Menjelajahi Jantung Filosofi, Gerak, dan Spiritualisme Nusantara
Nusantara menyimpan kekayaan budaya yang tak terhingga, di mana seni pertunjukan dan ilmu bela diri seringkali berjalin erat, membentuk sebuah sintesis yang mencerminkan spiritualitas dan ketahanan masyarakatnya. Di antara banyak manifestasi sinkretisme ini, kolaborasi antara seni Barongan dan organisasi pencak silat Pagar Nusa menampilkan sebuah narasi yang unik dan mendalam. Barongan, dengan topeng singa yang menakutkan dan gerakan ritmisnya, adalah representasi dari kekuatan mitologis dan tradisi agraria Jawa. Sementara Pagar Nusa, sebagai organisasi di bawah naungan Nahdlatul Ulama, merupakan manifestasi dari ketegasan spiritual, disiplin fisik, dan penjagaan terhadap nilai-nilai keagamaan serta kebangsaan.
Pertemuan dua entitas ini bukanlah sekadar penggabungan koreografi. Ia adalah sebuah perwujudan filosofis: bagaimana kearifan lokal yang bersifat magis-transendental dapat diselaraskan dengan kerangka ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang dibawa dan dijaga oleh para pendekar Pagar Nusa. Artikel ini akan menyelami lapisan-lapisan historis, filosofis, teknis, dan spiritual yang membentuk ‘Barongan Pagar Nusa’, mengupas tuntas mengapa perpaduan ini menjadi relevan dalam menjaga identitas budaya Jawa sekaligus benteng moral pemuda di era modern. Kita akan menguraikan bagaimana kekuatan batin yang dilatih dalam Pagar Nusa menjadi kunci pengendalian dalam pertunjukan Barongan yang seringkali melibatkan unsur kesurupan (trance), dan bagaimana jurus-jurus silat menambah dimensi baru pada narasi visual Barongan.
Sinergi ini menandakan lebih dari sekadar pelestarian; ia adalah revitalisasi. Barongan Pagar Nusa bukan hanya tentang tarian dan pertarungan; ini adalah tentang pewarisan adab, pengendalian diri (mujahadah), dan pengakuan terhadap warisan leluhur yang kaya, semuanya dibingkai dalam disiplin khas pesantren. Memahami perpaduan ini memerlukan pandangan yang luas, meliputi sejarah topeng Barong, ajaran inti Pagar Nusa, hingga implikasi sosial dan spiritualnya yang menjangkau komunitas di seluruh pelosok Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Seni Barongan, seringkali disalahartikan sebagai sekadar hiburan rakyat, sesungguhnya adalah teks budaya yang kaya akan simbolisme dan sejarah. Asal-usulnya dapat dilacak kembali ke era sebelum Islam, berakar pada animisme dan dinamisme, yang kemudian menyerap unsur-unsur Hindu-Buddha, dan akhirnya berakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Karakter utama Barongan, Singa Barong atau Gembong, adalah representasi dari kekuatan alam semesta, atau terkadang, simbol dari penguasa yang bijaksana namun bengis.
Topeng Barong, dengan mata melotot, taring tajam, dan mahkota berhias, bukanlah representasi hewan biasa, melainkan makhluk mitologis yang mewarisi sifat dualistik. Ia adalah pelindung sekaligus pemangsa. Dalam konteks Jawa Timur, terutama yang berhubungan erat dengan Reog Ponorogo atau Jaranan Buto, Barongan memiliki fungsi ritual yang kuat, seringkali menjadi media penghubung antara dunia manusia dan dunia spiritual. Kostum Barongan, yang terbuat dari kain karung goni atau kulit, dihiasi dengan ijuk (rambut) yang lebat, melambangkan kebuasan yang tak terkontrol, sebuah energi primordial yang perlu dijinakkan atau disalurkan.
Filosofi di balik topeng Barongan adalah tentang keseimbangan kosmis. Keberadaannya dalam pertunjukan selalu diiringi oleh tokoh lain (seperti Jathilan atau celeng/babi hutan) yang berfungsi sebagai penyeimbang komedi atau antagonis. Tarian Barongan yang ritmis, diiringi gamelan yang membahana, menciptakan suasana hipnosis yang seringkali membuka gerbang bagi masuknya energi tak kasat mata. Elemen ‘ndadi’ atau kesurupan, yang menjadi klimaks pertunjukan Barongan tradisional, adalah bukti betapa kuatnya energi spiritual yang dimainkan. Dalam keadaan kesurupan, para penari menunjukkan kekuatan fisik dan kekebalan yang luar biasa, seringkali melakukan atraksi ekstrem seperti memakan pecahan kaca atau menancapkan cambuk ke tubuh mereka.
Penting untuk dipahami bahwa, secara historis, Barongan adalah seni yang menuntut fisik dan mental yang kuat. Pelaku Barongan tidak hanya harus menguasai teknik menari, tetapi juga harus memiliki ilmu ‘kanuragan’ atau kekuatan batin untuk menahan beban topeng yang berat (terutama dalam kasus Reog Ponorogo) dan mengendalikan energi yang muncul saat pertunjukan mencapai puncaknya. Kemampuan inilah yang menjadi jembatan penghubung dengan Pagar Nusa.
Meskipun memiliki akar yang sama, Barongan memiliki variasi regional yang signifikan. Di Jawa Tengah, Barongan seringkali lebih fokus pada dinamika drama rakyat dan interaksi komedi. Di Jawa Timur, khususnya yang terintegrasi dalam Reog, Barongan (Singa Barong) mengambil peran kepemimpinan yang monumental, dengan fokus pada kekuatan dan keagungan. Namun, inti dari gerakannya tetap sama: penekanan pada langkah kaki yang gagah, sentakan kepala yang kuat (keprak), dan interaksi antara Barong dan musik pengiring yang cepat dan memacu adrenalin.
Setiap gerak dalam Barongan mengandung makna. Langkah Barong yang lebar dan berdentum melambangkan penjelajahan alam semesta atau penaklukan wilayah. Gerakan mulut Barong yang membuka dan menutup secara ritmis (disebut *ngedap*) melambangkan penyerapan atau penolakan terhadap energi negatif. Pelaku Barongan harus mampu menghidupkan topeng, menjadikannya bukan sekadar properti, tetapi entitas hidup yang memiliki jiwa dan emosi. Proses penghayatan inilah yang kemudian diintegrasikan dan disempurnakan melalui disiplin spiritual Pagar Nusa.
Ilustrasi 1: Singa Barong. Simbol kekuatan yang membutuhkan pengendalian spiritual.
Pagar Nusa (PN), singkatan dari Perguruan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa, didirikan dengan tujuan ganda: melestarikan dan mengembangkan pencak silat sebagai warisan budaya bangsa, sekaligus menjadikannya benteng pertahanan bagi kiai, ulama, dan Nahdlatul Ulama (NU) secara keseluruhan. Didirikan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, oleh KH. Maksum Jauhari, Pagar Nusa memiliki dimensi yang jauh melampaui teknik bela diri fisik semata.
Kelahiran Pagar Nusa pada tahun 1986 didorong oleh kebutuhan akan standarisasi dan penyatuan berbagai aliran silat tradisional yang dimiliki oleh para santri dan kiai di lingkungan NU. Sebelumnya, ilmu-ilmu kanuragan ini diajarkan secara terpisah dan bersifat rahasia. Pagar Nusa menyatukan keragaman tersebut di bawah satu payung organisasi, memastikan bahwa ilmu bela diri fisik dan metafisik diajarkan dengan landasan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja).
Tiga pilar utama yang menjadi pondasi Pagar Nusa adalah:
Aspek spiritualitas dalam Pagar Nusa sangat mendominasi. Pelatihan fisik selalu diimbangi dengan pelatihan mental dan hati. Seorang pendekar Pagar Nusa diajarkan untuk memiliki *tawadhu* (rendah hati) dan *mujâhadah* (perjuangan keras mengendalikan nafsu). Kesaktian atau kekebalan bukanlah tujuan akhir, melainkan efek samping dari kedekatan spiritual kepada Tuhan dan kemurnian niat dalam berjuang. Konsep ini krusial saat diterapkan pada seni Barongan yang rentan terhadap penyalahgunaan energi transendental.
Dalam konteks sinkretisme dengan Barongan, peran ilmu kanuragan Pagar Nusa menjadi vital. Ilmu kanuragan adalah ilmu bela diri yang fokus pada pengolahan energi internal (*tenaga dalam*) dan kekuatan spiritual. Ilmu ini mencakup teknik pernapasan khusus, pembacaan wirid atau *asma’*, serta penanaman sugesti positif. Dalam pertunjukan Barongan yang melibatkan Jathilan dan Kuda Lumping, di mana kondisi kesurupan (ndadi) sering terjadi, para pendekar Pagar Nusa berperan sebagai ‘pengaman’ dan ‘penyembuh’.
Mereka tidak hanya menguasai teknik fisik untuk melumpuhkan penari yang kesurupan, tetapi juga menguasai teknik spiritual untuk menenangkan jiwa yang kerasukan. Penggunaan doa dan wirid dalam Pagar Nusa berfungsi sebagai ‘filter’ spiritual yang memastikan bahwa energi yang keluar dan masuk dalam pertunjukan Barongan adalah energi yang positif dan terkontrol. Dengan demikian, Pagar Nusa membawa dimensi etika dan keamanan yang terstruktur ke dalam sebuah seni yang secara inheren bersifat liar dan spontan.
Pengendalian emosi dan mental (al-nafs) adalah latihan harian bagi pendekar Pagar Nusa. Mereka percaya bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kemampuan mematahkan benda keras, tetapi pada kemampuan untuk menahan amarah, menjaga lisan, dan mengarahkan energi spiritual untuk kebaikan. Filosofi pengendalian ini menjadi fondasi etis saat mereka berinteraksi dengan energi liar Singa Barong.
Integrasi Barongan dan Pagar Nusa menghasilkan sebuah bentuk kesenian baru yang disebut ‘Barongan Pagar Nusa’ atau ‘Seni Bela Diri Barong’. Sinergi ini terjadi di dua level utama: koreografi fisik dan pengendalian spiritual. Ini bukan hanya pertunjukan tari, melainkan sebuah demonstrasi spiritualitas yang dipraktikkan.
Secara koreografi, Barongan Pagar Nusa mengambil langkah tegas dari Barongan tradisional dengan memasukkan jurus-jurus silat Pagar Nusa. Gerakan Barong yang biasanya bersifat naluriah dan berorientasi pada ritme perkusi, kini diperkaya dengan struktur jurus silat yang terukur. Misalnya:
Integrasi ini tidak menghilangkan esensi Barong, melainkan menjadikannya lebih tajam dan disiplin. Ketika Barong bergerak, penonton tidak hanya melihat tarian topeng, tetapi juga menyaksikan demonstrasi ilmu bela diri yang dibungkus dalam narasi mitologis. Ini adalah cara efektif bagi Pagar Nusa untuk memperkenalkan jurus-jurus mereka kepada khalayak luas, menjembatani kesenjangan antara pendidikan pesantren yang tertutup dan budaya massa yang terbuka.
Fungsi paling signifikan Pagar Nusa dalam Barongan adalah sebagai kendali spiritual. Dalam Barongan tradisional, risiko kesurupan massal dan atraksi kekebalan yang berlebihan seringkali menimbulkan kekhawatiran etis dan keselamatan. Pagar Nusa menawarkan solusi: disiplin spiritual yang mengarahkan energi transendental.
Para anggota Pagar Nusa yang terlibat dalam pertunjukan bertindak sebagai pengawal (khodam) spiritual. Mereka memastikan bahwa energi yang dibangkitkan melalui gamelan dan mantra adalah energi positif yang dapat dikelola. Jika terjadi *ndadi* (kesurupan), mereka menggunakan teknik penyembuhan berbasis dzikir dan pernapasan untuk mengembalikan kesadaran penari. Dengan demikian, Barongan Pagar Nusa mengubah unsur mistis yang sebelumnya ‘liar’ menjadi kekuatan yang ‘terkendali dan terarah’ sesuai koridor ajaran agama.
Pengendalian ini sangat penting karena ia mengajarkan bahwa kekuatan (baik fisik maupun spiritual) harus disertai dengan tanggung jawab moral yang tinggi. Hal ini menanamkan nilai-nilai Aswaja—moderat, toleran, dan berakhlak mulia—ke dalam seni pertunjukan yang secara historis sering diasosiasikan dengan praktik-praktik yang kurang terstruktur secara keagamaan. Pagar Nusa menyaring dan memurnikan, tanpa menghilangkan kekayaan ekspresi budayanya.
Ilustrasi 2: Pengendalian Gerak. Jurus silat Pagar Nusa memberikan struktur dan kontrol spiritual pada gerakan Barongan.
Untuk memahami sepenuhnya Barongan Pagar Nusa, kita harus melangkah lebih jauh dari sekadar aspek fisik dan melihat implikasi metafisis dan filosofis yang terkandung di dalamnya. Gabungan ini adalah cerminan dari filosofi Jawa yang disebut *manunggaling kawula gusti*, di mana manusia berusaha menyelaraskan diri dengan kekuatan ilahi, namun dikemas ulang dalam kerangka teologis Aswaja.
Singa Barong, secara tradisional adalah simbol kekuasaan dan kekuatan liar. Dalam konteks Pagar Nusa, ia diinterpretasikan ulang. Singa tersebut kini mewakili kekuatan spiritual dan institusional Nahdlatul Ulama yang harus dijaga. Pengendalian Barong oleh pendekar Pagar Nusa melambangkan bahwa kekuatan besar harus dipimpin oleh akal sehat (*rasio*) dan spiritualitas yang benar (*wahyu*).
Jika Barongan tanpa Pagar Nusa dapat diibaratkan sebagai energi tak terarah, maka Barongan Pagar Nusa adalah energi yang disalurkan melalui pipa disiplin. Ini mencerminkan pandangan NU tentang penggunaan tradisi: segala warisan leluhur yang baik (al-muhafadzatu ‘ala qodimis sholih) harus dipelihara, dan yang tidak sesuai harus diperbaiki (wal akhdzu bil jadidil ashlah). Seni Barongan dipertahankan karena nilai estetik dan historisnya, tetapi unsur mistis yang bertentangan dengan tauhid dikoreksi dan dikendalikan melalui dzikir dan wirid spesifik Pagar Nusa.
Pertunjukan Barongan Pagar Nusa adalah pelajaran tentang harmoni. Musik gamelan yang mengiringi tarian, dengan ritme yang kompleks dan melodi yang mendayu, melambangkan kelembutan budaya Jawa dan keindahan seni. Sementara itu, gerakan silat yang tegas, cepat, dan bertujuan, melambangkan ketegasan dalam membela kebenaran dan menjaga moral.
Harmoni ini mengajarkan kepada generasi muda bahwa menjadi religius dan disiplin (Pagar Nusa) tidak berarti harus meninggalkan keindahan dan kekayaan budaya lokal (Barongan). Sebaliknya, keduanya harus saling menguatkan. Kelembutan seni melembutkan ketegasan bela diri, dan ketegasan bela diri memberikan fokus dan arah pada kelembutan seni. Ini adalah manifestasi dari konsep *tawassuth* (moderat) yang dijunjung tinggi oleh NU, menunjukkan keseimbangan antara aspek duniawi dan ukhrawi.
Dalam Barongan Pagar Nusa, terdapat tiga lapis kekuatan yang saling berinteraksi:
Pengendalian Barongan melalui tiga lapis ini menunjukkan sebuah sistem kontrol yang berlapis. Seniman Barongan Pagar Nusa harus melalui proses inisiasi yang menggabungkan tradisi Barongan dengan bai'at Pagar Nusa, memastikan bahwa jiwa dan raga mereka telah disiapkan untuk menampung dan mengendalikan energi yang sangat besar.
Penyatuan ini juga menjadi respons terhadap modernitas. Di saat banyak seni tradisional kehilangan relevansi, Barongan Pagar Nusa menawarkan paket lengkap: seni yang menarik, ajaran moral yang kuat, dan kemampuan bela diri praktis, menjadikannya sangat menarik bagi pemuda yang mencari identitas dan wadah ekspresi yang otentik dan bermakna.
Barongan Pagar Nusa tidak hanya eksis di atas panggung; ia menjadi salah satu instrumen utama dalam pembinaan karakter pemuda, khususnya di lingkungan pesantren dan desa-desa yang menjadi basis NU. Dampak kegiatan ini meluas dari aspek fisik hingga sosial-ekonomi.
Melalui Barongan Pagar Nusa, para santri dan pemuda dilatih untuk menghargai warisan budaya sambil tetap teguh pada prinsip agama. Mereka belajar etika pertunjukan, di mana kesombongan dan pamer (riya) harus dihindari, bahkan ketika menampilkan atraksi kekebalan yang spektakuler. Pengendalian diri saat berada di puncak energi pertunjukan (saat hampir *ndadi*) menjadi ujian nyata dari hasil pelatihan spiritual Pagar Nusa.
Latihan Barongan menuntut kerjasama tim yang solid, dari pemain gamelan, penari, hingga pengawal spiritual. Proses ini secara langsung menanamkan nilai-nilai kebersamaan (*ukhuwah*), tanggung jawab, dan saling menghormati. Dalam komunitas Barongan Pagar Nusa, hirarki tidak hanya didasarkan pada kemampuan fisik, tetapi juga pada kedalaman spiritual dan adab mereka kepada guru dan sesepuh.
Di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya masih kental dengan tradisi pra-Islam, Barongan Pagar Nusa berfungsi sebagai jembatan dakwah kultural. Daripada melarang secara total praktik seni Barongan yang dianggap mengandung unsur syirik, Pagar Nusa mengambil pendekatan moderat. Mereka mengambil alih seni tersebut, memurnikannya dari ritual yang tidak Islami, dan menggantinya dengan amalan *riyadhoh* Islami, sehingga masyarakat dapat terus menikmati seni budaya mereka tanpa mengorbankan akidah.
Pertunjukan Barongan Pagar Nusa seringkali diselenggarakan dalam acara-acara keagamaan, seperti Maulid Nabi atau Haul kiai, berfungsi sebagai magnet yang menarik massa sekaligus menjadi pembuka bagi ceramah keagamaan. Dengan cara ini, Pagar Nusa berhasil merangkul tradisi dan menjadikannya alat yang efektif untuk menyebarkan ajaran Aswaja yang inklusif.
Banyak sanggar Barongan di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang telah secara formal berafiliasi dengan Pagar Nusa. Di sanggar-sanggar ini, kurikulum pelatihan mencakup: (1) Latihan jurus inti Pagar Nusa, (2) Latihan pernapasan dan dzikir spesifik, dan (3) Latihan koreografi Barong. Instruktur tidak hanya mengajarkan teknik menari dan silat, tetapi juga berperan sebagai mursyid (pembimbing spiritual).
Studi kasus menunjukkan bahwa pemuda yang terlibat dalam Barongan Pagar Nusa menunjukkan penurunan signifikan dalam perilaku menyimpang dan peningkatan rasa percaya diri serta kecintaan terhadap budaya dan agama. Mereka menemukan identitas diri yang kokoh—sebagai pemuda santri yang kuat fisik dan spiritual, sekaligus pelestari seni budaya bangsa.
Meskipun Barongan Pagar Nusa menawarkan model pelestarian budaya yang ideal, ia tidak luput dari tantangan. Namun, tantangan ini juga membuka peluang besar bagi pengembangannya di masa depan.
Salah satu tantangan internal terbesar adalah menjaga standarisasi spiritual. Karena Barongan Pagar Nusa sangat bergantung pada kemurnian niat dan amalan spiritual para pendekarnya, perbedaan interpretasi atau kurangnya bimbingan spiritual yang memadai dapat mengaburkan batas antara praktik spiritual Islami dan praktik mistis yang tidak sesuai. Pagar Nusa harus terus menerus memperkuat peran kiai dan ulama sebagai penasihat spiritual tertinggi.
Tantangan eksternal datang dari arus globalisasi dan budaya pop yang serba cepat. Seni Barongan membutuhkan waktu dan komitmen fisik yang besar, sesuatu yang sulit didapatkan dari generasi Z yang cenderung mencari gratifikasi instan. Menarik minat pemuda membutuhkan inovasi dalam format pertunjukan, seperti penggabungan dengan multimedia atau pementasan yang lebih ringkas dan dinamis tanpa kehilangan kedalaman filosofisnya.
Masa depan Barongan Pagar Nusa terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi. Digitalisasi dapat digunakan untuk mendokumentasikan jurus dan filosofi secara visual, memastikan pewarisan ilmu yang akurat. Penggunaan platform media sosial untuk mempromosikan pertunjukan dengan narasi yang kuat (misalnya, “Silat Santri yang Mengendalikan Singa”) dapat menarik perhatian internasional.
Pagar Nusa memiliki jaringan yang luas di luar negeri, seiring dengan tersebarnya diaspora NU. Hal ini memberikan peluang untuk memperkenalkan Barongan sebagai seni bela diri kultural yang unik dari Indonesia. Ketika tampil di kancah internasional, Barongan Pagar Nusa tidak hanya menjual topeng dan tarian, tetapi juga menjual cerita tentang kearifan lokal yang mampu menyaring dan menyelaraskan diri dengan ajaran tauhid. Ini adalah kekuatan naratif yang sangat kuat.
Prospek lain adalah penguatan ekonomi kreatif di sekitar Barongan Pagar Nusa. Dengan peningkatan profesionalisme dalam manajemen pertunjukan, pembuatan kostum (terutama Barong yang memerlukan keterampilan khusus), dan pengembangan cinderamata, Barongan Pagar Nusa dapat menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi para anggotanya. Ketika seni dapat menyejahterakan pelakunya, pelestariannya akan menjadi lebih terjamin.
Penyatuan dua kekuatan ini telah menciptakan sebuah mahakarya budaya yang resilient. Mereka mewakili inti jati diri bangsa Indonesia: mampu merangkul tradisi masa lalu, mengolahnya dengan nilai-nilai agama, dan menyajikannya sebagai kekuatan yang siap menghadapi masa depan.
Untuk benar-benar mengapresiasi Barongan Pagar Nusa, kita harus memahami lebih rinci struktur dan anatomi pelatihan spiritual yang menjadi inti Pagar Nusa. Ini bukan hanya tentang jurus fisik yang indah, tetapi tentang proses pembentukan jiwa pendekar yang mendalam.
Pelatihan Pagar Nusa didasarkan pada prinsip *riyâdhah* (latihan spiritual) dan *mujâhadah* (perjuangan keras melawan hawa nafsu). Sebelum seorang anggota diperkenankan menguasai ilmu inti atau ilmu kekebalan yang akan digunakan sebagai pengaman Barongan, mereka diwajibkan menjalani serangkaian tirakat. Tirakat ini bisa berupa puasa sunnah, mengurangi tidur (qiyamul lail), atau membaca wirid dalam jumlah tertentu selama periode waktu yang ditetapkan.
Tujuan utama dari tirakat ini bukanlah mendapatkan kekuatan super, melainkan membersihkan hati (*tazkiyatun nufus*) dan membangun koneksi yang kuat dengan Sang Pencipta. Hanya dengan hati yang bersih, seorang pendekar dapat mengendalikan energi besar Barongan. Kekuatan spiritual yang dihasilkan dari tirakat ini adalah apa yang memungkinkan pendekar Pagar Nusa menjadi 'filter' yang efektif terhadap energi negatif yang mungkin timbul saat pertunjukan mencapai klimaks mistisnya.
Pagar Nusa memiliki kurikulum jurus yang berlapis, dari tingkat dasar hingga tingkat pendekar utama. Setiap jurus tidak hanya melatih otot dan koordinasi, tetapi juga menyertakan filosofi tertentu. Misalnya, jurus-jurus yang meniru gerakan hewan (seperti harimau atau kera) diimbangi dengan pelajaran tentang pentingnya *adab* dan kontrol, memastikan bahwa insting kebuasan hewan selalu berada di bawah kendali akal budi Islami.
Ketika jurus-jurus ini dimasukkan ke dalam Barongan, mereka menambahkan kedalaman naratif. Tarian Singa Barong kini bukan lagi sekadar auman liar; ia adalah serangkaian gerakan bela diri yang teruji, mencerminkan bahwa pertarungan atau perlawanan harus dilakukan dengan teknik, bukan hanya emosi. Keseluruhan proses ini mengajarkan bahwa seni bela diri adalah sebuah *ibadah*, sebuah bentuk penyerahan diri yang membutuhkan konsistensi dan kesabaran (shabr).
Dzikir (mengingat Allah) adalah kunci utama ilmu kanuragan Pagar Nusa. Sebelum memulai sesi latihan atau pertunjukan Barongan, wajib dilakukan pembacaan dzikir bersama. Dzikir berfungsi sebagai sumber energi sekaligus pelindung. Berbeda dengan mantra tradisional Barongan yang mungkin berbasis pada penghormatan roh leluhur, dzikir Pagar Nusa berpusat pada tauhid, mengalihkan fokus spiritual dari entitas duniawi ke Kekuatan Ilahi.
Pengaktifan tenaga dalam seringkali dilakukan melalui pernapasan yang disinkronkan dengan *lafadz* dzikir tertentu. Ketika seorang penari Barongan Pagar Nusa menampilkan kekebalan, kekuatan itu diyakini bukan berasal dari dirinya sendiri atau dari Singa Barong, melainkan semata-mata dari izin Allah SWT yang diberikan melalui wasilah amalan dzikir yang konsisten. Kejelasan sumber kekuatan ini menghilangkan ambiguitas spiritual dan mengokohkan akidah para pelakunya.
Pendalaman ini menunjukkan bahwa Barongan Pagar Nusa adalah produk dari pendidikan karakter yang intensif. Ia menciptakan seniman-pendekar yang memiliki *ghirah* (semangat) dalam menjaga tradisi, namun *istiqamah* (keteguhan) dalam menjalankan syariat. Kekuatan topeng Barong kini adalah representasi visual dari kekuatan spiritual santri yang kokoh, bukan lagi sekadar manifestasi makhluk mitologis yang tak terjamah.
Pementasan Barongan Pagar Nusa adalah sebuah peristiwa budaya yang sarat makna ritual, meskipun ritual-ritual tersebut telah disesuaikan dengan koridor Aswaja. Setiap elemen, dari persiapan kostum hingga penutupan pertunjukan, memiliki peran penting dalam menegaskan identitas ganda seni ini.
Berbeda dengan persiapan Barongan tradisional yang mungkin melibatkan sesajen atau persembahan, persiapan Barongan Pagar Nusa dimulai dengan penyucian diri. Para penari Barong dan Jathilan melakukan wudu, salat, dan membaca doa serta wirid tertentu untuk memohon keselamatan dan kelancaran pertunjukan, serta untuk ‘memagari’ diri mereka dari intervensi energi negatif yang berlebihan. Penyucian ini mencakup penyucian kostum Barong itu sendiri, yang seringkali diperlakukan dengan penuh hormat layaknya pusaka.
Ritual pemasangan topeng (prosesi *ngagem*) dilakukan dengan penuh konsentrasi. Pemain Barong membacakan *asma* atau dzikir untuk menyelaraskan energi tubuh mereka dengan topeng, memastikan bahwa mereka dapat mengendalikan Singa Barong, dan bukannya dikendalikan olehnya. Ini adalah momen krusial yang menentukan apakah pertunjukan akan berjalan sebagai seni yang terkontrol atau beralih menjadi peristiwa kesurupan massal.
Gamelan dalam Barongan Pagar Nusa tidak hanya berfungsi sebagai pengiring, tetapi sebagai agen pemicu dan pengendali energi. Irama yang cepat (seperti *lancaran* atau *srepegan*) digunakan untuk membangun intensitas dan mempersiapkan penari untuk mencapai kondisi energi batin maksimal. Namun, kiai atau sesepuh Pagar Nusa di lapangan dapat memberikan isyarat kepada penabuh gamelan untuk mengubah ritme menjadi lebih lambat dan tenang jika kondisi spiritual penari mulai tidak terkontrol.
Irama Barongan Pagar Nusa seringkali menyertakan selipan nada atau hentakan yang berfungsi sebagai kode spiritual yang hanya dipahami oleh anggota internal. Kode ini mungkin menandakan peringatan bahaya, atau instruksi kepada pengawal spiritual untuk mengambil posisi tertentu. Dengan demikian, musik menjadi bahasa rahasia yang mengintegrasikan seni pertunjukan dan operasi keamanan spiritual.
Akhir dari pertunjukan, terutama yang melibatkan atraksi kekebalan, harus diakhiri dengan ritual penutup yang terstruktur. Para pendekar Pagar Nusa akan melakukan prosesi ‘pembersihan’ atau *ruqyah* ringan terhadap lokasi pertunjukan dan penari yang terlibat. Ini memastikan bahwa semua energi spiritual yang dibangkitkan dinetralkan dan dikembalikan ke kondisi normal.
Bagi penari yang mengalami *ndadi*, proses pengembalian kesadaran dilakukan dengan sentuhan fisik yang disertai dzikir dan hembusan napas yang telah dimantapkan. Proses ini menegaskan bahwa Pagar Nusa tidak hanya mampu membangkitkan kekuatan, tetapi yang lebih penting, mampu mengakhirinya dengan damai dan aman, menjaga keselamatan fisik dan spiritual seluruh partisipan dan penonton.
Keseluruhan ritual yang terstruktur dan Islami ini menegaskan Barongan Pagar Nusa sebagai sebuah bentuk *fiqh al-tsaqafah* (pemahaman hukum Islam terhadap budaya), menunjukkan bagaimana Islam dapat hidup berdampingan, bahkan memperkuat, tradisi lokal.
Sinergi ini memberikan kontribusi yang signifikan tidak hanya pada dunia seni pertunjukan, tetapi juga pada khazanah keilmuan pencak silat Indonesia. Barongan Pagar Nusa membuktikan bahwa seni bela diri dapat melampaui fungsi pertahanan fisik dan menjadi disiplin kultural yang multidimensi.
Pengintegrasian jurus Pagar Nusa ke dalam Barongan memaksa adanya pengembangan aplikasi jurus. Jurus yang awalnya dirancang untuk pertarungan dua individu harus diadaptasi agar dapat berfungsi saat penari mengenakan topeng Barong yang besar dan berat, serta saat bergerak dalam formasi tari. Adaptasi ini menghasilkan variasi jurus baru yang menekankan pada keseimbangan (kuda-kuda yang sangat rendah) dan penggunaan daya dorong (kekuatan dari perut dan punggung) untuk mengkompensasi keterbatasan gerak akibat kostum.
Hasilnya adalah sebuah ilmu silat yang sangat berfokus pada kekuatan internal dan stabilitas, di mana keindahan gerak harus tetap dipertahankan meskipun dalam kondisi yang sulit. Ini adalah evolusi penting dalam pencak silat yang seringkali hanya fokus pada kecepatan dan kelincahan.
Barongan Pagar Nusa menyediakan ‘laboratorium hidup’ untuk mempelajari interaksi antara seni bela diri, kondisi trance, dan kontrol emosi. Para ahli psikologi dan sosiologi dapat mengamati bagaimana disiplin spiritual Pagar Nusa mampu memitigasi dampak trauma fisik dan psikologis yang mungkin dialami penari akibat atraksi ekstrem atau kondisi *ndadi*.
Kemampuan untuk memasuki kondisi energi tinggi dan kemudian kembali ke kondisi tenang dengan cepat—dipandu oleh wirid dan teknik pernapasan—adalah sebuah keterampilan mental luar biasa yang dapat dijadikan model dalam pelatihan pengendalian diri di luar konteks silat, misalnya dalam manajemen stres atau terapi.
Pagar Nusa secara historis adalah penyatuan dari berbagai aliran silat pesantren yang terpisah. Dengan menampilkan jurus-jurus ini melalui medium Barongan yang populer, Pagar Nusa berhasil mendokumentasikan dan mempublikasikan warisan silat yang sebelumnya tersembunyi dan eksklusif. Hal ini memastikan bahwa teknik-teknik leluhur tidak punah, tetapi terus berkembang dan dikenal oleh masyarakat luas, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitas nasional.
Barongan Pagar Nusa adalah bukti bahwa budaya adalah entitas yang hidup dan beradaptasi. Ia bukan sekadar artefak masa lalu, melainkan kekuatan dinamis yang mampu menyerap dan memancarkan kembali nilai-nilai luhur dari kedua dunia yang menyatu di dalamnya.
Keseluruhan narasi Barongan Pagar Nusa adalah kisah tentang pencarian keseimbangan. Keseimbangan antara kebuasan dan kearifan, antara fisik dan spiritual, antara tradisi lokal dan ajaran agama. Dalam dunia yang terus berubah, sinergi ini berdiri kokoh sebagai penjaga identitas kultural dan spiritualitas moderat Nusantara.
Barongan Pagar Nusa melampaui definisi seni pertunjukan atau sekadar organisasi bela diri; ia adalah sebuah filosofi hidup yang terwujudkan dalam gerak. Ia adalah pengakuan tegas bahwa identitas keislaman di Indonesia tidak harus bertentangan dengan kekayaan budaya lokal, melainkan harus berinteraksi secara harmonis, saling menguatkan dan memurnikan.
Melalui disiplin ketat Pagar Nusa, energi liar Singa Barong dijinakkan dan diarahkan untuk tujuan yang mulia: pembinaan karakter, pelestarian budaya, dan penjagaan terhadap ajaran Aswaja. Para pendekar yang mengenakan topeng Barong hari ini adalah pewaris ganda: pewaris kebesaran Singa mitologis dan pewaris kesantunan spiritual para kiai dan ulama.
Seni Barongan Pagar Nusa akan terus menjadi benteng penting. Ia adalah pelajaran yang berharga bagi bangsa ini, menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk mengendalikan diri dan menyelaraskan seluruh potensi yang dimiliki—fisik, mental, dan spiritual—di bawah naungan akidah yang kokoh. Masa depan Barongan Pagar Nusa akan terus bersinar, seiring dengan terus diwariskannya nilai-nilai luhur ini kepada generasi-generasi selanjutnya.
Karya sinergi ini adalah warisan abadi yang menegaskan: di setiap auman Singa Barong terdapat dzikir para santri, dan di setiap jurus pendekar Pagar Nusa terdapat semangat pelestarian budaya Nusantara.