Barongan Sotren: Legenda Spiritual dan Ekstasi dari Tanah Osing
Keagungan Barongan, simbol kekuatan mistis pelindung tradisi Osing.
I. Gerbang Memasuki Jagat Barongan Sotren
Di ujung timur Pulau Jawa, di dataran yang akrab disebut Banyuwangi, terhampar kekayaan budaya yang unik dan tak tertandingi. Dari sekian banyak warisan leluhur yang bertahan melawan gerusan modernisasi, Barongan Sotren menempati posisi sentral sebagai jembatan yang menghubungkan dunia nyata dan alam spiritual. Kesenian ini bukan sekadar pertunjukan teaterikal; ia adalah manifestasi spiritual, ritual penyucian, dan representasi dualisme kosmis yang terbungkus dalam irama Gamelan Osing yang khas.
Barongan, secara umum, merujuk pada topeng singa raksasa atau makhluk mitologis. Namun, Barongan Sotren memiliki kekhususan yang membedakannya secara fundamental dari Reog Ponorogo atau barongan lainnya. Perbedaan krusial tersebut terletak pada elemen Sotren—sebutan untuk penari wanita (atau pria yang memerankan peran wanita) yang hadir dan menjadi katalisator spiritual dalam prosesi ritual. Interaksi antara kekuatan maskulin (Barongan) dan keanggunan feminin (Sotren) menciptakan dinamika yang penuh makna, mencerminkan keseimbangan alam.
Kesenian Barongan Sotren tumbuh subur di tengah masyarakat Suku Osing, penduduk asli Banyuwangi yang dikenal memegang teguh adat dan tradisi leluhur mereka, terutama yang berakar pada Kerajaan Blambangan. Masyarakat Osing melihat Barongan Sotren bukan hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai media komunikasi dengan roh leluhur dan sarana untuk menjaga harmoni desa, seringkali dipentaskan dalam ritual ruwatan (pembersihan) atau nadzar (pemenuhan janji).
Pemahaman mendalam tentang Barongan Sotren menuntut kita untuk menelusuri lapisan sejarah Blambangan yang penuh pergolakan, memahami filosofi Hindu-Jawa yang masih melekat, serta menelaah fenomena trance (kesurupan) yang menjadi puncak dari seluruh pertunjukan. Trance bukan sekadar akting, melainkan keadaan spiritual yang dipercaya mampu menghubungkan pembarong dengan kekuatan gaib yang diwakili oleh topeng Barongan itu sendiri.
I.A. Terminologi dan Konteks Lokal
Istilah Barongan Sotren mengandung dua kata kunci utama. Barongan merujuk pada wujud kepala harimau atau singa mitologis yang megah, seringkali dihiasi dengan ijuk (rambut) yang lebat dan mata yang melotot, melambangkan kekuatan alam yang liar dan tak terkendali, atau representasi dari Bhutakala (roh penjaga waktu) yang perlu dihormati. Sementara itu, Sotren, yang berasal dari kata 'Soto' atau 'Sutra', mengacu pada penari yang gerakannya halus, anggun, dan memiliki fungsi ritual yang sangat penting. Kehadiran Sotren memberikan sentuhan estetika dan spiritual yang menyeimbangkan kegarangan Barongan.
Dalam konteks geografis dan kultural, Barongan Sotren berpusat di beberapa desa tua di Banyuwangi, di mana tradisi Osing masih sangat kental, seperti Desa Kemiren atau desa-desa lain yang berada di sekitar kaki Gunung Ijen. Keberadaan Barongan Sotren merupakan penanda identitas budaya yang membedakan masyarakat Osing dari pengaruh budaya Jawa Mataraman di sebelah barat atau Bali di sebelah timur, meskipun unsur-unsur serapan dari keduanya tetap terlihat.
Fungsi Barongan Sotren dalam masyarakat tradisional sangat kompleks. Selain sebagai tontonan, kesenian ini berfungsi sebagai media penolak bala (penangkal bencana), sarana komunikasi spiritual, hingga ritual penyembuhan kolektif. Ketika Barongan tampil, seluruh desa terlibat dalam suasana ritual, dari penyiapan sesaji, penyediaan alat musik, hingga menjaga kesucian lokasi pementasan. Ini menegaskan bahwa Barongan Sotren adalah ritual komunitas, bukan sekadar komoditas seni.
II. Menelusuri Akar Sejarah dan Filosofi Blambangan
Sejarah Barongan Sotren tidak dapat dilepaskan dari narasi panjang dan berliku Kerajaan Blambangan. Setelah keruntuhan Majapahit, Blambangan menjadi benteng terakhir kebudayaan Hindu-Jawa di Pulau Jawa, menghadapi serbuan dari berbagai kekuatan politik dan agama. Kondisi politik yang tidak stabil, peperangan berkepanjangan, dan upaya mempertahankan identitas budaya dalam isolasi inilah yang melahirkan seni pertunjukan dengan dimensi spiritual yang sangat kuat, termasuk Barongan Sotren.
Beberapa literatur sejarah lisan Osing mengaitkan asal mula Barongan dengan tokoh-tokoh mitologis atau pahlawan lokal yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Barongan seringkali dianggap sebagai manifestasi dari roh penjaga wilayah atau bahkan representasi dari kekuatan Dewa Siwa dalam wujud yang menakutkan (Bhagawan Rudra) yang menjaga keseimbangan kosmis. Topeng Barongan bukan dibuat sembarangan, melainkan melalui serangkaian ritual yang melibatkan puasa dan tirakat, agar 'jiwa' spiritual topeng tersebut dapat diaktifkan.
II.A. Filosofi Dualisme dan Keseimbangan
Inti filosofi yang diusung oleh Barongan Sotren adalah konsep Rwa Bhineda—konsep dualisme kosmik yang sangat dominan dalam kebudayaan Hindu-Jawa dan Bali. Konsep ini mengajarkan bahwa alam semesta terdiri dari dua kutub yang saling bertentangan namun tidak dapat dipisahkan, seperti baik dan buruk, siang dan malam, maskulin dan feminin.
- Barongan (Maskulin, Kasar, Gelap): Mewakili kekuatan alam yang keras, ketidakteraturan, atau roh-roh penjaga yang ganas. Ia adalah simbol kekuasaan dan energi tak terbatas.
- Sotren (Feminin, Halus, Cahaya): Mewakili keanggunan, ketertiban, keindahan, dan spiritualitas yang membumi. Gerakannya yang lembut berfungsi sebagai penenang dan penyeimbang energi liar Barongan.
Pertunjukan ini adalah visualisasi dari upaya manusia untuk menyeimbangkan dua kekuatan ini. Sotren menari mengelilingi Barongan, memimpinnya, dan pada akhirnya, menyelaraskan energi yang memancar dari topeng tersebut. Tanpa kehadiran Sotren, Barongan dianggap terlalu liar dan berbahaya, menegaskan peran sentral perempuan dalam menjaga harmoni spiritual masyarakat Osing.
II.B. Peninggalan Tradisi Ruwatan
Barongan Sotren sering dipentaskan dalam upacara ruwatan, sebuah ritual pembersihan yang bertujuan menghilangkan nasib buruk atau mengusir roh jahat dari suatu tempat atau individu. Konteks ruwatan sangat kental karena masyarakat Osing, yang banyak mengalami tekanan sejarah, sangat bergantung pada kekuatan supranatural untuk melindungi diri dan komunitasnya. Kehadiran Barongan yang 'keras' dipercaya mampu mengusir energi negatif yang menempel, sementara tarian Sotren memberikan berkah dan penyucian.
Ritual ini bukan sekadar pementasan, tetapi dialog antara masyarakat dan jagat raya. Sebelum pertunjukan dimulai, sesaji yang kompleks disiapkan, mencakup berbagai elemen alam seperti kembang setaman, nasi kuning, dan ingkung ayam. Seluruh rangkaian ini menandakan pengakuan terhadap kekuatan alam dan penghormatan kepada leluhur yang diyakini masih menjaga wilayah Blambangan. Kesakralan inilah yang membuat Barongan Sotren bertahan sebagai seni pertunjukan yang sarat makna ritual, bukan sekadar hiburan pasar malam.
III. Anatomi Pertunjukan Sakral Barongan Sotren
Pementasan Barongan Sotren mengikuti alur yang ketat dan terstruktur, yang secara umum dibagi menjadi tiga babak utama: Persiapan Ritual (Pembukaan), Inti Pertunjukan (Dinamika Barongan dan Sotren), dan Puncak Ekstasi (Trance dan Penutup). Durasi pertunjukan seringkali memakan waktu hingga beberapa jam, terutama jika ritual penyembuhan atau ruwatan menjadi tujuan utamanya.
III.A. Pambuka (Pembukaan dan Penyiapan Panggung)
Tahap ini dimulai dengan pembacaan mantra atau doa oleh seorang Pawang (pemimpin spiritual) yang bertujuan memohon izin kepada roh penjaga agar pertunjukan berjalan lancar dan aman. Musik Gamelan Osing, yang dikenal dengan iramanya yang lambat dan sakral, mulai mengalun. Iringan musik ini, yang disebut Gending Pambuka, bertugas menciptakan suasana magis dan menarik perhatian spiritual.
Setelah suasana terbentuk, masuklah para penari pendukung atau prajurit Barongan yang menampilkan gerakan-gerakan dasar, berfungsi sebagai pemanasan dan pengantar narasi. Dalam konteks narasi lisan, pawang atau dalang lokal akan melakukan Janturan—penceritaan kisah latar belakang Barongan atau maksud dari pementasan tersebut, yang biasanya berhubungan dengan mitologi Blambangan atau legenda setempat. Janturan ini sangat penting karena ia mengikat penonton ke dalam dunia spiritual yang akan dihadirkan.
III.B. Dinamika Barongan dan Tarian Sotren
Gerakan Sotren yang anggun berfungsi menyeimbangkan energi spiritual Barongan yang liar.
Setelah Barongan (yang diyakini telah dirasuki roh) masuk ke area pementasan, ia menampilkan gerakan-gerakan liar, menghentak, dan mengejutkan, mencerminkan energi yang tidak teratur. Ini adalah momen Barongan menunjukkan keperkasaannya. Namun, dinamika pertunjukan mencapai titik fokus ketika Sotren muncul.
Sotren menari dengan gerakan yang sangat berbeda: lembut, penuh penjiwaan, dengan fokus pada gerakan tangan dan mata yang penuh makna. Ia menari mengelilingi Barongan, seolah-olah menjinakkan dan mengarahkannya. Kontras visual dan gerakan ini adalah manifestasi konkret dari dualisme. Barongan melompat dan mengaum; Sotren meliuk dan mengalir. Dialog non-verbal melalui tarian ini menceritakan upaya harmonisasi kekuatan alam.
Pakaian Sotren sendiri sarat simbol, seringkali menggunakan kain tradisional Osing yang berwarna cerah, hiasan kepala yang rumit, dan selendang yang digunakan sebagai properti utama untuk 'mengikat' atau 'mengendalikan' Barongan. Keanggunan Sotren adalah perwujudan dari kekuatan spiritual yang mampu mengalahkan kebuasan fisik, menegaskan superioritas akal budi dan spiritualitas atas insting liar.
III.C. Puncak Ekstasi (Trance dan Interaksi)
Puncak dari Barongan Sotren adalah fenomena trance atau kesurupan. Musik Gamelan mencapai tempo tertinggi, irama menjadi sangat repetitif dan hipnotis. Bukan hanya pembarong (orang di balik topeng) yang mengalami trance, tetapi juga beberapa penari pendukung, dan bahkan, dalam beberapa kasus, penonton yang memiliki sensitivitas spiritual tinggi.
Dalam kondisi trance, pembarong dan penari menunjukkan kekuatan fisik luar biasa, kebal terhadap rasa sakit, atau melakukan atraksi berbahaya, seperti memakan pecahan kaca atau menyentuh bara api. Kondisi ini dipercaya sebagai momen di mana roh Barongan benar-benar mengambil alih tubuh penampil untuk menyampaikan pesan, memberikan berkah, atau membersihkan tempat tersebut dari energi negatif. Pawang memainkan peran vital pada tahap ini, bertindak sebagai komunikator dan pengontrol agar trance tidak menimbulkan bahaya fisik yang permanen.
Interaksi antara Barongan yang kerasukan dan masyarakat pada titik ini sangat intim. Masyarakat dapat mengajukan pertanyaan, meminta nasihat, atau memohon kesembuhan. Barongan Sotren, pada akhirnya, berfungsi sebagai oracle spiritual yang berbicara melalui medium tubuh manusia yang dirasuki. Prosesi diakhiri dengan ritual penyadaran oleh pawang, mengembalikan roh ke tempat asalnya, dan meninggalkan rasa damai pada komunitas.
IV. Karakter, Kostum, dan Atribut Sakral
Setiap elemen dalam Barongan Sotren, dari kostum hingga instrumen musik, memiliki makna dan fungsi yang terikat pada ritual. Keberadaan Barongan dan Sotren adalah inti, namun elemen pendukung lainnya sangat krusial untuk melengkapi narasi spiritual pertunjukan.
IV.A. Barongan dan Topeng
Topeng Barongan dibuat dari kayu pilihan (seringkali kayu bendo atau nangka) dan dihiasi secara rumit. Ciri khas topeng ini adalah mata melotot, taring yang menonjol, dan rambut (ijuk) yang terbuat dari serat tanaman atau bulu hewan yang panjang. Proses pembuatan topeng adalah ritual tersendiri, melibatkan puasa dan pemilihan hari baik. Topeng bukan hanya alat peraga; ia adalah wadah bagi roh yang diyakini bersemayam di dalamnya.
Pembarong (penampil yang membawa topeng) mengenakan pakaian yang sederhana namun kuat, biasanya berwarna hitam atau merah, melambangkan keberanian dan energi. Berat Barongan bisa mencapai puluhan kilogram, dan pembarong harus memiliki kekuatan fisik yang prima, selain kekuatan spiritual, untuk dapat menahan beban tersebut dalam kondisi sadar maupun trance.
IV.B. Karakter Sotren dan Pakaian Ritual
Penari Sotren adalah sosok yang menonjolkan keindahan dan kesucian. Kostum Sotren sangat kaya warna, mencerminkan estetika Osing yang berani. Sotren mengenakan:
- Kemben atau Meja: Kain penutup dada yang dihiasi bordir emas atau perak.
- Kain Batik Osing: Motif batik khas Banyuwangi, seringkali bermotif Gajah Oling, yang melambangkan ingatan pada Sang Pencipta dan kerendahan hati.
- Omprok atau Mahkota: Hiasan kepala yang tinggi dan berkilauan, mirip dengan mahkota penari Gandrung atau Seblang, melambangkan status spiritual dan keagungan.
IV.C. Prajurit dan Penari Pendukung
Selain Barongan dan Sotren, pertunjukan didukung oleh beberapa penari prajurit yang mengenakan pakaian ala kesatria tempo dulu, membawa senjata tiruan seperti keris atau tombak. Mereka berfungsi sebagai pengawal Barongan dan pelindung ritual. Gerakan mereka dinamis dan tegas, menciptakan latar belakang militeristik yang mengingatkan pada masa kejayaan Blambangan sebagai kerajaan yang gagah berani dalam menghadapi musuh.
Peran penting lainnya adalah Penabuh Gamelan, yang juga seringkali menjadi bagian dari ritual trance. Mereka harus memiliki fokus tinggi karena perubahan irama gamelan adalah sinyal bagi pembarong untuk memasuki atau keluar dari kondisi trance. Kesatuan antara penabuh dan penari adalah kunci kesuksesan ritual spiritual ini.
V. Harmoni Gamelan Osing: Jantung Spiritual Barongan Sotren
Barongan Sotren mustahil terwujud tanpa iringan musik Gamelan Osing yang sangat spesifik. Berbeda dari Gamelan Jawa Mataraman yang lebih didominasi oleh slendro dan pelog dengan tempo yang tenang, Gamelan Osing memiliki karakter yang lebih cepat, ritmis, dan terasa lebih "primitif" atau mendekati akar musik ritual kuno.
V.A. Instrumen Khas dan Fungsinya
Orkestra Gamelan dalam Barongan Sotren didominasi oleh instrumen pukul dan tiup yang menciptakan suasana mencekam namun indah. Beberapa instrumen vital meliputi:
- Kendang Kempul: Ini adalah instrumen terpenting. Kendang Kempul Osing memiliki teknik tabuhan yang sangat khas, menghasilkan ritme yang mampu memicu kondisi ekstasi. Penabuh kendang biasanya adalah seorang maestro yang memahami 'kode' spiritual irama.
- Gong dan Kempul: Bertugas memberikan batas dan penekanan pada setiap siklus irama. Suara gong yang berat dan bergetar menambah dimensi spiritual, seolah-olah memanggil roh dari kejauhan.
- Saron dan Peking: Instrumen bilah logam yang memainkan melodi utama. Melodi yang dimainkan dalam Gamelan Osing untuk Barongan Sotren cenderung repetitif, berfungsi sebagai mantra musikal yang terus-menerus mengikat fokus penampil.
- Kemanak: Instrumen kecil berbentuk seperti pisang yang dipukul, menghasilkan suara 'klitik' yang halus namun tajam. Kemanak sering digunakan dalam ritual yang lebih intim dan berfungsi sebagai penanda peralihan dari fase biasa ke fase sakral.
- Angklung dan Reyong (kadang-kadang): Meskipun Reyong lebih khas Bali/Jawa Tengah, Gamelan Osing memadukan beberapa instrumen logam yang menghasilkan resonansi tinggi, memperkaya tekstur suara agar lebih ‘menusuk’ dan memengaruhi kesadaran.
Kekhasan Gamelan Osing adalah kemampuannya membangun ketegangan yang klimaks pada saat trance terjadi, dan kemudian meredamnya secara perlahan saat ritual penyadaran dilakukan. Musik adalah pemandu utama spiritualitas dalam pertunjukan ini.
V.B. Gending dan Kekuatan Magis Irama
Setiap Gending (lagu atau komposisi musik) yang dimainkan memiliki fungsi ritual tertentu. Ada Gending yang khusus dimainkan saat Barongan baru muncul, ada Gending yang mengiringi tarian Sotren yang lembut, dan yang paling penting, ada Gending yang dipercaya sebagai mantra suara untuk memanggil roh. Gending-gending ini diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, dan beberapa di antaranya hanya boleh dimainkan dalam konteks ritual yang sangat sakral.
Irama Barongan Sotren sering menggunakan tempo laju (cepat) dengan sinkopasi yang kompleks, mencerminkan sifat masyarakat Blambangan yang gigih. Kekuatan musiknya tidak hanya menghibur telinga, tetapi juga merangsang sistem saraf, membuka gerbang bagi penampil untuk masuk ke alam bawah sadar, sebuah praktik yang telah dipelajari dan dikembangkan selama ratusan tahun oleh para leluhur Osing.
VI. Dimensi Spiritual: Ngelmu, Trance, dan Penyembuhan
Bila kita menghilangkan elemen spiritual, Barongan Sotren akan kehilangan jiwanya. Kesenian ini adalah praktik ngelmu (ilmu spiritual) yang diwariskan, berpusat pada hubungan antara manusia, alam, dan roh leluhur. Aspek spiritual ini jauh melampaui estetika seni pertunjukan.
VI.A. Peran Pawang dan Komunikasi Roh
Sosok Pawang atau sesepuh adat adalah kunci utama ritual Barongan Sotren. Pawang adalah orang yang ditugaskan secara spiritual untuk memimpin seluruh proses, mulai dari penyiapan sesaji, pembacaan mantra, hingga mengendalikan roh yang masuk selama trance. Ia adalah jembatan yang menghubungkan dimensi profan dan sakral.
Pawang harus memiliki waskita (pandangan spiritual yang tajam) untuk memastikan roh yang masuk adalah roh yang diundang (roh penjaga yang baik), bukan roh jahat yang dapat merusak ritual atau membahayakan pembarong. Sebelum pertunjukan, Pawang melakukan ritual pembersihan diri yang ketat, seringkali berpuasa mutih dan melakukan meditasi di tempat-tempat keramat.
VI.B. Ekstasi Kolektif (Trance) dan Fungsi Sosial
Trance dalam Barongan Sotren adalah sebuah fenomena sosiologis dan spiritual. Ini adalah saat di mana batas antara individu dan kolektif menghilang, dan energi spiritual desa disalurkan melalui tubuh pembarong. Fenomena ini memiliki beberapa fungsi penting:
- Katarsis Komunitas: Trance memungkinkan pelepasan emosi dan ketegangan kolektif yang terpendam, terutama setelah masa-masa sulit (panen gagal, wabah penyakit, atau konflik sosial).
- Verifikasi Kekuatan: Trance yang berhasil dengan demonstrasi kekebalan tubuh menjadi bukti nyata (bagi masyarakat) bahwa roh leluhur atau kekuatan Barongan benar-benar hadir dan memberikan perlindungan.
- Penyembuhan Spiritual: Barongan yang kerasukan dipercaya mampu memberikan ramuan atau doa penyembuhan yang efektif untuk penyakit yang disebabkan oleh gangguan spiritual (sawan atau tenung).
Masyarakat Osing memandang trance sebagai anugerah, bukan gangguan. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa tidak semua orang bisa menjadi pembarong yang kerasukan; diperlukan bakat bawaan dan pelatihan spiritual yang panjang untuk menguasai teknik menerima roh tanpa membahayakan diri sendiri.
Keseluruhan ritual ini menjadi mekanisme pertahanan budaya dan spiritual bagi Suku Osing yang selalu berada di persimpangan budaya besar. Barongan Sotren adalah manifestasi dari keyakinan Kejawen Osing, yang memadukan animisme lokal, pengaruh Hindu-Buddha, dan elemen-elemen Islam Sufi yang datang belakangan.
VI.C. Simbolisme Gerakan dan Mantra Tubuh
Setiap gerakan dalam Barongan Sotren, baik yang dilakukan Sotren maupun Barongan, adalah mantra yang divisualisasikan. Misalnya, gerakan Barongan yang menghentakkan kaki ke tanah berulang kali bukan sekadar ekspresi liar, melainkan ritual pemanggilan kekuatan bumi dan penancapan batas wilayah suci.
Sebaliknya, gerakan Sotren yang memutar lengan dan melenturkan tubuh melambangkan siklus kehidupan, kesuburan, dan doa untuk kemakmuran. Ketika Barongan dan Sotren berhadapan, gerakan mereka adalah dialog kosmik antara purusa dan pradana, energi aktif dan energi pasif, yang harus bersatu demi terciptanya kehidupan yang seimbang dan harmonis.
VII. Kontinuitas Tradisi di Tengah Arus Modernisasi
Seperti banyak kesenian tradisional lainnya di Indonesia, Barongan Sotren menghadapi tantangan yang kompleks dalam era modern. Kebutuhan untuk melestarikan kesakralan berbenturan dengan tuntutan pariwisata dan komersialisasi. Masyarakat Osing berjuang mencari keseimbangan agar esensi ritualnya tidak hilang.
VII.A. Tantangan Regenerasi dan Konteks Baru
Salah satu tantangan terbesar adalah regenerasi. Jumlah pemuda Osing yang tertarik dan mau menjalani tirakat keras untuk menjadi pembarong atau pawang semakin berkurang. Ilmu yang diwariskan secara lisan dan spiritual kini harus bersaing dengan pendidikan formal dan pekerjaan modern.
Selain itu, konteks pementasan telah bergeser. Barongan Sotren yang awalnya hanya dipentaskan untuk ritual sakral (ruwatan, bersih desa), kini juga tampil sebagai atraksi budaya di festival pariwisata. Pergeseran ini memunculkan dua varian: Barongan Sotren Ritual (tetap sakral dan utuh) dan Barongan Sotren Kontemporer (dipersingkat, lebih fokus pada estetika tari, dan mengurangi atau menghilangkan elemen trance yang berbahaya).
Adaptasi ini penting untuk kelangsungan hidup finansial grup kesenian, tetapi juga menimbulkan perdebatan di kalangan sesepuh tentang hilangnya kesakralan. Banyak sesepuh percaya bahwa jika ritual trance dihilangkan, maka Barongan Sotren hanya tinggal kerangka tanpa roh.
VII.B. Upaya Pelestarian Komunitas Osing
Masyarakat Osing menunjukkan ketahanan budaya yang luar biasa dalam upaya melestarikan Barongan Sotren. Beberapa sanggar seni dan komunitas lokal aktif menyelenggarakan pelatihan rutin, tidak hanya mengajarkan tari dan musik, tetapi juga etika dan spiritualitas yang menyertai kesenian ini.
- Pendokumentasian: Beberapa akademisi lokal dan budayawan Osing giat mendokumentasikan gending-gending kuno dan narasi Janturan yang terancam punah.
- Festival Adat: Pemerintah daerah Banyuwangi kini sering memasukkan Barongan Sotren dalam kalender acara besar (Banyuwangi Festival), memberikan panggung yang lebih luas dan apresiasi ekonomi kepada para seniman.
- Sistem Pewarisan: Beberapa Pawang senior kini menerapkan sistem magang yang lebih formal, memastikan bahwa calon pembarong dan penari Sotren muda tidak hanya belajar gerak, tetapi juga melakukan ritual puasa dan meditasi yang diwajibkan.
Pelestarian Barongan Sotren juga berarti menjaga bahasa Osing, karena sebagian besar Janturan dan mantra diucapkan dalam dialek Osing kuno. Bahasa dan seni adalah dua pilar yang saling menopang dalam menjaga identitas unik Suku Osing.
VII.C. Kedudukan Sotren dalam Perubahan Sosial
Peran Sotren juga mengalami evolusi seiring perkembangan zaman. Dahulu, penari Sotren haruslah seorang wanita suci atau yang terpilih secara spiritual. Kini, tuntutan profesionalisme terkadang memungkinkan peran Sotren dimainkan oleh penari pria (lanang) yang menarikan peran wanita, demi menjaga kelangsungan pertunjukan dan memenuhi kebutuhan estetika. Namun, dalam pementasan ritual murni, tradisi penari wanita seringkali tetap dipertahankan untuk menghormati representasi kekuatan feminin spiritual.
Perubahan ini mencerminkan fleksibilitas budaya Osing yang mampu beradaptasi tanpa sepenuhnya meninggalkan akarnya, sebuah karakteristik yang memungkinkan Barongan Sotren bertahan di tengah gelombang modernisasi yang masif. Keseimbangan antara keaslian ritual dan tuntutan pementasan kontemporer menjadi garis tipis yang terus dinegosiasikan oleh para pelaku seni Osing.
VIII. Analisis Mendalam Simbolisme dan Kontras
Untuk memahami kedalaman Barongan Sotren, kita perlu melihat lebih jauh ke dalam detail simbolis yang sering terlewatkan oleh penonton awam. Setiap warna, setiap motif, dan setiap jeda dalam musik memiliki makna yang berlapis.
VIII.A. Simbolisme Warna dan Kain
Warna dominan dalam kostum Barongan Sotren adalah Merah, Hitam, Kuning (Emas), dan Putih. Warna-warna ini memiliki kaitan erat dengan konsep spiritual Jawa Kuno:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, energi, nafsu, dan kekuatan yang tak tertandingi (sering dominan pada Barongan).
- Hitam (Ireng): Melambangkan keabadian, misteri, dan dimensi spiritual yang tak terjamah (pakaian dasar pembarong dan pawang).
- Kuning Emas (Kuning): Melambangkan kemuliaan, spiritualitas tinggi, dan kemakmuran (hiasan mahkota Sotren dan sulaman pada topeng Barongan).
- Putih (Putih): Melambangkan kesucian dan kemurnian (digunakan dalam sesaji dan kain yang digunakan pawang saat ritual penyucian).
Penggunaan kain batik motif Gajah Oling, yang menjadi ciri khas Banyuwangi, dalam Barongan Sotren bukan kebetulan. Gajah Oling memiliki makna filosofis 'ingatlah pada Tuhan' (eling). Kehadiran motif ini mengingatkan penampil dan penonton bahwa di tengah keganasan Barongan dan keindahan Sotren, tujuan akhirnya adalah mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
VIII.B. Kontras Gerakan sebagai Narasi
Kontras antara gerakan Tari Sotren yang terstruktur dan gerakan Barongan yang improvisatif adalah kunci narasi. Sotren menggunakan gerakan yang cenderung horizontal dan melingkar, melambangkan siklus kehidupan dan perlindungan. Barongan bergerak secara vertikal dan menghentak, melambangkan penaklukkan dan dominasi.
Titik temu kedua gerakan ini, yang sering disebut Pertemuan Agung, adalah momen ketika Sotren dengan perlahan meletakkan selendangnya di atas kepala Barongan atau menari sangat dekat dengannya. Momen ini menunjukkan bahwa kekuatan yang paling liar pun dapat dijinakkan dan diarahkan oleh keindahan spiritual dan ketenangan hati.
Analogi ini bisa diperluas ke kehidupan sosial. Barongan Sotren mengajarkan bahwa kekuasaan (Barongan) harus selalu diimbangi dengan kebijaksanaan dan keanggunan (Sotren) agar tidak menjadi tirani yang merusak, sebuah pelajaran yang sangat relevan mengingat sejarah Blambangan yang penuh perjuangan.
VIII.C. Fungsi Gamelan sebagai Komunikasi Bawah Sadar
Melodi Gamelan Osing menggunakan skala nada yang cenderung terbuka dan repetitif, sebuah teknik yang dalam studi musik etnis dikenal sangat efektif dalam memfasilitasi kondisi trance. Repetisi yang terus-menerus, digabungkan dengan volume kendang yang intens, menghilangkan orientasi waktu dan ruang bagi pembarong. Ini adalah cara masyarakat Osing menggunakan musik sebagai alat ritual yang presisi, bukan hanya pengiring semata. Frekuensi suara gong, misalnya, dipercaya mampu membersihkan energi negatif yang berkumpul di sekitar area pementasan.
Setiap nada adalah bagian dari sistem komunikasi spiritual yang telah dipahami oleh para penabuh dan pembarong selama ratusan tahun, memungkinkan mereka untuk berdialog tanpa kata-kata saat berada di ambang batas kesadaran.
IX. Barongan Sotren sebagai Penjaga Identitas Osing
Barongan Sotren bukan sekadar tarian atau drama; ia adalah monumen bergerak dari sejarah dan ketahanan Suku Osing. Kesenian ini menyimpan memori kolektif akan kejayaan Kerajaan Blambangan dan perjuangan panjang melawan dominasi dari luar.
IX.A. Manifestasi Sejarah Blambangan
Suku Osing, sebagai pewaris sah Blambangan, selalu bangga dengan garis keturunan mereka. Barongan Sotren adalah cara mereka mempertahankan narasi sejarah tanpa harus menuliskan dalam buku. Keagungan Barongan mengingatkan pada keperkasaan raja-raja Blambangan, sementara Sotren melambangkan kesuburan tanah dan kekayaan budaya yang dipertahankan mati-matian.
Pertunjukan ini seringkali dibuka dengan Gending Blambangan, sebuah komposisi musik yang penuh semangat dan heroik, yang secara eksplisit menceritakan semangat pantang menyerah. Ini adalah deklarasi identitas: kami adalah pewaris Blambangan, dan tradisi kami adalah perisai kami.
IX.B. Peran Dalam Pendidikan Budaya
Di Banyuwangi, Barongan Sotren seringkali menjadi materi wajib dalam pendidikan muatan lokal. Anak-anak Osing diajarkan untuk menghargai kesenian ini sejak dini, bukan hanya sebagai tari, tetapi sebagai pelajaran moral dan spiritualitas. Melalui Barongan Sotren, mereka belajar tentang pentingnya keseimbangan, menghormati roh leluhur, dan memahami konsep dualisme yang fundamental dalam pandangan dunia Osing.
Generasi muda diajak untuk memahami bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada kekerasan Barongan, melainkan pada kemampuan Sotren untuk mengendalikan kekuatan tersebut dengan kelembutan. Ini adalah pelajaran tentang kepemimpinan yang bijaksana, di mana kekuatan fisik harus tunduk pada kekuatan spiritual dan moral.
IX.C. Barongan dan Kesenian Kontemporer
Dalam perkembangannya, Barongan Sotren telah menginspirasi banyak seniman kontemporer Banyuwangi. Elemen-elemen visual dan musikal Barongan Sotren diadaptasi ke dalam bentuk seni modern, seperti lukisan, musik etnik kontemporer, hingga fashion. Adaptasi ini memastikan bahwa tradisi tetap relevan dan menarik bagi audiens yang lebih luas, termasuk generasi Osing yang tumbuh di lingkungan perkotaan global.
Meskipun terdapat kekhawatiran komersialisasi, adaptasi yang cerdas justru menjadi strategi pelestarian yang efektif. Dengan memasukkan roh Barongan Sotren ke dalam karya-karya modern, esensi dari tradisi ini terus hidup dan berdenyut, melampaui batas pementasan ritual semata.
X. Penutup: Warisan Ekstasi Abadi
Barongan Sotren adalah salah satu mahakarya spiritual dan seni pertunjukan yang paling berharga dari khazanah budaya Indonesia, khususnya Suku Osing di Banyuwangi. Ia berdiri sebagai kesaksian atas ketahanan sebuah kebudayaan yang berjuang untuk mempertahankan identitasnya di tengah sejarah yang penuh gejolak.
Kesenian ini mengajarkan kita bahwa seni dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan manusia dengan dimensi yang lebih tinggi, dan bahwa ritual adalah mekanisme vital untuk menjaga harmoni kosmik dan sosial. Dari irama mistis Gamelan Osing, kegarangan topeng Barongan, hingga keanggunan tarian Sotren, setiap bagian dari pertunjukan ini adalah pelajaran filosofis tentang dualisme, keseimbangan, dan kekuatan spiritual yang tersimpan dalam diri kolektif.
Warisan Barongan Sotren harus terus dijaga, bukan hanya sebagai tontonan yang eksotis, tetapi sebagai sumber ilmu spiritual dan kearifan lokal yang tak ternilai harganya. Dengan menghormati dan melestarikan tradisi ini, kita tidak hanya menghormati leluhur Blambangan, tetapi juga memastikan bahwa roh dan ekstasi Barongan Sotren akan terus bersemayam dan memberikan berkah bagi Tanah Osing, generasi demi generasi.
Memahami Barongan Sotren adalah memahami Banyuwangi; sebuah tempat di mana kekuatan liar dan kelembutan spiritual bertemu dalam sebuah tarian abadi.