Barongan Turonggo Wahyu Budoyo: Menguak Kedalaman Mistisisme Seni Jathilan Kontemporer
Turonggo Wahyu Budoyo (TWB) bukan sekadar kelompok kesenian Jathilan atau Kuda Lumping biasa. Mereka adalah entitas kultural yang menjaga api tradisi Jawa, memadukan unsur-unsur visual Reog Ponorogo, kekayaan gerak Jathilan, dan dimensi spiritual yang mendalam. Dalam setiap pementasannya, TWB menyajikan sebuah narasi kompleks tentang keberanian, pengabdian, dan hubungan esensial antara manusia dengan alam gaib. Kehadiran ‘Barongan’ dalam pertunjukan mereka menjadi pusat gravitasi, mewakili kekuatan agung yang dihormati sekaligus ditakuti. Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif seluk-beluk Barongan Turonggo Wahyu Budoyo, dari akar filosofis hingga teknik pementasan yang mereka kembangkan, mengungkap mengapa TWB dianggap sebagai salah satu penjaga warisan budaya mistis yang paling vital saat ini.
Seni pertunjukan Jathilan, khususnya yang dibawakan oleh kelompok sekelas Turonggo Wahyu Budoyo, merupakan sebuah manifestasi seni rakyat yang tumbuh subur di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, meskipun pengaruhnya meluas hingga Jawa Timur. Istilah ‘Turonggo’ merujuk pada kuda, simbol kecepatan, kekuatan, dan kesetiaan. ‘Wahyu’ mencerminkan anugerah atau petunjuk ilahi, sementara ‘Budoyo’ adalah budaya atau peradaban. Secara harfiah, nama kelompok ini mengandung cita-cita untuk menjadi wadah pelestarian budaya yang mendapat restu atau petunjuk spiritual. Inilah fondasi spiritual yang membedakan TWB dari banyak kelompok kesenian sejenis, menjadikannya sebuah ritual sekaligus hiburan yang penuh makna.
I. Akar Historis dan Filosofi Barongan dalam Konteks Jathilan
Untuk memahami TWB, kita harus terlebih dahulu menyelami sejarah panjang Jathilan dan bagaimana sosok Barongan (Singo Barong) diintegrasikan ke dalamnya. Barongan, yang sering diasosiasikan kuat dengan Reog Ponorogo, dalam konteks Jathilan TWB mengambil peran sentral sebagai pemimpin spiritual dan representasi dari kekuatan alam liar yang tak tertandingi.
1. Sejarah Singkat Kuda Lumping dan Evolusi Barongan
Kuda Lumping, atau Jathilan, dipercaya berasal dari kisah perjuangan prajurit Mataram kuno atau bahkan periode yang lebih tua, menggambarkan pelatihan militer dan semangat keprajuritan. Kuda (kuda lumping yang terbuat dari bambu) adalah simbol kendaraan perang. Seiring waktu, pertunjukan ini menyerap berbagai elemen lokal, termasuk cerita rakyat dan elemen mistik. Masuknya Barongan, yang merupakan kepala raksasa Singo Barong, menandai integrasi dimensi mistis yang lebih eksplisit. Singo Barong adalah perwujudan kekuatan tertinggi, keberanian, dan sifat penguasa hutan yang ganas.
Dalam TWB, Barongan bukan hanya sebuah properti pementasan; ia adalah "pusaka hidup" yang memerlukan perlakuan khusus, dimulai dari ritual pembuatan topeng hingga ritual sebelum dan sesudah pementasan. Kepala Barongan yang berat dan detail memaksakan penari yang membawanya harus memiliki kekuatan fisik, mental, dan spiritual yang luar biasa. Penari Barongan seringkali dianggap sebagai medium yang paling rentan terhadap kerasukan atau indang, karena ia memanggul wujud spiritual yang paling dominan di arena.
2. Filosofi Keseimbangan dan Kekuatan
TWB mengedepankan filosofi keseimbangan antara ‘Nafsu’ dan ‘Nurani’. Barongan, dengan wujudnya yang sangar, melambangkan nafsu, amarah, dan kekuatan destruktif yang harus dikendalikan. Penari Jathil (kuda lumping) yang bergerak lincah dan harmonis mewakili disiplin dan kepatuhan. Pertarungan atau interaksi antara Jathil dan Barongan di panggung adalah representasi mikrokosmos dari perjuangan batin manusia.
- Singo Barong (Barongan): Simbol kekuasaan, keganasan, dan energi primal (Nafsu Amarah). Tugasnya adalah menguji kesetiaan para prajurit (Jathil) dan menegaskan batas antara dunia nyata dan gaib.
- Bujang Ganong: Karakter jenaka yang cerdik, bertugas sebagai penengah dan penghibur. Ia melambangkan kebijaksanaan yang mampu menyeimbangkan keganasan Barongan dan ketegasan Jathil.
Filosofi ini diperkuat melalui penggunaan aksesoris dan warna. Dominasi warna merah, hitam, dan emas pada kostum Barongan TWB menegaskan statusnya sebagai raja yang berkuasa penuh, namun tetap harus tunduk pada kaidah-kaidah pertunjukan yang telah ditetapkan oleh sesepuh kelompok.
II. Anatomi Pertunjukan Turonggo Wahyu Budoyo
Pertunjukan TWB adalah rangkaian peristiwa yang tertata rapi, menggabungkan tari, musik, ritual, dan dramatisasi. Sebuah pementasan bisa berlangsung berjam-jam, dibagi menjadi beberapa babak yang masing-masing memiliki tujuan spiritual dan artistik yang berbeda.
1. Tata Rias dan Busana Barongan TWB
Barongan yang digunakan oleh TWB memiliki ciri khas yang sangat detail. Kepala Barongan dibuat dari kayu pilihan (seringkali kayu bendo atau nangka) dan dihiasi dengan ijuk atau rambut kuda asli yang panjang, menciptakan kesan rambut yang mengombak saat penari bergerak. Matanya besar, melotot, dan warnanya seringkali merah menyala. Elemen yang paling menonjol adalah mahkota merak (dadak merak) yang besar dan menjulang tinggi, menjadikannya penanda visual yang dominan di tengah pengahat. Bagian ini memerlukan kekuatan otot leher yang luar biasa dari penari.
Kostum penari Barongan (penyandang Barongan) biasanya sederhana di bagian tubuh, berfokus pada kekuatan visual kepala. Mereka mengenakan celana komprang, stagen, dan kain-kain tradisional yang berfungsi sebagai pelindung dan penambah aura mistis. Kesederhanaan busana ini sengaja dibuat kontras dengan kemegahan topeng, menegaskan bahwa yang dihormati adalah roh Barongan itu sendiri, bukan penarinya.
2. Teknik Menari Barongan dan Gerakan Khas TWB
Tari Barongan dalam TWB dicirikan oleh gerakan yang berat, agresif, namun tetap berirama. Gerakan ini harus mampu memvisualisasikan sifat Singo Barong yang liar dan ganas. Teknik-teknik utamanya meliputi:
- Olah Kepala (Ngelab): Ini adalah teknik terpenting. Penari harus menggerakkan kepala Barongan secara cepat, menyentak, dan berputar. Gerakan Ngelab yang kuat menghasilkan ilusi bahwa rambut dan ijuk Barongan hidup dan bergerak agresif, seringkali digunakan untuk mengusir roh jahat atau sebagai puncak dari kesurupan.
- Gerak Menjilat/Menggigit: Barongan akan merunduk dan menyentak ke arah tanah atau penonton, menggunakan rahangnya yang bisa dibuka-tutup. Ini adalah manifestasi dari nafsu makan atau agresivitasnya.
- Tarian Ngamuk (Agresif): Gerakan Barongan menjadi tidak teratur, menyerang Jathil atau bahkan mencoba merusak properti. Dalam konteks TWB, ini adalah fase ketika kekuatan mistis Barongan mencapai puncaknya.
3. Peran Pendukung: Jathil, Celeng Srenggi, dan Bujang Ganong
Keagungan Barongan tidak akan sempurna tanpa kehadiran karakter pendukung yang membentuk drama pementasan secara utuh. Setiap karakter memiliki fungsi koreografis dan mistis:
a. Jathil (Penunggang Kuda Lumping)
Mereka adalah prajurit yang setia. Gerakan Jathil dalam TWB menuntut ketangkasan dan keserasian. Jathil sering menjadi subjek dari kerasukan massal, di mana mereka mulai memakan beling, meminum air kembang, atau menunjukkan kekuatan super. Interaksi Jathil dengan Barongan adalah titik klimaks, di mana loyalitas mereka diuji oleh kekuatan Barongan yang merasuk.
b. Celeng Srenggi (Babi Hutan)
Celeng Srenggi melambangkan kekacauan dan sifat tamak yang harus ditundukkan. Tarian Celeng Srenggi sangat energik dan seringkali memancing kericuhan yang lucu atau berbahaya. Dalam beberapa interpretasi TWB, Celeng Srenggi adalah musuh Barongan, tetapi dalam konteks ritual, ia juga merupakan kekuatan alam yang harus diakui.
c. Bujang Ganong (Patih/Abdi Dalem)
Bujang Ganong selalu tampil jenaka dengan topeng hidung panjang dan rambut gimbal. Ia adalah simbol kecerdasan rakyat yang luwes dan fleksibel. Perannya adalah menenangkan suasana yang tegang akibat Barongan, serta menjadi jembatan komunikasi antara penonton, penari, dan dunia spiritual. Tarian Ganong yang akrobatik dan lincah kontras dengan gerakan Barongan yang statis namun eksplosif.
III. Gending dan Ritme Khas Turonggo Wahyu Budoyo
Gamelan adalah jantung yang memompa energi ke dalam pertunjukan Jathilan TWB. Ritme bukan hanya sekadar musik pengiring, melainkan instrumen magis yang memanggil roh dan mengendalikan intensitas kerasukan. Gending (musik) yang dimainkan oleh TWB memiliki karakteristik yang berbeda-beda, disesuaikan dengan setiap babak pertunjukan.
1. Instrumen Utama dan Fungsi Mereka
Susunan gamelan Jathilan TWB umumnya terdiri dari:
- Kendang (Drum): Pengatur irama utama. Kendang harus dimainkan dengan dinamika yang ekstrem—dari ritme lambat dan mistis (saat ritual pembukaan) hingga ritme cepat, eksplosif, dan memukau (saat Barongan dan Jathil kerasukan).
- Gong: Penanda akhir frasa musikal dan memberikan efek getaran yang mendalam, seringkali digunakan untuk mengakhiri puncak kerasukan.
- Kenong dan Kempul: Memberikan warna harmonis dan menjaga tempo.
- Terompet Reog (Srontong): Instrument melodis yang paling penting. Suara melengking terompet ini dianggap memiliki daya panggil roh yang kuat, terutama saat Barongan mulai memasuki arena.
2. Ritme Pembangkit Jathilan (Irama Ndadi)
Irama dalam TWB dibagi menjadi tiga fase utama:
- Gending Pembuka (Lirih): Musik pengiring yang lembut, seringkali diiringi doa atau mantra, berfungsi membersihkan lokasi dan mempersiapkan batin para penari.
- Gending Gerak (Progresif): Ritme yang mulai stabil dan cepat, mengiringi tarian Jathil dan Ganong. Irama ini membangun energi dan memancing kegembiraan penonton.
- Gending Ndadi (Kerasukan): Ini adalah ritme puncak yang paling krusial. Tempo menjadi sangat cepat, volume keras, dan irama repetitif. Tujuannya adalah membuka portal bagi roh Barongan atau roh kuda lumping untuk merasuki penari. Saat kerasukan terjadi, irama ini harus dipertahankan dengan intensitas tinggi; jika ritme jatuh, penari bisa kehilangan kontrol atau mengalami kesulitan untuk sadar kembali.
"Bunyi kendang kami bukan hanya bunyi. Ia adalah bahasa antara dunia manusia dan dunia gaib. Ketika Barongan menari, setiap pukulan adalah perintah. Ketika Jathil memakan beling, setiap nada adalah perisai. Gamelan adalah penjamin keselamatan kami."
IV. Dimensi Ritual dan Fenomena Kerasukan (Ndadi)
Aspek yang paling membedakan Barongan Turonggo Wahyu Budoyo adalah kedalaman ritualistiknya. Bagi TWB, pertunjukan adalah sebuah Lakon (drama kehidupan) yang melibatkan campur tangan spiritual. Kerasukan, atau Ndadi (menjadi-jadi), adalah inti dari pementasan, sebuah momen ketika penari bertindak sebagai medium bagi entitas non-fisik.
1. Ritual Persiapan Sebelum Pertunjukan
Sebelum kaki penari menginjak arena, serangkaian ritual ketat harus dilalui. Ini termasuk:
- Puasa dan Tirakat: Para penari inti, terutama penyandang Barongan, sering diminta menjalani puasa tertentu untuk membersihkan diri dan meningkatkan kepekaan spiritual.
- Sesaji (Persembahan): Sesaji berupa kembang tujuh rupa, kopi pahit, rokok kretek, dan kemenyan disiapkan di sudut panggung. Ini adalah bentuk penghormatan dan izin kepada dhanyang (penunggu) lokasi dan roh-roh yang akan dipanggil.
- Pemberian Mantra (Japa): Sesepuh atau dhukun (dukun/penjaga spiritual) TWB akan memberikan japa-japa penguat kepada Barongan dan kuda lumping, memastikan bahwa roh yang masuk adalah roh yang "terkendali" dan bukan roh liar yang berbahaya.
2. Dinamika Kerasukan Barongan
Ketika Barongan dirasuki, penari tersebut akan menunjukkan perubahan perilaku yang drastis. Ia akan mengeluarkan suara auman, bergerak sangat agresif, dan menunjukkan kekuatan fisik yang abnormal (misalnya, mengangkat beban berat atau menahan pukulan). Kerasukan Barongan seringkali lebih sulit dikendalikan dibandingkan Jathil, karena Barongan mewakili energi yang sangat besar.
Peran Pawang (pengendali) sangat vital. Pawang adalah individu yang memiliki kemampuan spiritual untuk berkomunikasi dan menenangkan roh Barongan. Mereka menggunakan cambuk (pecut) sebagai simbol otoritas spiritual dan air kembang untuk menyadarkan kembali. Pengendalian Barongan yang kerasukan menjadi momen dramatik yang intens, menunjukkan konflik antara kekuatan alam dan kontrol spiritual manusia.
3. Makna Filosofis Ndadi
Dalam kacamata TWB, kerasukan bukanlah sekadar akting. Ini adalah bukti nyata bahwa kekuatan leluhur dan entitas spiritual masih berinteraksi dengan dunia manusia. Kerasukan berfungsi sebagai pembersih (ruwatan) kolektif dan pengingat akan dimensi non-material dalam kehidupan. Penari yang ndadi dianggap telah mencapai puncak penyerahan diri (manunggaling kawula Gusti) dalam konteks seni. Mereka menjadi wadah murni, membiarkan energi yang diyakini sebagai roh prajurit kuno untuk berekspresi.
V. Turonggo Wahyu Budoyo dan Pelestarian Warisan Budaya
Di tengah gempuran budaya pop modern, Turonggo Wahyu Budoyo mengambil peran aktif sebagai benteng pelestarian. Mereka tidak hanya menampilkan tradisi, tetapi juga berinovasi tanpa menghilangkan inti ritualistiknya.
1. Inovasi Koreografi dan Komposisi
TWB dikenal karena keberaniannya dalam mengintegrasikan unsur-unsur kontemporer ke dalam tarian Jathilan. Meskipun gerakan Barongan tetap mempertahankan keagresifan tradisional, TWB sering menambahkan komposisi tari yang lebih teatrikal dan naratif. Misalnya, pementasan mereka mungkin memiliki alur cerita yang lebih jelas, yang memadukan unsur Barongan, Jathil, dan Celeng Srenggi ke dalam sebuah epik mini.
Penggunaan efek pencahayaan dan tata suara yang modern juga sering dilakukan, terutama dalam pementasan festival, untuk menarik minat audiens muda. Namun, penting dicatat bahwa modernisasi ini hanya menyentuh aspek presentasi, sementara ritual inti dan mantra pemanggil tetap dipertahankan dengan ketat sesuai pakem leluhur.
2. Peran Edukasi dan Regenerasi
Kelompok TWB tidak eksis tanpa sistem regenerasi yang kuat. Mereka secara rutin mengadakan pelatihan bagi generasi muda, mengajarkan tidak hanya teknik menari (olah kaki, olah kepala Barongan, teknik cambuk) tetapi juga etika dan spiritualitas yang menyertai seni ini. Mereka menekankan bahwa menjadi penari Barongan bukan sekadar tampil gagah, melainkan harus menguasai unggah-ungguh (tata krama) dan memiliki mentalitas yang kuat.
Proses menjadi penyandang Barongan TWB adalah perjalanan panjang. Calon penari harus menunjukkan dedikasi yang tak tergoyahkan, mampu menanggung berat fisik topeng, serta memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan energi spiritual yang besar. Mereka harus melalui masa magang yang ketat di bawah bimbingan sesepuh.
VI. Tantangan Kontemporer bagi Barongan Turonggo Wahyu Budoyo
Meskipun TWB berhasil mempertahankan relevansinya, mereka menghadapi sejumlah tantangan yang umum dialami oleh seni tradisional Indonesia.
1. Komersialisasi dan Degradasi Ritual
Ketika seni Barongan Jathilan semakin populer, ada tekanan untuk mempercepat proses pertunjukan dan mengurangi unsur ritual agar lebih sesuai dengan jadwal komersial. TWB berjuang untuk menolak degradasi ini, bersikeras bahwa bagian terpenting dari seni mereka adalah ritual sesaji dan proses ndadi yang otentik. Mengkompromikan ritual berarti mengorbankan "wahyu" (spiritualitas) yang terkandung dalam nama kelompok mereka.
2. Material dan Pewarisan Properti Sakral
Barongan TWB sering kali berusia puluhan tahun dan dianggap sebagai pusaka yang memiliki yoni (energi spiritual). Perawatan, perbaikan, dan bahkan pembuatan Barongan baru adalah proses yang mahal dan memerlukan keahlian spiritual khusus. Mencari pengrajin yang mampu membuat topeng sesuai pakem, dan yang memahami makna filosofis di balik setiap ukiran, menjadi tantangan tersendiri dalam era industri.
3. Stigma dan Kesalahpahaman Publik
Seni Jathilan dan Barongan seringkali disalahartikan sebagai praktik ilmu hitam atau sekadar pertunjukan kekerasan (mengingat adegan makan beling atau baku hantam saat kerasukan). TWB berusaha keras untuk mengedukasi masyarakat bahwa fenomena ndadi adalah bagian dari warisan spiritualitas Jawa yang bertujuan baik, yaitu membersihkan diri dan komunitas dari pengaruh negatif, bukan untuk menakut-nakuti.
VII. Elaborasi Mendalam pada Simbolisme Kostum dan Properti Turonggo Wahyu Budoyo
Keindahan TWB terletak pada detail simbolisnya. Setiap benang, setiap warna, dan setiap properti memiliki makna kosmis yang menghubungkannya dengan mitologi Jawa dan ajaran kebatinan.
1. Simbolisme Warna pada Barongan
Warna yang dominan pada Barongan TWB adalah Merah, Hitam, dan Emas. Tiga warna ini adalah representasi dari Tridaya (tiga kekuatan):
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, energi, dan nafsu (Amara). Ini adalah warna yang paling mudah memancing reaksi dan emosi, sangat cocok untuk karakter Barongan yang agresif.
- Hitam (Ireng): Melambangkan misteri, kekuatan gaib, dan keabadian. Warna hitam pada ijuk Barongan menekankan dimensi spiritualnya sebagai entitas kuno.
- Emas (Kuningan): Melambangkan kemuliaan, kekuasaan, dan status Raja Hutan. Detail emas pada mahkota atau gigi Barongan menunjukkan bahwa kekuasaan ini bersifat agung.
2. Properti Kuda Lumping (Kuda Kepang)
Kuda kepang yang digunakan oleh penari Jathil TWB umumnya dibuat dari anyaman bambu dan dicat dengan warna-warna cerah seperti putih, hitam, atau merah. Kuda ini, meskipun terbuat dari bahan sederhana, dianggap sebagai kendaraan spiritual. Sebelum digunakan, kuda lumping harus melalui proses ritual pemberkatan. Kerusakan pada kuda lumping saat pertunjukan (misalnya, robek karena kerasukan) tidak dilihat sebagai kecelakaan, melainkan sebagai manifestasi energi berlebihan yang dilepaskan melalui medium tersebut.
3. Peran Cambuk (Pecut)
Pecut, yang digunakan oleh pawang dan beberapa penari, adalah properti yang memiliki kekuatan ganda. Secara fisik, pecut menghasilkan suara ledakan keras yang berfungsi sebagai penanda ritme dan batas antara zona aman dan zona kerasukan. Secara spiritual, pecut adalah senjata yang mengikat dan mengendalikan roh-roh. Hanya pawang yang terlatih yang boleh memegang pecut saat ndadi, karena penggunaan yang salah dapat memperburuk kondisi penari yang kerasukan.
VIII. Analisis Mendalam Tarian Jathil dan Koreografi Kelompok
Meskipun Barongan adalah pusat perhatian, keunikan TWB juga terletak pada kekompakan dan variasi tarian Jathil mereka. Tarian Jathil dalam TWB menonjolkan kedisiplinan prajurit yang diiringi oleh keluwesan gerakan Jawa.
1. Teknik Dasar Gerak Jathil
Gerak dasar Jathil sangat bergantung pada langkah kaki yang berirama (gejug) dan ayunan kuda kepang yang serempak. TWB menekankan pada postur tubuh yang tegak dan pandangan mata yang tajam, mencerminkan sifat prajurit yang waspada.
- Tari Baris: Gerakan formasi yang menunjukkan kekompakan dan disiplin militer.
- Tari Tunggal: Gerakan yang lebih ekspresif, seringkali dilakukan oleh penari utama, menunjukkan kemampuan individu sebelum memasuki fase kerasukan.
- Gerak Tandang: Gerakan saat mendekati Barongan. Gerakan ini harus menunjukkan kombinasi rasa hormat, kewaspadaan, dan kesiapan untuk bertarung atau tunduk.
2. Transisi Menuju Ndadi (Kesurupan)
Fase transisi dari tarian normal ke kerasukan adalah momen yang paling menantang secara artistik. TWB sering menggunakan repetisi irama gamelan yang sangat cepat (ritme Nggrojog) dan gerakan berputar (Muter) untuk membantu penari memasuki kondisi trance. Saat penari Jathil mulai ndadi, gerakan mereka berubah dari teratur menjadi spontan dan eksplosif. Mereka mungkin mulai menunjukkan perilaku yang tidak biasa, seperti berbicara dengan bahasa kuno atau menunjukkan ketahanan fisik terhadap rasa sakit.
IX. Manajemen Spiritual dan Etika Pertunjukan
Mengelola kelompok Jathilan yang berbasis ritual seperti TWB memerlukan lebih dari sekadar manajemen artistik; ia membutuhkan manajemen spiritual yang ketat, dipimpin oleh sesepuh yang disebut Pinisepuh.
1. Peran Pinisepuh dan Pawang
Pinisepuh adalah penjaga etika dan pakem. Mereka adalah sumber pengetahuan tentang mantra, sejarah, dan tata cara ritual. Tanpa izin dan restu dari Pinisepuh, Barongan tidak dapat dikeluarkan untuk pementasan. Pawang, sebagai asisten spiritual, bertanggung jawab langsung di lapangan untuk memastikan keselamatan fisik para penari selama fase ndadi.
Tugas Pawang meliputi: 1) Memberikan proteksi spiritual kepada penonton dan arena, 2) Menjaga agar roh yang merasuki tetap berada dalam kontrol, dan 3) Menyembuhkan atau menyadarkan penari yang terlalu dalam kerasukannya. Ini melibatkan pemahaman mendalam tentang ilmu pengobatan tradisional Jawa dan tata cara penyadaran.
2. Kode Etik Penari dan Pantangan
Setiap anggota TWB terikat oleh kode etik yang ketat. Beberapa pantangan yang harus dihindari meliputi:
- Pantangan Makanan: Beberapa hari sebelum pementasan, penari mungkin dilarang mengonsumsi daging tertentu atau makanan yang dianggap "kotor" untuk menjaga kesucian batin.
- Kesombongan: Kunci utama dalam seni ritual adalah kerendahan hati. Penari yang sombong dianggap tidak layak menjadi wadah spiritual dan rentan terhadap kerasukan oleh roh liar yang berbahaya.
- Pelanggaran Tata Krama: Perlakuan tidak hormat terhadap Barongan (misalnya, melangkahinya atau meletakkannya sembarangan) dilarang keras, karena Barongan dianggap pusaka hidup.
X. Komparasi Barongan TWB dengan Kelompok Jathilan Lain
Meskipun Jathilan adalah seni yang tersebar luas, Barongan Turonggo Wahyu Budoyo memiliki identitas yang kuat yang membedakannya, terutama dalam intensitas dan interpretasi karakter.
1. Intensitas Kerasukan dan Kontrol
Beberapa kelompok Jathilan mungkin fokus pada aspek akrobatik dan tari. TWB, bagaimanapun, dikenal karena intensitas kerasukan yang nyata dan dramatis. Mereka tidak menghindar dari momen-momen ekstrem (seperti memakan kaca atau bara api), tetapi mereka melakukannya dengan tingkat kontrol spiritual yang tinggi, menunjukkan profesionalisme Pawang mereka.
2. Integrasi Reog dan Jathilan
Sementara Barongan secara teknis adalah elemen Reog Ponorogo, TWB berhasil mengintegrasikannya secara organik ke dalam narasi Jathilan. Barongan TWB berfungsi tidak hanya sebagai pajangan kebesaran, tetapi sebagai Raja yang memimpin para prajurit kuda, menciptakan hirarki yang jelas di panggung.
3. Kualitas Properti dan Musik
TWB sering kali berinvestasi pada kualitas properti yang tinggi. Barongan mereka bukan sekadar topeng ringan; ia adalah perangkat seni yang berat dan dirawat dengan ritual. Selain itu, komposisi musik TWB cenderung lebih kompleks, memanfaatkan dinamika kendang yang sangat bervariasi untuk menciptakan suasana mistis yang mencekam sekaligus memukau.
XI. Masa Depan Barongan Turonggo Wahyu Budoyo dan Visi Global
Dalam menghadapi abad ke-21, TWB memiliki visi untuk melestarikan tradisi sambil menjangkau audiens yang lebih luas, baik nasional maupun internasional.
1. Digitalisasi dan Dokumentasi
TWB memanfaatkan platform digital untuk mendokumentasikan setiap pementasan, tidak hanya sebagai arsip tetapi juga sebagai sarana edukasi. Melalui video dan konten digital, mereka menjelaskan filosofi di balik setiap gerakan dan ritual, melawan kesalahpahaman tentang praktik spiritual mereka.
2. Kolaborasi Lintas Budaya
Ada potensi besar bagi TWB untuk berkolaborasi dengan seniman modern atau kelompok tari kontemporer. Kolaborasi semacam ini dapat memperluas interpretasi Barongan, menempatkannya dalam konteks artistik yang lebih luas tanpa mengurangi esensi ritualnya. Bayangkan Barongan yang gagah berani berinteraksi dengan penari balet kontemporer, membawa mitos Jawa ke panggung dunia.
3. Menjaga Api Spiritual
Pada akhirnya, masa depan TWB bergantung pada kemampuan mereka untuk menjaga api spiritual. Mereka harus memastikan bahwa regenerasi penari tidak hanya menghasilkan seniman yang mahir menari, tetapi juga individu yang memiliki integritas spiritual dan pemahaman mendalam terhadap 'Wahyu Budoyo' yang mereka bawa. Selama Barongan masih dihormati sebagai pusaka hidup, dan ritual dilakukan dengan sepenuh hati, maka eksistensi Turonggo Wahyu Budoyo akan terus menjadi penanda kekayaan budaya Jawa yang tak lekang oleh waktu.
Barongan Turonggo Wahyu Budoyo adalah cermin yang memantulkan sejarah, spiritualitas, dan kegigihan masyarakat Jawa. Ia adalah seni yang menantang batas antara hiburan dan ritual, antara fisik dan metafisik. Melalui auman Barongan yang menggelegar dan hentakan kaki Jathil yang serempak, TWB memastikan bahwa warisan leluhur akan terus hidup, menjadi pengingat abadi akan kekuatan tradisi yang mengalir dalam darah bangsa.