Kampung Baduy, yang terletak di kaki Gunung Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, adalah sebuah permukiman adat yang terkenal dengan kehidupan tradisionalnya yang masih terjaga erat. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern, masyarakat Baduy (atau Urang Kanekes) memegang teguh adat istiadat dan norma-norma leluhur yang diwariskan turun-temurun. Kehidupan mereka menjadi cerminan kekayaan budaya Indonesia yang patut dilestarikan dan dipelajari.
Salah satu aspek paling mencolok dari adat istiadat Baduy adalah penolakan mereka terhadap teknologi modern. Suku Baduy Dalam, khususnya, tidak menggunakan listrik, kendaraan bermotor, alat komunikasi elektronik, apalagi internet. Setiap aspek kehidupan mereka dijalani secara alami, selaras dengan alam. Kebutuhan sehari-hari dipenuhi dari hasil pertanian dan kerajinan tangan. Komunikasi dilakukan secara lisan, dan transportasi mengandalkan jalan kaki atau menggunakan alat sederhana. Keterbatasan ini justru membentuk keharmonisan sosial yang kuat dan rasa saling ketergantungan antarwarga.
Masyarakat Baduy memiliki sistem pemerintahan adat yang sangat terstruktur dan dipimpin oleh sesepuh atau tetua adat yang disebut Puun. Keputusan-keputusan penting dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menyelesaikan sengketa selalu merujuk pada ajaran dan petunjuk Puun. Sistem ini memastikan bahwa setiap tindakan masyarakat selaras dengan pikukuh (aturan adat) yang menjadi panduan hidup mereka. Sanksi adat diterapkan bagi siapa saja yang melanggar pikukuh, yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan dalam komunitas.
Ciri khas lain dari masyarakat Baduy adalah pakaian adatnya yang unik. Suku Baduy Dalam mengenakan pakaian serba putih yang terbuat dari kapas yang diolah sendiri. Kaos putih tanpa kerah (jamang) dan kain sarung putih (ujące) menjadi pakaian sehari-hari. Untuk kaum laki-laki, mereka mengenakan ikat kepala putih dan terkadang membawa tas selempang yang terbuat dari kulit kayu atau daun teureup. Sementara itu, Suku Baduy Luar yang berinteraksi lebih terbuka dengan dunia luar, mengenakan pakaian berwarna gelap seperti hitam atau biru tua, dipadukan dengan sarung bermotif. Pakaian ini bukan sekadar busana, melainkan simbol identitas, kesederhanaan, dan ketaatan pada leluhur.
Alam dipandang sebagai sumber kehidupan dan tempat suci oleh masyarakat Baduy. Mereka sangat menjaga kelestarian hutan dan lingkungan sekitarnya. Prinsip utama mereka adalah tidak merusak atau mengeksploitasi alam secara berlebihan. Sistem pertanian yang mereka jalankan pun bersifat lestari, seperti sistem tumpang sari dan rotasi tanaman, yang menjaga kesuburan tanah. Pohon-pohon besar di hutan tidak boleh ditebang tanpa seizin tetua adat, dan sungai-sungai dijaga kebersihannya. Ketaatan terhadap alam ini menjadi pondasi utama keberlangsungan hidup mereka selama berabad-abad.
Meskipun hidup dalam kesederhanaan, masyarakat Baduy memiliki kehidupan sosial yang guyub dan harmonis. Tradisi gotong royong sangat kental terasa dalam setiap aktivitas, mulai dari membangun rumah, bertani, hingga kegiatan upacara adat. Budaya lisan seperti pantun, tarian, dan lagu-lagu tradisional masih hidup dan dilestarikan. Upacara adat seperti Seren Taun, yang merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen, menjadi momen penting untuk mempererat tali persaudaraan dan menjaga kelestarian adat. Kehidupan mereka mengajarkan nilai-nilai luhur tentang kesederhanaan, kebersamaan, kerendahan hati, dan penghormatan terhadap alam serta leluhur.
Adat istiadat Kampung Baduy merupakan harta karun budaya yang berharga. Di tengah kemajuan zaman yang serba instan, mereka tetap teguh menjaga kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu. Kehidupan mereka memberikan perspektif baru tentang arti kebahagiaan yang tidak selalu bergantung pada kemewahan materi atau teknologi. Melestarikan dan menghargai budaya seperti ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memastikan warisan nenek moyang tetap hidup dan menginspirasi generasi mendatang.