Barongan Ngawen bukan sekadar pertunjukan seni rakyat biasa; ia adalah manifestasi spiritualitas Jawa yang mendalam, sebuah ritual bergerak yang menghubungkan masa lalu dengan realitas masa kini. Berakar kuat di wilayah Jawa Tengah, khususnya yang terkait dengan tradisi Blora dan Kendal, Barongan Ngawen menyajikan drama kolosal antara kekuatan mistis, heroisme, dan interaksi manusia dengan alam gaib.
Seni Barongan merupakan salah satu kekayaan budaya yang tersebar luas di Jawa, namun Barongan Ngawen, dengan kekhasan gerak, tata rias, dan spiritualitasnya, memiliki dimensi yang unik dan tak tertandingi. Nama Ngawen sendiri sering kali diasosiasikan dengan konteks geografis atau corak spesifik yang berkembang di suatu wilayah, mencerminkan identitas komunitas yang memeliharanya. Dalam konteks Jawa Tengah, Barongan Ngawen sering dikaitkan dengan tradisi agraris dan spiritualitas leluhur yang kental.
Akar sejarah Barongan sangat tua, diperkirakan berasal dari era pra-Islam, di mana kepercayaan animisme dan dinamisme masih mendominasi pandangan hidup masyarakat. Makhluk berwujud singa, harimau, atau naga, yang diwakili oleh wujud Barong, adalah simbol kekuatan alam, penjaga desa, dan mediator antara dunia manusia dan dunia roh. Fungsi utama pertunjukan ini pada awalnya adalah ritual tolak bala, upacara bersih desa (sedekah bumi), atau meminta hujan, jauh sebelum menjadi komoditas hiburan semata.
Wujud Barong, yang disebut Gembong, memiliki makna filosofis yang kompleks. Topengnya (Mustaka) biasanya dibuat dari kayu yang disucikan dan diukir menyerupai singa raksasa dengan mata melotot dan taring yang menakutkan. Wajah Barong Ngawen cenderung lebih ekspresif dan brutal, mencerminkan kekuatan yang tak tertahankan. Bulu-bulu yang digunakan, biasanya ijuk atau tali rafia yang diwarnai, melambangkan kekayaan dan kesuburan alam. Di dalamnya, bersemayam kekuatan spiritual yang diyakini dapat melindungi komunitas dari gangguan spiritual dan penyakit.
Kisah-kisah yang dibawakan dalam Barongan Ngawen sering kali merujuk pada legenda lokal, seperti kisah Panji atau cerita rakyat yang heroik. Meskipun ada kesamaan visual dengan Reog Ponorogo atau kesenian Barong dari daerah lain, Ngawen mempertahankan komposisi musik Gamelan yang khas serta urutan ritual yang ketat. Kepatuhan pada ritual sebelum pertunjukan—mulai dari puasa penari, pembacaan mantra, hingga sesaji yang dipersembahkan—menunjukkan bahwa Barongan Ngawen adalah kesenian yang mengutamakan sisi sakral.
Transisi Barongan dari ritual murni ke pertunjukan hiburan terjadi seiring berjalannya waktu, namun esensi spiritualnya tidak pernah hilang. Setiap desa yang memiliki grup Barongan Ngawen akan menjadikannya sebagai identitas kultural yang diwariskan turun-temurun, memastikan bahwa setiap gerakan dan melodi Gamelan adalah pengulangan dari tradisi yang telah dipegang teguh oleh para leluhur.
Alt Text: Ilustrasi Topeng Barongan Ngawen yang menyeramkan.
Sebuah pementasan Barongan Ngawen adalah sebuah orkestrasi dari berbagai elemen yang saling melengkapi, baik dari segi visual, auditori, maupun spiritual. Tidak hanya Barong (Gembong) itu sendiri, pertunjukan ini melibatkan serangkaian tokoh pendukung yang memiliki peran vital dalam membangun narasi dan dinamika tarian.
Gembong, sang Barong, adalah fokus utama. Barong digerakkan oleh dua orang penari (biasanya seorang di bagian kepala dan satu di bagian ekor) yang harus memiliki stamina fisik dan spiritual yang prima. Gerakannya kasar, kuat, dan penuh energi. Barong melambangkan kekuatan liar yang harus dijinakkan atau dihormati. Dalam konteks Ngawen, Gembong sering kali menampilkan gerakan 'nggeleng' (menggelengkan kepala dengan cepat) yang ekstrem, menunjukkan kondisi kerasukan atau energi yang meluap-luap.
Jathilan, atau penari berkuda lumping, adalah elemen paling populer dan dinamis. Mereka mewakili prajurit heroik yang mengiringi Barong. Kuda lumping yang terbuat dari bambu anyaman (kepang) menjadi alat penarik perhatian. Dalam Barongan Ngawen, Jathilan memiliki peran ganda: sebagai penari yang cekatan dan sebagai subjek utama dalam ritual Nglambet (kerasukan). Gerakan Jathilan yang berirama berubah menjadi agresif dan tak terkontrol saat mereka berada di bawah pengaruh roh, sering kali melakukan atraksi ekstrem seperti memakan beling atau mengupas kelapa menggunakan gigi.
Ganongan, atau sering disebut Bujang Ganong, adalah tokoh penari yang lincah dan jenaka, berfungsi sebagai penghubung antara dunia Barong yang serius dan penonton. Ia mengenakan topeng kera berwarna merah dengan rambut panjang gimbal. Gerakan Ganongan sangat akrobatik, penuh humor, dan cepat, sering kali menantang Barong. Secara filosofis, Ganongan mewakili sosok pengikut setia yang cerdas dan berani, yang tugasnya adalah menenangkan keganasan Barong dan memberikan hiburan ringan di tengah ketegangan spiritual.
Warok atau Pawang adalah figur spiritual yang sangat penting. Mereka tidak menari secara aktif, melainkan mengawasi dan mengendalikan jalannya pertunjukan. Tugas utama Warok adalah memimpin ritual sebelum pertunjukan (sesajen, doa), menjaga keselamatan para penari yang sedang Nglambet, dan memastikan bahwa roh yang masuk ke tubuh penari tidak membahayakan diri sendiri atau penonton. Tanpa kehadiran Warok yang berwibawa, pertunjukan Barongan Ngawen dianggap tidak sah dan berbahaya.
Barongan Ngawen tidak akan lengkap tanpa iringan musik Gamelan yang khas. Gamelan yang digunakan memiliki komposisi yang lebih sederhana dan ritme yang lebih cepat serta dinamis dibandingkan Gamelan keraton, disesuaikan untuk mengiringi tarian yang keras dan energis. Musik ini berfungsi sebagai pemanggil roh dan pemicu kondisi Nglambet.
Lagu-lagu yang dibawakan (Gending) sering kali spesifik untuk ritual tertentu. Misalnya, Gending untuk memanggil roh akan memiliki tempo yang perlahan namun mendalam dan berulang, sementara Gending saat Jathilan sudah kerasukan akan menjadi sangat cepat dan kacau (dalam konteks ritmis), mendorong penari mencapai batas fisik mereka. Intensitas suara Gamelan ini adalah salah satu ciri khas yang membedakan Barongan Ngawen.
Alt Text: Ilustrasi Kendang dan Saron Gamelan.
Inti dari Barongan Ngawen yang membedakannya dari pertunjukan teater biasa adalah dimensi spiritual yang kental. Pertunjukan ini berfungsi sebagai jembatan komunikasi dengan alam gaib, di mana penari menawarkan tubuh mereka sebagai wadah (jisim) bagi roh leluhur atau roh pelindung desa (dhanyang).
Sebelum Gamelan mulai berbunyi, Warok memimpin serangkaian ritual yang ketat. Ini termasuk pembakaran kemenyan, penyiapan sesajen (bunga tujuh rupa, kopi pahit, jajan pasar), dan pembacaan doa dalam bahasa Jawa Kuno. Tujuan dari ritual ini adalah meminta izin dan perlindungan agar energi yang hadir adalah energi positif dan agar pertunjukan berjalan lancar tanpa celaka. Penari utama, terutama Jathilan, harus membersihkan diri dan menjaga laku tirakat selama beberapa hari sebelum pementasan.
Nglambet adalah puncak dari pertunjukan Barongan Ngawen. Dipicu oleh irama Gamelan yang konstan dan intensitas visual Barong, para penari Jathilan akan memasuki kondisi trans. Dalam kondisi ini, mereka tidak lagi menari sebagai manusia biasa; gerakan mereka menjadi sangat kuat, tidak peduli rasa sakit, dan sering kali melakukan tindakan berbahaya yang mustahil dilakukan dalam keadaan sadar (kekebalan). Fenomena Nglambet bukan hanya dianggap sebagai drama, tetapi sebagai bukti otentik kehadiran roh pelindung yang sedang menampakkan diri.
Pada saat Nglambet, peran Warok menjadi krusial. Mereka harus bisa mengidentifikasi roh yang merasuki, memberikan perintah yang tegas (karena roh tersebut diyakini akan patuh pada Pawang), dan pada akhirnya, mengeluarkan roh tersebut dengan mantra dan air suci (Mantra Pambabar). Proses ini penuh ketegangan, di mana keselamatan fisik penari sepenuhnya bergantung pada keahlian spiritual Warok.
Filosofi di balik Nglambet adalah manunggaling kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan/Kekuatan Agung), meskipun dalam konteks Barongan ini lebih merujuk pada penyatuan jiwa manusia dengan kekuatan spiritual alam atau leluhur. Pengorbanan fisik yang dialami penari adalah bagian dari persembahan untuk menjaga harmoni desa.
Gerak tari dalam Barongan Ngawen memiliki ciri khas yang membedakannya dari gaya Barongan daerah lain. Gerak Barongan Ngawen sangat mengutamakan kekuatan, kecepatan, dan unsur 'liar' yang tidak halus, mencerminkan energi alam yang belum terolah.
Busana Barongan Ngawen sering kali didominasi oleh warna-warna cerah seperti merah, kuning, dan hitam, yang melambangkan keberanian, kekayaan, dan misteri. Ganongan selalu menonjol dengan topeng kera merah dan rambut ijuk yang gondrong. Jathilan mengenakan busana prajurit tradisional dengan aksen kain batik atau lurik yang khas Jawa Tengah. Detail kecil pada busana, seperti penggunaan sabuk rajutan atau selendang berwarna, memiliki makna simbolis terkait dengan status tokoh yang diperankan.
Mustaka (topeng kepala Barong) selalu mendapatkan perhatian khusus. Pengecatan ulang, penambahan hiasan tanduk (jika ada), dan penggantian bulu dilakukan melalui ritual, memastikan bahwa topeng tersebut tetap memiliki daya magis (isi). Perawatan Mustaka ini adalah tugas kehormatan bagi sesepuh grup Barongan.
Di era modern, Barongan Ngawen menghadapi tantangan yang kompleks. Di satu sisi, popularitasnya sebagai hiburan meningkat, namun di sisi lain, nilai-nilai sakralnya terancam terkikis oleh tuntutan komersialisasi.
Tantangan utama adalah menjaga keotentikan ritual. Beberapa kelompok modern cenderung menghilangkan atau mempercepat ritual Nglambet karena dianggap menakutkan atau terlalu memakan waktu, menggantikannya dengan koreografi yang lebih 'aman'. Hal ini menyebabkan hilangnya kedalaman spiritual yang menjadi roh utama Barongan Ngawen.
Pelestarian Barongan Ngawen kini banyak dilakukan melalui: (1) Pendidikan Sanggar: Generasi muda diajarkan teknik menari dan, yang lebih penting, filosofi di balik setiap gerakan dan ritual. (2) Festival Budaya: Penyelenggaraan festival khusus Barongan yang mendorong kompetisi sehat dan standar pertunjukan yang tinggi. (3) Dokumentasi: Pencatatan detail ritual, Gending, dan sejarah lisan dari para Warok dan sesepuh. Upaya ini memastikan bahwa Barongan Ngawen tidak hanya bertahan sebagai tontonan, tetapi juga sebagai tuntunan budaya.
Filosofi di balik gerakan Gembong Barongan Ngawen adalah perwujudan dari Bhuta Kala—kekuatan alam yang masif dan tak terkontrol. Gerakan Barong yang membuka dan menutup mulutnya secara ritmis, disertai hentakan kaki yang berat, melambangkan siklus kehidupan, kematian, dan regenerasi. Dalam setiap langkah Barong, terdapat pesan bahwa kekuatan alam (baik yang merusak maupun yang memberi kehidupan) harus dihormati dan diintegrasikan ke dalam kehidupan manusia.
Penari Gembong harus memiliki rasa yang tinggi terhadap musik dan lingkungan. Mereka bukan hanya membawa topeng; mereka menjadi wadah bagi karakter yang mereka wakili. Dalam Barongan Ngawen, Gembong sering kali diarahkan untuk berinteraksi langsung dengan tanah atau air, misalnya dengan menggaruk tanah atau mengambil air, sebagai simbol penguasaan elemen bumi. Interaksi ini sangat penting dalam ritual Bersih Desa, di mana Barong membersihkan energi negatif yang melekat pada desa.
Topeng Barong, atau Mustaka, adalah titik fokus energi. Mustaka bukan hanya patung kayu; ia adalah benda pusaka yang diyakini dihuni oleh entitas spiritual. Oleh karena itu, penari yang bertugas di bagian kepala harus menjalani puasa mutih dan ritual mandi kembang tujuh rupa sebelum menyentuh atau mengenakan topeng tersebut. Rasa hormat yang mendalam ini memastikan bahwa energi yang keluar dari Barong adalah energi pelindung, bukan energi destruktif. Jika ritual ini diabaikan, masyarakat Ngawen percaya bahwa Barong akan 'marah' dan membawa sial.
Proses pembuatan Gembong Barong Ngawen melibatkan kriteria material yang sangat spesifik. Kayu yang digunakan untuk Mustaka harus berasal dari pohon tertentu (sering kali pohon yang dianggap keramat atau memiliki usia tua), dan pemotongannya harus dilakukan pada hari-hari yang dianggap baik (Hari Baik Jawa) disertai sesaji. Bulu Barong, yang secara tradisional menggunakan ijuk atau rambut kuda, kini sering diganti dengan tali rafia yang diwarnai. Namun, inti dari Barong yang otentik terletak pada bagian rangka internal yang dibuat ringan namun kuat, memungkinkan dua penari bergerak lincah meski membawa beban berat dan panjang.
Warna utama pada rambut atau bulu Gembong Ngawen cenderung menggunakan gradasi hitam, merah marun, dan sedikit emas, yang secara kosmologis melambangkan tiga dunia: dunia bawah (hitam), dunia tengah/manusia (merah), dan dunia atas/spiritual (emas). Setiap detail, mulai dari lilitan kain mori putih di dalam topeng hingga cat pada taringnya, adalah representasi simbolis dari alam semesta kecil (mikrokosmos) yang diwakili oleh Barong.
Fenomena Nglambet (kerasukan) pada Jathilan Barongan Ngawen adalah sebuah studi kasus yang kaya dalam etnografi pertunjukan Jawa. Kerasukan ini tidak terjadi secara acak, melainkan merupakan hasil dari kombinasi kelelahan fisik, intensitas psikologis, dan induksi musik Gamelan yang repetitif.
Dalam tradisi Ngawen, Jathilan yang kerasukan dianggap telah mencapai tingkat spiritual yang tinggi, memungkinkan mereka menjadi medium. Namun, tanggung jawab Warok untuk memastikan roh yang hadir adalah roh yang baik (roh pelindung atau leluhur yang dihormati) dan bukan roh jahat (setan atau iblis) sangatlah besar. Keberhasilan pementasan sering diukur dari seberapa 'kuat' dan 'terkendali'nya fenomena Nglambet ini.
Kuda Lumping (Jaran Kepang) yang dibawa oleh Jathilan bukan hanya properti, melainkan simbol kendaraan spiritual. Saat Jathilan kerasukan, kuda lumping tersebut sering kali dihantamkan ke tanah atau diangkat tinggi-tinggi, menunjukkan pembalikan peran: manusia (Jathilan) menjadi lebih liar daripada kuda (simbol kendali). Kuda lumping melambangkan mobilitas dan transisi antara dua dunia, memperkuat narasi perjalanan spiritual yang dialami penari.
Setiap kelompok Barongan Ngawen memiliki repertoar Gending (komposisi musik Gamelan) yang sangat spesifik, diwariskan secara lisan. Gending ini berfungsi sebagai kode komunikasi rahasia antara Pawang, penari, dan roh. Beberapa Gending utama dalam Barongan Ngawen meliputi:
Penguasaan Gending Barongan Ngawen memerlukan latihan bertahun-tahun, karena tempo dan volume harus diatur secara presisi sesuai dengan kondisi spiritual para penari. Terkadang, Pawang memberikan instruksi kepada penabuh Gamelan hanya dengan isyarat mata atau tangan, sebuah bentuk komunikasi non-verbal yang penting untuk mengendalikan dinamika ritual.
Barongan Ngawen merupakan representasi hidup dari sinkretisme budaya Jawa. Ia berhasil memadukan unsur-unsur pra-Hindu (animisme), Hindu-Buddha (ikonografi singa/naga), dan nilai-nilai Islam (dalam bentuk doa dan niat baik yang dibacakan Warok). Kemampuan kesenian ini untuk menyerap dan memodifikasi elemen-elemen budaya menjadikannya warisan yang sangat berharga.
Di luar panggung, Barongan Ngawen memainkan peran sosial yang signifikan. Grup Barongan seringkali menjadi tulang punggung dalam berbagai acara komunal: perayaan panen raya, pernikahan, atau nazar (janji) kepada leluhur. Dengan menampilkan Barongan, masyarakat menegaskan kembali ikatan mereka dengan tradisi, lingkungan, dan identitas kelompok. Pendanaan dan dukungan untuk grup Barongan seringkali berasal dari swadaya masyarakat, menunjukkan betapa kuatnya rasa kepemilikan mereka terhadap seni ini.
Untuk memastikan Barongan Ngawen terus berkembang, diperlukan keseimbangan antara inovasi dan tradisi. Inovasi dapat diterapkan pada tata panggung, kostum (tanpa mengubah esensi), dan pemasaran, namun inti dari ritual Nglambet dan keautentikan Gamelan harus dipertahankan. Banyak kelompok kini berkolaborasi dengan akademisi dan seniman kontemporer untuk mendokumentasikan dan mempromosikan Barongan Ngawen ke khalayak yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional, menegaskan posisinya sebagai salah satu permata spiritual Jawa Tengah.
Setiap kali Gembong Barong Ngawen menghentakkan kakinya, setiap kali suara Gamelan berdentum, dan setiap kali Jathilan memasuki kondisi trans, itu adalah penegasan kembali bahwa warisan leluhur di Ngawen tetap hidup, berdenyut, dan sakral. Barongan Ngawen adalah cermin abadi dari jiwa masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual yang tak terlihat.
Seni pertunjukan ini adalah pelajaran tentang keberanian dan kepasrahan, di mana penari menyerahkan diri pada kekuatan yang lebih besar demi kesejahteraan komunitas. Kekuatan magis yang terkandung di dalamnya memastikan bahwa setiap pertunjukan bukan sekadar tarian, melainkan sebuah ritual purba yang dihidupkan kembali.
Alt Text: Ilustrasi siluet penari Jathilan yang melompat intens saat kerasukan.
Meskipun Barongan ada di banyak wilayah di Jawa (seperti Barong Blora, Barong Ponorogo/Reog, atau Barong Bali), gaya Ngawen memiliki perbedaan struktural dan spiritual yang jelas. Pengkajian mendalam terhadap detail ini memperkuat klaim bahwa Barongan Ngawen adalah entitas seni yang berdiri sendiri dengan kekhasan lokal yang kuat.
Dibandingkan dengan Barong Blora yang seringkali lebih memfokuskan pada realisme singa yang menggeram, Mustaka Ngawen sering kali memiliki desain yang lebih mistis dan kurang realistis, menekankan pada dimensi mata yang melotot dan hiasan cula yang ekstrem. Bulu Gembong Ngawen cenderung lebih panjang dan tidak seragam, menciptakan ilusi gerakan yang lebih liar dan tidak teratur. Tujuannya bukan untuk meniru singa secara harfiah, melainkan untuk mewujudkan roh singa raksasa (Singa Barong) yang hadir dari dimensi lain. Kekuatan Mustaka Ngawen seringkali diukur dari seberapa mampu ia memicu Nglambet di antara para penari.
Di Ngawen, fenomena kekebalan (atraksi ekstrem) selama kerasukan adalah komponen yang hampir wajib. Kerasukan ini seringkali lebih brutal dan melibatkan interaksi yang lebih intensif antara Jathilan yang kerasukan dan Pawang. Di beberapa wilayah, kekebalan hanya menjadi pelengkap, sementara di Ngawen, ini adalah bukti nyata bahwa roh pelindung desa telah hadir dan memberikan berkah berupa kekuatan luar biasa. Atraksi memakan beling atau menginjak api dilakukan dengan intensitas tinggi, menegaskan dimensi sakral dan berbahaya dari seni ini.
Pola tabuhan Gamelan Ngawen dikenal sangat cepat, repetitif, dan memiliki ritme dasar yang lebih primitif dibandingkan Gending Jawa Mataraman yang lebih halus. Gending Barongan Ngawen sengaja diciptakan untuk menghasilkan gelombang suara hipnotis yang merangsang kondisi trans. Penggunaan Terompet Reog (Pencak) di Ngawen juga sangat menonjol, memberikan efek suara yang khas, melengking, dan penuh drama yang tidak ditemukan pada komposisi Gamelan untuk Barong di daerah lain.
Tokoh Ganongan (Bujang Ganong) mungkin terlihat hanya sebagai pemecah suasana, tetapi perannya jauh lebih filosofis dalam Barongan Ngawen. Ganongan adalah representasi dari kesadaran manusia yang cerdik dan humoris, yang mampu menertawakan ketakutan dan keganasan. Kehadirannya berfungsi sebagai penyeimbang terhadap energi Barong yang brutal dan kondisi trans Jathilan yang tegang.
Gerakan Ganongan yang akrobatik dan jenaka adalah katarsis bagi penonton. Saat ketegangan spiritual mencapai puncaknya (misalnya, ketika Jathilan mulai kerasukan), Ganongan akan maju dan melakukan tarian yang konyol, seolah-olah mengolok-olok keganasan tersebut. Filosofi di baliknya adalah bahwa meskipun kita menghadapi kekuatan spiritual yang besar, kita tidak boleh kehilangan akal sehat dan kegembiraan hidup. Ganongan mengingatkan bahwa hidup adalah drama yang harus dijalani dengan ringan, bahkan di tengah-tengah ritual yang paling sakral.
Ganongan juga bertindak sebagai 'provokator' yang mendorong Barong untuk terus bergerak dan berinteraksi. Tanpa provokasi Ganongan, pertunjukan bisa menjadi monoton atau terlalu serius. Dialog non-verbal antara Ganongan dan Gembong (seringkali berupa gerakan menantang yang berakhir dengan Ganongan lari terbirit-birit) adalah esensi dari drama Barongan Ngawen, sebuah pertempuran abadi antara kebijaksanaan (Ganongan) dan kekuatan liar tak terkontrol (Barong).
Setiap kelompok Barongan Ngawen sangat bergantung pada sesajen yang dipersembahkan sebelum dan selama pertunjukan. Sesajen ini adalah bentuk penghormatan dan perjanjian damai dengan entitas spiritual yang akan dipanggil.
Sesajen tidak boleh dipersembahkan secara asal-asalan. Peletakan dan urutan persembahannya diatur oleh Warok berdasarkan ilmu titen (pengetahuan turun-temurun). Di Ngawen, sesajen seringkali ditempatkan di persimpangan jalan atau di bawah pohon besar yang dianggap keramat, tempat roh-roh diyakini berkumpul. Ritual ini menggarisbawahi fungsi Barongan Ngawen sebagai ritual pengobatan sosial dan spiritual, jauh melampaui sekadar hiburan pentas.
Seluruh struktur Barongan Ngawen, dari kostum, musik, gerak, hingga ritualnya, adalah teks budaya yang menceritakan kegigihan masyarakat Jawa Tengah dalam mempertahankan akar spiritual mereka di tengah derasnya arus perubahan. Ini adalah warisan yang hidup, bergerak, dan bernapas dengan energi dari bumi Ngawen.