Kesenian Barongan, khususnya yang diusung oleh kelompok Ngesti Budoyo Jati Manunggal, merupakan representasi otentik dari kekayaan spiritual, historis, dan artistik budaya Jawa. Lebih dari sekadar pertunjukan tari topeng raksasa, Barongan adalah manifestasi filosofi hidup, ekspresi akulturasi sejarah lokal, dan sarana untuk menjaga keseimbangan kosmik dalam pandangan masyarakat Jawa. Ngesti Budoyo Jati Manunggal, sebagai entitas kultural, tidak hanya melestarikan gerakan dan musik, tetapi juga merawat roh dan makna mendalam yang terkandung di dalam setiap helai jubah, setiap pukulan kendang, dan setiap gerak kepala Barongan yang menyerupai singa mitologis. Memahami Barongan berarti menyelami palet warna yang kompleks dari mitologi, ritual, dan struktur sosial yang telah berakar selama berabad-abad di bumi Nusantara.
Nama "Ngesti Budoyo Jati Manunggal" sendiri menyimpan beban makna yang sangat berat, menjadi kunci utama untuk memahami orientasi kelompok ini terhadap seni tradisi. Kata 'Ngesti' merujuk pada upaya batin, memohon, atau mencapai dengan kesungguhan hati. 'Budoyo' jelas merujuk pada kebudayaan atau seni. Sementara 'Jati Manunggal' adalah puncak dari filosofi Jawa, yang berarti penyatuan hakiki atau keselarasan sejati antara makhluk (kawulo) dan Pencipta (Gusti), atau juga keselarasan antara spiritualitas dan dunia nyata. Oleh karena itu, kelompok ini memandang Barongan bukan hanya sebagai tontonan (tontonan), tetapi juga sebagai tuntunan (petunjuk) dan pegangan batin. Mereka berusaha mewujudkan penyatuan spiritual melalui medium seni Barongan.
Meskipun tradisi Barongan menyebar di berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Ngesti Budoyo Jati Manunggal seringkali mengaitkan diri dengan poros budaya tertentu, di mana interaksi antara tradisi Hindu-Buddha kuno, sinkretisme Islam awal, dan kepercayaan lokal (animisme-dinamisme) bertemu. Barongan, yang sering disalahpahami sebagai adaptasi langsung dari Barong Bali, sebenarnya memiliki silsilah dan karakteristik yang sangat spesifik yang tumbuh dari kisah-kisah Panji dan legenda lokal Singo Barong. Kelompok ini menekankan bahwa Barongan mereka adalah hasil olah rasa yang panjang, bukan sekadar peniruan, melainkan pewarisan murni yang dihidupkan kembali dengan interpretasi yang relevan tanpa menghilangkan pakem aslinya.
Kontekstualisasi sejarah ini penting karena Barongan sering muncul pada masa-masa transisi sosial atau politik, berfungsi sebagai kritik sosial yang dibalut humor dan mistisisme, atau sebagai ritual tolak bala. Ngesti Budoyo Jati Manunggal telah melewati berbagai periode, mulai dari masa penjajahan, masa perjuangan kemerdekaan, hingga era modernisasi yang masif. Dalam setiap fase tersebut, Barongan kelompok ini menjadi penjaga narasi budaya yang terancam punah, memastikan bahwa esensi keberanian, keadilan, dan kearifan lokal tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat.
Setiap elemen dalam pertunjukan Barongan Ngesti Budoyo Jati Manunggal dipenuhi makna simbolis yang kaya, mulai dari properti fisik hingga pola gerak. Filosofi ini adalah tulang punggung yang membedakan pertunjukan seni tradisi ini dari sekadar hiburan semata.
Kepala Barongan, yang biasanya terbuat dari kayu yang dipilih secara spiritual, adalah pusat dari seluruh pertunjukan. Wajah singa atau harimau raksasa, seringkali dihiasi dengan taring besar, mata melotot, dan surai yang lebat (gembel), melambangkan kekuatan alam yang liar dan tak terkalahkan. Namun, kekuatan ini tidak hanya negatif; ia adalah kekuatan yang melindungi, yang menjaga batas antara dunia manusia dan dunia gaib.
Konsep Jati Manunggal diekspresikan secara harfiah melalui interaksi antara Pembarong (orang yang menari di dalam kepala Barongan) dan Warok atau Penari Pendamping. Tarian Barongan seringkali sangat eksplosif, menuntut sinkronisasi total antara pikiran penari dengan berat dan bentuk topeng yang diusungnya. Ketika Pembarong berhasil mencapai kondisi 'manunggal' dengan Barongan—yaitu ketika ia menari bukan sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai entitas Barongan—maka pertunjukan mencapai puncaknya. Fenomena trance (kesurupan) yang kadang terjadi adalah manifestasi ekstrem dari upaya manunggal ini, di mana batas antara realitas dan spiritualitas menjadi kabur, menunjukkan bahwa sang penari telah berhasil menyatukan jiwanya dengan roh penjaga yang dipercaya mendiami topeng.
Representasi visual topeng Barongan, simbol kekuatan dan kemuliaan.
Pertunjukan Barongan Ngesti Budoyo Jati Manunggal adalah orkestrasi dari berbagai elemen yang saling mendukung, menciptakan narasi yang utuh dan energi yang kuat. Dari awal hingga akhir, pertunjukan ini mengikuti pola ritual dan teatrikal yang baku, yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Musik adalah jiwa dari Barongan. Meskipun menggunakan instrumen Gamelan yang serupa dengan kesenian Jawa lainnya, Gamelan Barongan memiliki karakter yang lebih keras, dinamis, dan terkadang lebih cepat, menyesuaikan dengan gerakan Barongan yang liar. Instrumen kunci meliputi:
Ritme Barongan seringkali memanggil semangat (spirit calling), yang secara perlahan membangun ketegangan hingga mencapai klimaks. Tanpa iringan musik yang tepat, roh Barongan tidak akan 'turun', dan pertunjukan akan terasa hampa dari kekuatan spiritualnya. Para penabuh Gamelan dalam Ngesti Budoyo Jati Manunggal tidak hanya mahir secara teknis, tetapi juga harus memiliki kepekaan spiritual untuk membaca energi panggung.
Barongan tidak pernah tampil sendirian. Ia selalu ditemani oleh penari pendukung, yang sering disebut Warok, Jathil (penari kuda lumping), atau tokoh-tokoh mitologis lainnya.
Warok: Dalam konteks Barongan tertentu, Warok berfungsi ganda: sebagai penjaga Barongan dan sebagai subjek humor. Mereka seringkali terlibat dalam dialog yang lucu dengan penonton, memecah ketegangan, atau bahkan bertarung secara simbolis dengan Barongan. Keberadaan Warok menegaskan dualitas dalam kesenian Jawa: keagungan spiritual harus diimbangi dengan kerendahan hati dan humor duniawi. Mereka adalah jembatan antara dunia sakral Barongan dan dunia profan penonton.
Jathil: Penari Jathil, yang menaiki kuda kepang, melambangkan pasukan berkuda atau pengikut yang setia. Gerakan mereka yang anggun kontras dengan gerakan Barongan yang garang, menciptakan harmoni visual. Jathil juga sering menjadi korban 'kemarahan' Barongan saat Barongan sedang ndadi (trance), menambah unsur dramatik pertunjukan.
Dalam kelompok Ngesti Budoyo Jati Manunggal, Barongan adalah benda pusaka yang memerlukan perlakuan khusus. Pertunjukan dimulai jauh sebelum tirai dibuka; ia dimulai dengan serangkaian ritual yang bertujuan untuk membersihkan, menghormati, dan memanggil energi positif.
Sebelum Barongan diangkat dari tempat penyimpanannya, sesajen (persembahan) lengkap harus disiapkan. Sesajen ini umumnya terdiri dari:
Prosesi ini dipimpin oleh seorang sesepuh atau pawang yang bertugas memohon izin kepada dhanyangan (penunggu tempat) agar pertunjukan berjalan lancar dan semua pemain terlindungi dari bahaya spiritual atau fisik, terutama saat terjadi ndadi. Ini adalah upaya 'Ngesti' yang paling nyata—memohon keselamatan dan keselarasan.
Ndadi, atau kondisi kerasukan/trance, bukanlah tujuan utama dari pertunjukan, tetapi sering dianggap sebagai penanda keberhasilan ritual dan kuatnya energi yang dimanifestasikan. Ketika Pembarong atau penari Jathil mengalami ndadi, mereka dipercaya dikuasai oleh roh Barongan atau roh penjaga lainnya. Dalam kondisi ini, mereka menunjukkan kekuatan fisik luar biasa, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau kebal terhadap cambukan.
Kelompok Ngesti Budoyo Jati Manunggal sangat berhati-hati dalam mengelola ndadi. Ini bukan sekadar atraksi sirkus, melainkan momen sakral di mana kekuatan spiritual hadir. Tugas pawang sangat penting di sini, karena mereka harus memastikan bahwa energi yang masuk adalah energi positif dan dapat dikeluarkan dengan aman setelah pertunjukan selesai, menjaga konsep 'Jati Manunggal' tetap harmonis dan tidak liar tanpa kontrol.
Instrumen Gamelan adalah penentu energi dan ritme pertunjukan Barongan.
Koreografi Barongan Ngesti Budoyo Jati Manunggal sangat khas, memadukan elemen tarian topeng klasik Jawa dengan gerakan yang lebih primal dan eksplosif. Keindahan tarian terletak pada kontras antara bobot Barongan yang besar dan gerakan penari yang lincah dan terkadang akrobatik.
Gerak dasar Pembarong mencerminkan adaptasi dari tingkah laku Singa atau Harimau, namun telah disesuaikan dengan pakem tari Jawa. Beberapa gerakan kunci yang wajib dikuasai meliputi:
Setiap gerakan memerlukan kekuatan fisik yang besar dan daya tahan yang tinggi, mengingat bobot kepala Barongan yang bisa mencapai puluhan kilogram. Pelatihan Pembarong dalam Ngesti Budoyo Jati Manunggal memakan waktu bertahun-tahun, menekankan tidak hanya kekuatan otot tetapi juga penguasaan nafas dan energi batin (prana).
Tarian Barongan mencapai titik dramatisnya saat terjadi interaksi intens antara Barongan dan Warok atau Jathil. Dalam adegan ini, Barongan dapat mengejar penari Jathil, menandakan konflik antara kekuatan primal dan keanggunan manusia. Klimaks terjadi saat Barongan 'mengalahkan' atau 'menguasai' Warok/Jathil, yang dapat menyebabkan salah satu dari mereka ndadi. Adegan perkelahian simbolis ini adalah representasi dari perjuangan batin manusia untuk mencapai ‘Jati Manunggal’—kekuatan liar harus tunduk pada kontrol spiritual, atau sebaliknya, kontrol spiritual harus diuji oleh kekuatan alam.
Sebagai kelompok seni tradisi yang memegang teguh filosofi 'Jati Manunggal', Ngesti Budoyo menghadapi tantangan besar dalam melestarikan kesenian mereka di tengah gempuran budaya pop global. Kelangsungan hidup Barongan bergantung pada kemampuan mereka untuk menyeimbangkan pakem tradisi dengan kebutuhan hiburan modern.
Ngesti Budoyo Jati Manunggal melakukan upaya serius dalam revitalisasi melalui:
Tantangan terbesar adalah mempertahankan aspek sakral dalam pertunjukan. Ketika Barongan semakin sering diminta tampil sebagai hiburan komersial, risiko degradasi makna spiritual menjadi tumpang tindih. Ngesti Budoyo harus bernegosiasi antara tuntutan pasar dan tanggung jawab moral sebagai penjaga budaya. Mereka harus memastikan bahwa meskipun penonton terhibur, mereka tetap memahami bahwa yang mereka saksikan adalah warisan yang sarat makna.
Eksistensi Ngesti Budoyo Jati Manunggal juga memiliki dampak sosial ekonomi yang signifikan bagi komunitas sekitarnya. Mereka adalah penggerak ekonomi kreatif lokal, memberdayakan pengrajin topeng, penjahit kostum, dan seniman Gamelan. Kesenian ini menyediakan lapangan kerja dan menjadi identitas kebanggaan daerah. Ketika Barongan tampil, ia tidak hanya membawa seni, tetapi juga semangat gotong royong dan kebersamaan, memperkuat ikatan sosial (manunggaling kawula lan Gusti dalam konteks sosial).
Selain Barongan itu sendiri, properti dan pakaian yang dikenakan oleh para penari dan Warok juga menyimpan simbolisme yang kompleks. Setiap detail, mulai dari warna hingga bentuk hiasan, memiliki narasi historis dan filosofis yang panjang.
Pakaian Warok seringkali didominasi oleh warna hitam atau gelap, melambangkan ketegasan, kekuatan, dan kedewasaan. Mereka mengenakan penutup kepala yang khas (udeng) dan celana komprang yang memudahkan gerakan silat. Pakaian Warok merepresentasikan sosok pelindung, yang siap menjaga keselamatan Barongan dan juga penonton.
Sebaliknya, penari Jathil (kuda lumping) biasanya mengenakan pakaian yang lebih cerah, dihiasi selendang dan manik-manik. Ini melambangkan keindahan, kesuburan, dan energi muda. Perbedaan mencolok dalam busana ini secara visual menggarisbawahi peran masing-masing: yang satu penjaga yang kokoh, yang lain adalah pengikut yang energik dan fleksibel.
Hiasan yang melekat pada kepala Barongan, seperti manik-manik, kaca cermin kecil, atau bulu merak, bukan sekadar dekorasi. Manik-manik seringkali dianggap memiliki kekuatan magis atau sebagai penangkal. Kaca cermin pada dahi Barongan melambangkan kemampuan Barongan untuk melihat menembus batas dimensi (penglihatan batin) dan memantulkan kejahatan kembali ke asalnya. Proses pembuatan hiasan ini pun seringkali disertai dengan ritual khusus agar properti tersebut 'hidup' dan berdaya.
Ngesti Budoyo Jati Manunggal berjuang agar Barongan tidak hanya menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga bagian integral dari jati diri bangsa Indonesia. Dalam konteks globalisasi, kesenian ini berfungsi sebagai penanda perbedaan dan keunikan budaya Nusantara.
Barongan, dengan segala kekayaan gerak, musik, dan spiritualitasnya, mengajarkan kita tentang pentingnya harmoni. Harmoni antara yang kasar (Barongan) dan yang halus (Jathil), antara yang sakral (ritual) dan yang profan (hiburan), dan yang terpenting, antara manusia dengan alam dan Tuhannya (Jati Manunggal). Kelompok ini secara konsisten menyuarakan bahwa pelestarian Barongan adalah pelestarian nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh leluhur. Dengan setiap pertunjukan, mereka memperbarui janji untuk menjaga 'Budoyo' ini agar tetap murni dan relevan bagi generasi mendatang, memastikan bahwa esensi 'Jati Manunggal' terus terukir dalam seni tradisi.
Penguasaan irama yang bervariasi dalam Gamelan Barongan merupakan kunci untuk membedakan antara suasana sakral dan suasana profan. Ketika Barongan memasuki panggung, irama biasanya dimulai dengan tempo lambat, dikenal sebagai Gending Pembuka, yang berfungsi sebagai doa dan pemanggilan roh. Irama ini sangat khidmat, didominasi oleh suara Gong yang dalam dan panjang. Seiring berjalannya waktu dan Barongan mulai bergerak, tempo meningkat drastis menjadi irama yang disebut Gending Lincah atau Sabetan, yang menuntut Kendang dimainkan dengan cepat dan penuh energi. Irama Sabetan inilah yang sering memicu fenomena ndadi, karena resonansinya yang kuat diyakini mampu membuka portal dimensi.
Dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh Ngesti Budoyo Jati Manunggal, calon Pembarong diwajibkan untuk belajar teknik olah nafas dan meditasi batin (laku batin) sebelum menyentuh kepala Barongan. Filosofinya adalah, jika jiwa Pembarong belum mencapai ketenangan dan keselarasan (Jati Manunggal internal), ia tidak akan mampu menanggung beban spiritual dari topeng tersebut. Latihan ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan, berfokus pada pembangunan karakter yang rendah hati, disiplin, dan menghormati alam serta leluhur. Kegagalan dalam laku batin dapat menyebabkan Barongan menolak Pembarong, yang dapat bermanifestasi dalam kesulitan mengendalikan gerakan atau bahkan cedera saat menari.
Studi mendalam mengenai busana Warok juga mengungkapkan lapisan-lapisan filosofi yang mengejutkan. Pakaian Warok yang serba hitam, khususnya model Ponorogo, melambangkan sosok 'manusia sejati' (Manungsa Jati) yang telah mencapai kematangan spiritual dan tidak lagi terombang-ambing oleh nafsu duniawi. Mereka adalah representasi dari kearifan lokal yang tenang namun berdaya. Ikat kepala atau udeng yang dikenakan memiliki lipatan tertentu yang melambangkan kerumitan pemikiran dan kewajiban untuk selalu berpikir jernih. Pakaian ini dirancang untuk menciptakan kesan visual yang membumi, kontras dengan Barongan yang melayang-layang di antara dunia nyata dan gaib.
Transmisi pengetahuan Barongan dalam Ngesti Budoyo Jati Manunggal sangat menekankan sistem 'nyantrik', di mana murid tinggal bersama guru dan belajar melalui observasi langsung dan praktik tanpa henti. Ini berbeda dengan sistem pendidikan modern, karena nyantrik melibatkan transfer energi, etika, dan pengetahuan mistis yang tidak dapat diajarkan hanya melalui teori di kelas. Murid-murid tidak hanya belajar menari, tetapi juga belajar cara merawat pusaka, memahami kode-kode Gamelan, dan membaca pertanda alam. Sistem ini memastikan bahwa roh Barongan dan filosofi Jati Manunggal tetap utuh saat diwariskan.
Kisah-kisah rakyat yang mengiringi Barongan seringkali berpusat pada tema perlawanan terhadap ketidakadilan atau penolakan terhadap tirani. Barongan diyakini muncul sebagai kekuatan pembebas rakyat kecil, terutama dalam konteks sejarah lokal di Jawa Timur. Oleh karena itu, pertunjukan Barongan seringkali disisipi oleh unsur dramatisasi pertempuran, di mana Barongan bertindak sebagai pahlawan yang mengusir kejahatan atau menyelesaikan konflik. Narasi ini diperkuat melalui dialog spontan (improvisasi) yang dilakukan oleh Warok, yang sering menyindir isu-isu sosial kontemporer dengan balutan humor yang cerdas dan menusuk.
Dalam konteks Ngesti Budoyo Jati Manunggal, pemilihan material untuk kepala Barongan adalah ritual itu sendiri. Kayu yang digunakan harus berasal dari pohon tertentu yang dianggap memiliki energi spiritual kuat (misalnya, Pohon Beringin atau Pohon Asem Tua) dan harus ditebang pada hari baik tertentu, seringkali didahului dengan upacara permohonan izin kepada penjaga pohon. Kayu tersebut kemudian diukir oleh seorang ahli ukir yang juga diyakini memiliki laku batin yang tinggi. Setiap lekukan ukiran Barongan bukanlah hasil keputusan artistik semata, tetapi pemenuhan visual dari 'wajah' roh yang dipercaya mendiami topeng tersebut.
Ketahanan kelompok seni tradisi seperti Ngesti Budoyo Jati Manunggal seringkali diukur dari kemampuan mereka untuk menghadapi krisis, baik ekonomi maupun identitas. Pada masa krisis ekonomi, biaya pemeliharaan properti Barongan (perbaikan Gamelan, penggantian jubah, perawatan pusaka) bisa sangat membebani. Namun, keyakinan komunitas bahwa Barongan adalah penjaga desa sering memicu gotong royong masif, di mana warga bahu-membahu mendanai keberlangsungan kelompok. Ini adalah bukti nyata bahwa Barongan adalah milik komunal, bukan hanya milik pribadi kelompok seniman.
Aspek perlindungan mistis Barongan juga termanifestasi dalam kepercayaan akan 'ilmu kekebalan' yang dimiliki oleh para penari. Kekebalan terhadap senjata tajam atau api saat ndadi bukan dilihat sebagai sihir, melainkan sebagai hasil dari penyatuan diri (Jati Manunggal) yang sempurna dengan energi roh pelindung. Pawang memiliki peran penting untuk 'mengunci' energi ini sebelum pertunjukan dan 'melepasnya' dengan aman setelahnya. Tanpa ritual penutup yang benar, dipercaya bahwa energi liar Barongan dapat tetap berada di lingkungan, mengganggu keseimbangan desa.
Meskipun dominan di Jawa Timur, Barongan Ngesti Budoyo Jati Manunggal telah menjadi duta budaya di tingkat nasional. Ketika mereka tampil di luar wilayah asalnya, mereka tidak hanya membawa pertunjukan, tetapi juga membawa narasi kebanggaan dan kekayaan lokal. Keunikan mereka terletak pada kemampuan mereka memadukan energi kasar Barongan dengan tata krama Jawa yang halus (unggah-ungguh), menciptakan pertunjukan yang intens sekaligus menghormati audiens.
Sistem penamaan irama Gamelan dalam Barongan sangat spesifik dan terkadang menggunakan istilah yang berbeda dari Gamelan Keraton. Irama-irama ini, seperti 'Gajah-Gajah', 'Kuda Lumping', atau 'Singo Mengamuk', secara harfiah menggambarkan aksi yang akan dilakukan oleh Barongan di panggung. Ini memudahkan Pembarong dan penabuh Gamelan untuk berkomunikasi secara non-verbal selama pertunjukan berlangsung. Keselarasan antara irama dan gerak adalah esensi dari 'Manunggal' dalam aspek teknis kesenian.
Secara lebih rinci, prosesi penyucian pusaka Barongan, yang biasanya dilakukan pada bulan Suro (Muharram), melibatkan pencucian kepala Barongan dengan air bunga dan minyak wangi khusus. Ritual ini bukan hanya tindakan pembersihan fisik, tetapi juga pembaruan perjanjian spiritual antara kelompok Ngesti Budoyo dengan roh penjaga Barongan. Dipercaya bahwa melalui penyucian ini, kekuatan spiritual Barongan diisi ulang dan siap untuk digunakan selama setahun ke depan untuk menolak bala dan mendatangkan berkah.
Penari Jathil, meskipun terlihat sekunder dibandingkan Barongan, memegang peran filosofis penting sebagai representasi manusia yang rentan. Dalam beberapa interpretasi, kuda lumping yang mereka tunggangi melambangkan tunggangan kuda yang lemah, yang harus berjuang keras di tengah kekuatan besar Barongan. Namun, dalam konteks modern, Jathil seringkali menjadi simbol ketahanan dan keanggunan wanita Jawa. Kelompok Ngesti Budoyo Jati Manunggal memastikan bahwa penari Jathil mereka memiliki keahlian tari yang tinggi, menunjukkan bahwa keanggunan tidak berarti kelemahan.
Peran humor yang dibawa oleh Warok dalam pertunjukan Barongan adalah katarsis sosial yang vital. Melalui lelucon dan satir, Warok menciptakan ruang aman bagi masyarakat untuk mengkritik penguasa atau isu-isu yang tabu. Fungsi sosial ini menegaskan bahwa kesenian Barongan adalah cerminan masyarakat, alat yang digunakan untuk menyeimbangkan tekanan sosial dan spiritual. Ini adalah 'Budoyo' yang tidak kaku, tetapi selalu bernapas dan berinteraksi dengan realitas kontemporer.
Kesenian Barongan juga memberikan pelajaran penting mengenai hierarki. Dalam struktur Ngesti Budoyo Jati Manunggal, terdapat Pemimpin Kelompok, Pawang (spiritual leader), Pembarong Utama, dan anggota Gamelan. Meskipun Pembarong adalah bintang panggung, Pawang dan penabuh Gamelan seringkali dianggap memiliki peran yang lebih sakral dan menentukan keberhasilan ritual. Hierarki ini mencerminkan struktur sosial Jawa yang menghargai kearifan, usia, dan kedalaman spiritual di atas popularitas semata.
Pengaruh Hindu-Buddha kuno masih sangat terlihat dalam motif-motif hiasan pada Barongan, terutama penggunaan motif naga, garuda, dan ornamen sulur-suluran. Motif-motif ini mengaitkan Barongan dengan mitologi purba tentang makhluk pelindung yang berjuang melawan kejahatan kosmik. Interpretasi Barongan oleh Ngesti Budoyo Jati Manunggal seringkali menarik garis tegas ke masa Majapahit, di mana seni pertunjukan digunakan sebagai media legitimasi kekuasaan dan penyebaran ajaran moral.
Setiap detail kecil pada properti, misalnya, cambuk (pecut) yang digunakan oleh Warok untuk mengendalikan Barongan yang ndadi, juga memiliki fungsi ganda. Secara fisik, cambuk berfungsi untuk memicu dan mengakhiri trance. Secara simbolis, cambuk melambangkan kontrol pikiran dan disiplin spiritual. Ketika Warok mencambukkan cambuknya ke tanah, itu adalah simbol untuk mengusir roh jahat yang mungkin bersembunyi di sekitar area pertunjukan. Ini adalah upaya praktis untuk menjaga kesucian panggung.
Ngesti Budoyo Jati Manunggal secara aktif berupaya menanggapi tantangan globalisasi, terutama dari sisi estetika. Meskipun mereka kukuh pada bentuk tradisional Barongan, mereka terbuka untuk mengintegrasikan elemen visual baru dalam kostum Warok atau Jathil, selama tidak mengurangi makna filosofis inti. Misalnya, penggunaan warna yang lebih cerah atau material yang lebih ringan untuk mobilitas, memastikan bahwa kesenian ini tetap menarik bagi mata modern tanpa mengkhianati sejarahnya.
Keterikatan emosional antara komunitas dan Barongan kelompok ini sangat kuat. Barongan sering diundang untuk tampil tidak hanya pada acara hiburan, tetapi juga pada ritual adat penting, seperti bersih desa, ruwatan, atau upacara panen raya. Dalam konteks ini, Barongan berfungsi sebagai entitas ritual yang membawa keberkahan dan menolak bala, menegaskan bahwa ia adalah bagian dari sistem kepercayaan, bukan sekadar komoditas budaya. Kepercayaan ini memperkuat semangat 'Jati Manunggal' di tingkat sosial, di mana kelompok seni dan masyarakat menyatu dalam satu tujuan spiritual.
Pelatihan vokal dan narasi bagi para Warok juga merupakan bagian integral dari kurikulum Ngesti Budoyo. Warok harus mampu berbicara dengan lantang, jelas, dan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil ketika menyampaikan pesan-pesan moral, namun cepat beralih ke bahasa Ngoko saat berinteraksi humoris dengan penonton. Kemampuan berbahasa yang fleksibel ini mencerminkan kearifan budaya Jawa dalam memilih kata sesuai konteks sosial.
Komitmen Ngesti Budoyo Jati Manunggal terhadap pelestarian Gamelan tradisional sangat tinggi. Mereka sering menolak menggunakan instrumen elektronik atau rekaman, bersikeras bahwa energi dan getaran spiritual hanya dapat dihasilkan oleh instrumen akustik yang dimainkan secara langsung. Resonansi Gong dan Kendang yang dimainkan secara manual dianggap sebagai 'suara leluhur' yang esensial untuk memanggil roh dan mencapai kondisi manunggal. Ini adalah garis pertahanan terakhir mereka terhadap modernisasi yang berlebihan.
Dalam sesi pertunjukan yang sangat panjang, yang bisa berlangsung hingga lima jam, variasi narasi dan adegan menjadi kunci. Ngesti Budoyo tidak hanya menampilkan tarian Barongan berulang-ulang, tetapi juga menyisipkan adegan-adegan teater rakyat, pementasan cerita Panji, atau monolog Warok tentang filosofi hidup. Variasi ini menjaga daya tarik pertunjukan dan memastikan bahwa penonton menerima spektrum penuh dari 'Budoyo' yang mereka usung.
Sistem manajemen dan organisasi di balik Ngesti Budoyo Jati Manunggal juga sangat terstruktur. Mereka beroperasi seperti sebuah keluarga besar, dipimpin oleh seorang sesepuh, didukung oleh bendahara untuk mengurus keuangan, dan dibantu oleh tim logistik yang mengurus properti. Solidaritas internal ini adalah refleksi dari 'Manunggal' di tingkat organisasi, di mana setiap anggota, dari penabuh gong termuda hingga pawang tertua, memiliki peran yang dihormati dan vital.
Upaya mereka untuk melibatkan pemerintah daerah dan institusi pendidikan adalah strategi kunci untuk masa depan. Dengan berkolaborasi, mereka dapat memastikan dukungan finansial dan program pendidikan formal yang memperkenalkan Barongan kepada siswa sejak dini. Hal ini adalah investasi jangka panjang dalam menjaga agar filosofi Barongan Ngesti Budoyo Jati Manunggal, yang sarat dengan nilai-nilai luhur dan spiritualitas, tidak hanya bertahan, tetapi juga terus berkembang sebagai identitas budaya Jawa yang otentik dan tak tergantikan.
Dengan segala kompleksitas historis, filosofis, dan ritualistik yang melekat padanya, Barongan Ngesti Budoyo Jati Manunggal berdiri tegak sebagai monumen hidup dari warisan budaya Jawa. Mereka adalah penjaga api tradisi, memastikan bahwa konsep Jati Manunggal—penyatuan hakiki antara spiritualitas dan ekspresi seni—terus menginspirasi dan menghidupi masyarakat. Kesenian ini adalah permata yang harus dijaga, karena di dalamnya terdapat kunci untuk memahami jiwa dan ketahanan budaya Nusantara.