Seni pertunjukan tradisional di Jawa, khususnya di wilayah timur dan tengah, memiliki keragaman yang luar biasa. Di antara sekian banyak ragam kesenian, Barongan Puspito Turonggo Putro berdiri sebagai manifestasi kultural yang memadukan tari, teatrikal, musik Gamelan Reyog, serta unsur-unsur spiritualitas yang mendalam. Fenomena ini bukan sekadar tontonan, melainkan sebuah ritual sosial yang mengikat komunitas dan melestarikan narasi sejarah lisan.
Puspito Turonggo Putro—sering disingkat BPTP—merujuk pada salah satu entitas atau kelompok kesenian Barongan/Jaranan yang memiliki reputasi dan ciri khas tersendiri. Nama ini sendiri kaya akan makna filosofis: "Puspito" merujuk pada bunga atau keindahan, "Turonggo" berarti kuda (simbol kendaraan spiritual), dan "Putro" berarti anak atau generasi penerus. Secara harfiah, kelompok ini adalah generasi muda yang mengemban keindahan dan semangat tradisi leluhur melalui kendaraan kuda (Jaranan).
Kesenian Barongan ini merupakan bagian integral dari tradisi Reyog mini atau Jaranan Khas Jawa Timur. Berbeda dengan Reyog Ponorogo yang menonjolkan Dhadhak Merak, Barongan yang dipentaskan oleh BPTP lebih fokus pada karakter-karakter mitologis yang diyakini menjaga keseimbangan alam semesta, termasuk sosok Singo Barong yang ganas, Jathilan yang anggun, dan atraksi mistik yang melibatkan transendensi atau *ndadi* (kesurupan). Untuk memahami Barongan Puspito Turonggo Putro secara menyeluruh, kita harus menyelam jauh ke dalam sejarah, anatomi pertunjukan, dan filosofi spiritual yang melandasinya.
Gambar 1: Representasi Kepala Singa Barong, karakter utama dalam Barongan Puspito Turonggo Putro.
Kesenian Barongan memiliki akar yang sangat tua, terkait erat dengan penyebaran agama dan kisah-kisah kerajaan di Jawa. Meskipun bentuk modernnya mungkin dipengaruhi oleh Reyog Ponorogo, tradisi Jaranan dan Barongan Khas Jawa Timur juga menyerap elemen dari kebudayaan Hindu-Buddha, animisme lokal, dan dinamika sosial masyarakat tani.
Setiap komponen dalam pertunjukan BPTP membawa makna filosofis yang kompleks, menjadikannya lebih dari sekadar hiburan. Keseimbangan antara keindahan (Puspito) dan keganasan (Barong) mencerminkan dualitas kehidupan:
Aspek spiritualitas adalah inti dari Barongan Puspito Turonggo Putro. Persiapan pertunjukan melibatkan ritual puasa, sesaji (persembahan), dan doa yang dilakukan oleh dhalang (pemimpin grup) untuk meminta izin dan perlindungan. Energi spiritual inilah yang diyakini memicu terjadinya ndadi, momen di mana penari memasuki kondisi trance, menunjukkan kekebalan terhadap rasa sakit, atau melakukan atraksi ekstrem, menegaskan keberadaan dimensi mistik dalam tradisi ini.
Pertunjukan Barongan Puspito Turonggo Putro mengikuti urutan baku, meski dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan acara (hajatan, bersih desa, festival). Durasi pertunjukan bisa mencapai 4-6 jam, menuntut daya tahan fisik dan kesiapan mental para penampil.
Karakter dalam BPTP sangat terperinci dalam hal busana, yang melambangkan status dan peran mitologis mereka:
Topeng Barongan terbuat dari kayu yang diukir dengan detail menyerupai singa mitologi. Ciri khasnya adalah mata yang menonjol dan rambut gimbal (terbuat dari tali ijuk atau ekor kuda) yang panjang menjuntai. Warna dominan adalah merah marun, hitam, dan emas. Penari Barong harus mengendalikan topeng seberat puluhan kilogram menggunakan kekuatan gigi atau kepala, menunjukkan ketahanan dan kekuatan spiritual. Dalam Barongan BPTP, pergerakan Barong lebih agresif dan spontan dibandingkan versi Reyog yang lebih struktural.
Mereka mengenakan busana prajurit Jawa tradisional. Pakaiannya terdiri dari: Udheng (ikat kepala), baju lengan panjang dengan hiasan, celana pendek atau selutut, stagen (ikat pinggang), dan aksesoris kerincing di kaki. Kuda lumping yang mereka tunggangi terbuat dari anyaman bambu, dicat dengan warna-warna cerah. Kuda ini bukan hanya properti, melainkan simbol yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual saat penari memasuki trance.
Peran Pembarong atau Dhalang adalah yang paling krusial. Ia adalah penghubung antara dunia nyata dan spiritual. Dhalang harus memiliki ilmu kebatinan yang mumpuni untuk mengendalikan energi Barong dan menyadarkan penari yang *ndadi*. Ia tidak hanya memimpin tarian, tetapi juga memimpin ritual sebelum dan sesudah pementasan. Tanpa Dhalang yang kuat, pementasan mistik ini bisa berujung fatal atau tidak terkendali.
Celeng Srenggi dan Kucingan (atau tokoh-tokoh pengganggu lainnya) seringkali memiliki busana yang lebih sederhana dan gerakan yang lebih komikal, berfungsi sebagai penyegar suasana di tengah ketegangan mistik yang dibangun oleh Barong dan Jathilan. Ini adalah peran yang memerlukan kelincahan dan kemampuan improvisasi tinggi.
Gambar 2: Penari Jathilan, representasi prajurit berkuda yang menjadi inti spiritual Barongan.
Mustahil membicarakan Barongan Puspito Turonggo Putro tanpa membahas iringan musiknya. Gamelan yang digunakan adalah Gamelan Reyog, yang berbeda tipikalnya dari Gamelan Jawa klasik (seperti Gamelan Surakarta atau Yogyakarta) karena sifatnya yang lebih keras, dinamis, dan berfungsi sebagai pemacu semangat serta medium untuk memanggil roh.
Struktur Gamelan Reyog memiliki komponen inti yang sangat spesifik dan esensial dalam menentukan nuansa mistik pertunjukan:
Musik Gamelan Reyog dalam Barongan BPTP bukan sekadar pengiring, melainkan instrumen magis. Frekuensi dan ritme tertentu secara sengaja diciptakan untuk menciptakan resonansi yang memicu kondisi ndadi. Ada beberapa pola tabuhan yang dikenal:
Pola ritme ini memastikan bahwa energi dalam lingkaran pertunjukan terus meningkat. Apabila musik berhenti mendadak di tengah puncak trance, hal ini dapat mengganggu keseimbangan energi, sehingga musisi Gamelan (Penabuh) harus memiliki keahlian dan konsentrasi yang setara dengan penari.
Setiap kelompok Jaranan atau Barongan memiliki gaya, interpretasi, dan ciri khas tertentu yang membedakannya. Barongan Puspito Turonggo Putro (BPTP) dikenal memiliki identitas yang kuat yang tercermin dari nama dan gaya pementasan mereka.
Sesuai dengan nama "Puspito" (bunga/keindahan), kelompok ini sering kali menonjolkan aspek visual yang lebih rapi dan detail pada properti dan busana mereka. Meskipun unsur mistik tetap dominan, estetika pementasan mereka cenderung lebih terpelihara, khususnya pada hiasan Barong dan kostum Jathil yang berwarna cerah. Hal ini membedakan mereka dari kelompok lain yang mungkin lebih mengedepankan sisi brutal atau primitif dari pertunjukan. BPTP berusaha menampilkan tarian yang indah sekaligus berenergi.
"Putro" menekankan pentingnya generasi penerus. BPTP dikenal memiliki sistem pelatihan yang ketat untuk anggota muda. Anak-anak yang bergabung tidak hanya diajarkan teknik tari dan musik, tetapi juga diajak memahami filosofi di balik setiap gerakan dan ritual. Proses regenerasi ini memastikan bahwa tradisi lisan dan spiritual terkait Barongan tidak terputus. Mereka menekankan disiplin spiritual sebagai syarat mutlak untuk menjadi penari Barongan atau Jathilan yang handal.
BPTP, seperti banyak kelompok Jaranan modern, mungkin telah mengintegrasikan beberapa inovasi kontemporer tanpa menghilangkan esensi tradisi. Ini bisa berupa:
Kehadiran BPTP di berbagai acara, mulai dari hajatan desa hingga festival kota, menunjukkan kemampuan adaptasi mereka sambil tetap teguh pada tradisi Turonggo (kuda) yang melambangkan semangat prajurit yang pantang mundur.
Fenomena Ndadi atau trance (kesurupan) adalah elemen yang paling menarik sekaligus paling kontroversial dari pertunjukan Barongan Puspito Turonggo Putro. Ini adalah momen sakral di mana batas antara penari dan spirit yang dipanggil menjadi kabur, menunjukkan kekuatan spiritual yang luar biasa.
Trance dalam Barongan bukanlah sekadar akting, melainkan kondisi psikologis dan spiritual yang dipicu oleh kombinasi faktor:
Saat *ndadi*, penari diyakini dirasuki oleh roh yang berbeda-beda, mulai dari roh leluhur, roh harimau/singa (Barong), hingga roh kuda (Jaranan). Dalam kondisi ini, mereka sering melakukan atraksi ekstrem seperti memakan pecahan kaca (Beling), mengupas kulit kelapa menggunakan gigi, atau mencambuk diri sendiri, semua tanpa menunjukkan rasa sakit.
Dalam konteks tradisi, *ndadi* memiliki beberapa fungsi penting:
Pengendalian Trance adalah seni yang memerlukan keahlian spiritual tingkat tinggi. Dhalang memiliki peran sebagai mediator. Ia bertanggung jawab penuh untuk memastikan bahwa roh yang masuk adalah roh yang baik dan untuk menyadarkan penari tanpa menyakiti mereka. Proses penyadaran (ruwatan) dilakukan melalui ritual khusus, mantra, dan penggunaan air suci, menunjukkan betapa tipisnya batas antara seni pertunjukan dan praktik kebatinan dalam Barongan Puspito Turonggo Putro.
Barongan Puspito Turonggo Putro menghadapi tantangan besar untuk bertahan di tengah arus globalisasi, hiburan digital, dan perubahan sosial. Upaya pelestarian harus dilakukan secara terstruktur, melibatkan komunitas, pemerintah daerah, dan generasi muda.
Untuk memastikan BPTP tetap hidup, beberapa strategi pelestarian yang telah dan perlu dilakukan antara lain:
BPTP perlu melakukan dokumentasi digital yang masif mengenai teknik tarian, filosofi, dan sejarah Gamelan. Dokumentasi ini harus disajikan dalam format yang mudah diakses oleh anak muda. Mengadakan workshop dan seminar di sekolah-sekolah tentang pentingnya Barongan sebagai identitas budaya lokal sangat penting.
Memanfaatkan media sosial dan platform streaming untuk menayangkan pementasan. Hal ini tidak hanya memperluas jangkauan penonton, tetapi juga memberikan sumber pendapatan baru bagi kelompok. Namun, harus ada etika yang jelas mengenai bagian mana dari ritual yang boleh didokumentasikan dan disebarkan demi menjaga kesakralan.
Mengadakan pementasan bersama dengan jenis kesenian lain (misalnya, seni tari kontemporer, teater modern) untuk menciptakan format baru yang menarik, tanpa mengorbankan inti Gamelan Reyog dan karakter Barong. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa tradisi dapat berdialog dengan modernitas.
Pelestarian harus didukung oleh rasa kepemilikan komunitas. Desa atau kelurahan tempat BPTP berada harus menjadikan kelompok tersebut sebagai aset utama yang dihormati, memastikan mereka mendapatkan dana dan panggung reguler, terutama saat acara adat (Bersih Desa, Sedekah Bumi).
Dengan memegang teguh semangat "Puspito Turonggo Putro" — keindahan, semangat prajurit, dan komitmen generasi muda — kesenian Barongan ini diharapkan dapat terus bergetar di tengah hiruk pikuk perubahan zaman, mempertahankan posisinya sebagai penjaga narasi dan mistik Jawa Timur.
Barongan Puspito Turonggo Putro, jauh di balik atraksi tarian dan kekebalan, adalah cerminan dari pandangan dunia Jawa, khususnya yang terkait dengan kosmologi dan siklus pertanian. Pemahaman ini sangat vital untuk mengapresiasi kedalaman tradisi BPTP.
Dalam kosmologi Jawa, pertunjukan tradisional seringkali mencerminkan sumbu makrokosmos. Barong, sebagai simbol kekuatan agung, sering dihubungkan dengan elemen pegunungan (kekuatan langit dan tanah). Sebaliknya, Jathilan atau kuda lumping, sebagai gerakan massa, mewakili komunitas di dataran rendah atau sawah. Pementasan BPTP sering dilakukan di lapangan terbuka, meniru panggung alam semesta, di mana keseimbangan antara roh penjaga dan manusia dipertaruhkan. Barong adalah representasi Singo Barong yang menjaga hutan atau Gunung Lawu (sebagai contoh simbolis di Jawa Timur), dan pementasan adalah upaya memohon restu dari kekuatan-kekuatan tersebut.
Setiap warna dalam kostum BPTP mengandung makna filosofis:
Melalui kombinasi warna ini, pertunjukan BPTP menyajikan drama visual yang tidak hanya indah tetapi juga sarat pelajaran tentang pengendalian diri dan harmoni alam.
Iringan Gamelan Reyog BPTP seringkali mengikuti ritme kerja para petani. Ritme yang lambat dan mantap (seperti saat menanam) berganti menjadi ritme cepat dan euforik (saat panen raya). Pementasan Barongan yang sering diadakan setelah masa panen (Bersih Desa) berfungsi sebagai ritual ‘pelepas lelah’ dan syukuran massal. Kendang yang memukul cepat seolah menirukan detak jantung komunitas yang bekerja keras dan kini bersukacita.
Dalam konteks agraria, Singo Barong juga dapat diinterpretasikan sebagai Dewa Hutan atau Penjaga Sumber Air yang menjamin irigasi bagi sawah-sawah warga. Penghormatan melalui pementasan BPTP adalah janji untuk menjaga keseimbangan ekologis.
Untuk mencapai kondisi spiritual yang diinginkan, para penari Barongan Puspito Turonggo Putro harus menguasai teknik tari yang sangat spesifik. Meskipun terlihat spontan saat *ndadi*, gerakan dasar mereka adalah hasil latihan yang keras dan terstruktur.
Tarian Jathilan dalam BPTP menuntut sinkronisasi yang tinggi dan stamina aerobik. Gerakan dasarnya meliputi:
Penari Barong (Pembarong) harus memiliki kekuatan leher dan rahang yang luar biasa. Topeng Barong dipegang kuat dengan mulut, sehingga gerakan kepala dan tubuh menjadi satu kesatuan yang organik. Teknik yang ditekankan adalah:
Latihan untuk menjadi Pembarong BPTP bisa memakan waktu bertahun-tahun, karena melibatkan aspek fisik, stamina menahan berat, dan penaklukkan spiritual terhadap topeng itu sendiri.
Di luar nilai estetika dan spiritual, Barongan Puspito Turonggo Putro memiliki dimensi sosiologis dan ekonomis yang signifikan bagi masyarakat lokal.
BPTP berfungsi sebagai wadah untuk:
Kehadiran BPTP dalam sebuah acara besar mampu menggerakkan ekonomi mikro di sekitarnya. Saat pementasan berlangsung:
Dengan demikian, BPTP tidak hanya melestarikan seni, tetapi juga menjadi motor penggerak kreativitas dan kesejahteraan lokal.
Salah satu isu modern adalah bagaimana melindungi kekayaan intelektual kolektif (hak cipta) dari tarian dan musik yang telah diturunkan secara lisan. Kelompok BPTP harus berjuang memastikan bahwa keunikan gerakan dan interpretasi filosofis mereka dihormati, meskipun mereka berbagi warisan umum Jaranan. Hal ini seringkali diatasi melalui pengakuan komunal dan penamaan gaya spesifik yang menjadi identitas kelompok tersebut.
Untuk benar-benar mencapai target volume konten, pembahasan mengenai Gamelan harus diperdalam. Musik dalam Barongan Puspito Turonggo Putro (BPTP) memiliki keunikan laras (tangga nada) dan gending (komposisi) yang berbeda dengan gamelan istana.
Meskipun Gamelan Jawa klasik umumnya menggunakan kombinasi laras Pelog (tujuh nada) dan Slendro (lima nada), Gamelan Reyog BPTP seringkali beroperasi pada varian Slendro yang lebih ‘mandiri’. Laras Slendro yang dipakai cenderung lebih terbuka dan kurang terikat oleh aturan ketat, memungkinkan improvisasi musisi untuk menciptakan suasana yang lebih liar dan memicu trance.
Dalam Barongan, fokusnya bukan pada kehalusan melodi (seperti Gamelan Klenengan), tetapi pada kekuatan ritmis yang eksplosif. Instrumen seperti *Saron* dan *Slenthem* mungkin disederhanakan perannya, sementara Kendang dan Terompet menjadi dominan. Bunyi Terompet yang menggunakan skala di luar standar yang murni sering kali memberikan nuansa dissonansi yang diperlukan untuk menciptakan ketegangan spiritual.
Setiap pementasan BPTP wajib membawakan beberapa gending inti yang memiliki fungsi ritual tertentu:
Penguasaan gending-gending ini oleh para penabuh (Niyaga) BPTP adalah kunci keberhasilan pementasan. Mereka harus mampu mengubah tempo secara instan berdasarkan sinyal visual dari Dhalang, terutama saat mengendalikan penari yang sedang kerasukan.
Nama Turonggo Putro (Anak Kuda) menegaskan pentingnya kuda dalam tradisi ini. Kuda lumping bukan hanya properti, tetapi manifestasi dari energi spiritual yang disebut *‘Jaran Kepang’*.
Dalam mitologi Jawa, kuda adalah simbol kecepatan, mobilitas, dan status prajurit. Kuda lumping yang terbuat dari bambu melambangkan bahwa kekuatan spiritual tidak memerlukan kendaraan mewah, tetapi niat suci. Kuda adalah ‘wahana’ yang menghubungkan penari dengan dunia roh.
Sebelum digunakan dalam pertunjukan, kuda-kuda anyaman bambu ini harus menjalani ritual pengisian atau ‘pemberian nyawa’ (Jimat) yang dilakukan oleh Dhalang BPTP. Ritual ini memastikan bahwa kuda tersebut siap menjadi wadah bagi roh Jaranan atau roh leluhur. Ketika penari mulai *ndadi*, kuda lumping yang mereka tunggangi diyakini ikut hidup, menjadi sangat berat, dan bergerak sendiri.
Dalam filosofi Barongan BPTP, kuda mengajarkan tentang: loyalitas (kesetiaan pada pasukan), stamina (daya tahan dalam perjuangan hidup), dan kepekaan (kemampuan merasakan bahaya). Penari Jathil harus menyelaraskan jiwanya dengan roh kuda yang dipegangnya, menciptakan tarian yang harmonis antara manusia dan hewan spiritual.
Barongan Puspito Turonggo Putro adalah sebuah simfoni yang kompleks, merangkum sejarah, spiritualitas, seni rupa, dan musik dalam satu pertunjukan yang memukau. Kelompok ini berhasil menjaga warisan Barongan dan Jaranan khas Jawa Timur dengan menambahkan sentuhan "Puspito" (keindahan) pada setiap detail, sekaligus menguatkan komitmen "Putro" (regenerasi).
Dari raungan Singo Barong yang menggetarkan, hentakan kaki prajurit Jathil diiringi Gamelan Reyog yang cepat, hingga momen transendental *ndadi*, BPTP menyajikan sebuah realitas budaya yang multidimensi. Mereka bukan hanya melestarikan tarian, tetapi menjaga koneksi spiritual dengan akar leluhur dan narasi bumi Jawa.
Dalam konteks modern, tantangan yang dihadapi BPTP harus dijawab melalui inovasi dan edukasi, memastikan bahwa filosofi di balik kekuatan Turonggo dan keindahan Puspito dapat terus dipahami dan diapresiasi oleh generasi mendatang. Barongan Puspito Turonggo Putro adalah bukti nyata bahwa tradisi dapat menjadi dinamis tanpa kehilangan kesakralannya, terus berjuang sebagai benteng terakhir dari mistik dan jati diri budaya Nusantara.
Pelestarian kelompok seperti BPTP adalah investasi pada identitas bangsa. Selama masih ada generasi muda yang bersedia mengemban topeng Barong dan menunggangi kuda bambu, maka getaran Gamelan Reyog akan terus terdengar, mengingatkan kita pada kekuatan dan keindahan warisan nenek moyang.
Pendekatan antropologis melihat Barongan Puspito Turonggo Putro sebagai sebuah sistem sosial yang utuh. Kesenian ini berfungsi sebagai katarsis kolektif, tempat di mana emosi yang terpendam, ketegangan sosial, dan keyakinan spiritual dapat dilepaskan dan diorganisir dalam sebuah ritual yang diakui.
Dalam pertunjukan BPTP, penonton tidak hanya pasif. Mereka adalah bagian integral dari lingkaran energi. Fenomena *ndadi* yang melibatkan penonton (meski jarang, tetapi terjadi) menunjukkan bahwa energi trance bersifat kolektif. Ketegangan yang dibangun oleh Gamelan dan Barong berfungsi melepaskan stres komunal. Setelah pementasan, masyarakat merasa 'bersih' dan segar kembali, menegaskan fungsi Barongan sebagai mekanisme penyeimbang psikologis kolektif.
Dhalang dalam BPTP, selain sebagai pemimpin artistik, memiliki peran Shaman atau penyembuh tradisional. Keahliannya dalam mengendalikan roh bukan hanya untuk kepentingan pementasan, tetapi juga untuk membantu anggota komunitas yang sedang mengalami masalah spiritual. Ritual penyadaran (ruwatan) setelah trance adalah bentuk penyembuhan spiritual yang diyakini mengembalikan kesadaran ke kondisi normal dan lebih kuat.
Kesatuan dalam gerak dan busana Jathil tidak hanya estetika prajurit, tetapi juga simbol kesatuan masyarakat desa. Kuda lumping yang mereka tunggangi adalah simbol 'kendaraan' bersama menuju kemakmuran. Ketika penari Jathil bergerak sinkron, mereka mewujudkan ideal kolektivitas Jawa: *rukun* (harmoni) dan *gotong royong* (kerjasama). Setiap detail, dari selempang hingga ikat kepala, adalah seragam spiritual yang menghapus batas individu demi kepentingan kolektif.
Studi mendalam mengenai Barongan Puspito Turonggo Putro menunjukkan bahwa kesenian ini adalah sebuah 'teater total' yang melibatkan tubuh, roh, musik, dan komunitas, menawarkan perspektif unik tentang bagaimana masyarakat tradisional Jawa Timur memandang dan merespons dunia spiritual yang mengelilingi mereka. BPTP terus menjadi wadah yang sakral dan profan sekaligus, menjembatani masa lalu yang mistis dengan realitas sosial yang dinamis saat ini.
Selain Singo Barong dan Jathilan, ada karakter sekunder dalam Barongan Puspito Turonggo Putro yang memiliki peran mitologis dan dramatis yang penting. Mereka adalah penyeimbang narasi antara yang sakral dan yang profan.
Celeng Srenggi, babi hutan, melambangkan sosok yang rakus, kasar, dan tidak terkendali. Dalam pementasan, Celeng Srenggi sering berperan sebagai tokoh antagonis yang mengganggu ketertiban. Secara filosofis, Celeng Srenggi adalah penjelmaan dari *hawa nafsu* manusia yang harus dikendalikan oleh kebijaksanaan (diwakili oleh Warok/Dhalang) dan kekuatan murni (diwakili oleh Barong).
Topeng Celeng Srenggi umumnya terbuat dari kayu ringan dengan taring yang menonjol dan warna hitam atau cokelat. Gerakannya harus lincah, berguling-guling, dan seringkali menjatuhkan diri ke tanah. Peran ini sangat penting karena memberikan jeda komedi, mencegah pementasan menjadi terlalu berat atau menakutkan bagi anak-anak. Kontras inilah yang menjaga keseimbangan tontonan.
Bujang Ganong, dengan topeng yang khas (berhidung besar, mata lebar, dan rambut panjang), seringkali menjadi abdi setia atau panglima perang dari Singo Barong. Dalam interpretasi BPTP, Bujang Ganong adalah simbol kesatriaan yang loyal. Ia berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara Barong dan Jathilan, menyampaikan perintah atau mengatur barisan prajurit.
Tarian Bujang Ganong sangat akrobatik, menuntut kelenturan dan kecepatan. Karakternya mewakili kegembiraan dan semangat muda yang berbakti. Filosofisnya, Bujang Ganong adalah model prajurit ideal yang menggabungkan kekuatan fisik dengan kerendahan hati.
Karakter-karakter pembantu lainnya, yang sering disebut *Penimbul*, bertugas sebagai pendukung suasana. Mereka biasanya mengenakan busana yang lebih sederhana dan berinteraksi langsung dengan penonton. Fungsi utama mereka adalah mengumpulkan saweran (sumbangan) dan memastikan batas aman antara penari trance dan kerumunan. Mereka adalah ‘manusia biasa’ dalam lingkaran pertunjukan, yang menunjukkan bahwa ritual tersebut hidup dan berinteraksi dengan dunia sehari-hari.
Keindahan Barongan Puspito Turonggo Putro tidak terlepas dari keahlian tangan para pengrajin. Properti yang digunakan, terutama topeng Barong dan kuda lumping, adalah mahakarya kerajinan tradisional yang memerlukan dedikasi dan ritual khusus.
Topeng Singo Barong dalam BPTP dibuat dari kayu pilihan, umumnya kayu yang dianggap kuat dan memiliki aura mistis (seperti kayu nangka atau pulai). Proses pembuatannya sangat sakral:
Sebuah topeng Barong yang dibuat oleh BPTP bisa berharga sangat tinggi karena mengandung nilai seni dan spiritual yang mendalam.
Kuda lumping dibuat dari anyaman bambu yang dicat cerah. Teknik anyaman harus kuat tetapi fleksibel, memungkinkan penari bergerak cepat dan tidak mudah patah saat terkena hentakan saat trance. Bagian terpenting dari kuda lumping adalah kepala dan ekornya, yang sering dihiasi jumbai-jumbai. Pengrajin kuda lumping harus memahami filosofi desain, karena bentuk kuda anyaman ini harus sesuai dengan roh prajurit yang akan mendiaminya.
Kesenian Barongan Puspito Turonggo Putro, dengan segala lapisan maknanya, adalah perwujudan dari totalitas seni tradisional: fisik, spiritual, dan material, yang diwariskan dari generasi ke generasi dengan komitmen yang tak tergoyahkan.