Panggilan Agung: Mengapa Kita Harus Berkata "Ayo Barongan!"
Ayo Barongan! Lebih dari sekadar seruan untuk menyaksikan pertunjukan topeng raksasa, kalimat ini adalah sebuah panggilan kultural yang menggaung, menjangkau jauh ke dalam relung sejarah dan spiritualitas Nusantara. Barongan, sebagai representasi ikonik dari kesenian tradisional, terutama melalui entitas megah seperti Reog Ponorogo, bukan hanya sebuah tontonan, melainkan sebuah manifestasi kompleks dari filosofi hidup, keberanian, dan hubungan manusia dengan alam gaib.
Di setiap lekuk ukiran topeng Singa Barong, di setiap gerak liuk penari Jathil yang gemulai, dan di setiap hentakan irama Gamelan yang memukau, tersembunyi ribuan kisah tentang masa lalu, tentang perebutan kekuasaan, asmara agung, hingga perjuangan melawan ego dan nafsu. Seruan ini adalah ajakan untuk memahami bahwa kebudayaan adalah jiwa bangsa, dan Barongan adalah salah satu denyut jantungnya yang paling keras dan paling otentik.
Di era modern yang serba cepat dan digital ini, ancaman terhadap pelestarian warisan budaya sangat nyata. Generasi muda mungkin lebih akrab dengan budaya global ketimbang akar tradisi mereka sendiri. Oleh karena itu, frasa "Ayo Barongan" berfungsi sebagai penarik perhatian, sebuah remang-remang yang mengingatkan kita akan keagungan identitas yang terukir dalam seni pertunjukan rakyat ini. Kita diajak untuk meresapi bukan hanya keindahan visualnya, tetapi juga kedalaman mistis dan historis yang membungkus setiap elemen pertunjukannya.
Artikel ini akan menjadi perjalanan epik melintasi lorong waktu dan makna, menyingkap lapis demi lapis kompleksitas Barongan. Dari mitologi pendiriannya yang dibalut legenda Raja-raja Kediri dan Bantarangin, hingga detail-detail rumit dalam pembuatan mahkota merak (Kucingan) yang membutuhkan keahlian spiritual dan artistik tingkat tinggi. Kita akan menelusuri arsitektur pertunjukan itu sendiri, memahami peran fundamental dari setiap tokoh: Wajah tampan dan lincah Bujang Ganong, kewibawaan Raja Klono Sewandono, keanggunan Dewi Songgo Langit, dan tentunya, kegarangan simbolis Singa Barong yang menjadi penanda utama pertunjukan ini.
Inilah saatnya bagi kita, pewaris kebudayaan ini, untuk menyambut gema tradisi. Mari kita singkirkan sejenak hiruk-pikuk kekinian dan menenggelamkan diri dalam ritme Gamelan, dalam spirit yang dihidupkan kembali oleh kalimat sakral: Ayo Barongan!
Menyingkap Tabir Mitologi: Akar Historis Sang Raja Hutan
Sejarah Barongan, khususnya yang terintegrasi dalam Reog Ponorogo, bukanlah narasi linier yang mudah dilacak. Ia adalah jalinan antara fakta sejarah, dongeng, dan interpretasi spiritual yang telah berevolusi selama ratusan tahun. Inti dari mitologi Barongan berpusat pada kisah perseteruan dan cinta yang melibatkan kerajaan-kerajaan Jawa kuno, terkhusus di wilayah Mataram Lama dan Kediri.
Klono Sewandono dan Pengejaran Cinta Abadi
Salah satu versi paling populer yang menjelaskan keberadaan Barongan adalah kisah Raja Klono Sewandono dari Kerajaan Bantarangin, seorang raja tampan dan sakti yang terobsesi pada kecantikan luar biasa Dewi Songgo Langit, Putri Kediri. Untuk meminang sang dewi, Klono Sewandono harus melewati berbagai rintangan. Legenda menceritakan bahwa di tengah perjalanannya yang megah bersama iringan prajurit Jathil yang menunggang kuda kepang, ia dihadang oleh makhluk buas yang sangat menakutkan.
Makhluk tersebut diyakini adalah manifestasi dari Raja Singo Barong, yang digambarkan sebagai raja hutan yang sakti, berwajah singa dengan mahkota yang dihiasi bulu-bulu merak. Konflik antara Klono Sewandono, yang mewakili tata krama dan kemuliaan istana, dan Singo Barong, yang melambangkan kekuatan liar, menciptakan drama pertarungan yang akhirnya menjadi inti dari pertunjukan Barongan itu sendiri.
Interpretasi Filosofis Singa Barong
Singa Barong (atau Barongan itu sendiri) tidak hanya sekadar kepala singa raksasa. Konstruksi ini merupakan salah satu pencapaian seni rupa tradisional terbesar. Beratnya bisa mencapai 50 hingga 60 kilogram, terbuat dari rangka bambu dan kayu, dengan penutup topeng berupa kulit macan atau harimau asli (sebelum digantikan oleh imitasi atau bahan sintetis karena konservasi). Bagian terpenting adalah ‘Kucingan’ atau mahkota merak. Ada beberapa interpretasi mengenai kehadiran merak di kepala singa:
- Simbol Kekuasaan Majapahit: Merak sering dikaitkan dengan simbol keagungan dan kemuliaan pada masa kerajaan Hindu-Buddha.
- Pengaruh Etnis Tionghoa: Beberapa sejarawan menghubungkan mahkota merak dengan pengaruh budaya Tionghoa yang masuk melalui jalur perdagangan di Jawa Timur, yang dikenal menggunakan bulu burung merak sebagai hiasan keagungan.
- Penaklukkan Alam Liar: Secara spiritual, merak yang indah dan anggun di atas kepala singa yang buas melambangkan harmonisasi antara kecerdasan (merak) dan kekuatan alam (singa).
Proses sakralisasi Singa Barong sangatlah penting. Sebelum Barongan dapat digunakan, seringkali diperlukan ritual ‘penghidupan’ atau selamatan, di mana seniman dan pemangku adat memohon izin dan memasukkan spirit ke dalam topeng agar Barongan memiliki daya tarik dan energi magis yang kuat. Pemain Singa Barong (pembarong) adalah individu terpilih, yang tidak hanya kuat secara fisik tetapi juga memiliki kematangan spiritual untuk menahan beban fisik dan energi spiritual topeng tersebut.
Seruan "Ayo Barongan" adalah sebuah otobiografi kolektif. Ia menceritakan bagaimana masyarakat Jawa kuno menghadapi dualisme kekuatan alam, antara yang halus dan yang kasar, antara keindahan dan keganasan.
Orkestrasi Budaya: Mengenal Tokoh dan Gerakan Sentral
Pertunjukan Barongan adalah sebuah teater total yang melibatkan berbagai elemen, mulai dari musik, tari, drama, hingga unsur magis (jika dilakukan secara tradisional). Kekuatan utamanya terletak pada interaksi dinamis antara para karakternya. Untuk benar-benar memahami seruan Ayo Barongan!, kita harus mengenal lebih dekat pilar-pilar pertunjukan ini.
1. Singa Barong (Barongan): Inti Pertunjukan
Singa Barong adalah roh dari pertunjukan. Pembarong harus menopang kepala raksasa Barongan hanya dengan kekuatan giginya—sebuah tugas yang membutuhkan ketahanan leher dan rahang luar biasa. Gerakan Barongan melambangkan kegarangan, kekuatan, dan terkadang kebingungan. Tarian utamanya melibatkan gerakan kepala yang menghentak, menggeram, dan mengejar, menciptakan suasana yang mencekam namun memukau.
Secara fisik, kepala Barongan dibuat dari bambu dan kayu dadap, yang dikenal ringan namun kuat. Penutupnya menggunakan ijuk atau rambut sintetis untuk memberikan kesan surai yang tebal. Sementara bulu merak yang tersusun di mahkota (Kucingan) dapat berjumlah ratusan, disusun secara artistik sehingga menciptakan efek gemerlap saat bergerak tertiup angin atau terkena cahaya. Pembuatan Barongan adalah warisan turun-temurun, di mana setiap pengrajin memiliki rahasia tersendiri dalam merangkai struktur agar kokoh dan seimbang saat dikenakan.
2. Bujang Ganong (Ganongan): Penjaga dan Pelawak
Bujang Ganong adalah salah satu karakter paling hidup dan energik. Dengan topeng berhidung panjang, mata melotot, dan rambut palsu yang gimbal, Ganong adalah senapati (panglima perang) dari Klono Sewandono. Perannya vital sebagai penghubung antara pertunjukan dan penonton. Ia adalah sosok yang lincah, ahli akrobatik, sekaligus pembawa pesan humor yang cerdas.
Filosofi Ganong sering diartikan sebagai representasi dari manusia biasa—penuh energi, sedikit serakah, namun setia dan jujur. Gerakannya yang cepat, lompatan tinggi, dan interaksi spontan dengan penonton menjadikan Ganong selalu dinanti. Keahlian penari Ganong tidak hanya terbatas pada tari, tetapi juga kemampuan improvisasi dan komunikasi yang kuat.
3. Jathil (Jaran Kepang): Keanggunan Ksatria Wanita
Jathil adalah penari kuda kepang yang secara tradisional dibawakan oleh wanita, meskipun kini sering diperankan oleh penari pria muda dengan riasan dan kostum wanita. Jathil melambangkan prajurit wanita yang gagah berani, mengiringi perjalanan Raja Klono Sewandono. Kuda kepang yang mereka tunggangi terbuat dari anyaman bambu atau kulit sapi tipis, dihias dengan pernak-pernik yang cerah.
Gerakan Jathil sangat menekankan keanggunan, sinkronisasi, dan ritme. Tarian mereka halus namun tegas, menunjukkan kekuatan yang lembut. Dalam konteks spiritual, tarian Jathil sering menjadi pintu gerbang bagi elemen trance atau ndadi, di mana penari memasuki kondisi kesurupan, yang menambah aura mistis pada pertunjukan.
4. Klono Sewandono: Kewibawaan dan Kekuatan
Raja Klono Sewandono adalah karakter utama yang memulai narasi. Ia mengenakan topeng berwarna merah cerah dengan mahkota dan hiasan yang mewah, serta memegang pecut (cambuk) atau ‘Pecut Samandiman’ yang legendaris. Gerakannya tenang, berwibawa, namun memancarkan kekuatan seorang raja yang memimpin pasukannya untuk memenangkan hati pujaan hati.
5. Musik Gamelan dan Irama Khas
Tidak ada Barongan tanpa Gamelan. Musik ini adalah nyawa pertunjukan, yang menggerakkan tarian dan mengontrol suasana, terutama saat memasuki fase trance. Instrumen kunci meliputi: Kendang (pengatur tempo), Gong (penanda siklus ritme), Saron, Kenong, dan Slenthem (pembawa melodi). Irama Barongan sangat khas, seringkali menggunakan laras pelog atau slendro, namun dengan nuansa yang lebih cepat, keras, dan repetitif, khususnya saat menggambarkan pertarungan atau saat Barongan sedang mengamuk.
Musikalitas dalam Barongan adalah perpaduan seni dan sinyal. Setiap perubahan irama memberikan kode kepada penari tentang gerakan selanjutnya, dan kepada penonton tentang perubahan suasana hati Singa Barong. Ketika irama Kendang mencapai puncaknya dengan tempo yang sangat cepat dan repetitif, ini adalah indikasi bahwa energi spiritual di panggung sedang memuncak, seringkali memicu fenomena ndadi di kalangan penari Jathil atau bahkan penonton yang memiliki sensitivitas spiritual.
Kekuatan Batin: Mistisisme di Balik Topeng dan Kuda Kepang
Ketika kita menyerukan Ayo Barongan!, kita tidak hanya mengundang sebuah pertunjukan, tetapi juga sebuah ritual. Barongan, khususnya Reog, adalah kesenian yang sangat erat kaitannya dengan spiritualitas Jawa, di mana batas antara dunia nyata dan gaib menjadi kabur. Unsur mistis ini dikenal sebagai ndadi atau trance.
Fenomena Trance (Ndadi)
Trance adalah kondisi kesurupan atau kerasukan yang dialami oleh penari, terutama Jathil. Dalam kondisi ini, penari tidak lagi sadar sepenuhnya, dan gerakan mereka dipandu oleh entitas spiritual yang masuk ke dalam tubuh mereka. Ini sering diinterpretasikan sebagai penyatuan antara manusia dan roh pelindung, atau manifestasi dari kekuatan alam yang liar.
Dalam kondisi ndadi, penari Jathil dapat menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa, misalnya mampu memakan pecahan kaca, mengupas kelapa menggunakan gigi, atau kebal terhadap cambukan. Peran Warok atau pawang dalam pertunjukan ini sangat krusial. Warok bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan spiritual, memastikan roh-roh yang masuk bersifat baik, dan akhirnya, mengembalikan penari ke kondisi kesadaran normal setelah pertunjukan selesai melalui mantra dan ritual khusus.
Hubungan dengan Warok
Warok adalah sosok yang tak terpisahkan dari Barongan (Reog). Mereka adalah pelindung spiritual, fisik, dan juga pemodal awal pertunjukan. Warok dihormati karena dianggap memiliki ilmu kanuragan (ilmu kesaktian) dan kebijaksanaan. Mereka adalah penjaga etika pertunjukan. Kehadiran Warok menambahkan lapisan misteri dan kewibawaan yang mendalam, menunjukkan bahwa Barongan bukan hanya hiburan tetapi juga sebuah praktik spiritual yang disiplin dan terjaga.
Filosofi Warok mengajarkan tentang kesederhanaan, keberanian, dan pengabdian pada komunitas. Mereka seringkali digambarkan dengan pakaian serba hitam, kumis tebal, dan kain sarung yang diikatkan di pinggang. Dalam banyak cerita rakyat, Warok adalah mentor spiritual yang mengajarkan para pemuda untuk menjaga tradisi dan nilai-nilai luhur.
Simbolisme Pengorbanan
Kekuatan yang ditunjukkan saat ndadi adalah simbol pengorbanan kolektif. Penari mengorbankan diri mereka sementara untuk memungkinkan manifestasi kekuatan tak terlihat, yang pada gilirannya memberikan daya tarik magis dan kesaksian spiritual bagi penonton. Ini adalah cara masyarakat tradisional berkomunikasi dengan kekuatan di luar nalar, menegaskan kembali hierarki kosmos yang mereka yakini.
Di Balik Tabir Panggung: Keahlian Agung Sang Pengrajin Barongan
Seruan Ayo Barongan! juga merupakan penghargaan bagi para seniman dan pengrajin yang mendedikasikan hidupnya untuk menciptakan topeng-topeng legendaris ini. Proses pembuatan Barongan adalah ritual seni yang rumit, membutuhkan keterampilan ukir, pemahaman bahan, dan, yang paling penting, kesabaran spiritual.
Kayu Dadap dan Kulit Harimau
Bahan utama topeng Barongan tradisional adalah kayu Dadap. Kayu ini dipilih karena sifatnya yang ringan, namun memiliki serat yang kuat dan mudah diukir. Sebelum memotong kayu, pengrajin sering melakukan ritual permohonan izin kepada roh pohon (Nyadran), sebagai bentuk penghormatan agar hasil ukiran memiliki ‘roh’ yang baik.
Bagian kulit kepala Barongan secara historis menggunakan kulit harimau atau macan. Penggunaan kulit asli ini sangat disakralkan dan kini, karena isu konservasi, diganti dengan kulit kambing atau sapi yang dicat menyerupai harimau, atau menggunakan ijuk (serabut kelapa hitam) yang diikatkan dengan sangat rapat dan tebal, memberikan efek surai yang dramatis dan liar.
Kerumitan Mahkota Merak (Kucingan)
Mahkota merak, yang diletakkan di atas kepala Barongan, adalah mahakarya rekayasa dan seni. Kucingan terdiri dari kerangka bambu yang kokoh namun ringan, yang dilapisi dengan kain beludru hitam, dan dihiasi dengan ratusan hingga ribuan bulu merak. Proses pengeleman dan penataan bulu membutuhkan presisi tinggi. Setiap bulu harus diikatkan dan diarahkan agar saat pembarong bergerak, mahkota tersebut tampak seolah-olah ‘mengipasi’ secara alami.
Selain bulu, terdapat hiasan kaca cermin yang ditempelkan pada wajah topeng Singa Barong. Cermin ini tidak hanya berfungsi estetika, tetapi dipercaya memiliki fungsi magis: untuk memantulkan energi negatif atau untuk membantu pembarong melihat dalam kondisi panggung yang gelap. Bahkan detail terkecil seperti gigi taring yang terbuat dari kayu atau tulang pun memiliki makna spiritual yang mendalam.
Ritual Pewarnaan
Pewarnaan topeng Barongan tidak hanya bertujuan memperindah, tetapi juga melambangkan karakter. Warna merah tua (vermillion) dan hitam (jelaga) adalah yang paling dominan, melambangkan keberanian, nafsu, dan kekuatan primal. Proses pengecatan sering menggunakan cat tradisional yang dicampur dengan minyak atau getah khusus agar tahan lama dan memberikan efek yang mengkilap, seolah-olah topeng itu hidup dan bernapas. Setiap garis, setiap lekuk, dan setiap guratan pada topeng adalah hasil meditasi visual sang pengrajin, menjadikannya lebih dari sekadar kerajinan tangan—ia adalah karya seni spiritual.
Gema "Ayo Barongan!" di Abad Digital: Menjaga Api Tetap Menyala
Meskipun Barongan memiliki akar yang sangat kuat, ia menghadapi tantangan besar di era globalisasi. Tantangan ini meliputi regenerasi penari, biaya produksi yang tinggi (terutama untuk perawatan Kucingan), dan persaingan ketat dengan hiburan modern. Namun, seruan Ayo Barongan! hari ini justru semakin relevan sebagai bentuk perlawanan budaya yang positif.
Peran Teknologi dalam Pelestarian
Revitalisasi Barongan banyak mengandalkan teknologi. Dokumentasi pertunjukan melalui video berkualitas tinggi, publikasi di media sosial, dan bahkan kolaborasi dengan musisi modern yang mengintegrasikan ritme Gamelan Barongan ke dalam musik kontemporer, telah membantu menarik minat generasi Z. Platform digital menjadi panggung global baru bagi Warok dan seniman untuk memamerkan keahlian mereka, menghapus anggapan bahwa Barongan adalah seni yang "ketinggalan zaman."
Pendidikan dan Regenerasi
Banyak komunitas seni dan sekolah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali kini secara aktif memasukkan Barongan/Reog sebagai kurikulum ekstrakurikuler wajib. Ini adalah langkah krusial. Melalui pendidikan, anak-anak tidak hanya belajar tari, tetapi juga sejarah, etika, dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Mereka belajar tentang kedisiplinan seorang pembarong yang harus menahan beban 50 kg hanya dengan gigi, mengajarkan mereka ketahanan mental dan fisik.
Adaptasi dan Inovasi
Untuk menjaga relevansi, Barongan juga mengalami adaptasi. Meskipun tradisi inti (kostum, musik, tokoh) dipertahankan, narasi pertunjukan kadang diinovasi. Beberapa kelompok Barongan modern mulai memasukkan isu-isu sosial kontemporer ke dalam lakon mereka, menjadikannya media kritik sosial yang efektif, sama seperti fungsi awal kesenian rakyat di masa lalu. Adaptasi ini membuktikan bahwa Barongan adalah seni yang hidup, bernapas, dan mampu berdialog dengan zamannya.
Setiap kali Gamelan berdentum, setiap kali pembarong mengangkat kepala raksasa itu, kita menyaksikan keberanian kolektif sebuah bangsa untuk tidak melupakan siapa dirinya. Ini adalah warisan yang harus kita pertahankan, bukan sekadar dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata. Ayo Barongan!
Barongan di Balik Cakrawala: Komparasi dan Keragaman Regional
Meskipun Singa Barong sering diidentikkan dengan Reog Ponorogo di Jawa, konsep "Barong" sebagai makhluk mitologis penjaga atau entitas spiritual tersebar luas di seluruh Nusantara. Menyelami keragaman ini memperkaya pemahaman kita tentang makna sebenarnya dari seruan Ayo Barongan! sebagai panggilan budaya yang melintasi batas geografis.
Barong Bali: Simbol Keseimbangan Kosmik
Di Bali, Barong adalah figur mitologis yang sangat sentral, mewakili kebajikan (Dharma) dan berpasangan dengan Rangda, perwujudan kejahatan (Adharma). Barong Bali memiliki bentuk yang lebih beragam, seringkali menyerupai singa, babi hutan (Barong Celeng), atau harimau (Barong Macan). Pertunjukan Barong di Bali adalah ritual dramatis yang menceritakan pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan, yang selalu berakhir seimbang, tidak ada yang benar-benar menang, mencerminkan filosofi Rwa Bineda (dualitas yang seimbang).
Perbedaan mencolok dengan Barongan Jawa terletak pada:
- Struktur Topeng: Barong Bali dioperasikan oleh dua orang penari (depan dan belakang), memungkinkan gerakan tubuh yang lebih lentur dan menyerupai hewan berjalan. Barongan Jawa (Reog) dioperasikan oleh satu orang menggunakan kekuatan gigi.
- Fungsi Naratif: Barong Bali adalah bagian dari ritual sakral yang berakar kuat pada kepercayaan Hindu Dharma, sering kali diadakan di pura. Barongan Jawa lebih berakar pada legenda Kerajaan dan sering diadakan sebagai hiburan rakyat, meskipun tetap memiliki unsur mistis yang kuat.
Variasi Lokal di Jawa
Di luar Ponorogo, banyak daerah di Jawa juga memiliki tradisi Barongan sendiri. Misalnya, Barongan Blora (Jawa Tengah) menampilkan Barong yang lebih sederhana, seringkali tanpa hiasan merak, dan lebih menekankan pada tarian rakyat yang ekspresif. Barongan Kediri juga memiliki corak yang sedikit berbeda, fokus pada irama musik yang lebih kental dengan nuansa Mataraman. Semua varian ini, meski berbeda dalam detail, berbagi inti filosofis yang sama: manifestasi kekuatan alam liar yang dihormati dan dipuja.
Keragaman ini menunjukkan daya hidup dan adaptabilitas budaya. Barongan adalah bahasa universal di Nusantara yang berbicara tentang kekuatan, harmoni, dan misteri yang melekat pada identitas bangsa.
Penutup: Ayo Terus Menggema!
Kita telah menyelami kedalaman Barongan, sebuah kesenian yang menuntut totalitas fisik, spiritual, dan emosional. Kita telah menyaksikan bagaimana sepotong kayu dan bulu merak dapat diubah menjadi entitas yang berdenyut dengan sejarah dan mistisisme. Seruan Ayo Barongan! bukan hanya imbauan nostalgia; ia adalah janji masa depan.
Janji untuk terus menghormati Warok, yang menjaga etika dan spiritualitas pertunjukan; janji untuk mendukung para pengrajin yang berjuang mempertahankan teknik pembuatan topeng; dan janji untuk mengedukasi generasi penerus tentang makna di balik setiap hentakan kaki dan setiap raungan Singa Barong.
Selama masih ada satu penari Jathil yang mampu menahan trance, selama masih ada satu pembarong yang rela menanggung beban sejarah di giginya, dan selama Gamelan masih membunyikan irama megah yang memanggil roh-roh agung—maka Barongan akan terus hidup. Mari kita jadikan Barongan sebagai mercusuar budaya, menerangi jalan bagi identitas kita di tengah pusaran globalisasi. Ayo Barongan, sekarang, dan selamanya!