Di tengah pusaran modernitas yang kian cepat, Barongan Ngesti Budoyo muncul sebagai mercusuar yang tak lekang oleh waktu. Paguyuban kesenian ini bukan sekadar kelompok penari; ia adalah wadah pelestarian, benteng spiritual, dan perwujudan narasi epik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Membicarakan Barongan Ngesti Budoyo (BNB) berarti menyelami kedalaman filosofi Jawa, menelusuri jejak mistis Reog, dan memahami betapa vitalnya seni tradisi dalam menjaga keseimbangan sosial dan spiritual komunitasnya.
Dalam setiap penampilan, Barongan Ngesti Budoyo menghadirkan tontonan yang kaya. Adegan-adegan dramatis, mulai dari pergerakan megah Singa Barong hingga kelincahan heroik Bujang Ganong, semua dirajut dalam balutan irama Gamelan yang mendayu namun kuat. Kesenian ini tidak hanya bertujuan menghibur, melainkan juga menanamkan nilai-nilai luhur, etika, dan pemahaman mendalam tentang alam semesta, sebuah proses edukasi budaya yang disampaikan melalui gerakan, topeng, dan energi transenden.
Istilah "Barongan" secara umum merujuk pada bentuk kesenian yang menampilkan sosok raksasa berkepala singa atau harimau. Namun, konteks Barongan Ngesti Budoyo, sering kali identik dengan format Kesenian Reog, memiliki sejarah yang kompleks dan berakar kuat pada sinkretisme budaya Jawa. Asal muasalnya membentang luas, dari ritual kesuburan purba, hingga kisah-kisah legendaris yang melibatkan Raja-raja Nusantara.
Ngesti Budoyo, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai 'mengharap atau mewujudkan kebudayaan', merupakan penamaan yang memancarkan misi pelestarian. Kelompok ini sering kali berawal dari inisiasi para *sesepuh* atau tokoh spiritual di suatu wilayah, yang merasa bertanggung jawab untuk menjaga agar ruh kesenian—khususnya yang memiliki dimensi magis dan ritualistik—tidak lenyap ditelan zaman. Awal mula pembentukannya selalu dilandasi oleh semangat komunal dan bukan sekadar pertimbangan ekonomis. Pembentukan paguyuban ini seringkali melibatkan ritual khusus, penentuan hari baik, dan musyawarah panjang, menunjukkan betapa sakralnya awal mula perjalanan mereka.
Sejarah lisan paguyuban ini seringkali merujuk pada pengaruh kuat kerajaan-kerajaan Jawa Timur. Kisah Adipati Ponorogo, yang konon menciptakan kesenian ini untuk menandingi kekuatan Mataram, sering menjadi latar belakang mitologis yang dipegang teguh. Dalam konteks BNB, warisan ini bukan hanya dipertahankan dalam narasi, tetapi juga dalam detail kostum dan pola gerakan yang diyakini merupakan salinan otentik dari gerakan para prajurit kuno. Setiap lekuk topeng, setiap helai rambut Barong, membawa memori kolektif yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu heroik.
Barongan Ngesti Budoyo memiliki keunikan dalam lintasan generasinya. Berbeda dengan seni populer yang cepat berubah, tradisi dalam BNB dijaga dengan ketat melalui sistem magang dan pewarisan lisan. Seorang penari tidak hanya diajari teknik; mereka juga harus menjalani laku spiritual tertentu untuk 'menyatu' dengan karakter yang diperankan. Proses ini memastikan bahwa ruh dari seni tersebut tetap hidup dan tidak hanya menjadi pertunjukan fisik belaka. Transmisi ilmu ini seringkali bersifat tertutup, hanya diketahui oleh anggota inti dan calon penerus terpilih, menjadikannya warisan yang sangat berharga.
Dalam periode yang lebih modern, BNB menghadapi tantangan untuk beradaptasi tanpa kehilangan esensinya. Mereka mulai tampil di panggung formal, diundang ke festival, dan bahkan menggunakan media sosial untuk memperkenalkan diri. Namun, para *sepuh* di Ngesti Budoyo selalu menekankan bahwa inti dari pertunjukan mereka tetaplah ritual, sebuah persembahan budaya yang harus dilakukan dengan niat yang murni dan penghormatan tinggi terhadap leluhur dan roh penjaga.
Sebuah pertunjukan Barongan Ngesti Budoyo adalah simfoni visual dan auditif yang terdiri dari beberapa karakter kunci. Masing-masing memiliki peran, kostum, dan filosofi yang saling melengkapi, menciptakan sebuah drama mitologi yang lengkap dan utuh. Pemahaman mendalam tentang setiap elemen ini penting untuk mengapresiasi keindahan dan kompleksitas yang ditawarkan BNB.
Singa Barong adalah inti dari Barongan Ngesti Budoyo. Wujudnya bukan hanya topeng raksasa, melainkan sebuah entitas yang memadukan kekuatan mistis dan seni pertunjukan. Kepala Singa Barong, yang bobotnya bisa mencapai puluhan kilogram, terbuat dari kerangka kayu kokoh, dihiasi dengan mahkota merak yang menjulang tinggi, dan ditutupi oleh ijuk atau rambut sintetis berwarna hitam, merah, dan putih.
Penari Barong (disebut juga *pembarong*) harus memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, terutama di bagian leher dan punggung, karena ia harus menahan beban berat tersebut hanya dengan gigitan rahangnya, tanpa bantuan tangan. Gerakan Singa Barong mencerminkan keagungan, amarah, dan terkadang kebingungan. Di mata penonton, Barong adalah representasi dari kekuatan alam yang tak terkalahkan, sekaligus simbol dari nafsu dan ambisi yang harus dikendalikan.
Dalam konteks Ngesti Budoyo, proses 'memasukkan' Barong ke dalam paguyuban melibatkan ritual khusus penyucian. Diyakini bahwa Barong memiliki *isi* atau roh penunggu yang harus dihormati. Ketika pertunjukan berlangsung, energi ini seringkali memicu *trance* pada pembarong. Ini bukan sekadar akting; ini adalah manifestasi spiritual di mana batas antara penari dan karakternya menjadi kabur. Durasi dan intensitas gerakan Singa Barong, terutama saat berinteraksi dengan penari Jathilan dan Bujang Ganong, menjadi puncak dramatis yang dinantikan.
Jathilan, atau penari berkuda lumping, berperan sebagai pasukan berkuda yang setia mendampingi Singa Barong. Mereka adalah representasi prajurit yang gagah berani. Kuda lumping yang mereka tunggangi terbuat dari anyaman bambu, seringkali dihias dengan cat cerah dan rumbai-rumbai. Jathilan biasanya terdiri dari kelompok penari muda yang enerjik.
Aspek paling menonjol dari Jathilan adalah fenomena *kesurupan* (trance). Ketika irama Gamelan mencapai klimaks tertentu, para penari seringkali memasuki kondisi kesadaran yang berbeda. Dalam kondisi ini, mereka menunjukkan kekuatan fisik abnormal, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau kebal terhadap cambukan. Dalam tradisi Barongan Ngesti Budoyo, trance ini dipandang sebagai bentuk 'penggabungan' dengan roh pelindung, bukan hanya tontonan horor, melainkan bukti otentik dari kekuatan magis yang menyertai kesenian tersebut.
Pola gerakan Jathilan sangat ritmis dan repetitif, melambangkan disiplin militer sekaligus kegembiraan komunal. Kostum mereka kaya akan warna, dengan dominasi merah, hitam, dan emas, serta hiasan *udeng* atau ikat kepala yang mencerminkan status mereka sebagai ksatria. Kelompok Jathilan adalah motor penggerak energi dalam setiap pertunjukan, menjaga tempo dan semangat penonton agar tetap tinggi.
Jika Singa Barong mewakili kegagahan, Bujang Ganong (atau Ganongan) adalah representasi kecerdasan, kelincahan, dan humor. Karakter ini sering digambarkan sebagai seorang patih atau pengikut setia Barong. Topeng Ganongan yang khas menampilkan wajah yang menonjol, hidung besar, dan mata melotot, seringkali dihiasi rambut gimbal yang panjang.
Peran Bujang Ganong sangat penting sebagai jembatan komunikasi antara panggung dan penonton. Gerakannya sangat akrobatik, lincah, dan penuh improvisasi. Di tengah ketegangan mistis yang dihadirkan oleh Singa Barong dan Jathilan, Ganongan berfungsi sebagai pelepas tawa, menyuntikkan elemen komedi yang mengendurkan suasana. Ia seringkali berinteraksi langsung dengan penonton, mengejek, atau bercanda, memastikan bahwa pertunjukan tetap relevan dan menarik bagi semua kalangan usia.
Filosofi di balik Ganongan adalah representasi dari manusia yang cerdik dan mampu beradaptasi, namun tetap memiliki loyalitas tinggi. Dalam pertarungan, Ganongan mungkin terlihat konyol, namun ia adalah tokoh yang paling sulit dikalahkan karena kecepatannya. Dalam Barongan Ngesti Budoyo, penari Ganongan harus menguasai berbagai teknik bela diri dasar selain kemampuan menari, menjadikan peran ini salah satu yang paling menantang dari segi fisik dan keterampilan improvisasi.
Tanpa iringan musik Gamelan, pertunjukan Barongan Ngesti Budoyo hanyalah sebatas tarian fisik. Musik Gamelan adalah jiwa, motor penggerak, dan katalisator spiritual yang memungkinkan transisi antara dunia nyata dan dimensi spiritual. Orkestrasi dalam Barongan sangat berbeda dari Gamelan untuk pementasan wayang atau klenengan; iramanya lebih keras, lebih cepat, dan sangat menekankan tempo yang menghentak.
Gamelan Barongan Ngesti Budoyo biasanya melibatkan instrumen-instrumen penting seperti *Kendang* (gendang), *Gong*, *Saron*, *Bonang*, dan yang paling khas: *Pecut* atau cambuk. Fungsi masing-masing instrumen diatur ketat untuk mendukung narasi dan memicu *trance*:
A. Kendang: Kendang adalah pemimpin orkestra. Penabuh kendang (disebut *pengendang*) harus memiliki kepekaan luar biasa, karena ia yang menentukan perubahan tempo, memberikan kode kepada penari Jathilan untuk bersiap memasuki kondisi trance, dan memberi aba-aba pada Singa Barong untuk bergerak. Ritme kendang seringkali disamakan dengan detak jantung komunitas.
B. Gong: Gong berfungsi sebagai penanda siklus waktu. Bunyi gong yang dalam dan resonan menandai akhir dari satu babak atau awal dari fase ritualistik yang lebih serius. Gong memberikan dimensi kemegahan dan seringkali diyakini memiliki kekuatan penenang dan penarik roh.
C. Pecut (Cambuk): Pecut bukan hanya instrumen musik, melainkan senjata ritual. Suara pecukan yang membelah udara, biasanya dilakukan oleh *Warok* (pemimpin ritual/pengendali), berfungsi untuk ‘memanggil’ energi spiritual dan juga untuk ‘mengendalikan’ penari yang sedang dalam kondisi trance. Cambukan keras di tanah adalah simbol dari kekuatan yang menaklukkan hawa nafsu dan kekacauan.
Irama Barongan Ngesti Budoyo dikenal karena kemampuannya membius. Ada irama-irama khusus yang ditujukan untuk menaikkan energi (disebut *sorangan*) yang sangat cepat dan repetitif. Ketika irama ini dimainkan, intensitas vibrasi musik begitu tinggi sehingga tubuh penari secara alami merespons dengan gerakan-gerakan yang semakin liar, hingga akhirnya mencapai puncak kesurupan. Musik adalah medium, dan musisi Gamelan di BNB bukan hanya pemain musik, tetapi juga ahli spiritual yang mengerti cara memanipulasi frekuensi suara untuk tujuan ritual.
Di balik tontonan yang meriah, Barongan Ngesti Budoyo menyimpan segudang makna filosofis. Setiap elemen pertunjukan, mulai dari topeng, warna, hingga gerakan tari, adalah simbol dari perjuangan eksistensial manusia dan tatanan kosmik Jawa.
Pertarungan Singa Barong dan Jathilan: Secara kasat mata, ini adalah pertarungan antara Adipati dan Raja. Secara filosofis, ini adalah konflik abadi antara nafsu (diwakili oleh Barong yang buas) dan kedisiplinan (diwakili oleh prajurit Jathilan). Konflik ini mengajarkan bahwa kekuatan terbesar harus diimbangi dengan kendali diri dan etika moral.
Warna Merah dan Hitam: Dominasi warna merah (keberanian, amarah) dan hitam (kekuatan mistis, kegelapan) pada kostum Barong dan Jathilan melambangkan dualitas dalam kehidupan. Seni ini mengajarkan bahwa manusia harus mampu menghadapi sisi gelapnya sendiri untuk mencapai pencerahan.
Laku Spiritual Penari: Sebelum tampil, anggota Barongan Ngesti Budoyo seringkali melakukan ritual puasa, meditasi, atau tirakat lainnya. Laku ini bertujuan untuk membersihkan diri dan memastikan bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh penari (saat trance) adalah roh yang baik. Filosofinya adalah, seni harus lahir dari hati yang bersih dan niat yang luhur.
Hubungan Warok dan Pengendalian: Warok, sebagai tokoh pengendali atau pawang, melambangkan kebijaksanaan spiritual (kawicaksanan). Ia adalah satu-satunya yang dapat menenangkan Singa Barong yang marah atau menyadarkan Jathilan yang kesurupan. Warok mewakili peran guru atau pemimpin spiritual yang membimbing manusia keluar dari kekacauan nafsu.
Sebagai sebuah paguyuban kesenian tradisi yang mengusung dimensi ritualistik yang kuat, Barongan Ngesti Budoyo tidak beroperasi sebagai organisasi bisnis murni. Struktur mereka didasarkan pada kekeluargaan, hierarki spiritual, dan komitmen bersama terhadap pelestarian warisan. Stabilitas BNB tidak diukur dari keuntungan finansial, melainkan dari jumlah anggota muda yang berhasil dipertahankan dan kemurnian tradisi yang dijaga.
Inti dari Barongan Ngesti Budoyo adalah *Sesepuh* atau Ketua Adat. Sesepuh adalah pemegang kunci tradisi, yang bertanggung jawab atas ritual penyucian topeng, pemilihan penari baru, dan pemeliharaan alat-alat pusaka. Keputusan Sesepuh memiliki bobot spiritual yang tinggi, melampaui aturan organisasi formal.
Di bawah Sesepuh terdapat *Warok* (Pawang/Pengendali) yang bertugas selama pertunjukan dan *Pelatih Teknis* yang fokus pada koreografi dan musik. Anggota inti lainnya meliputi *Pembarong* (penari Barong), *Pengendang Utama*, dan *Penanggung Jawab Peralatan Pusaka*. Setiap anggota baru harus melalui masa orientasi dan pengujian yang ketat, tidak hanya kemampuan menari tetapi juga kekuatan mental dan spiritual mereka.
Kelangsungan hidup Barongan Ngesti Budoyo bergantung sepenuhnya pada regenerasi. Proses ini dimulai sejak usia dini. Anak-anak di lingkungan paguyuban diperkenalkan pada Gamelan dan tarian dasar Jathilan. Pendidikan mereka bersifat holistik: mereka belajar menari sambil mendalami sejarah leluhur dan etika Jawa.
Program regenerasi di BNB mencakup:
Kegigihan Ngesti Budoyo dalam mendidik generasi muda adalah bukti bahwa mereka tidak hanya ingin mempertahankan sebuah pertunjukan, tetapi juga mempertahankan sebuah gaya hidup yang berpegangan teguh pada nilai-nilai budaya Jawa. Mereka mengajarkan bahwa kesenian adalah jalan hidup, dan bukan sekadar sampingan.
Di era digital dan globalisasi, Barongan Ngesti Budoyo menghadapi dilema adaptasi. Bagaimana kesenian yang berakar kuat pada ritual pedesaan dapat relevan bagi audiens perkotaan tanpa mengorbankan kesakralannya? Jawaban dari Ngesti Budoyo adalah keseimbangan: memperluas jangkauan sambil mempertahankan inti tradisi.
Paguyuban Barongan Ngesti Budoyo kini lebih terbuka terhadap undangan festival seni tingkat nasional dan internasional. Untuk panggung yang lebih formal, mereka melakukan penyesuaian durasi dan menghilangkan beberapa aspek ritual yang terlalu spesifik, fokus pada koreografi dan dramaturgi. Namun, sebelum tampil di panggung manapun, ritual *permisi* (izin) kepada roh penjaga tetap dilakukan secara tertutup, memastikan bahwa dimensi spiritual tetap terjaga.
Penggunaan media sosial oleh anggota muda BNB telah membawa kesenian ini ke mata dunia. Video-video singkat mengenai ketangkasan Bujang Ganong atau momen trance Jathilan menarik perhatian publik baru. Ini adalah pedang bermata dua: popularitas meningkat, namun ada risiko kesenian hanya dilihat dari sisi eksotisnya, mengesampingkan nilai-nilai filosofis yang lebih dalam.
Salah satu perjuangan terbesar BNB adalah melawan komersialisasi berlebihan. Ketika permintaan pertunjukan meningkat, tekanan untuk tampil lebih sering dan lebih 'spektakuler' (misalnya, memperbanyak adegan trance yang dramatis) juga meningkat. Sesepuh Ngesti Budoyo berperan krusial dalam membatasi frekuensi pertunjukan. Mereka berpegangan pada prinsip bahwa energi spiritual tidak boleh dieksploitasi. Pertunjukan Barongan, terutama yang melibatkan kesurupan, membutuhkan pemulihan energi baik bagi penari maupun Gamelan. Menjaga batas antara seni murni dan hiburan komersial adalah misi utama mereka di era modern ini.
Fenomena trance (kesurupan) dalam Barongan Ngesti Budoyo seringkali disalahartikan. Bukan hanya sihir panggung, trance adalah mekanisme sosial. Dalam masyarakat Jawa tradisional, kondisi ini memberikan ruang bagi ekspresi emosi dan melepaskan tekanan sosial yang tertahan. Ketika penari Jathilan mengalami trance, mereka secara simbolis mewakili pelepasan segala beban dan kegelisahan kolektif. Proses ini, di bawah pengawasan Warok, diakhiri dengan pembersihan dan penyembuhan, menegaskan fungsi seni Barongan sebagai katarsis komunal yang vital bagi kesehatan psikologis masyarakat.
Lebih jauh, keadaan trance juga menegaskan kepercayaan lokal akan adanya dimensi lain, dimensi spiritual yang selalu berdampingan dengan manusia. BNB, melalui pertunjukannya, mengingatkan masyarakat untuk selalu menjaga harmoni dengan alam gaib dan leluhur, sebuah pelajaran etika yang semakin hilang dalam hiruk pikuk kehidupan modern.
Meskipun Barongan Ngesti Budoyo memiliki akar yang kuat dan sistem regenerasi yang terjaga, mereka tidak luput dari berbagai tantangan pelestarian yang mengancam keberlangsungan tradisi, terutama dihadapkan pada perubahan sosio-ekonomi yang drastis.
Biaya operasional sebuah paguyuban Barongan sangat tinggi. Pemeliharaan Singa Barong (termasuk mengganti ijuk atau bulu merak), perbaikan Gamelan, dan pembuatan kostum baru membutuhkan dana yang tidak sedikit. Seringkali, anggota BNB harus berjuang mencari nafkah utama di sektor lain, menjadikan kesenian ini sebagai pengabdian, bukan sumber penghidupan utama. Keterbatasan dana ini seringkali menghambat upaya mereka untuk memperbarui peralatan atau melakukan tur budaya yang lebih luas.
Diperlukan dukungan sistematis dari pemerintah daerah, bukan hanya dalam bentuk dana insentif, tetapi juga dalam penetapan Barongan Ngesti Budoyo sebagai warisan budaya tak benda yang harus dilindungi. Pengakuan formal dapat membuka pintu bagi peluang sponsorship dan kolaborasi dengan institusi pendidikan.
Generasi muda modern cenderung menganggap kesenian Barongan sebagai sesuatu yang kuno atau bahkan menakutkan karena aspek trance. Tantangan Ngesti Budoyo adalah menjembatani kesenjangan ini. Mereka harus mampu menyajikan filosofi dan sejarah Barongan dengan cara yang menarik, menjelaskan bahwa trance adalah bagian dari ritual leluhur, bukan sekadar atraksi mistis murahan.
Pendekatan yang dilakukan oleh BNB meliputi:
Untuk memahami kedalaman Barongan Ngesti Budoyo, penting untuk memecah lebih jauh bagaimana setiap gerakan diciptakan dan diekspresikan. Koreografi dalam BNB bukanlah tarian yang kaku; ia adalah rangkaian ekspresi emosional yang terstruktur, dipengaruhi oleh kekuatan internal dan irama Gamelan. Setiap sesi latihan adalah proses pendalaman batin, bukan hanya pengulangan fisik.
Gerakan Barong (obyokan) memiliki beberapa pola dasar yang sangat penting. Gerakan *noleh* (menoleh) yang dilakukan dengan hentakan leher kuat melambangkan kewaspadaan dan kemarahan raja. Gerakan *nyunggi* (mengangkat) kepala Barong setinggi mungkin melambangkan keagungan dan dominasi. Penari harus menguasai teknik pernapasan dan kontraksi otot leher yang ekstrem untuk menjaga topeng tetap stabil selama gerakan akrobatik, seperti saat Barong berputar-putar dalam kecepatan tinggi atau membanting kepalanya ke tanah.
Aspek yang paling menarik adalah interaksi Barong dengan Warok. Ketika Warok mencambuk, Barong akan bereaksi dengan gerakan frustrasi, lari, atau bahkan menyerang. Interaksi ini adalah puncak drama, di mana Singa Barong menunjukkan bahwa meskipun ia adalah makhluk buas, ia tetap terikat dan harus tunduk pada hukum spiritual yang diwakili oleh Warok.
Tarian Jathilan dalam Ngesti Budoyo memiliki tiga fase utama:
Dalam Barongan Ngesti Budoyo, Gamelan tidak hanya menciptakan ritme, tetapi juga mengatur frekuensi spiritual yang mengelilingi pertunjukan. Pengaturan skala nada, atau *laras*, harus disetel dengan presisi tertentu. Laras yang digunakan cenderung memiliki karakter yang lebih 'berani' dan 'menghentak' dibandingkan Gamelan keraton, untuk mendukung sifat pertunjukan yang penuh energi dan mistis.
Selain instrumen inti, *Kempul* (gong kecil) dan *Kenong* memainkan peran penyeimbang. Mereka memberikan titik acuan ritmis yang memungkinkan Gamelan tidak jatuh dalam kekacauan saat tempo meningkat drastis. Bunyi Kempul yang berulang dan mantap adalah pengingat bagi penari yang trance bahwa meskipun mereka telah memasuki dimensi lain, masih ada 'tali' yang menghubungkannya dengan dunia nyata dan kendali Warok.
Musik dalam BNB adalah bahasa yang mendalam. Pengendang utama tidak hanya menghafal lagu; mereka harus mampu membaca keadaan spiritual penari Jathilan. Jika seorang penari menunjukkan tanda-tanda trance yang membahayakan, Pengendang akan mengubah ritme secara subtil untuk membantu Warok melakukan intervensi, menunjukkan kolaborasi yang erat antara seni pertunjukan dan praktik spiritual yang mengatur keseluruhan proses pementasan.
Keunikan irama Ngesti Budoyo seringkali terletak pada penggunaan jeda yang sangat singkat sebelum tiba-tiba meledak menjadi tempo tinggi. Jeda ini (disebut *cegatan*) berfungsi membangun antisipasi dan tekanan psikologis, baik bagi penonton maupun penari itu sendiri, memaksimalkan dampak dramatis dari setiap transisi adegan.
Pada akhirnya, Barongan Ngesti Budoyo adalah penjaga jembatan antar-waktu. Mereka adalah manifestasi nyata dari tradisi yang menolak untuk mati, sebuah entitas yang menghubungkan tatanan masyarakat purba dengan kompleksitas kehidupan modern. Setiap pertunjukan adalah sebuah deklarasi bahwa nilai-nilai keberanian, loyalitas, dan spiritualitas masih relevan, bahkan ketika dunia berubah haluan.
Dengan dedikasi para Sesepuh, kegigihan para Warok, dan semangat membara generasi muda Jathilan, Ngesti Budoyo terus mengukir kisah mereka. Mereka adalah bukti bahwa kebudayaan bukanlah museum yang statis, melainkan organisme hidup yang bernapas, bergerak, dan bertumbuh bersama komunitasnya. Melalui Singa Barong yang mengaum, Bujang Ganong yang lincah, dan dentuman Gamelan yang sakral, Barongan Ngesti Budoyo menjamin bahwa warisan epik Jawa akan terus bergema melintasi waktu, mengingatkan kita akan kekayaan tak ternilai dari identitas nusantara.
Pelestarian Barongan Ngesti Budoyo adalah tanggung jawab kolektif. Ini bukan hanya tentang menjaga topeng tetap utuh, tetapi tentang menjaga agar semangat *ngesti budoyo*—niat untuk mewujudkan dan menghidupkan kebudayaan—tetap menyala di hati setiap penari, setiap musisi, dan setiap penonton yang terhanyut dalam magisnya pertunjukan tradisi ini. Kehadiran mereka adalah penegasan bahwa identitas sebuah bangsa terukir kuat dalam seni yang diyakini dan dihidupi.
***