliki tinggi bervariasi (hingga tiga meter) dan ditempatkan dengan jarak yang menantang. Jarak antar tiang seringkali memerlukan lompatan jauh yang dilakukan hanya dengan mengandalkan momentum dan koordinasi tim yang sempurna.
Tujuan dari Mei Hua Zhuang adalah untuk meniru gerakan singa yang mencari makanan atau melewati medan yang sulit, seperti melompati batu-batu di sungai atau tebing curam. Gerakan yang paling spektakuler termasuk:
‘Crossing the Gorge’ (Melintasi Jurang): Di mana singa melompat dari tiang ke tiang yang jaraknya lebar, seringkali dengan pendaratan di satu kaki penari ekor. ‘Sleeping Lion’: Posisi di mana singa berbaring di atas tiang yang tinggi, menunjukkan kelelahan dan kemudian bangun dengan kejutan yang tiba-tiba. ‘The Summit Jump’: Lompatan akhir ke tiang tertinggi, seringkali diakhiri dengan pose kemenangan yang kuat.
Pertunjukan di atas tiang bukan hanya pameran keterampilan fisik, tetapi juga menunjukkan kerendahan hati dan disiplin. Satu kesalahan kecil dapat menyebabkan cedera serius, oleh karena itu, keberhasilan Mei Hua Zhuang adalah hasil dari kerja tim yang hampir mistis dalam sinkronisasi.
Di Indonesia, sejarah Barongsai jauh lebih dramatis dan kompleks dibandingkan di negara lain. Tarian ini bukan hanya seni pertunjukan; ia adalah indikator kebebasan berekspresi budaya minoritas yang sempat terenggut.
Setelah peristiwa politik pada pertengahan abad ke-20, Barongsai dan ekspresi budaya Tionghoa lainnya dilarang tampil di depan umum. Selama periode yang panjang ini, Barongsai hanya bisa dipertunjukkan secara sembunyi-sembunyi di dalam kelenteng atau komunitas terbatas. Seni ini terancam punah; banyak master yang menua tanpa bisa menurunkan ilmunya secara terbuka, dan generasi muda tidak memiliki kesempatan untuk belajar atau mengapresiasi warisan ini.
Kelompok-kelompok Barongsai bertahan dengan risiko besar. Mereka melatih para penerus di ruang-ruang tertutup, menjaga kostum tetap tersembunyi, dan memastikan ritme drum tetap hidup dalam ingatan kolektif. Periode ini membuktikan daya tahan dan loyalitas komunitas terhadap warisan mereka, bahkan di bawah tekanan sosial dan politik yang berat.
Titik balik bersejarah terjadi pada awal abad ini. Dengan adanya reformasi dan kebijakan inklusif yang mengakui kembali identitas Tionghoa sebagai bagian integral dari Indonesia, Barongsai dan perayaan Imlek diizinkan kembali tampil di ruang publik.
Pengakuan ini secara resmi membuka pintu bagi kebangkitan Barongsai. Seketika, seni yang tersembunyi ini meledak di panggung nasional. Tim-tim baru bermunculan, master-master lama kembali mengajar, dan kompetisi Barongsai mulai diselenggarakan, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga internasional.
Kebangkitan ini sangat penting karena Barongsai kini tidak lagi dianggap sebagai "budaya asing" tetapi sebagai kekayaan budaya Indonesia. Banyak tim Barongsai modern terdiri dari anggota dari berbagai latar belakang suku dan agama, menjadikan tarian ini contoh nyata dari Bhinneka Tunggal Ika dalam praktik.
Kehadiran Barongsai selama perayaan Imlek melampaui hiburan semata. Ia memiliki fungsi spiritual dan juga dampak ekonomi yang signifikan.
Secara spiritual, singa adalah makhluk suci yang memiliki kekuatan untuk membasmi energi Sha (energi negatif). Ketika Barongsai menari di sekitar rumah atau toko, gerakan agresifnya, ditambah dengan kebisingan instrumen, dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat yang mungkin berdiam sejak tahun sebelumnya. Ini adalah ritual pembersihan tahunan.
Pembersihan ini sangat spesifik. Singa akan menari di setiap sudut ruangan, di depan pintu masuk, dan di area keuangan. Di toko-toko, Barongsai akan mendekati mesin kasir atau brankas, 'memberi makan' Angpau kepada singa di area tersebut, yang dipercaya akan melipatgandakan rezeki di tahun yang baru.
Secara ekonomi, Barongsai adalah magnet. Kehadirannya di pusat perbelanjaan, hotel, dan kawasan komersial adalah jaminan keramaian. Pengusaha tahu bahwa mengundang Barongsai saat Imlek bukan hanya untuk memancing rezeki, tetapi juga untuk menarik pelanggan dan menciptakan suasana perayaan yang meriah.
Pertunjukan Barongsai yang spektakuler menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi pemasaran musim Imlek. Hal ini menciptakan industri jasa pertunjukan yang mapan, memberikan penghidupan bagi para penari, pembuat kostum, dan musisi, sehingga Barongsai menjadi roda penggerak ekonomi mikro selama musim perayaan.
Meskipun Barongsai telah menikmati kebangkitan yang luar biasa, pelestariannya di masa depan menghadapi tantangan yang unik di tengah arus modernitas yang deras. Transformasi seni pertunjukan ini harus dijaga agar tetap relevan tanpa kehilangan esensi tradisinya.
Barongsai adalah seni yang menuntut disiplin tingkat tinggi. Latihan fisik yang keras, dedikasi waktu yang intensif, dan risiko cedera dapat menyurutkan minat generasi muda yang terbiasa dengan hiburan instan. Salah satu tantangan terbesar bagi perkumpulan Barongsai adalah meyakinkan kaum muda untuk berkomitmen pada pelatihan jangka panjang yang dibutuhkan untuk menguasai gerakan dan teknik Mei Hua Zhuang.
Oleh karena itu, banyak perkumpulan mulai mengintegrasikan latihan Barongsai dengan olahraga modern dan nutrisi yang terencana, menjadikan praktik ini lebih menarik secara atletis. Mereka menekankan bahwa Barongsai adalah olahraga yang kompetitif di tingkat internasional, bukan sekadar tarian ritual.
Di masa depan, Barongsai juga harus berinovasi. Beberapa tim mulai memasukkan elemen pertunjukan cahaya (LED Barongsai) atau bahkan menggabungkan musik tradisional dengan aransemen modern untuk menarik perhatian audiens yang lebih luas. Namun, esensi—gerakan yang didorong oleh drum dan filosofi pengusiran roh jahat—harus tetap menjadi intinya.
Globalisasi juga telah membawa Barongsai ke panggung kompetisi dunia, di mana tim-tim Indonesia seringkali menorehkan prestasi gemilang. Prestasi ini semakin memperkuat status Barongsai sebagai warisan budaya yang dihormati, memotivasi atlet-atlet muda untuk mendedikasikan diri pada seni ini dan membawa nama Indonesia di kancah internasional.
***
Sebagai penutup dari perbincangan mendalam ini, Barongsai bukan hanya kemeriahan sesaat yang muncul dan menghilang setelah Tahun Baru. Ia adalah narasi yang terus berlanjut tentang ketahanan, adaptasi, dan semangat abadi untuk mencari keberuntungan dan kemakmuran. Setiap lompatan, setiap raungan, dan setiap tabuhan drum adalah deklarasi harapan baru, sebuah janji bahwa setelah kesulitan, kemakmuran pasti akan datang.
Pertunjukan Barongsai yang kita saksikan di perayaan Imlek merupakan gabungan sempurna antara seni, spiritualitas, dan olahraga. Ini adalah persembahan visual dan auditori yang mampu membangkitkan semangat, mengusir kegelapan, dan menyambut cahaya masa depan. Dalam setiap penampilan, kita melihat warisan yang dijaga dengan gigih, sebuah tarian singa yang kini berdiri tegak sebagai simbol inklusifitas dan kekayaan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya.
Membedah Barongsai memerlukan pemahaman mendalam terhadap bahasa tubuh yang digunakan oleh penari. Gerakan singa ini didasarkan pada observasi perilaku singa, kucing, dan juga kuda-kuda seni bela diri, diatur secara ketat oleh ritme musik. Setiap pola gerak memiliki nama spesifik dan menunjukkan keadaan emosional atau aktivitas tertentu yang sedang dilakukan oleh singa.
‘Tidur dan Bangun’ (Sleeping and Waking): Pertunjukan sering dimulai dengan singa yang tampak tertidur, kepalanya diam, dan badannya terkulai. Drum akan berdetak sangat perlahan. Ketika drum tiba-tiba memukul keras, singa ‘terbangun’ dengan sentakan, mengibaskan kepala dan matanya, mengekspresikan kejutan. Gerakan ini melambangkan dimulainya tahun yang baru atau aktivitas baru. Penari kepala harus menciptakan ilusi berat dan kantuk sebelum tiba-tiba menjadi lincah.
‘Bersisir dan Membersihkan Diri’ (Grooming): Setelah bangun, singa akan membersihkan diri. Ini melibatkan gerakan di mana kepala singa mencondongkan diri ke bawah, menyentuh tanah, dan mengibaskan ekor. Gerakan ini bukan sekadar filler; ia menunjukkan kerapian dan kesiapan singa, mencerminkan nilai-nilai disiplin dalam budaya Tionghoa.
‘Mengendus dan Mencurigai’ (Sniffing and Suspicion): Saat mendekati area baru, atau saat melakukan Qing Cai, singa akan bergerak maju dengan hati-hati. Kepala akan bergerak naik-turun secara halus, mulut membuka dan menutup dengan cepat seolah-olah mengendus udara. Ini adalah ekspresi kecurigaan atau antisipasi. Penari ekor akan menjaga kuda-kuda sangat rendah, siap untuk melompat atau menghindar.
Kuda-kuda (stance) adalah fondasi kekuatan dan ekspresi dalam Barongsai. Perubahan kuda-kuda harus sinkron dan mulus antara penari depan dan belakang:
Kesempurnaan pertunjukan dinilai dari seberapa baik penari dapat menggabungkan gerakan-gerakan ini menjadi narasi yang kohesif. Gerakan singa harus memiliki niat, mulai dari rasa ingin tahu yang lucu hingga kegembiraan yang berapi-api atau kemarahan yang mengancam.
Selain Barongsai itu sendiri, beberapa figur dan simbol lain sering menyertai pertunjukan, menambah dimensi naratif dan humor.
Tokoh yang paling sering menyertai Barongsai adalah Da Tou Fo, atau 'Kepala Besar Buddha' (meskipun ia lebih mirip seorang biksu nakal). Ia adalah sosok yang lucu, mengenakan topeng dengan senyum lebar dan membawa kipas besar.
Peran Da Tou Fo adalah pemandu dan provokator. Ia mengolok-olok singa, menuntunnya menuju sayuran, dan berinteraksi langsung dengan penonton. Kehadiran Da Tou Fo memberikan kontras yang diperlukan; sementara Barongsai adalah simbol kekuatan dan ketakutan, Da Tou Fo mewakili kegembiraan, keceriaan, dan humanisme. Ia membuat tarian yang mungkin terlihat mengintimidasi menjadi ramah bagi anak-anak dan penonton umum.
Meskipun Barongsai (Singa) adalah yang paling dominan, terkadang dalam perayaan yang lebih besar, tarian singa ditemani oleh makhluk mitologi lain, seperti Qilin (Kylin) atau Tarian Naga (Liongtou).
Qilin: Makhluk mitologis yang merupakan perpaduan beberapa hewan, dikenal sebagai pembawa keberuntungan dan tanda datangnya tokoh bijak. Tarian Qilin biasanya lebih lambat, lebih anggun, dan ritualistik dibandingkan Barongsai, sering dipentaskan dalam upacara khusus atau pernikahan, melambangkan kebahagiaan dan kesuburan.
Sementara Barongsai fokus pada pengusiran roh jahat dan mencari kekayaan, makhluk lain seperti Naga sering melambangkan kekuasaan, hujan, dan kesuburan yang lebih luas, memberikan spektrum pertunjukan Tiongkok yang lebih lengkap.
Kostum Barongsai yang kita lihat di jalanan adalah hasil dari seni kerajinan tangan yang teliti, yang menggabungkan keterampilan tradisional dan bahan modern untuk mencapai estetika dan fungsionalitas yang diperlukan untuk pertunjukan atletik.
Kepala Barongsai tradisional dibuat menggunakan kerangka bambu yang ringan namun kokoh, yang kemudian ditutup dengan lapisan kertas, kain, dan diperkuat dengan lem khusus. Proses ini memastikan kepala cukup tahan lama untuk menahan benturan selama lompatan akrobatik, namun cukup ringan agar penari kepala dapat melakukan gerakan yang cepat dan mengayunkan kepala.
Desain dan lukisan kepala merupakan pekerjaan yang sangat artistik. Lukisan mata, tanduk, dan detail wajah harus sesuai dengan standar tradisional. Seniman tidak hanya melukis, tetapi juga 'menghidupkan' singa, seringkali melalui upacara penyucian dan ritual ‘menambahkan mata’ (Hok Shan) setelah kostum selesai, memberikan jiwa pada Barongsai tersebut.
Pakaian badan dan ekor Barongsai biasanya terbuat dari kain yang kuat, seperti satin atau beludru, dihiasi dengan payet, cermin kecil, dan bulu sintetis yang berwarna-warni. Penggunaan payet dan cermin bertujuan untuk memantulkan cahaya, membuat singa tampak berkilauan dan mencolok di keramaian. Hal ini menambah efek visual yang meriah dan berfungsi sebagai salah satu elemen yang dipercaya dapat menakut-nakuti roh jahat.
Pembuatan kostum Barongsai, terutama kepala, adalah profesi khusus yang membutuhkan keahlian turun-temurun. Setiap kepala memiliki ciri khas unik, mencerminkan gaya seni sang pembuat dan tradisi tim yang memesannya.
Di era globalisasi, Barongsai telah bertransformasi dari sekadar tarian ritual menjadi olahraga kompetitif yang diakui secara internasional. Federasi Barongsai di seluruh dunia, termasuk di Asia Tenggara, menetapkan standar dan aturan yang ketat, terutama untuk kategori Mei Hua Zhuang.
Dalam kompetisi, tim Barongsai dinilai berdasarkan berbagai kriteria, yang jauh lebih kompleks daripada pertunjukan ritual:
Peralihan ke format kompetisi telah mendorong para penari untuk melatih tubuh mereka layaknya atlet Olimpiade. Mereka harus memiliki daya tahan kardio yang luar biasa, kekuatan otot eksplosif, dan kemampuan untuk fokus di bawah tekanan yang sangat tinggi.
Tim-tim Barongsai dari Indonesia dikenal memiliki teknik dan semangat yang kuat. Dengan sejarah yang kaya dalam seni bela diri dan semangat kebangkitan pasca-pelarangan, tim-tim ini telah membuktikan diri mampu bersaing dengan tim-tim dari Tiongkok, Malaysia, dan negara-negara lain yang memiliki tradisi Barongsai yang panjang. Keikutsertaan dan kemenangan dalam kompetisi internasional tidak hanya membanggakan komunitas Tionghoa, tetapi juga mengangkat citra Indonesia sebagai negara yang menghargai dan melestarikan keragaman budayanya.
Di luar arena kompetisi dan kelenteng, Barongsai terus beradaptasi dengan budaya modern, memastikan relevansinya bagi generasi yang serba digital. Integrasi Barongsai dalam media dan hiburan menjadi kunci pelestariannya.
Salah satu inovasi terbesar adalah penggunaan lampu LED yang dipasang di kepala dan tubuh Barongsai. Barongsai LED memungkinkan pertunjukan yang memukau di malam hari atau di dalam ruangan gelap, mengubah tarian tradisional menjadi pengalaman visual yang futuristik dan spektakuler. Penggunaan teknologi ini, meskipun memodifikasi tampilan tradisional, membantu menarik perhatian audiens muda yang mendambakan elemen modernitas.
Selain itu, terkadang musik Barongsai digabungkan dengan genre musik modern. Meskipun para puritan mungkin keberatan, fusion semacam ini membantu memperkenalkan seni Barongsai kepada khalayak yang belum pernah terpapar pada tabuhan drum tradisional Tiongkok.
Barongsai sering muncul dalam film-film yang merayakan Imlek atau seni bela diri, memperkuat citranya sebagai simbol budaya yang dinamis. Representasi ini, baik di layar lebar maupun melalui media sosial, membantu mendokumentasikan dan mempopulerkan gerakan-gerakan dan filosofi tarian singa kepada audiens global.
Kehadiran Barongsai di platform media sosial, dengan klip-klip pendek aksi akrobatik di atas tiang yang viral, menunjukkan bahwa seni berusia ribuan tahun ini masih dapat menarik perhatian dan kekaguman di era informasi yang cepat. Ini adalah cara modern bagi warisan budaya untuk melakukan regenerasi dan menemukan pengagum baru.
Karena Barongsai adalah tarian ritual dengan akar spiritual, ada etika dan aturan tak tertulis yang harus ditaati oleh penari dan penonton selama pertunjukan berlangsung.
Sebelum dan sesudah pertunjukan, kostum Barongsai diperlakukan dengan penuh hormat. Kepala singa tidak boleh diletakkan di lantai. Penari harus membersihkan diri dan berkonsentrasi sebelum memasuki kostum. Selama menari, singa tidak boleh menoleh ke belakang sepenuhnya; gerakan singa harus selalu menghadap ke depan atau samping, mencerminkan kewaspadaan dan martabat.
Selain itu, penggunaan kostum di luar konteks ritual atau perayaan harus dihindari. Kostum adalah benda suci yang membawa jiwa, bukan sekadar pakaian. Kepercayaan ini memastikan bahwa tarian tersebut dilakukan dengan niat yang benar, yaitu untuk membawa keberuntungan, bukan sekadar untuk mencari sensasi.
Bagi penonton, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: jangan pernah menyentuh kepala Barongsai tanpa izin, terutama bagian tanduk atau cerminnya. Menyentuh kepala dapat dianggap sebagai tindakan tidak hormat dan dapat mengganggu ‘jiwa’ singa. Selain itu, penonton dianjurkan untuk memberikan ruang yang cukup bagi singa untuk bergerak, terutama saat mereka melakukan aksi akrobatik atau saat berinteraksi dengan Qing Cai.
Tindakan memberikan Angpau kepada Barongsai, meskipun bersifat transaksional (memberi imbalan atas berkah), juga harus dilakukan dengan penuh rasa hormat. Angpau harus diberikan secara langsung, bukan dilempar, ke arah mulut singa yang terbuka, sebagai tanda hormat dan penerimaan berkat dari singa tersebut.
Barongsai, dengan segala kompleksitas sejarahnya, keindahan geraknya, dan kedalaman filosofisnya, adalah salah satu warisan budaya Tiongkok yang paling sukses berintegrasi dan dicintai di Indonesia. Ini adalah seni yang terus hidup, bergemuruh, dan membawa harapan di setiap perayaan Imlek.
Dalam setiap tabuhan drum, Barongsai merayakan bukan hanya awal tahun baru, tetapi juga semangat abadi komunitas, keberanian, dan janji kemakmuran bagi seluruh Nusantara.