Dalam khazanah kebudayaan Nusantara, terutama yang berakar kuat pada tradisi Jawa dan Bali, pertunjukan Barongan atau Barong bukan sekadar tontonan seni, melainkan manifestasi spiritual yang sarat makna. Barongan, yang sering diidentifikasi sebagai perwujudan binatang mitologis (singa, naga, atau celeng), berfungsi sebagai pelindung, penyeimbang alam semesta, dan mediator antara dunia manusia dengan alam gaib. Namun, di antara berbagai corak warna yang digunakan—merah, putih, emas—terdapat satu warna yang membawa beban filosofis dan energi paling mendalam: warna hitam.
Barongan yang warna hitam, atau yang didominasi oleh unsur gelap, tidak hanya menunjuk pada estetika visual, tetapi langsung terhubung dengan konsep-konsep primordial dalam kosmologi Jawa-Bali. Hitam adalah warna yang melambangkan kemantapan, kesaktian yang tersembunyi, dan penguasaan terhadap elemen-elemen esoteris. Ia adalah simbol kekuasaan yang tak terucapkan, penjaga batas antara terang dan kegelapan, hidup dan mati. Eksplorasi mengenai Barongan hitam adalah perjalanan menyelami jantung spiritualitas Nusantara.
Untuk memahami kedalaman Barongan yang warna hitam, kita harus terlebih dahulu memahami makna filosofis warna tersebut dalam konteks budaya pribumi. Hitam, atau *Ireng*, bukan sekadar ketiadaan warna, melainkan manifestasi dari sumber energi tertentu yang sangat dihormati.
Dalam konsep Hindu Jawa dan Bali mengenai Catur Loka Pala (Empat Penjaga Mata Angin) atau Nawa Sanga (Sembilan Dewa Penguasa), warna hitam (peteng) secara konsisten dihubungkan dengan arah Utara (Utara) dan elemen air (Apah). Dewa yang bersemayam di Utara seringkali adalah Wisnu, dewa pemelihara. Namun, dalam konteks yang lebih esoteris, Utara juga berhubungan dengan samudra luas, kedalaman yang tak tersentuh, dan sumber kekuatan magis yang dingin dan kuat. Barongan yang berwarna hitam mewarisi sifat-sifat ini: ketenangan yang mematikan, daya tahan yang abadi, dan kemampuan untuk menyerap serta menetralisir energi negatif. Dalam Barong Landung Bali, figur Ratu Gede Mecaling (yang sering digambarkan gelap atau berbulu hitam lebat) adalah simbol nyata dari penguasa yang memiliki kuasa di bagian utara, sering dihubungkan dengan penyakit dan penyembuhannya.
Warna hitam sangat lekat dengan figur Kala, sosok yang melambangkan waktu yang menghancurkan, dan Batara Durga, manifestasi Dewi Uma yang menakutkan dan kuat. Barongan hitam seringkali diposisikan untuk menangkal kekuatan negatif yang dibawa oleh para pengikut Durga atau roh jahat (*Bhuta Kala*). Ironisnya, untuk mengendalikan atau mengusir kekuatan gelap, dibutuhkan manifestasi lain dari kegelapan yang lebih kuat dan suci. Barongan hitam adalah ‘Kala’ yang dijiwai oleh kesucian, yang kehadirannya mampu mengikat dan menaklukkan Kala yang liar. Pakaian hitam yang digunakan oleh penari atau pengikut Barongan, terutama dalam ritual penyucian (*melukat*), menunjukkan kesiapan mereka untuk menghadapi dan menguasai elemen-elemen paling primal alam semesta.
Dalam tradisi kejawen, hitam juga dihubungkan dengan *kesaktian* yang sejati, yang tersembunyi dan tidak perlu dipertontonkan. Berbeda dengan merah yang melambangkan nafsu (Angkara) atau putih yang melambangkan kesucian murni, hitam adalah warna kebijaksanaan yang diperoleh dari pengorbanan dan meditasi mendalam. Energi *Duh* (daya spiritual yang dikumpulkan) sering dibayangkan sebagai energi yang gelap atau biru tua kehitaman, tersimpan di pusat tubuh. Barongan hitam adalah wadah ideal untuk menampung dan memancarkan energi *Duh* yang sangat besar, menjadikannya Barongan yang paling efektif sebagai penolak bala (tolak balak) dan benteng pelindung desa.
Barongan yang didominasi warna hitam muncul dalam berbagai variasi di seluruh kepulauan, masing-masing membawa nama dan fungsi spesifik yang terikat pada sejarah lokalnya. Meskipun Barong Ket (Barong Singa) yang terkenal di Bali sering didominasi warna emas dan merah, Barongan yang secara inti berwarna hitam memiliki peran yang jauh lebih spesifik dan jarang ditampilkan untuk tujuan hiburan semata.
Di wilayah Blambangan (Banyuwangi dan sekitarnya), yang memiliki sejarah pertarungan spiritual yang sengit, Barongan yang warna hitam seringkali muncul sebagai manifestasi yang lebih purba. Barongan ini, terkadang disebut sebagai Barong Kemamang atau Barong Ider Bumi, dirancang untuk terlihat lebih menyeramkan dan primitif. Penggunaan ijuk atau rambut kuda hitam pekat, dikombinasikan dengan cat hitam legam pada kayu topengnya, menyoroti fungsi utamanya sebagai penjaga spiritual. Mereka sering diarak keliling desa (ider bumi) saat terjadi wabah atau bencana, berfungsi untuk membersihkan hawa kotor dan mengusir roh-roh jahat yang membawa penyakit.
Salah satu representasi paling jelas dari Barongan hitam di Bali adalah Ratu Gede Mecaling. Meskipun bukan Barong "hewan" dalam arti tradisional, figur Ratu Gede Mecaling yang tinggi besar dan berwajah gelap kehitaman (seringkali dengan gigi taring mencolok) adalah manifestasi dari Kala yang telah ditundukkan. Ia dipercaya berasal dari Nusa Penida dan memiliki kekuatan untuk menyebarkan, sekaligus menyembuhkan, wabah penyakit. Pakaian dan topengnya yang gelap adalah penanda kekuatan magis yang sangat besar, dan kehadirannya dalam upacara, seringkali mengenakan kain poleng (hitam-putih) sebagai simbol keseimbangan, adalah kunci untuk menjaga keharmonisan desa.
Dalam kesenian Jaranan (Kuda Lumping) di Jawa, figur Barongan (sering disebut Barong Sawung atau Caplokan) yang berwarna hitam memiliki peran sentral sebagai kekuatan penyeimbang yang menahan energi kerasukan para penari Jaranan. Warna hitam pada Caplokan melambangkan bumi dan akar, yang memberikan stabilitas spiritual. Ketika terjadi kerauhan (trance) yang tak terkendali, Barongan hitam inilah yang dipanggil untuk ‘menarik’ kembali kesadaran penari ke dunia nyata. Warna gelapnya berfungsi sebagai penyerap kelebihan energi liar.
Pembuatan Barongan yang warna hitam membutuhkan ritual dan pemilihan material yang sangat spesifik, karena warnanya tidak boleh sembarang pigmen. Warna hitam harus mengandung ‘roh’ alami yang dapat menampung dan memancarkan energi spiritual yang diharapkan.
Pada Barongan tradisional yang sakral, warna hitam diperoleh dari proses pewarnaan yang mendalam, bukan sekadar cat modern. Sumber pewarna meliputi:
Proses pewarnaan ini seringkali didahului oleh puasa dan mantra khusus. Warna hitam yang dihasilkan diharapkan mampu ‘hidup’ dan menjadi portal energi, bukan sekadar hiasan.
Topeng Barongan hitam seringkali diukir dari jenis kayu yang gelap atau yang memiliki reputasi spiritual tinggi, seperti kayu Nagasari, Walikukun, atau bahkan kayu nangka yang telah tua. Kayu-kayu ini dipercaya mampu menyerap dan menyimpan energi ritual (*khodam* atau *isi*). Barongan hitam sangat jarang dihiasi dengan banyak ornamen emas, karena fokusnya adalah pada kekokohan dan kekutan internal, bukan kemegahan eksternal. Kesederhanaan warna hitam justru mempertegas kekuatan esoteris yang diemban.
Dalam prosesi pengisian, Barongan hitam biasanya diletakkan di tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker (seperti kuburan tua, goa, atau pertemuan sungai) selama malam-malam tertentu (seperti malam Jumat Kliwon atau bulan purnama) agar ia menyerap energi dari alam gaib. Ini adalah alasan mengapa Barongan hitam memiliki aura yang terasa sangat berat dan sakral.
Fungsi utama dari Barongan yang warna hitam adalah sebagai entitas sakral yang melindungi komunitas dari ancaman spiritual dan menjaga keseimbangan kosmik. Perannya jauh melampaui hiburan dan bersifat murni ritualistik.
Barongan hitam memiliki peran vital sebagai ‘pembersih’ atau *penolak bala*. Ketika desa dilanda penyakit misterius, gagal panen, atau serangkaian nasib buruk yang tidak wajar, Barongan hitam akan diarak atau dipentaskan dalam ritual khusus. Kehadiran topeng gelap ini dipercaya memiliki daya magnetik untuk menarik dan menyerap energi penyakit (*sial*) dari tubuh warga dan area pemukiman, lalu membuangnya ke tempat yang seharusnya (biasanya di perbatasan desa atau laut).
Ritual ini sangat intens. Penari yang membawakan Barongan hitam haruslah orang yang memiliki puasa dan tirakat yang kuat. Dalam puncak pementasan, Barongan hitam mungkin akan melakukan gerakan-gerakan keras, menggigit atau mengibas-ngibaskan rambut hitamnya ke tanah, secara simbolis mencabuti akar kejahatan yang tertanam di bumi.
Pada tingkat spiritual yang lebih tinggi, warna hitam pada Barongan melambangkan pencapaian kedalaman batin. Para penari atau dalang (pemimpin ritual) Barongan hitam seringkali adalah orang yang telah mencapai tingkat spiritualitas tertentu. Mereka memandang topeng hitam bukan sebagai makhluk luar, melainkan sebagai cerminan dari kekuatan terpendam dalam diri mereka—kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu (dilambangkan oleh kegelapan yang diatur) dan mencapai ketenangan sejati.
Pementasan Barongan hitam seringkali mengandung unsur meditasi bergerak, di mana penari memasuki kondisi *tapa* (bertapa) dan menghadirkan spirit leluhur yang gelap namun bijaksana. Gerakannya lebih lambat, lebih mantap, dan sarat akan makna simbolis, berbeda dengan Barong berwarna cerah yang mungkin lebih lincah dan agresif.
Karena hitam berhubungan dengan Kala (Waktu), Barongan yang berwarna gelap dipercaya menjadi penjaga pintu gerbang antara dunia nyata (*sekala*) dan dunia gaib (*niskala*). Mereka sering ditempatkan di tempat-tempat transisional, seperti perempatan jalan, gerbang pura, atau di dekat pohon besar. Dalam upacara, Barongan hitam berfungsi untuk memastikan bahwa hanya entitas yang diundang dan dihormati yang dapat melintasi batas dimensi, sementara roh-roh liar dan mengganggu dijaga agar tetap di wilayahnya.
Kehadirannya di pintu masuk sebuah desa adalah pernyataan yang kuat: bahwa wilayah tersebut berada di bawah perlindungan kekuatan kosmik yang tak tertembus, yang kekuatannya diwakili oleh warna kegelapan abadi.
Meskipun memiliki fungsi ritual yang berat, Barongan hitam tetaplah bagian dari seni pertunjukan. Namun, ritme, musik, dan gerakannya sangat berbeda dari Barongan yang lebih berorientasi pada hiburan.
Iringan musik untuk Barongan hitam cenderung menggunakan laras yang lebih rendah dan instrumen yang memberikan kesan ‘berat’ dan mistis. Dalam gamelan Jawa, mungkin digunakan laras Slendro yang lebih dalam, dengan penekanan pada Gong besar dan Kendang Gending yang memimpin ritme yang tenang namun penuh wibawa. Ritme ini disebut *gebyar* atau *gending sakral*, yang bertujuan untuk memicu kondisi trance pada penari dan penonton, membawa suasana sakral dan hening.
Ketika Barongan hitam muncul, iramanya melambat drastis. Tidak ada kegembiraan yang meluap-luap; yang ada adalah ketegangan spiritual, seolah alam sedang menahan napas untuk menyaksikan perwujudan kekuatan purba.
Gerakan Barongan hitam cenderung minimalis namun penuh tenaga. Mereka tidak melakukan tarian akrobatik yang ringan. Gerakan-gerakannya adalah representasi dari kekuatan Naga yang berdiam di perut bumi atau gerakan Dewa Wisnu yang mantap di samudra raya—kuat, stabil, dan tak tergeser. Setiap kibasan kepala atau ayunan tubuh memiliki makna simbolis yang mendalam, seringkali meniru gerakan meditasi atau ritual *pembersihan*.
Puncak dari pertunjukan Barongan hitam sering terjadi ketika ia berinteraksi dengan benda-benda keramat atau ketika ia melakukan prosesi ‘memakan’ atau ‘menyerap’ sesaji yang telah disiapkan. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan ritual komunikasi yang efektif dengan alam gaib.
Dalam pandangan kosmologi Nusantara, alam semesta terbagi menjadi tiga tingkatan: Bhurloka (dunia bawah/bumi), Bhuwahloka (dunia tengah/manusia), dan Swahloka (dunia atas/para dewa). Barongan hitam memainkan peran unik dalam menghubungkan dan menyeimbangkan ketiga lapisan ini.
Warna hitam, sebagai simbol kegelapan dan kedalaman, memiliki ikatan kuat dengan Bhurloka, tempat bersemayamnya Bhuta Kala dan energi bumi yang paling primal. Barongan hitam berfungsi sebagai perwakilan yang diizinkan untuk bernegosiasi dengan kekuatan dunia bawah. Ia bisa memanggil energi bumi untuk perlindungan, atau, dalam kasus yang jarang terjadi, mengusir roh-roh Bhurloka yang naik dan mengganggu dunia manusia.
Kepala Barongan hitam yang sering kali menunduk atau menatap ke bawah dalam diam selama ritual tertentu, adalah simbol menghormati dan berinteraksi dengan energi yang berasal dari perut bumi.
Di dunia tengah, Barongan hitam berfungsi sebagai pengatur moral dan etika. Kehadirannya mengingatkan manusia akan adanya konsekuensi dari tindakan mereka (hukum Karma), yang disimbolkan oleh Kala, penguasa waktu yang tak terhindarkan. Ketika Barongan hitam diarak melewati pemukiman, itu adalah pengingat visual akan kekuatan spiritual yang mengawasi, mendorong masyarakat untuk hidup dalam harmoni (*tri hita karana*).
Meskipun hitam sering dikaitkan dengan bawah, ia juga merupakan warna Wisnu, Dewa Pemelihara yang bersemayam di Utara. Dalam interpretasi ini, kegelapan Barongan adalah simbol kemahatahuan yang tak terbatas dan keabadian. Hitam adalah wadah yang menyerap semua warna lain, melambangkan kembalinya segala sesuatu ke sumbernya, sebuah konsep yang sangat ilahi dan transendental, menghubungkannya dengan Swahloka.
Warisan Barongan yang warna hitam menghadapi tantangan yang signifikan di era modern. Sifatnya yang sangat sakral dan ritualistik sering bertentangan dengan kebutuhan industri pariwisata dan seni pertunjukan kontemporer.
Ketika Barongan hitam yang seharusnya berfungsi sebagai penolak bala dibawa ke panggung komersial, makna spiritualnya dapat tereduksi. Penggantian material alami (seperti bulu kuda atau ijuk) dengan bahan sintetis yang lebih murah dan cepat (seperti kain hitam atau cat semprot) mengurangi ‘daya hidup’ Barongan tersebut. Masyarakat adat seringkali menolak memamerkan Barongan hitam pusaka mereka, memilih untuk menyimpannya di tempat suci dan hanya mengeluarkannya dalam upacara besar yang melibatkan seluruh komunitas.
Proses menjadi penari atau pembuat Barongan hitam menuntut disiplin spiritual yang ketat, termasuk puasa, tirakat, dan pemahaman mendalam tentang mitologi. Generasi muda, yang terpapar pada kehidupan modern, seringkali kesulitan memenuhi standar spiritualitas yang dibutuhkan. Jika regenerasi gagal, pengetahuan tentang ritual pengisian dan penggunaan simbol hitam yang benar bisa hilang, meninggalkan hanya kulit luarnya tanpa roh.
Terkadang, ada kecenderungan untuk ‘mempercantik’ Barongan hitam dengan menambahkan unsur-unsur warna-warni yang kontras, mengurangi kemurnian visualnya sebagai perwakilan kekuatan kegelapan yang terkendali. Barongan hitam yang otentik adalah Barongan yang berani tampil sederhana, menakutkan, dan tanpa ornamen berlebihan, karena kekuatannya terletak pada aura, bukan pada kilauan.
Oleh karena itu, upaya pelestarian Barongan yang warna hitam harus berfokus pada pelestarian fungsi ritualnya, memastikan bahwa ia tetap menjadi penjaga spiritual desa, bukan sekadar objek museum atau pertunjukan panggung semata. Kekuatan sejati Barongan hitam terletak pada kesetiaan komunitas terhadap makna purba yang dibawanya.
Barongan yang warna hitam mengajarkan pelajaran mendalam tentang penguasaan diri dan penerimaan terhadap dualitas kehidupan. Kegelapan dan terang (Rwa Bhineda) adalah dua sisi mata uang yang harus diakui dan dihormati.
Kegelapan, dalam banyak budaya, identik dengan ketakutan, kekacauan, atau hal-hal yang tidak diketahui. Barongan hitam, dengan penampilannya yang garang dan aura yang berat, memaksa penonton untuk menghadapi ketakutan mereka sendiri. Ia adalah simbol bahwa untuk mencapai kedamaian (putih), seseorang harus terlebih dahulu berani menyelami dan menguasai kekacauan (hitam) di dalam dirinya. Ini adalah manifestasi luar dari proses batin yang disebut *Tirakat* atau *Ngelmu*.
Hitam secara fisik menyerap semua spektrum cahaya, menciptakan ketiadaan visual. Secara filosofis, ini melambangkan titik nol atau *sunyata* (kekosongan), tempat segala sesuatu berasal dan tempat segala sesuatu akan kembali. Barongan hitam adalah representasi dari kesempurnaan spiritual yang ditemukan dalam ketiadaan keinginan material, sebuah kondisi yang dicapai oleh para resi dan leluhur yang dihormati.
Melalui kehadirannya, Barongan yang warna hitam terus mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak selalu bersinar terang, tetapi seringkali bersemayam dalam kedalaman yang sunyi, kokoh, dan tak lekang oleh waktu. Ia adalah warisan agung yang membawa beban sejarah, mitologi, dan spiritualitas Nusantara yang tak ternilai.
Barongan yang warna hitam adalah manifestasi dari kekuatan kosmik yang diam, penjaga abadi yang hadir dalam kegelapan untuk menjamin datangnya fajar dan keseimbangan yang hakiki.