I. Pendahuluan: Definisi dan Kedudukan Budaya
Barongan Turonggo Laras bukan sekadar pertunjukan seni tari biasa, melainkan sebuah manifestasi kompleks dari sinkretisme budaya, spiritualitas Jawa, dan warisan tradisi pra-Islam yang kuat. Kesenian ini, yang akarnya terentang luas di wilayah Jawa Timur, khususnya daerah-daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah—seperti Kediri, Tulungagung, dan Nganjuk—merupakan adaptasi dan evolusi dari kesenian Jaranan Kepang atau sering disebut juga Jathilan.
Secara etimologis, "Barongan" merujuk pada topeng besar berwujud singa atau harimau yang mewakili kekuatan gaib atau entitas mitologis. Sementara "Turonggo" berarti kuda (kuda lumping), dan "Laras" mengacu pada harmoni, keselarasan, atau ritme. Dengan demikian, Barongan Turonggo Laras dapat diartikan sebagai "Harmoni Kuda Lumping yang Diiringi oleh Kekuatan Barongan." Kesenian ini dikenal karena intensitas ritualistiknya, di mana batas antara realitas dan dunia gaib menjadi kabur, terutama saat fase ndadi atau kesurupan terjadi.
Fungsi kesenian ini sangat multidimensi. Pada awalnya, ia sering digunakan sebagai ritual tolak bala, upacara panen raya, atau ungkapan syukur. Namun, seiring waktu, ia bertransformasi menjadi hiburan rakyat yang tetap mempertahankan inti sakralnya. Pertunjukan ini selalu melibatkan interaksi antara manusia, hewan (simbolis dalam kuda lumping), dan roh leluhur yang diyakini hadir melalui medium Barongan dan para penari.
Kedudukan Barongan Turonggo Laras dalam khazanah budaya Jawa Timur sangat penting sebagai penjaga tradisi lisan dan visual. Berbeda dengan Reog Ponorogo yang memiliki fokus naratif pada kisah Raja Klono Sewandono dan Dewi Songgolangit, Turonggo Laras cenderung lebih menekankan pada dinamika energi, kekuatan spiritual, dan pertarungan internal dalam diri penari.
II. Akar Historis dan Mitologi
Sejarah Barongan Turonggo Laras tidak tercatat dalam kronik resmi kerajaan, melainkan hidup dalam tradisi lisan dan memori kolektif masyarakat desa. Kesenian ini diduga kuat merupakan kelanjutan atau pengembangan dari ritual purba yang dilakukan oleh masyarakat agraris untuk memuja dewa-dewa kesuburan atau roh pelindung sawah dan hutan.
A. Transisi dari Kesenian Pra-Islam
Sebelum masuknya pengaruh Islam yang masif, wilayah Jawa, terutama bagian timur, kaya akan kepercayaan animisme dan dinamisme. Penggunaan topeng raksasa (Barongan) diyakini sebagai medium untuk memanggil roh penjaga atau roh leluhur yang dikenal sebagai dhanyang desa. Topeng Singo Barong sendiri merupakan representasi visual dari kekuatan alam yang liar dan tak terkendali, seringkali disimbolkan sebagai Raja Hutan atau Singa mitologis.
Elemen kuda lumping (Turonggo) yang terbuat dari anyaman bambu menunjuk pada periode di mana kuda memiliki nilai strategis dan simbolis tinggi, baik dalam peperangan maupun sebagai kendaraan spiritual. Beberapa teori mengaitkan Jaranan dengan kisah Arya Wiraraja, atau bahkan adaptasi dari latihan militer prajurit kerajaan Majapahit atau Singasari, yang kemudian disamarkan menjadi bentuk tarian rakyat setelah keruntuhan kerajaan tersebut, demi menghindari penindasan oleh penguasa baru atau penyebar agama yang tidak menyukai pertunjukan yang berbau pagan.
Turonggo Laras seringkali dianggap sebagai bentuk Jaranan yang mengalami ‘pematangan’ spiritual. Jika Jaranan biasa lebih menekankan pada tarian massal, Turonggo Laras menambahkan lapisan ritual yang lebih mendalam, di mana peran Singo Barong tidak hanya sebagai karakter, tetapi sebagai pusaka hidup yang diyakini memiliki daya magis tinggi.
B. Narasi Mitologis dan Filosofis
Meskipun Barongan Turonggo Laras tidak selalu menceritakan kisah yang linear seperti wayang, ia membawa narasi mitologis tentang keseimbangan kosmos. Barongan, dengan wujudnya yang ganas dan menyeramkan, melambangkan nafsu amarah, sifat duniawi, dan potensi kekacauan (Marah dan Luamah). Sementara para penari kuda lumping yang bergerak serempak melambangkan disiplin, tatanan masyarakat, dan keharmonisan (Muthmainnah dan Sufiyah).
Klimaks pertunjukan, di mana Singo Barong mengejar dan "memakan" para penari kuda lumping, diikuti oleh fase ndadi (trance), adalah momen puncak filosofis. Ini melambangkan proses pengujian spiritual. Penari yang ndadi menunjukkan bahwa mereka telah "ditembus" oleh energi gaib, entah roh pelindung atau energi Barongan itu sendiri. Prosesi ini adalah visualisasi dari bagaimana manusia harus menghadapi dan mengendalikan energi liar dalam dirinya.
Dalam konteks Turonggo Laras, Singo Barong juga sering diinterpretasikan sebagai penjaga gerbang spiritual. Dia tidak hanya ganas, tetapi juga adil. Kekuatan ini hanya akan bermanifestasi sepenuhnya jika penarinya memiliki kemurnian niat dan telah menjalani puasa atau ritual penyucian sebelum pertunjukan. Ini adalah etos yang membedakan pertunjukan Barongan yang bersifat ritual dengan yang sekadar hiburan.
III. Elemen Utama Pertunjukan dan Kostum
Sebuah pertunjukan Barongan Turonggo Laras melibatkan puluhan personel dengan peran yang sangat spesifik. Kesuksesan ritual tergantung pada sinergi yang sempurna antara instrumen, penari, dan spiritualis.
A. Karakter Sentral: Barongan (Singo Barong)
Barongan adalah jantung dari kesenian ini. Wujudnya berupa topeng kepala singa raksasa yang dilengkapi dengan mahkota dari ijuk atau rambut kuda, serta hiasan cermin dan manik-manik. Topeng ini biasanya terbuat dari kayu yang telah diberkahi (dijantur) dan seringkali menjadi pusaka turun-temurun kelompok seni.
- Wujud Fisik: Barongan memiliki mata melotot, taring tajam, dan lidah menjulur yang merah menyala. Berat Barongan bisa mencapai puluhan kilogram, memerlukan kekuatan fisik dan spiritual yang luar biasa bagi pembarong (orang yang memanggul Barongan).
- Prosesi Pembuatan: Kayu yang digunakan seringkali adalah kayu tertentu (misalnya, Dadap Serep atau Nangka) yang diyakini memiliki kekuatan magis. Sebelum diukir, kayu harus melalui ritual pemotongan dan penanaman kembali sebagian kecilnya sebagai bentuk penghormatan kepada roh pohon.
- Peran Spiritual: Singo Barong dipercaya sebagai wadah bagi arwah agung. Ketika Barongan bergerak liar, ia tidak hanya menari, tetapi sedang melakukan intervensi spiritual di lokasi pertunjukan.
B. Penari Kuda Lumping (Turonggo Laras)
Penari kuda lumping, atau Jathil, adalah elemen dinamis dari pertunjukan. Mereka menunggangi replika kuda dari bambu. Gerakan mereka yang kompak dan energetik melambangkan barisan prajurit yang siap tempur. Namun, di balik seragam prajurit, mereka membawa kerentanan yang akan dieksploitasi dalam fase trance.
Kostum Turonggo Laras sangat khas: kain motif parang atau lurik, celana panji, ikat kepala, dan aksesoris gelang serta kalung. Warna kostum seringkali didominasi oleh merah, hitam, dan emas, melambangkan keberanian, kekuasaan, dan kemuliaan.
Gerakan tari Jathil melibatkan unsur ketangkasan dan kekompakan. Ada beberapa pola gerak dasar yang harus dikuasai, seperti gerak cende (berjalan cepat), pacu (lari seperti kuda), dan seblak (mengibas kepala atau rambut). Keseimbangan gerak ini menciptakan Laras (harmoni) yang menjadi bagian integral dari nama kesenian ini.
C. Pembarong dan Pawang (Pengendali Spiritual)
Pembarong adalah individu yang secara fisik memanggul dan menarikan Barongan. Tugas ini menuntut stamina prima dan ketahanan spiritual. Pembarong harus mampu menahan beban fisik Barongan sembari menirukan gerak singa yang garang, bahkan ketika memasuki fase trance. Mereka seringkali adalah keturunan atau murid langsung dari sesepuh kelompok.
Pawang atau Sesepuh (sering disebut juga Bopo) adalah kunci keamanan dan keberhasilan ritual. Dialah yang bertanggung jawab mengawali dan mengakhiri fase ndadi. Pawang memiliki pengetahuan mendalam tentang mantra, uborampe (sesaji), dan obat-obatan tradisional untuk ‘menarik’ roh atau ‘menyembuhkan’ penari yang kesurupan. Pawang bertindak sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia gaib.
IV. Musik Pengiring dan Ritme Gamelan
Musik (Karawitan) dalam Barongan Turonggo Laras bukan hanya latar belakang, melainkan kekuatan pendorong yang memicu dan mempertahankan fase ndadi. Ritmenya harus spesifik, keras, dan mampu memanggil roh.
A. Instrumen Utama
Gamelan yang digunakan dalam Barongan Turonggo Laras cenderung lebih sederhana dan lebih berorientasi pada ritme ketukan yang kuat dibandingkan Gamelan keraton yang lembut.
- Kendang: Instrumen terpenting. Kendang Gendhing, Kendang Ciblon, dan Kendang Kempul memberikan irama yang cepat dan bersemangat. Ketukan kendang yang berulang dan dinamis berfungsi sebagai hipnosis audio yang mempersiapkan penari untuk trance.
- Slompret/Suling: Alat tiup yang mengeluarkan suara melengking tajam. Melodi slompret seringkali terdengar dramatis dan sedih pada awal pertunjukan (menarik perhatian), namun berubah menjadi suara yang menantang dan memanggil saat fase Barongan dimulai.
- Gong dan Kempul: Memberikan penanda waktu dan irama. Pukulan gong yang dalam menandakan perubahan babak atau puncaknya ritual.
- Kenong dan Saron: Memberikan harmonisasi melodi dasar, meskipun dalam Barongan, irama lebih dominan daripada melodi.
B. Fungsi Ritmis dalam Trance
Ritme yang dimainkan oleh penabuh Gamelan (Niyaga) harus disesuaikan dengan kondisi penari. Jika seorang penari mulai menunjukkan gejala kesurupan (gerakan tak terkontrol, mata kosong), niyaga akan mempercepat tempo, memprovokasi roh tersebut untuk bermanifestasi sepenuhnya. Musik adalah bahasa roh; dengan ritme yang tepat, Pawang dapat berkomunikasi dengan entitas yang merasuki penari. Proses percepatan dan deselerasi tempo ini adalah seni pengendalian massal yang luar biasa.
Terdapat pola ritmis tertentu yang hanya dimainkan saat Barongan benar-benar ‘hidup’. Ritme ini sangat keras dan mendominasi, menekan semua suara lain, dan berfungsi sebagai panggilan bagi roh Singo Barong untuk bertarung dengan roh-roh yang merasuki penari Turonggo Laras. Pertarungan antara penari yang kesurupan, Barongan, dan Pawang adalah inti visual dari Turonggo Laras.
V. Prosesi Ritual dan Fase Ndadi
Pertunjukan Barongan Turonggo Laras dibagi menjadi beberapa tahapan ritual yang ketat, memastikan bahwa energi spiritual dikelola dengan baik dari awal hingga akhir.
A. Persiapan dan Sesajen (Uborampe)
Beberapa hari sebelum pertunjukan, para penari inti dan Pawang akan menjalani ritual penyucian diri (puasa, pantangan tertentu). Pada hari-H, Sesajen harus disiapkan dengan cermat. Sesajen ini biasanya meliputi:
- Kembang Tujuh Rupa: Untuk menghormati tujuh lapis bumi dan langit.
- Dupa dan Kemenyan: Sebagai penghubung spiritual, asapnya dipercaya membawa pesan ke dunia gaib.
- Ingkung Ayam (Ayam panggang utuh): Simbol kesempurnaan dan persembahan kepada roh.
- Jajan Pasar dan Kopi Pahit/Manis: Makanan favorit para arwah.
- Uang logam dan beras kuning: Sebagai tolak bala dan simbol rezeki.
Sesajen diletakkan di tengah arena atau di depan Barongan yang belum dimainkan. Pawang akan memimpin doa (mantra) untuk memohon izin dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa dan roh-roh penjaga setempat.
B. Tarian Pembuka (Gandrung dan Lawakan)
Pertunjukan dimulai dengan tarian yang lebih ringan, seringkali tarian Gandrung (tarian muda-mudi) atau tarian pembukaan oleh penari yang tidak terlibat dalam trance. Bagian ini berfungsi untuk menarik keramaian dan ‘memanaskan’ suasana. Lawakan atau badutan juga sering dimasukkan untuk mencairkan ketegangan, meskipun Lawakan ini juga memiliki peran sebagai pengalih perhatian agar Barongan dapat ‘masuk’ tanpa disadari oleh penonton yang lemah imannya.
C. Puncak Ritual: Trance (Ndadi)
Fase ndadi adalah ciri khas Barongan Turonggo Laras. Setelah intensitas musik meningkat dan Barongan mulai menari dengan liar, penari Jathil (Turonggo Laras) satu per satu akan kehilangan kesadaran dan dirasuki oleh roh. Roh yang merasuki bisa berupa roh harimau, kera, atau bahkan roh leluhur yang disebut dhanyang.
Dalam kondisi ndadi, penari melakukan hal-hal yang mustahil dalam keadaan sadar: memakan beling, mengupas kelapa menggunakan gigi, memakan bunga, atau menunjukkan kekebalan terhadap cambukan pecut (cemeti) Pawang. Tindakan-tindakan ini adalah demonstrasi kekuatan gaib yang hadir. Pawang menggunakan Pecut Samandiman (cambuk pusaka) bukan untuk menyiksa, tetapi untuk mengontrol arah gerakan roh dan mencegah penari keluar dari batas aman pertunjukan.
Pertarungan antara Singo Barong yang ganas dan penari yang ndadi adalah adegan dramatis. Singo Barong melambangkan ‘Sang Penguji’, menguji ketahanan spiritual dan fisik para penari. Hanya dengan intervensi Pawang yang menggunakan doa dan air suci (tirto), roh-roh tersebut dapat ditarik kembali, dan penari kembali sadar.
D. Penutup dan Pemanasan Roh
Setelah semua penari berhasil disadarkan, Barongan melakukan tarian penutup yang lebih tenang. Ritual penutup (pemanasan) dilakukan oleh Pawang untuk memastikan bahwa tidak ada roh jahat yang tertinggal dalam arena atau mengikuti penonton dan penari. Semua sisa sesajen kemudian dikumpulkan dan diperlakukan sesuai tradisi, seringkali dikubur atau dihanyutkan ke sungai sebagai simbol pengembalian ke alam.
VI. Filosofi Mendalam dan Simbolisme Gerak
Barongan Turonggo Laras adalah sebuah teks filosofis yang dimainkan secara visual. Setiap elemen dan gerakan mengandung makna yang jauh melampaui sekadar hiburan.
A. Simbolisme Topeng dan Pewarnaan
Warna pada topeng Barongan adalah kunci interpretasi:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, energi, dan amarah (nafsu Amarah). Merah yang dominan pada wajah Barongan menunjukkan potensi kekacauan dan kekuatan primal.
- Hitam (Ireng): Melambangkan misteri, kekuasaan, dan kegelapan, namun juga ketegasan (nafsu Luamah).
- Emas/Kuning (Kuningan): Melambangkan kemuliaan dan spiritualitas yang lebih tinggi (nafsu Sufiyah), menunjukkan bahwa meskipun liar, Barongan tetap berada dalam tatanan spiritual.
Rambut ijuk yang tebal pada Barongan melambangkan hutan belantara, tempat kekuatan liar bersemayam. Ketika Barongan menggelengkan kepalanya dengan liar, itu adalah penggambaran pelepasan energi kosmis yang kacau.
B. Simbolisme Kuda dan Pecut
Kuda Lumping (Turonggo) melambangkan kendaraan spiritual dan fisik. Kuda adalah representasi hawa nafsu manusia yang harus dikendalikan. Ketika penari ndadi dan bergerak seperti hewan, mereka menunjukkan kegagalan dalam mengendalikan hawa nafsu, yang kemudian diperangi oleh kesadaran spiritual yang dilambangkan oleh Singo Barong.
Pecut (cambuk) Pawang adalah simbol otoritas dan disiplin. Pecut adalah alat untuk ‘mencambuk’ kesadaran, mengingatkan roh-roh yang merasuki bahwa mereka harus tunduk pada kehendak Pawang, yang mewakili tatanan ilahi. Cambukan pecut bukan bersifat fisik, melainkan energi murni yang menyalurkan perintah Pawang.
C. Makna Trance (Ndadi) Sebagai Katarsis Sosial
Ndadi dalam Barongan Turonggo Laras berfungsi sebagai katarsis (pembersihan). Dalam masyarakat agraris tradisional, emosi dan tekanan hidup seringkali tidak memiliki saluran pelepasan yang aman. Melalui ndadi, masyarakat (baik penari maupun penonton) menyaksikan pelepasan energi liar, kekacauan batin, dan konflik spiritual. Dengan melihatnya, masyarakat merasa beban batin mereka terwakili dan dilepaskan. Trance menjadi pembersihan spiritual komunal.
Filosofi utama yang ditawarkan oleh Barongan Turonggo Laras adalah konsep Rwa Bhineda (dua hal yang berbeda tapi saling melengkapi) atau keseimbangan antara yang tampak dan yang gaib (sekala dan niskala). Barongan dan Jaranan adalah manifestasi dari dualitas ini: keindahan tari (sekala) dan kekuatan gaib (niskala) menyatu dalam satu pertunjukan.
VII. Perkembangan, Pelestarian, dan Tantangan Modern
Seperti banyak kesenian tradisional lainnya, Barongan Turonggo Laras menghadapi tantangan besar di era modern. Meskipun demikian, daya tarik mistisnya memastikan kesenian ini terus bertahan dan bahkan mengalami regenerasi.
A. Adaptasi dalam Pementasan
Untuk menarik audiens yang lebih muda dan lebih luas, banyak kelompok Barongan Turonggo Laras telah mengadaptasi struktur pertunjukan mereka. Durasi pertunjukan seringkali dipersingkat, dan elemen lawakan modern atau musik dangdut (koplo) sering disisipkan di antara babak ritual. Meskipun demikian, kelompok-kelompok yang sangat menjaga kemurnian tradisi tetap mempertahankan prosesi inti ndadi dan sesajennya.
Di beberapa daerah, Barongan Turonggo Laras telah dikolaborasikan dengan kesenian modern lain, seperti teater kontemporer atau festival seni internasional. Adaptasi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kekayaan ritual Jawa dapat berdialog dengan estetika global tanpa kehilangan identitas spiritualnya.
B. Isu Komersialisasi dan Keaslian
Komersialisasi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menyediakan dana bagi kelompok untuk membeli kostum baru, merawat pusaka (Barongan), dan menghidupi para seniman. Di sisi lain, tekanan komersial dapat mendorong penghilangan elemen ritual yang dianggap ‘memperlambat’ pertunjukan, seperti durasi sesajen atau fase ndadi yang terlalu lama. Beberapa pertunjukan Barongan yang murni hiburan seringkali hanya menampilkan topeng dan tarian tanpa adanya fase trance yang sesungguhnya, menyebabkan hilangnya roh kesenian tersebut.
Tantangan terbesar adalah transmisi pengetahuan spiritual. Menjadi Pawang atau Pembarong sejati membutuhkan bertahun-tahun puasa, meditasi, dan pemahaman mendalam tentang mantra dan tradisi. Generasi muda saat ini seringkali hanya tertarik pada aspek visual dan adrenalin dari ndadi, tanpa memiliki komitmen untuk menjalani disiplin spiritual yang dibutuhkan.
VIII. Analisis Sosiologis dan Peran Komunitas
Barongan Turonggo Laras adalah cerminan dari struktur sosial dan sistem kepercayaan masyarakat pendukungnya. Eksistensinya tidak terlepas dari peran komunitas.
A. Integrasi Sosial dan Identitas Lokal
Kelompok Barongan seringkali menjadi institusi non-formal yang paling penting di tingkat desa. Mereka berfungsi sebagai penjaga kearifan lokal, sumber hiburan, dan penentu identitas budaya. Kesenian ini mengajarkan nilai-nilai kolektivitas, di mana kegagalan satu penari akan mempengaruhi keseluruhan ritual. Sifat kolektif ini memperkuat ikatan sosial (gotong royong) di desa.
Setiap kelompok Barongan Turonggo Laras memiliki ciri khas tersendiri, baik dalam bentuk topeng, gaya musik, atau bahkan mantra yang digunakan. Perbedaan ini menciptakan keragaman, namun pada saat yang sama, memberikan kebanggaan identitas lokal yang kuat. Mereka adalah pewaris yang menjaga garis keturunan spiritual desa.
B. Barongan sebagai Media Pendidikan Moral
Meskipun tampak liar dan keras, inti dari Barongan Turonggo Laras adalah pendidikan moral. Seluruh pertunjukan adalah alegori (kiasan) tentang perjuangan manusia melawan hawa nafsu dan kesengsaraan duniawi. Barongan mengajarkan bahwa kekuatan terbesar bukanlah kekuatan fisik, melainkan kemampuan mengendalikan diri dan berserah pada tatanan yang lebih tinggi.
Kisah-kisah yang dibawakan dalam Turonggo Laras seringkali mencakup tema pengabdian, keberanian, dan kesetiaan. Melalui tarian yang enerjik dan penuh bahaya (ndadi), penonton diingatkan tentang konsekuensi jika seseorang membiarkan nafsu menguasai akal sehat mereka.
IX. Mendalami Makna Setiap Karakter dan Pakaian
Selain Singo Barong dan Turonggo Laras, pertunjukan ini diperkaya oleh karakter pendukung yang memiliki peran signifikan dalam melengkapi narasi ritualistik dan sosial.
A. Tokoh Bujang Ganong (Pengiring Singa)
Dalam beberapa varian Turonggo Laras yang dipengaruhi kuat oleh Reog, karakter Bujang Ganong atau Ganongan sering muncul. Ganongan adalah topeng kera yang berwajah lucu namun energik. Ia melambangkan pengikut setia Barongan yang cerdik, lincah, dan kadang nakal. Peran Ganongan adalah menjembatani interaksi antara Barongan yang agung dan penonton. Gerakannya yang akrobatik dan jenaka seringkali diselipkan untuk mengurangi aura mistis yang terlalu berat.
B. Pakaian Penari Wanita (Jathil Putri)
Di beberapa kelompok, terdapat Jathil Putri yang bertugas menarikan kuda lumping wanita. Peran Jathil Putri sangat penting karena mereka melambangkan kelembutan, kesuburan, dan Dewi Sri (Dewi Padi). Gerakan mereka yang lebih halus, kontras dengan keganasan Barongan, menciptakan keseimbangan estetika. Kehadiran mereka menegaskan bahwa kekuatan tidak hanya bersumber dari keagresifan, tetapi juga dari keharmonisan dan femininitas.
C. Pusaka dan Atribut Magis
Setiap atribut yang dibawa memiliki makna magis:
- Keris: Keris yang dibawa Pawang atau disematkan di pinggang penari bertindak sebagai pelindung dan penangkal roh jahat. Keris bukan sekadar senjata, tetapi representasi dari manunggaling kawula lan Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang menunjukkan bahwa seniman telah mempersiapkan diri secara spiritual.
- Ikat Kepala (Udeng): Melambangkan pengendalian pikiran dan fokus spiritual. Udeng yang dikenakan oleh penari harus diikat dengan simpul yang benar sesuai pakem tradisi kelompok.
- Warna Kain: Kain batik yang dikenakan, seperti Parang Rusak, bukan hanya motif hiasan, tetapi memiliki makna filosofis tentang perjuangan tanpa akhir melawan godaan duniawi.
X. Barongan Turonggo Laras sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Barongan Turonggo Laras bukan hanya aset lokal, tetapi bagian dari warisan budaya tak benda Indonesia yang harus dilestarikan secara sistematis.
A. Upaya Revitalisasi dan Dokumentasi
Saat ini, banyak akademisi dan budayawan yang berupaya mendokumentasikan pakem (aturan baku) dan sejarah lisan Turonggo Laras. Dokumentasi ini penting untuk mencegah modifikasi berlebihan yang dapat menghilangkan nilai-nilai spiritualnya. Revitalisasi dilakukan melalui festival-festival budaya yang memberi ruang bagi kelompok-kelompok tradisional untuk tampil tanpa tekanan komersial.
B. Menjaga Kesakralan dalam Modernitas
Tantangan utama pelestarian adalah menjaga garis batas antara ritual yang sakral dan pertunjukan yang profan. Para sesepuh sangat menekankan bahwa Barongan Turonggo Laras harus tetap dianggap sebagai seni ritual, bahkan jika ditampilkan di panggung modern. Aturan ini memastikan bahwa respect (penghormatan) terhadap pusaka dan spiritualitas tetap terjaga, mencegah Barongan menjadi sekadar replika topeng tanpa jiwa.
Kesinambungan Barongan Turonggo Laras bergantung pada komitmen komunitas untuk mewariskan pengetahuan secara holistik—tidak hanya gerakan tari dan musiknya, tetapi juga mantra, etika spiritual, dan filosofi hidup yang terkandung di dalamnya. Kesenian ini adalah simbol abadi dari keberanian masyarakat Jawa untuk berhadapan langsung dengan kekuatan alam dan spiritual yang tak terlihat, menjadikannya salah satu kesenian yang paling kaya dan menantang di nusantara.