Barongan Turonggo Yakso: Jejak Spiritual, Mitologi, dan Ekstasi dalam Budaya Jawa
Barong Turonggo Yakso adalah perpaduan tiga entitas spiritual: Barongan (singa), Turonggo (kuda), dan Yakso (raksasa penjaga).
Kesenian tradisional Jawa Timur memiliki kekayaan filosofis yang mendalam, salah satunya terwujud dalam tarian ekstatik dan penuh simbolisme yang dikenal sebagai Barongan Turonggo Yakso. Kesenian ini bukan sekadar pertunjukan; ia adalah ritual pemanggil kekuatan leluhur, sebuah narasi visual tentang keseimbangan alam, peperangan spiritual, dan pengakuan terhadap entitas penjaga. Nama yang dipilih, Barongan Turonggo Yakso, adalah sebuah deklarasi yang merangkum tiga komponen utama, masing-masing membawa bobot sejarah dan spiritual yang luar biasa.
Barongan, biasanya identik dengan sosok singa atau naga penjaga, mewakili kekuatan besar dan kewibawaan. Turonggo, atau kuda lumping (kuda kepang), melambangkan kendaraan para dewa atau prajurit, serta semangat kesatriaan yang gigih. Sementara Yakso, sosok raksasa atau buto, adalah representasi dari energi primal bumi, kekuatan tak terkendali, dan seringkali berfungsi sebagai penjaga gerbang spiritual. Ketika ketiga entitas ini dilebur menjadi satu pertunjukan, yang terjadi adalah ledakan energi yang puncaknya seringkali ditandai dengan fenomena trans atau ndadi, di mana penari menjadi medium bagi roh penjaga tersebut.
I. Etimologi dan Pilar Filosofis Turonggo Yakso
Untuk memahami kedalaman Barongan Turonggo Yakso, kita harus membedah setiap unsurnya. Kesenian ini, yang memiliki akar kuat di wilayah seperti Trenggalek, Kediri, dan Blitar, Jawa Timur, adalah sintesis budaya yang unik, membedakannya dari Jaranan biasa maupun Reog Ponorogo.
A. Barongan: Kewibawaan dan Penjaga
Dalam konteks Jawa Timur, Barongan memiliki bentuk yang sangat mirip dengan Singo Barong dalam Reog, namun seringkali ukurannya lebih kecil atau desainnya lebih sederhana, disesuaikan untuk ditarikan secara dinamis bersama Jaranan. Barong adalah simbol kekuasaan spiritual yang bertugas mengusir roh jahat (tolak balak) dan memberikan perlindungan. Kepala Barong yang besar dan mata yang tajam mencerminkan otoritas yang tidak bisa diganggu gugat. Pemilihan bahan, mulai dari kayu waru hingga kulit kerbau, menunjukkan nilai sakral yang melekat pada benda tersebut. Perluasan makna Barongan dalam konteks ini adalah penjaga kearifan lokal dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.
B. Turonggo: Gerak, Kecepatan, dan Loyalitas
Turonggo, yang berarti kuda, diwujudkan melalui properti kuda lumping yang terbuat dari anyaman bambu. Ini adalah inti dari tarian Jaranan. Kuda tidak hanya simbol transportasi, tetapi juga loyalitas, kecepatan, dan semangat pantang menyerah. Penari Turonggo harus memiliki stamina luar biasa, karena gerakan mereka menirukan kavaleri yang sedang bertempur atau berjalan di medan sulit. Dalam ritual, Turonggo adalah media yang paling rentan terhadap kerasukan, karena ia melambangkan entitas yang siap 'dinaiki' atau dimasuki oleh energi spiritual yang lebih besar.
C. Yakso: Kekuatan Primal dan Kesaktian
Yakso (Raksasa atau Buto) adalah elemen pembeda yang paling signifikan dalam kesenian ini. Yakso bukan sekadar raksasa jahat; dalam kosmologi Jawa, Yakso sering kali diinterpretasikan sebagai roh penjaga alam, gunung, atau sumber air yang memiliki kekuatan supranatural. Kostum Yakso, yang biasanya berupa topeng besar dengan taring menonjol, mata melotot, dan rambut gimbal (disebut gimbalan atau gondel), menunjukkan watak yang garang namun adil. Filosofi Yakso adalah representasi dari kekuatan alam yang liar dan tak terduga—sebuah pengingat bahwa di balik tata krama Jawa yang halus, terdapat energi bumi yang harus dihormati dan ditaklukkan melalui ritual.
Integrasi ketiga elemen ini menciptakan sebuah drama kosmik: Barong mengawasi, Turonggo bergerak, dan Yakso bertindak sebagai kekuatan pelaksana. Pertunjukan ini menjadi medan interaksi antara kekuatan dewa (Barong), manusia (penari), dan alam liar (Yakso). Penekanannya bukan pada konflik, melainkan pada harmonisasi kekuasaan-kekuasaan tersebut di bawah satu payung kebudayaan.
II. Sejarah dan Garis Keturunan Kesenian Jaranan
Meskipun sulit untuk menentukan tanggal pasti kemunculan Barongan Turonggo Yakso, akarnya jelas terkait erat dengan tradisi Jaranan dan Jathilan yang telah ada sejak era kerajaan Hindu-Buddha, bahkan diperkirakan telah ada sejak zaman Majapahit. Tradisi kuda lumping sering dikaitkan dengan kisah keprajuritan, terutama peniruan pasukan berkuda yang digunakan untuk pelatihan militer atau penyebaran semangat perlawanan.
A. Transisi dari Militer ke Ritual
Awalnya, Jaranan berfungsi sebagai sarana penyemangat prajurit atau sebagai hiburan rakyat setelah masa panen. Namun, seiring masuknya pengaruh Islam dan semakin kuatnya sinkretisme Jawa, elemen spiritual mulai mendominasi. Kuda lumping bukan lagi sekadar tiruan kuda, tetapi medium untuk memanggil roh para leluhur atau dhanyangan (penunggu tempat).
B. Masuknya Elemen Yakso
Elemen Yakso diperkirakan muncul belakangan, sebagai respons terhadap kebutuhan untuk visualisasi kekuatan yang lebih eksplisit dan dramatis. Di beberapa daerah, Yakso dikaitkan dengan figur adipati atau penguasa daerah yang terkenal kejam atau sakti. Di sisi lain, interpretasi Yakso juga berhubungan erat dengan kisah-kisah pewayangan, di mana raksasa adalah simbol tantangan, nafsu, dan rintangan yang harus dihadapi oleh kesatria (Turonggo).
Pengembangan Barongan Turonggo Yakso sering dikaitkan dengan upaya lokal untuk menciptakan identitas kesenian yang berbeda dari Reog yang sudah mapan di Ponorogo. Wilayah Kediri, Tulungagung, hingga Trenggalek mengembangkan gaya Jaranan yang lebih brutal, lebih cepat, dan memasukkan unsur-unsur visual yang lebih menakutkan (Yakso) untuk menarik perhatian dan menekankan aspek magisnya. Inilah yang menyebabkan Barongan Turonggo Yakso sering disebut sebagai Jaranan versi 'keras' atau Jaranan yang paling dekat dengan ritual kerasukan massal.
C. Peran Kiai dan Pawang
Sejarah kesenian ini tidak bisa dilepaskan dari peran pemuka agama tradisional atau Pawang Jaranan (sering juga disebut Kiai Jaranan atau Punden). Pawang inilah yang bertindak sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Mereka memiliki pengetahuan tentang mantra, sesajen (persembahan), dan ritual untuk ‘memanggil’ atau ‘mengendalikan’ energi Yakso agar tidak melukai penari atau penonton. Tanpa kehadiran pawang, pertunjukan ini dianggap sangat berbahaya dan tak akan pernah bisa mencapai puncak ekstasi spiritual yang diinginkan.
III. Anatomi Pertunjukan: Kostum, Musik, dan Koreografi
Pertunjukan Barongan Turonggo Yakso adalah sebuah orkestrasi yang rumit dari visual yang mengancam dan irama Gamelan yang memabukkan. Setiap detail, mulai dari warna kostum hingga jeda dalam musik, memiliki fungsi ritual dan artistik.
A. Ikonografi Kostum Yakso yang Mengerikan
Masker Yakso adalah pusat visual dari keseluruhan pertunjukan. Pembuatannya sangat detail dan mengikuti pakem tertentu.
- Topeng Utama (Yakso): Terbuat dari kayu ringan (biasanya kayu pule atau waru) agar dapat menari lincah. Ciri khasnya adalah mata yang sangat besar (mbelo) berwarna merah atau putih, mulut terbuka lebar memperlihatkan taring runcing (siyung), dan lidah menjulur panjang.
- Mahkota dan Rambut Gimbal: Bagian atas topeng dihiasi dengan mahkota (jamang) berwarna emas atau merah. Rambut Yakso dibuat dari ijuk, tali rami, atau bahkan rambut kuda yang diproses hingga menyerupai gimbal besar (gondel). Rambut ini bergerak dramatis saat penari menggeleng, menambah kesan liar dan tidak terkontrol.
- Pakaian: Penari Yakso sering menggunakan pakaian serba hitam atau merah, dihiasi dengan manik-manik atau hiasan bulu, serta celana panjang berwarna-warni yang kontras. Tujuannya adalah menciptakan sosok yang menonjol dan berbeda dari para penari kuda lumping yang lain.
B. Peran Turonggo (Kuda Lumping)
Penari Turonggo mengenakan pakaian kesatria dengan dominasi warna cerah (merah, kuning, hijau) dan selendang (sampur) yang panjang. Mereka membawa kuda anyaman bambu yang dicat cerah. Mereka adalah fondasi koreografi, menjalankan pola-pola tarian yang teratur sebelum energi Yakso mengambil alih. Ketika trans dimulai, gerakan Turonggo akan berubah drastis: dari gerakan tari yang anggun menjadi gerakan yang kasar, menirukan kuda yang mengamuk, memakan beling, atau menggigit benda-benda keras.
C. Gamelan Pengiring dan Irama Transformatif
Musik Gamelan dalam Turonggo Yakso memiliki peran krusial; ia adalah pemandu spiritual dan katalisator trans. Instrumen utamanya meliputi:
- Kendang: Jantung dari musik. Irama kendang yang cepat (irama jenggleng atau celeng) adalah sinyal dimulainya fase trans.
- Gong: Penanda awal dan akhir frasa musikal, memberikan jeda dramatis.
- Bonang dan Saron: Memberikan melodi utama yang repetitif dan hipnotis.
- Slompret/Terompet Reog: Alat tiup dengan nada tinggi dan melengking yang menghasilkan bunyi mistis dan memprovokasi energi Yakso.
Gerakan Turonggo yang lincah adalah representasi kuda kesatria yang siap menjadi wadah energi spiritual.
IV. Filosofi Spiritual dan Puncak Ekstasi (Ndadi)
Jantung dari Barongan Turonggo Yakso bukanlah tarian itu sendiri, melainkan proses spiritual yang dikenal sebagai ndadi atau kesurupan (trans). Proses ini adalah momen ketika energi Yakso diyakini benar-benar memasuki raga penari, mengubah perilaku mereka secara drastis.
A. Membangkitkan Energi Yakso
Trans dalam Jaranan tidak terjadi secara acak. Ia adalah hasil dari proses ritual yang ketat:
- Penyucian Diri: Sebelum pertunjukan, penari dan properti disucikan melalui doa dan pembacaan mantra.
- Sesajen (Persembahan): Sesajen diletakkan di panggung, berfungsi sebagai makanan spiritual bagi roh Yakso. Sesajen ini biasanya meliputi kembang tujuh rupa, dupa (kemenyan), kopi pahit, kopi manis, dan jajan pasar.
- Ritme Panggilan: Musik Gamelan mencapai tempo maksimal, dikombinasikan dengan teriakan dan gerak provokatif dari pawang.
B. Makna Aksi Transformatif
Aksi-aksi ekstrem ini memiliki makna filosofis yang mendalam. Memakan beling, misalnya, diyakini sebagai simbol keberanian spiritual dan penolakan terhadap hal-hal yang bersifat materi atau duniawi. Ia juga menunjukkan bahwa roh yang merasuk telah melindungi tubuh manusia dari bahaya fisik. Lebih dari itu, fase trans adalah momen peleburan antara manusia (penari) dengan kekuatan alam (Yakso). Ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa manusia memiliki kekuatan laten yang hanya bisa diakses melalui ritual dan izin dari para penjaga spiritual.
Aspek Ndadi dalam Turonggo Yakso adalah pengakuan budaya Jawa terhadap eksistensi kekuatan lain di luar logika rasional. Kekuatan Yakso ini dipanggil bukan untuk destruksi, melainkan sebagai manifestasi perlindungan dan kesaktian komunitas.
C. Peran Pawang dalam Kendali
Meskipun trans adalah klimaks yang dinanti, ia juga harus dikendalikan. Pawang bertugas memastikan bahwa roh yang merasuk adalah Yakso yang 'baik' atau roh leluhur yang 'murni'. Pawang menggunakan cambuk (pecut) sebagai alat kontrol, bukan untuk menyakiti, melainkan untuk memberikan perintah spiritual kepada roh yang merasuk, memastikan penari tidak keluar batas atau menyerang penonton. Proses penyadaran kembali (pemulihan) juga merupakan ritual yang kompleks, melibatkan air suci, asap dupa, dan mantra penutup.
V. Barongan Turonggo Yakso dalam Kontemporer
Di era modern, Barongan Turonggo Yakso menghadapi tantangan pelestarian yang kompleks. Meskipun tarian ini masih sangat populer di pedesaan Jawa Timur, terutama saat perayaan desa, pernikahan, atau bersih desa, peran sakralnya mulai bergeser.
A. Pergeseran dari Ritual ke Hiburan
Banyak kelompok seni yang kini mementaskan Turonggo Yakso lebih sebagai hiburan spektakuler untuk menarik wisatawan atau mengisi acara hajatan, sehingga intensitas ritualnya sedikit berkurang. Namun, esensi trans tetap dipertahankan, karena inilah yang menjadi daya tarik utama. Penonton datang untuk menyaksikan keajaiban dan keberanian para penari dalam menghadapi manifestasi roh.
B. Upaya Pelestarian dan Pewarisan
Berbagai sanggar dan kelompok Jaranan terus berjuang mempertahankan pakem tari dan musik aslinya. Generasi muda dilatih tidak hanya dalam gerakan tari, tetapi juga dalam pemahaman filosofi di balik Yakso dan Barongan. Pelestarian ini seringkali dilakukan melalui festival-festival seni daerah yang bertujuan mempromosikan perbedaan unik antara jenis-jenis Jaranan yang ada di Jawa Timur.
Salah satu aspek pelestarian yang penting adalah transmisi pengetahuan tentang pembuatan properti. Topeng Yakso, dengan ukiran yang detail dan energi spiritual yang ditanamkan oleh pembuatnya (seniman ukir atau undagi), dianggap memiliki kekuatan sendiri. Pengetahuan tentang cara memilih kayu, cara mengukir taring yang tepat, dan cara memberikan sentuhan warna merah dan emas yang sakral, adalah warisan yang harus dijaga.
C. Simbol Perlawanan Budaya
Di tengah gempuran budaya global, Barongan Turonggo Yakso tetap berdiri sebagai simbol perlawanan budaya dan identitas regional yang kuat. Ia adalah pengingat bahwa kebudayaan lokal Jawa tidak hanya tentang kehalusan (seperti dalam tari keraton), tetapi juga tentang kekuatan primal, energi bumi, dan keberanian menghadapi ketakutan spiritual.
Kelompok-kelompok Barongan Turonggo Yakso seringkali menjadi tulang punggung dari semangat komunal di desa-desa. Dana yang terkumpul dari pertunjukan tidak jarang digunakan untuk kepentingan sosial, mulai dari pembangunan balai desa hingga pembiayaan kegiatan keagamaan, memperkuat fungsi kesenian ini sebagai pilar sosial dan ekonomi rakyat.
VI. Analisis Mendalam Mengenai Narasi Mitologi Yakso
Dalam banyak narasi Jaranan, figur Yakso sering dihubungkan dengan mitos lokal tertentu. Ada beberapa teori mengenai asal usul spesifik Yakso yang ditarikan, menjadikannya lebih dari sekadar ‘raksasa’ umum:
A. Yakso sebagai Penjaga Punden
Di wilayah tertentu, Yakso dipercaya sebagai jelmaan atau manifestasi dari Dhanyang (roh penjaga desa atau situs keramat, seperti kuburan tua atau sumber air). Ketika Yakso merasuki penari, ia diyakini memberikan petunjuk, nasihat, atau peringatan kepada masyarakat desa melalui Pawang. Dalam konteks ini, tarian tersebut adalah bentuk komunikasi spiritual massal.
B. Konflik Antara Kekuatan Kebaikan dan Kejahatan
Secara umum, Barongan Turonggo Yakso sering menampilkan narasi pertempuran, di mana Barong (kebaikan/kewibawaan) dan Turonggo (kesatria) harus berhadapan dengan Yakso (hambatan/kekuatan liar). Namun, klimaksnya adalah rekonsiliasi, bukan penghancuran. Yakso tidak dihancurkan, melainkan ditundukkan atau diintegrasikan. Ini mencerminkan pandangan filosofis Jawa bahwa kebaikan dan kejahatan (atau keteraturan dan kekacauan) adalah dua sisi mata uang yang harus hidup berdampingan. Kekuatan Yakso harus diakui dan diarahkan, bukan dimusnahkan.
Koreografi pertempuran ini sangat intens, melibatkan adegan saling kejar dan gertakan antara penari Barong dan penari Yakso, diiringi teriakan dan pukulan kendang yang memekakkan telinga. Penonton seringkali merasakan ketegangan energi yang luar biasa di titik ini, yang memperkuat pengalaman magis pertunjukan.
C. Simbolisme Warna dalam Barongan dan Yakso
Warna memegang peranan penting. Warna merah yang dominan pada Yakso melambangkan amarah, nafsu (kama), dan keberanian. Sementara warna hitam atau hijau sering muncul pada Turonggo, melambangkan kebijaksanaan dan keseimbangan. Barongan, dengan warna emas (kekuningan) dan merah, melambangkan kekuasaan dan kemuliaan. Kontras warna ini adalah representasi visual dari dialektika spiritual dalam diri manusia dan alam semesta.
Topeng Yakso yang kadang dicat dengan warna-warna menyolok (seperti ungu atau biru elektrik) di beberapa kelompok kontemporer, meskipun menyimpang dari pakem klasik, bertujuan untuk menekankan aspek supernatural dan keanehan rupa raksasa tersebut. Namun, para seniman puristis menekankan bahwa warna merah dan putih adalah esensi utama Yakso, merepresentasikan darah dan tulang, atau api dan air—elemen-elemen primal kehidupan.
VII. Perbandingan Regional dan Pengaruh Turonggo Yakso
Meskipun Jaranan menyebar luas di seluruh Jawa, Barongan Turonggo Yakso memiliki ciri khas yang sangat spesifik yang membedakannya dari gaya Jaranan lainnya, seperti Jaranan Pegon atau Jaranan Dor (Kediri).
A. Turonggo Yakso vs. Jaranan Dor
Jaranan Dor dari Kediri sering kali fokus pada narasi keprajuritan murni dan lebih menekankan aspek Barong. Sementara Turonggo Yakso secara eksplisit mengangkat Yakso sebagai karakter sentral yang memicu trans. Di Turonggo Yakso, kekuatan Yakso sering digambarkan sebagai kekuatan yang lebih tua, lebih liar, dan lebih mendominasi adegan trans, dibandingkan dengan roh Singo Barong yang cenderung lebih teratur dan berwibawa.
B. Kesamaan dengan Caplokan
Konsep topeng raksasa yang menari dengan garang mirip dengan kesenian Caplokan. Namun, dalam Barongan Turonggo Yakso, Yakso berfungsi sebagai bagian integral dari narasi kuda lumping dan Barongan, bukan sebagai pertunjukan tunggal. Ia melengkapi dan menyempurnakan drama spiritual yang sudah ada, menciptakan tiga dimensi: darat (Turonggo), udara (Barongan), dan kekuatan bawah tanah (Yakso).
C. Daya Tarik Ekstremitas
Daya tarik terbesar Barongan Turonggo Yakso, dan alasan mengapa ia begitu lekat dengan citra mistis Jawa Timur, adalah kemampuannya menyajikan ekstremitas. Tarian ini mendorong batas-batas penampilan dan ritual. Kerasukan yang terjadi di tengah arena, di mana penari tiba-tiba berubah menjadi figur yang menakutkan, bertaring, dan memakan benda-benda tajam, adalah pengalaman kolektif yang mengikat komunitas dan menegaskan kekuatan budaya mereka di hadapan modernitas.
Dalam konteks modern, hal ini juga menimbulkan perdebatan etis mengenai batas antara seni pertunjukan dan eksploitasi spiritual. Namun, para pelaku seni berpendapat bahwa selama ritual persembahan dan penghormatan terhadap Pawang dilakukan dengan benar, tarian ini tetap mempertahankan kemurnian spiritualnya.
Aspek seni rupa dalam Turonggo Yakso juga menuntut keahlian khusus. Masker Yakso tidak boleh dibuat sembarangan. Ada mantra dan puasa tertentu yang harus dilakukan oleh pembuatnya agar topeng tersebut memiliki ‘isi’ atau energi spiritual yang kuat. Kayu yang dipilih harus yang ‘berisi’ atau memiliki aura khusus. Proses ini memastikan bahwa setiap properti yang digunakan dalam pertunjukan bukan hanya benda mati, tetapi media yang siap menampung energi Yakso.
VIII. Dinamika Hubungan antara Penari, Musik, dan Alam Gaib
Hubungan antara penari Jaranan, irama Gamelan, dan energi gaib adalah sebuah simfoni yang kompleks. Penari harus mencapai kondisi mental tertentu agar siap menerima masukan spiritual. Kondisi ini dicapai melalui puasa, meditasi singkat, dan fokus total terhadap musik.
A. Resonansi Irama dan Psikis
Irama kendang yang cepat dan berulang adalah kunci. Otak manusia, ketika terpapar irama repetitif yang keras dan cepat, cenderung memasuki kondisi trance ringan (altered state of consciousness). Dalam konteks Jaranan, kondisi ini disengaja. Begitu irama mencapai puncaknya, energi Yakso, yang sudah diundang oleh Pawang melalui sesajen dan mantra, mulai merasuki. Penari tidak lagi menari, melainkan ‘ditarikan’ oleh entitas tersebut. Gerakan menjadi sangat kuat, kasar, dan tidak terduga, sepenuhnya meniru karakter Yakso yang liar.
B. Improvisasi dan Kreativitas dalam Trans
Meskipun trans adalah kondisi di luar kendali sadar, setiap kelompok memiliki ciri khas dalam manifestasi Yakso yang merasuk. Beberapa Yakso mungkin fokus pada aksi memakan beling, yang lain pada pemanggilan cambuk, atau demonstrasi kekuatan fisik. Keunikan manifestasi ini menunjukkan adanya variasi entitas Yakso lokal yang berbeda-beda, sesuai dengan sejarah punden atau dhanyang di wilayah tersebut.
Ini adalah poin penting: Barongan Turonggo Yakso bukan sekadar tarian yang diulang-ulang, melainkan sebuah pertukaran energi yang selalu baru. Setiap pertunjukan memiliki risiko dan keajaiban tersendiri, bergantung pada 'mood' roh Yakso yang datang.
IX. Pengaruh Turonggo Yakso terhadap Kesenian Lain
Kekuatan visual dan spiritual dari Barongan Turonggo Yakso telah mempengaruhi perkembangan kesenian Jawa Timur lainnya. Aspek kesaktian dan 'kekejaman' yang ditunjukkan melalui Yakso sering diadopsi oleh kelompok-kelompok Jathilan di luar Kediri dan Trenggalek untuk memberikan kesan dramatis yang lebih kuat.
A. Integrasi Topeng Besar
Ide menggabungkan topeng raksasa sebagai figur antagonis yang pada akhirnya ditaklukkan atau diintegrasikan telah menjadi model umum dalam pertunjukan Jaranan modern. Yakso berfungsi sebagai 'penantang' yang menguji kesaktian para penari kuda lumping dan Barong. Tanpa adanya ancaman yang diwakili oleh Yakso, drama ritual akan terasa kurang lengkap.
B. Ekspresi Kultural dan Emosional
Turonggo Yakso juga memberikan ruang bagi ekspresi emosional yang lebih luas dalam budaya Jawa. Biasanya, budaya Jawa menekankan pengendalian diri dan kehalusan (rasa). Namun, tarian ini memberikan katarsis, di mana emosi liar, amarah, dan energi primal diizinkan untuk diekspresikan secara terbuka melalui topeng Yakso dan kondisi trans. Ini adalah katup pelepas tekanan komunal, di mana kekacauan dikelola dan dihormati dalam batas-batas ritual.
Penonton, meskipun merasa takut, juga merasakan sensasi pembersihan spiritual. Menyaksikan Yakso yang garang dan tak terkontrol diyakini dapat membantu mengusir energi negatif dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, pertunjukan ini selalu dinantikan, terutama di masa-masa sulit atau menjelang musim tanam, sebagai upaya mencari berkah dan perlindungan.
C. Peran Jaranan Wanita (Jathil)
Meskipun Barongan Turonggo Yakso didominasi oleh penari pria (yang memerankan Barong, Yakso, dan Jaranan), kelompok-kelompok modern sering memasukkan Jathil (penari wanita) yang menari dengan gerakan lembut dan elegan. Kontras antara gerakan Jathil yang feminin dan Yakso yang maskulin dan brutal menciptakan dinamika gender yang menarik dalam narasi, memperkuat tema keseimbangan kosmik (Yin dan Yang) di tengah kekacauan yang diakibatkan oleh roh Yakso.
Keseimbangan antara keindahan Jathil dan kegarangan Yakso adalah metafora visual untuk masyarakat yang harus menyeimbangkan kehalusan budi pekerti dengan keberanian dan kekuatan untuk bertahan hidup. Ketika Yakso muncul, semua kehalusan dikesampingkan, digantikan oleh kekacauan yang harus ditangani oleh kekuatan spiritual pawang.
X. Masa Depan dan Warisan Turonggo Yakso
Barongan Turonggo Yakso, dengan segala kerumitan ritual, visualisasi yang menawan, dan kedalaman filosofisnya, adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang paling berharga. Ia mewakili sinkretisme, keberanian, dan pengakuan terhadap dimensi spiritual yang tak terlihat.
Untuk memastikan warisan ini tidak punah, diperlukan dukungan berkelanjutan dari pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan yang paling penting, dukungan antusias dari masyarakat. Mempelajari Barongan Turonggo Yakso bukan hanya tentang mempelajari tarian, melainkan memahami psikologi kolektif masyarakat Jawa Timur dalam menghadapi alam gaib dan tantangan hidup.
Kisah tentang Barong yang bijaksana, Turonggo yang setia, dan Yakso yang liar akan terus diceritakan, diiringi dentuman kendang yang memanggil roh, menjadikannya salah satu manifestasi seni pertunjukan ritual yang paling kuat dan menggugah di Nusantara.
Setiap gerakan, setiap jeritan, setiap irama Gamelan yang berdentang, adalah babak baru dalam epos tak berujung mengenai perjuangan manusia untuk menemukan harmoni antara diri, alam, dan kekuatan mistis yang mendiami tanah Jawa.
Dari pemilihan kayu untuk topeng Yakso, yang harus melalui ritual khusus, hingga pembacaan mantra yang diwariskan dari guru ke murid, seluruh proses penciptaan dan pementasan Barongan Turonggo Yakso adalah sebuah laku spiritual. Kayu untuk topeng Yakso seringkali harus diambil dari pohon yang dianggap keramat atau dari hutan yang memiliki dhanyang kuat, sehingga energi dari alam tersebut sudah terkunci di dalam material sebelum ukiran dimulai. Proses pewarnaan yang menggunakan bahan-bahan alami dan ritual persembahan saat topeng selesai diukir menjamin bahwa properti tersebut memiliki aura yang diperlukan untuk memediasi trans.
Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pementasan, mulai dari menyiapkan sesajen hingga berpartisipasi dalam keramaian, menunjukkan bahwa Barongan Turonggo Yakso bukan hanya milik sanggar, melainkan milik seluruh komunal. Kesenian ini adalah cermin dari keyakinan mereka, sekaligus benteng pertahanan spiritual mereka terhadap pengaruh buruk dan modernisasi yang mengikis nilai-nilai tradisional. Ia adalah penegasan yang lantang bahwa, meskipun dunia berubah, roh-roh penjaga tanah Jawa tetap bersemayam dan meminta penghormatan melalui ritual yang dinamis dan ekstatis ini.
Dalam pertunjukan yang bisa berlangsung hingga subuh, urutan ritual selalu ketat. Setelah fase pengenalan dan tarian kuda lumping biasa, musik mulai berubah, menjadi lebih berat dan cepat. Para penari yang memiliki warisan Yakso dalam garis keturunannya (atau yang telah melalui inisiasi khusus) akan menunjukkan tanda-tanda pertama trans: mata mereka mulai kosong, gerakan mereka menjadi kaku, dan mereka mulai mengeluarkan suara auman. Ini adalah momen kritis, di mana Pawang harus segera bertindak untuk "menarik" roh Yakso agar masuk ke dalam topeng dan kendali.
Ketika penari Yakso telah sepenuhnya dirasuki, ia akan bergerak dengan kekuatan luar biasa, menantang para penari Barong dan Turonggo lainnya. Adegan memakan benda-benda tajam, seperti silet atau paku, sering terjadi di bawah pengawasan ketat. Aksi ini, yang disebut atraksi kekebalan, adalah puncak drama dan bukti nyata keberhasilan ritual. Atraksi ini diyakini tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa tanpa perlindungan spiritual dari Yakso yang merasukinya. Setelah puncak trans, pawang akan melakukan proses penyembuhan, mengembalikan kesadaran penari dengan memukul punggung atau memberikan air doa, menutup ritual dengan penghormatan kepada Barong dan Yakso yang telah hadir.
Kekuatan naratif Barongan Turonggo Yakso juga terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi tanpa kehilangan esensinya. Meskipun musiknya mungkin terkadang diiringi alat musik modern (seperti keyboard) untuk menarik penonton muda, irama inti Gamelan tradisional yang memanggil trans harus tetap dipertahankan. Inilah kompromi yang dilakukan oleh para pelestari: menggabungkan kemasan modern dengan isi ritual yang sakral.
Dengan demikian, Barongan Turonggo Yakso akan terus berdetak sebagai jantung kebudayaan Jawa Timur. Bukan hanya sebagai cerita rakyat, tetapi sebagai praktik spiritual yang hidup, yang setiap kali dipentaskan, memperbarui sumpah antara manusia dan penjaga gaib yang tak pernah tertidur.