I. Pengantar Kedalaman Warna Hijau dalam Tradisi Barongan
Dalam lanskap seni pertunjukan tradisional Jawa dan Bali, Barongan, atau lebih dikenal sebagai Singa Barong di beberapa daerah, seringkali tampil dengan warna-warna yang mencolok dan tegas: merah menyala, hitam pekat, dan terkadang putih gading. Warna-warna ini merepresentasikan kekuatan primal, keberanian, atau sisi magis yang mengakar kuat. Namun, terdapat sebuah anomali visual yang memegang tempat istimewa dan seringkali dianggap langka serta memiliki kekhususan spiritual yang tinggi: Barongan yang mengenakan mahkota dan rupa dengan dominasi warna hijau.
Barongan yang warna hijau bukanlah sekadar variasi estetika biasa. Ia adalah manifestasi visual dari sebuah narasi yang berbeda, sebuah simbolisme yang menghubungkan roh hewan buas tersebut langsung dengan alam semesta, hutan tropis Indonesia, dan konsep kesuburan abadi (fertilitas). Sementara merah sering dikaitkan dengan darah dan nafsu (amara), serta hitam dengan kekuatan gaib atau kematian (kematian), hijau mewakili kehidupan yang berkelanjutan, kemakmuran, dan yang paling penting, keseimbangan antara dunia manusia dan dunia roh. Ia adalah jembatan yang terbuat dari lumut dan dedaunan, menghubungkan kita kembali pada esensi keberadaan purba.
Eksplorasi terhadap Barongan warna hijau memerlukan penyelaman yang jauh melampaui pigmen cat semata. Kita harus menelusuri akar filosofis yang membuatnya muncul dalam ritual tertentu, teknik pembuatan yang berbeda, dan peran spesifiknya dalam pementasan, terutama yang melibatkan ritual ruwatan atau pembersihan desa. Di beberapa komunitas, Barongan hijau dipandang sebagai perwujudan Kebo Ijo yang telah 'disucikan', atau sebagai refleksi dari dewa-dewa yang bertahta di pegunungan yang diselimuti kabut dan lumut tebal. Kehadirannya di panggung selalu membawa aura ketenangan yang menindas, sebuah kontras yang menarik dibandingkan gejolak energi yang dibawa oleh Barongan merah yang agresif.
Topeng Barongan Hijau: Representasi langka dari kekuatan spiritual alam dan hutan tropis.
II. Simbolisme Hijau: Antara Kesuburan, Keagungan, dan Ketidakpastian
Dalam budaya Nusantara, warna hijau memiliki konotasi yang sangat berlapis. Memahami Barongan hijau berarti mengurai lapisan-lapisan makna ini, yang jauh lebih kompleks daripada sekadar representasi flora.
A. Hijau sebagai Pusaka Alam (Kesuburan dan Kehidupan)
Barongan adalah simbol energi alam liar. Jika ia berwarna hijau, ia secara langsung dihubungkan dengan dewa-dewa bumi dan air. Hijau lumut (lumutan) dan hijau daun (godongan) adalah warna yang mendominasi kepulauan Indonesia. Barongan hijau mewakili musim tanam yang sukses, hasil panen yang melimpah, dan perlindungan dari kekeringan. Dalam konteks pertanian, memanggil Barongan hijau dalam ritual dipercaya dapat menjamin tanah tetap subur dan hujan turun tepat waktu. Ini adalah Barongan yang paling dekat dengan peran Dewi Sri (Dewi Padi), meskipun dalam wujud yang garang. Ia adalah penjaga lumbung padi yang perkasa.
Kekuatan hijau ini adalah energi regeneratif. Ia menunjukkan siklus kehidupan yang tidak pernah berhenti. Ketika Barongan lain mungkin mewakili puncak amarah atau kehancuran, Barongan hijau mewakili kelahiran kembali setelah kehancuran tersebut. Ia adalah janji akan pemulihan, sebuah pemahaman mendalam bahwa setelah setiap kemarau, pasti akan datang hujan yang menghidupkan kembali. Keseimbangan ekologis yang diwakilinya sangat penting, terutama bagi masyarakat yang hidup sangat bergantung pada ritme alam. Setiap detail garis hijau pada ukiran maskara Barongan ini seolah menjadi peta vegetasi pegunungan yang sakral.
B. Hijau dan Kekuasaan (Warna Kerajaan dan Spiritual)
Di beberapa kerajaan Islam Jawa, terutama di masa Kesultanan Mataram, hijau sering digunakan sebagai warna keagungan dan spiritualitas yang tinggi. Ini bukan hanya karena asosiasi dengan agama, tetapi juga karena kesulitan mendapatkan pigmen hijau alami yang stabil dan cerah di masa lalu, menjadikannya warna yang mahal dan berstatus tinggi. Barongan hijau, dalam interpretasi ini, mungkin terkait dengan roh-roh leluhur yang telah mencapai kesempurnaan spiritual (moksa), atau dengan singa gaib yang menjaga keraton. Ia bukan lagi sekadar binatang liar, melainkan Singa Raja yang dihormati.
Aspek keagungan ini memberikan Barongan hijau fungsi ganda: ia menakutkan karena kekuatannya, namun ia juga dihormati dan dipuja karena kemuliaannya. Ia dapat menahan bala (bencana) dan mengusir roh jahat, bukan karena ia lebih brutal, tetapi karena aura kesuciannya menolak kehadiran energi negatif. Hal ini membedakannya dari Barongan merah yang mungkin cenderung memerangi energi jahat dengan kekerasan yang setara; Barongan hijau mengusirnya dengan frekuensi energi yang lebih tinggi dan murni.
C. Hijau sebagai Ketidakpastian dan Transisi
Meskipun sering dikaitkan dengan ketenangan, hijau juga berada di persimpangan kuning (kekuningan, tanda penyakit atau kekhawatiran) dan biru (ketenangan, kedalaman). Dalam dunia Barongan, yang sarat dengan dualisme, hijau bisa juga mewakili keadaan trance yang ekstrem, di mana penari berada di ambang kesadaran dan ketidaksadaran. Ia adalah warna transisi, keadaan di mana batas antara dunia nyata dan dunia gaib menjadi tipis.
Dalam pertunjukan Jathilan atau Reog yang melibatkan kerasukan (ndadi), penari yang kerasukan Barongan hijau seringkali menunjukkan gerakan yang berbeda—lebih anggun namun liar, lebih terfokus pada ritual daripada agresi fisik semata. Ia melambangkan kekuatan spiritual yang belum sepenuhnya dijinakkan, atau malah telah mencapai tingkatan pengendalian diri yang sangat tinggi, sehingga ia mampu mengarahkan energi primal tersebut tanpa perlu kekerasan visual yang eksplisit. Kontrasnya terlihat jelas: gerakannya mungkin tidak secepat yang merah, namun kekuatannya terasa lebih berat, lebih membumi, seolah-olah penari tersebut membawa beban seluruh hutan di punggungnya.
III. Anatomi Rupa Barongan Hijau: Detail Ukiran dan Pigmen Langka
Perbedaan Barongan yang warna hijau tidak hanya terletak pada catnya, melainkan juga pada struktur ukiran dan material yang digunakan. Para pengukir (undagi) yang dipercaya membuat Barongan hijau biasanya adalah mereka yang memiliki garis keturunan spiritual tertentu atau yang telah menjalani ritual penyucian yang ketat.
A. Pemilihan Kayu dan Pewarnaan
Untuk mendapatkan resonansi spiritual yang sesuai dengan warna alam, Barongan hijau seringkali diukir dari jenis kayu tertentu yang diyakini memiliki ‘jiwa’ yang dingin atau netral, seperti kayu bendo (Artocarpus elasticus) atau kayu nangka (Artocarpus heterophyllus) yang telah di-‘tirakat’-kan. Kayu ini dipilih karena dipercaya dapat menahan energi hijau, yang merupakan energi penenang.
Proses pewarnaan hijau sendiri adalah tantangan besar. Di masa lalu, pigmen hijau sering didapatkan dari zat alami, seperti tumbukan daun indigo yang dicampur dengan tawas, menghasilkan warna hijau kebiruan (hijau daun pisang), atau pigmen yang berasal dari mineral tembaga yang menghasilkan hijau zamrud (hijau permata). Barongan hijau yang otentik seringkali tidak menggunakan satu jenis hijau saja, melainkan gradasi dari hijau lumut, hijau tua (seperti dasar laut), hingga hijau cerah yang muncul di bagian taring atau hiasan mata. Gradasi ini menciptakan kesan kedalaman, seolah-olah wajah Barongan tersebut adalah kanopi hutan belantara yang disinari matahari pagi.
Penerapan pigmen ini sangat sakral. Setelah ukiran selesai dan sebelum pewarnaan, topeng akan menjalani ritual ‘pemberian makan’ (sesajen) dan penyucian dengan air bunga tujuh rupa. Warna hijau yang diterapkan bukan sekadar lapisan penutup, melainkan sebuah 'busana' yang harus selaras dengan roh yang akan mendiami topeng tersebut. Jika pigmennya gagal, dipercaya roh penjaga hutan akan menolak bersemayam di dalamnya, menjadikan Barongan itu hanya sebuah patung tanpa daya hidup.
B. Wajah dan Ekspresi (Mimik yang Kompleks)
Topeng Barongan hijau cenderung memiliki ekspresi yang lebih stoik dan bijaksana dibandingkan saudaranya yang merah, yang seringkali memiliki raut wajah yang lebih liar dan menantang. Meskipun memiliki taring yang menakutkan dan mata melotot, garis-garis wajah Barongan hijau seringkali sedikit lebih halus di area alis dan dahi, menunjukkan kebijaksanaan yang tersembunyi di balik kegarangan.
Matanya, meskipun menyala, mungkin berwarna emas tua atau kuning kunyit, berbeda dengan mata Barongan merah yang sering berwarna merah darah atau putih tulang. Warna emas ini kembali menegaskan status keramat dan agung, mengingatkan bahwa kekuatan Barongan ini berasal dari otoritas spiritual, bukan hanya kekerasan fisik. Matanya memancarkan kedalaman hutan yang tak terjamah, sebuah pandangan yang menembus ilusi dan melihat langsung pada kebenaran. Bibirnya mungkin dihiasi dengan sedikit merah muda atau ungu tua, kontras yang menarik, yang melambangkan buah-buahan hutan atau darah kurban yang telah diserap dan disucikan oleh kekuatan hijau.
C. Rambut dan Janggut (Ijuk dan Dedominasi)
Rambut atau surai (ijuk) Barongan hijau biasanya sangat lebat dan panjang, seringkali menggunakan serat ijuk berwarna hitam pekat yang dikombinasikan dengan untaian tali berwarna hijau lumut atau hijau army. Kombinasi ini bertujuan untuk menciptakan tekstur yang menyerupai semak belukar lebat atau lumut yang tumbuh di batu-batu purba. Pergerakan surai ini saat menari bukan hanya visual, tetapi juga akustik—bunyi gesekan ijuk yang berat menambah aura misterius saat Barongan itu bergerak lambat. Di beberapa daerah, Barongan hijau memiliki janggut dari serat kelapa yang dicelup hijau tua, memberikan kesan usia dan kebijaksanaan yang mendalam, seolah-olah ia adalah kakek moyang dari semua Barongan yang lain.
Hiasan (sumping dan jamang) Barongan hijau juga seringkali menggunakan motif flora. Daun-daunan, sulur-suluran, dan bunga teratai mendominasi ukiran di sekitar telinga dan mahkota, menggantikan motif api atau taring yang dominan pada varian lain. Penggunaan batu akik hijau (chrysoprase) atau permata hijau tiruan pada dahi Barongan ini berfungsi sebagai mata ketiga, fokus energi yang dipercaya dapat menyerap kekuatan astral dari pepohonan besar.
IV. Narasi dan Mitologi Barongan Hijau: Sang Penjaga Hutan Purba
Dalam khazanah cerita rakyat, setiap warna Barongan memiliki perannya sendiri. Jika Barongan merah sering dikaitkan dengan Bathara Kala atau roh-roh ganas yang harus dijinakkan, Barongan hijau dikaitkan dengan mitos yang lebih tua, yang berakar pada penyembahan alam dan roh pelindung kawasan.
A. Kebo Ijo dan Transformasi Spiritual
Salah satu narasi populer di Jawa Timur menghubungkan Barongan hijau dengan kisah Kebo Ijo. Dalam legenda, Kebo Ijo adalah sosok yang keras dan liar, namun kadang-kadang juga digambarkan sebagai pelindung yang setia, atau bahkan sebagai manifestasi kekuatan bumi yang tak terkendali. Ketika kekuatan ini di-'hijau'-kan, ia melambangkan transformasi: kekuatan liar telah ditaklukkan dan diserap oleh kebijaksanaan spiritual, atau telah mencapai tahap pemahaman bahwa kekuatan sejati adalah kekuatan yang melayani kehidupan, bukan kehancuran.
Barongan hijau dalam konteks ini adalah pengingat bahwa elemen yang paling liar pun dapat diarahkan untuk tujuan yang baik. Ia adalah hasil dari laku prihatin (tirakat spiritual) para leluhur yang berusaha menyeimbangkan agresivitas duniawi dengan kedamaian batin. Oleh karena itu, Barongan hijau sering dipanggil dalam acara-acara yang memerlukan penyembuhan spiritual atau pengembalian harmoni yang hilang dalam masyarakat, seperti setelah terjadi wabah atau bencana alam yang besar. Kehadirannya seolah membawa vibrasi hutan yang tenang dan menyegarkan ke tengah keramaian desa.
B. Peran dalam Upacara Ruwatan dan Tolak Bala
Barongan hijau memegang peran kunci dalam upacara Ruwatan (pembersihan) desa yang sangat spesifik. Berbeda dengan Barongan hitam yang mungkin bertugas menahan roh jahat agar tidak masuk ke desa, Barongan hijau bertugas membersihkan aura negatif yang sudah bercokol di dalam wilayah tersebut. Ia berfungsi sebagai ‘pemurni’ (purifier). Gerakannya dalam upacara ini lebih menitikberatkan pada sapuan energi, bukan pertempuran fisik.
Sesi tarian Barongan hijau dalam Ruwatan seringkali disertai dengan pembacaan mantra yang lebih bernada doa (mantra pangruwatan) daripada tantangan (mantra pambuka). Ketika ia menari, ia seolah menarik semua energi kotor dan kemudian membuangnya kembali ke bumi, di mana alam (yang diwakili oleh warna hijaunya) akan menyerap dan menetralisir polusi spiritual tersebut. Ini adalah siklus daur ulang kosmis yang dilakukan melalui seni pertunjukan. Ritme gamelan yang mengiringi Barongan hijau cenderung lebih lambat, menggunakan instrumen seperti kempul dan gong yang menghasilkan suara yang dalam dan bergetar, memberikan kesan sakral dan meditasi.
Masyarakat percaya bahwa jika Barongan hijau tampil dalam kondisi optimal, hutan di sekitar desa akan tumbuh lebih subur, hasil sungai akan melimpah, dan segala bentuk penyakit yang dibawa oleh hawa panas (penyakit musiman) akan hilang. Ia adalah personifikasi dari energi air yang sejuk dan tanah yang gembur.
C. Hubungan dengan Nyi Roro Kidul dan Kekuatan Maritim
Di beberapa wilayah pesisir selatan Jawa, khususnya yang dekat dengan tradisi Mataraman yang kuat, warna hijau sering dihubungkan dengan penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, yang kerajaannya sering digambarkan berwarna hijau zamrud. Meskipun Barongan adalah makhluk darat, Barongan hijau dapat menjadi perantara antara kekuatan daratan (hutan) dan kekuatan lautan (air). Ini adalah simbolisasi penting mengenai kesatuan kosmos Jawa: Gunung dan Laut.
Barongan hijau yang digunakan di wilayah ini mungkin memiliki aksen biru laut atau turquoise, menunjukkan sintesis antara vegetasi dan air. Pertunjukan Barongan jenis ini sering dilakukan di tepi pantai atau sungai besar, memohon restu dari entitas air agar diberikan keselamatan dari badai atau hasil laut yang melimpah. Ia adalah Barongan yang melintasi batas ekologi, menggabungkan kemarahan singa darat dengan misteri ombak laut.
Motif sulur-suluran, melambangkan pertumbuhan abadi, sering menghiasi mahkota Barongan hijau.
V. Proses Spiritual Penciptaan: Tirakat dan Pengisian Energi Hijau
Menciptakan Barongan, khususnya yang berwarna hijau, bukan sekadar kerajinan tangan. Ini adalah ritual spiritual yang melibatkan pemahaman mendalam tentang alam dan metafisika. Prosesnya dimulai jauh sebelum pahatan pertama dibuat.
A. Penentuan Hari dan Material Suci
Pemilihan hari (penanggalan Jawa/Bali) untuk memulai ukiran sangat krusial, seringkali jatuh pada hari Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, yang dianggap baik untuk memulai pekerjaan spiritual. Kayu yang akan diukir harus diambil dari pohon yang 'bersedia' atau yang telah diberikan persembahan (sesajen) terlebih dahulu. Dalam kasus Barongan hijau, pohon haruslah yang tumbuh subur dan rindang, diyakini memiliki banyak ‘penghuni’ baik.
Pengukir harus berada dalam keadaan suci, seringkali berpuasa atau melakukan pantangan (tirakat) selama beberapa hari sebelum dan selama proses ukiran wajah. Tirakat ini dimaksudkan untuk membersihkan diri sehingga roh yang akan diundang (roh penjaga hutan) tidak terhalang oleh kekotoran batin pembuatnya. Kesucian ini sangat ditekankan karena Barongan hijau adalah saluran antara dimensi spiritual yang murni dan pementasan duniawi.
B. Ritual Pewarnaan Hijau (Penganut Rogo)
Tahap pewarnaan hijau (disebut juga penganut rogo atau pemberian jiwa) adalah klimaks dari proses pembuatan. Cat hijau yang digunakan seringkali telah dicampur dengan air dari tujuh sumber mata air suci atau lumpur dari sawah yang diberkati, untuk memaksimalkan asosiasi dengan kesuburan dan kehidupan.
Saat pigmen hijau dioleskan, pengukir atau tetua adat akan membacakan mantra khusus yang memanggil energi hijau (energi bumi dan alam) untuk mengisi rongga topeng. Proses ini harus dilakukan di tempat yang tenang, seringkali di bawah pohon beringin tua atau di dekat makam keramat. Dipercayai bahwa pigmen hijau memiliki kemampuan paling besar untuk menyerap dan menyimpan energi spiritual alam dibandingkan warna lain. Setiap sapuan kuas adalah doa agar Barongan ini menjadi pelindung yang tangguh dan bijaksana.
Detail-detail kecil, seperti pewarnaan pada lidah (yang mungkin berwarna ungu gelap untuk melambangkan racun yang telah dijinakkan) atau hiasan bulu merak (yang berwarna hijau kebiruan alami), semuanya memiliki makna. Bulu merak, sebagai contoh, adalah simbol keindahan, keabadian, dan juga perlindungan, yang sangat cocok dengan narasi Barongan hijau sebagai penjaga ekologi spiritual.
VI. Dinamika Pertunjukan: Tarian Keseimbangan dan Kerasukan yang Terkendali
Ketika Barongan hijau tampil, panggung seolah berubah menjadi hutan. Suasana yang dihadirkan berbeda total dari pertunjukan Barongan konvensional. Fokusnya bukan pada keriuhan, tetapi pada keheningan yang memicu transendensi.
A. Musik Pengiring (Gamelan Laras Hijau)
Instrumen gamelan yang mengiringi Barongan hijau seringkali menggunakan laras (tangga nada) Slendro yang lebih dalam dan lembut, atau bahkan Laras Pelog yang memberikan nuansa mistis dan sendu. Musiknya tidak agresif. Komposisi gending (musik) yang dipilih, seperti Gending Kembang Duren atau Gending Alas (Lagu Hutan), berirama lambat namun padat, menekankan pada suara gong dan kendang besar (kendang ageng) yang berdenyut, meniru detak jantung bumi.
Ritme ini berfungsi untuk menuntun penari (pembarong) ke dalam kondisi janturan atau trance yang stabil, yang diperlukan untuk menyalurkan energi penjaga hutan. Musik tersebut harus menciptakan ruang di mana penonton merasa aman namun tetap diselimuti aura mistis yang tebal—sebuah keseimbangan antara ketenangan alam dan potensi bahaya yang ada di dalamnya.
B. Karakter dan Gerakan Tari
Gerakan Barongan hijau (sering diperankan oleh penari senior atau yang memiliki garis keturunan tertentu) cenderung lebih terstruktur dan bermakna simbolis. Mereka menghindari gerakan yang terlalu akrobatik atau kasar. Sebaliknya, mereka menekankan pada gerakan memutar yang lambat (melambangkan siklus alam), membungkuk ke tanah (menghormati Ibu Pertiwi), dan gerakan mengendus yang panjang (mencari penyakit atau roh jahat di udara).
Ketika Barongan hijau 'ndadi' (kerasukan), penari tidak akan langsung menunjukkan agresivitas. Kerasukan yang terjadi adalah kerasukan yang dikendalikan oleh 'roh penjaga', yang memungkinkannya berinteraksi secara damai dengan sesaji atau bahkan dengan anak-anak kecil, namun tetap mempertahankan kekuatan yang menakutkan. Barongan hijau dapat menyentuh dahi penonton sebagai tindakan penyembuhan atau memberkati panen dengan mengibas-ngibaskan surainya ke atas hasil bumi yang diletakkan di panggung.
Puncak pertunjukannya seringkali melibatkan adegan di mana Barongan hijau 'meminum' air suci atau 'memakan' bunga-bunga yang diletakkan di altar. Aksi ini adalah simbolisasi penyerapan energi negatif dari lingkungan, membersihkan wilayah yang ditempatinya melalui ritual yang intens namun tenang. Energi hijau memulihkan, bukan menghancurkan.
C. Reaksi Penonton dan Aura Magis
Penonton yang menyaksikan Barongan hijau seringkali menggambarkan perasaan damai yang bercampur dengan rasa takjub. Berbeda dengan Barongan merah yang memicu sorakan dan kegembiraan liar, Barongan hijau memicu rasa hormat yang mendalam. Para penonton sering membawa pulang daun atau bunga yang tersentuh oleh surai Barongan hijau, dipercaya dapat membawa keberuntungan atau kesembuhan.
Aura magis yang dipancarkannya sangat kuat, sering kali menyebabkan sebagian penonton (terutama yang memiliki sensitivitas spiritual) ikut merasakan getaran atau bahkan sedikit kerasukan yang cepat berlalu, yang dikenal sebagai kesurupan ringan. Ini adalah bukti bahwa energi yang dimanifestasikan oleh Barongan hijau adalah energi kosmis yang kuat dan memiliki daya tarik magnetis yang sulit diabaikan. Kehadirannya adalah penegasan kembali ikatan masyarakat dengan alam purba yang telah lama dihormati.
Gamelan pengiring Barongan hijau menggunakan ritme yang dalam dan resonan.
VII. Variasi Regional dan Kedudukan Barongan Hijau
Penggunaan warna hijau pada Barongan tidak merata di seluruh Nusantara; ia cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah dengan tradisi agraris yang sangat kuat dan di mana pengaruh Islam yang harmonis dengan budaya Jawa (sinkretisme) sangat dominan. Meskipun demikian, Barongan hijau memiliki beberapa sub-varian regional yang menarik.
A. Barongan Hijau Lumut di Jawa Timur
Di daerah Blitar, Kediri, atau Malang, Barongan hijau seringkali memiliki warna hijau yang sangat gelap, hampir hitam kehijauan, menyerupai lumut yang tumbuh di bebatuan candi. Varian ini dikenal sebagai Barongan Alas Purwo (Hutan Tua). Ia melambangkan kekuatan mistis hutan yang tidak tersentuh, roh-roh kuno yang menjaga peninggalan Majapahit. Barongan ini sangat jarang dikeluarkan, hanya pada saat-saat kritis seperti ancaman kekeringan atau musibah besar. Fungsinya adalah memanggil kembali energi kesuburan dari masa lalu yang agung. Ukirannya sangat minimalis namun ekspresif, menekankan pada kedalaman warna dan tekstur surai yang kasar.
B. Barong Bangkal dan Hijau di Bali
Meskipun Bali lebih terkenal dengan Barong Ket (Singa) yang warna-warni atau Barong Landung, konsep Barongan hijau tetap muncul, khususnya dalam bentuk Barong Bangkal (Babi Hutan) yang terkadang dihiasi dengan warna hijau tua. Barong Bangkal melambangkan kekuatan hutan yang merusak namun vital. Warna hijau di sini berfungsi untuk menyeimbangkan keganasan babi hutan tersebut, mengingatkan bahwa kekuatan penghancur adalah bagian dari siklus regenerasi. Hijau ini sering dikombinasikan dengan warna merah muda atau merah bata, menunjukkan keseimbangan antara unsur tanah dan unsur api yang diperlukan dalam upacara persembahan (yadnya).
C. Pergeseran Kontemporer
Dalam seni kontemporer dan pertunjukan Barongan modern, warna hijau sering digunakan untuk menyampaikan pesan lingkungan. Para seniman muda menggunakan Barongan hijau cerah untuk menarik perhatian pada isu deforestasi atau perlindungan satwa liar. Dalam konteks ini, Barongan hijau menjadi aktivis visual, simbol perjuangan untuk melestarikan paru-paru dunia (hutan tropis). Meskipun fungsi ritualnya mungkin berkurang dalam pementasan komersial, makna dasarnya—sebagai representasi kehidupan—tetap dipertahankan dan diperkuat, relevan dengan tantangan zaman modern.
Namun, dalam pandangan purwa (tradisional), penggunaan hijau cerah harus sangat hati-hati. Hijau yang terlalu terang dianggap kurang memiliki kedalaman spiritual dan dikhawatirkan mengganggu penyerapan energi dari leluhur. Oleh karena itu, Barongan hijau yang benar-benar dihormati dan sakral selalu memiliki nuansa hijau tua, hijau zaitun, atau hijau lumut yang pekat, sebuah warna yang memancarkan usia dan kebijaksanaan yang tak terhitung.
VIII. Kontemplasi Akhir: Keagungan Diam Sang Penjaga Hutan
Barongan yang warna hijau adalah sebuah puisi yang terukir dari kayu. Ia berbicara tentang kerinduan manusia modern terhadap harmoni alam yang telah hilang. Dalam hiruk pikuk kehidupan, ketika warna merah dan hitam mendominasi narasi kekerasan dan konflik, Barongan hijau menawarkan jeda, sebuah janji pemulihan yang diucapkan melalui raungan singa yang diselimuti lumut.
Ia menuntut rasa hormat yang berbeda; bukan rasa takut yang timbul dari keganasan, melainkan rasa hormat yang timbul dari pengakuan akan kebesaran siklus kehidupan. Ketika mata emasnya yang bijak menatap penonton, ia seolah mengingatkan bahwa di tengah segala kerumitan, kekuatan terbesar tetaplah kesederhanaan dan ketekunan alam untuk terus tumbuh dan beregenerasi. Warna hijau pada Barongan ini adalah manifestasi konkret dari konsep manunggaling kawula gusti dalam konteks alam: bersatunya manusia dengan sumber kehidupan itu sendiri.
Memelihara Barongan hijau adalah tanggung jawab besar. Para komunitas yang memiliki pusaka ini harus memastikan bahwa ritual pemandian dan persembahan dilakukan secara konsisten, karena kegagalan menghormati roh penjaga hutan dapat membawa bencana ekologis atau penyakit. Barongan hijau bukan hanya warisan budaya; ia adalah termometer spiritual masyarakat, mengukur seberapa jauh mereka masih terhubung dan menghargai alam di sekitar mereka. Jika Barongan hijau tampil dengan gemilang, itu berarti alam sedang tersenyum.
Estetika hijau yang langka ini memastikan bahwa tradisi Barongan tetap hidup dan terus berevolusi, memberikan ruang bagi simbolisme yang mendalam untuk terus berdialog dengan perubahan zaman. Ia adalah penjaga yang diam, namun suaranya menggema lebih kuat daripada gemuruh manapun, karena ia membawa esensi hutan, sumber segala kehidupan. Dalam setiap serat ijuknya, dalam setiap sapuan cat hijaunya, tersemat ribuan tahun kebijaksanaan bumi yang menunggu untuk diresapi oleh mereka yang menyaksikan pertunjukannya dengan mata hati yang terbuka.