Visualisasi topeng Barongan, simbol energi liar dan kekuatan purba.
Di jantung kebudayaan Jawa Timur, khususnya di kawasan eks-Karesidenan Kedu dan Mataraman, Barongan bukanlah sekadar pertunjukan seni. Ia adalah ritual, penghubung dengan dunia non-materi, sebuah panggung tempat batasan antara manusia dan alam liar menjadi sangat tipis. Namun, di balik riuhnya gamelan dan gerak tari yang memukau, tersimpan sebuah mitos kelam yang diwariskan dari mulut ke mulut—sebuah legenda yang membisikkan kengerian: kisah Barongan yang konon ‘memakan bocah’.
Frasa ini, sering kali diucapkan dengan nada gentar oleh para sesepuh, bukanlah deskripsi harfiah dari kanibalisme. Ia adalah metafora yang sarat akan makna spiritual dan peringatan keras terhadap kekuatan yang tak terkontrol, energi purba yang dilepaskan ketika sang penari memasuki ambang batas kesadaran yang disebut *kesurupan* atau kerasukan. Memahami legenda ini berarti menyelami kedalaman psikologi kolektif masyarakat Jawa, yang melihat Barongan sebagai manifestasi paling murni dari kekuatan alam yang brutal dan agung sekaligus.
Legenda Barongan pemangsa muncul sebagai antitesis terhadap fungsi utama tarian ini: penyucian dan penolak bala. Ketika ritual penyucian gagal atau energi spiritual yang dipanggil terlalu besar, ia tidak hanya menolak bala, tetapi justru menjadi bala itu sendiri. ‘Memakan bocah’ merujuk pada beberapa interpretasi: penyerapan jiwa yang polos, manifestasi nafsu predator yang tak terpuaskan, atau bahkan tindakan spiritual di mana sang Barongan mengambil korban sebagai tumbal simbolis untuk memuaskan entitas yang merasukinya.
Anatomi Kegelapan: Kesurupan dan Transformasi Diri
Inti dari kengerian Barongan terletak pada fenomena *kesurupan*. Ini adalah momen puncak pertunjukan, di mana penari, yang telah melalui serangkaian ritual puasa dan meditasi, melepaskan kendali atas dirinya sendiri, membiarkan roh atau energi yang diyakini berdiam dalam topeng (dhanyang atau roh leluhur) untuk mengambil alih raga. Transformasi ini mengubah gerak tari menjadi amukan yang sporadis, tak terduga, dan sering kali membahayakan.
Tahap-Tahap Merasuknya Amukan Purba
Proses kerasukan Barongan dijelaskan secara rinci dalam tradisi lisan. Ini dimulai dengan tatapan mata kosong sang penari, diikuti oleh kejang-kejang ringan, dan akhirnya, raungan yang bukan lagi suara manusia. Suara ini adalah tiruan sempurna dari auman singa atau harimau, sebuah resonansi yang membelah udara, menandakan bahwa sang *pemilik* Barongan telah mengambil alih panggung.
Ketika kesurupan mencapai klimaksnya, energi yang dimanifestasikan seringkali bersifat merusak. Inilah mengapa dalam pertunjukan Barongan tradisional, selalu ada pawang atau pengendali spiritual (*dukun* atau *pembekel*) yang bertugas menjaga batasan antara panggung dan penonton. Kehadiran pawang adalah lapisan perlindungan terakhir, sebuah pagar gaib yang mencegah energi liar Barongan menyebar dan mencari wadah baru, atau lebih buruk lagi, mencari mangsa.
Pada titik inilah legenda ‘pemangsa bocah’ mulai terbentuk. Anak-anak, dalam kosmologi Jawa, dianggap memiliki aura yang paling bersih dan rentan. Mereka adalah *wadah* yang belum tercemar oleh keduniawian. Dalam kondisi kerasukan ekstrem, energi Barongan, yang haus akan kekuatan atau pemuasan, diyakini secara naluriah tertarik pada energi polos ini. Jika batas spiritual dilanggar—misalnya jika seorang bocah terlalu dekat saat Barongan sedang mengamuk—maka terjadi penyerapan atau 'pemangsaan' yang sifatnya non-fisik.
"Bukanlah gigi singa yang mengoyak daging, melainkan jiwa liar yang haus akan kemurnian, mencari wadah paling terang untuk memadamkan apinya sendiri. Barongan memakan bocah karena Barongan haus akan keutuhan jiwa, bukan karena ia lapar."
Mitos Lisan dan Kisah-Kisah di Sudut Desa
Untuk memahami kedalaman ketakutan ini, kita harus melihat kisah-kisah yang beredar di desa-desa yang masih memegang teguh tradisi Barongan, jauh dari hiruk pikuk kota. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai sistem kontrol sosial dan pengingat akan bahaya bermain-main dengan energi spiritual yang terlalu kuat.
Kasus Suminten: Hilangnya Kehendak Diri
Salah satu narasi paling umum adalah mengenai ‘hilangnya kehendak diri’. Di sebuah desa di lereng Gunung Wilis, diceritakan tentang seorang gadis kecil bernama Suminten yang menyaksikan pertunjukan Barongan di malam hari. Karena terpesona oleh gerakan dan musik, ia melangkah maju, melewati batas yang ditentukan pawang. Ketika Barongan yang sedang kerasukan menatapnya, Suminten tidak lari. Sejak malam itu, Suminten tidak pernah lagi sama. Ia menjadi pendiam, matanya kosong, dan ia seringkali meniru gerakan Barongan secara tiba-tiba di tengah malam.
Para tetua mengatakan, Barongan tidak membunuh Suminten secara fisik, tetapi ia telah ‘memakan’ kehendak dan keceriaan bocah itu. Keutuhan jiwanya telah diserap oleh entitas dalam topeng, meninggalkan tubuh fisik yang hampa. Kisah ini mengajarkan bahwa ‘pemangsaan’ Barongan adalah pencurian esensi hidup, sebuah penyerapan energi vital yang menyebabkan kelesuan spiritual permanen pada korban anak-anak.
Legenda Sang Tumbal Mendadak
Versi yang lebih mengerikan berfokus pada kejadian fisik yang tak terduga. Dalam beberapa ritual yang sangat tua dan jarang dilakukan, Barongan diyakini menuntut tumbal agar kesaktian topeng tersebut tetap terjaga. Meskipun tumbal yang diberikan biasanya adalah sesajen berupa hewan atau hasil bumi, ada kalanya, jika ritual persiapan tidak sempurna atau jika ada kesalahan dalam pemanggilan roh, roh tersebut bisa memilih ‘tumbal mendadak’.
Pada saat amukan Barongan mencapai puncaknya, sang penari yang tidak sadar bisa saja secara instingtif mengejar dan menggigit (bukan mengunyah, melainkan melukai secara ritual) apa pun yang ada di dekatnya. Jika itu adalah anak kecil yang kebetulan berada di jalur amukannya, luka yang ditimbulkan, meskipun dangkal, dianggap sebagai tanda bahwa bocah itu telah ‘dijadikan milik’ oleh entitas Barongan. Kejadian seperti ini, meskipun sangat langka, memperkuat mitos bahwa Barongan mencari korban termuda untuk menjaga kekuatan spiritualnya.
Simbolisme ‘Memangsa’ dalam Kosmologi Jawa
Untuk melampaui ketakutan literal, kita harus menafsirkan tindakan ‘memakan’ ini sebagai simbol spiritual yang kompleks, berakar pada konsep keseimbangan kosmik dan energi dualitas dalam kebudayaan Jawa.
1. Penyerapan Kekuatan Alam Liar
Barongan adalah representasi dari alam liar (hutan, singa, energi tak terstruktur) yang bertentangan dengan peradaban manusia (desa, ketertiban). Tindakan ‘memangsa bocah’ menyimbolkan kemenangan sementara alam liar atas ketertiban dan kemurnian. Ini adalah momen pengakuan bahwa kekuatan hutan tidak sepenuhnya bisa dijinakkan; ia akan selalu menuntut haknya, meskipun itu berupa penyerapan keutuhan spiritual anak manusia.
2. Pengembalian Energi ke Sumbernya
Bocah, sebagai simbol potensi dan masa depan, memiliki energi murni yang luar biasa. Ketika Barongan ‘memakan’ energi ini, itu bisa ditafsirkan sebagai pengembalian energi potensial ke sumber purba, ke alam gaib yang memberi kehidupan dan juga mengambilnya. Dalam konteks ini, bocah tersebut bukan mati, melainkan diangkat atau diubah status spiritualnya—sebuah bentuk pengorbanan non-fisik untuk memastikan kelangsungan entitas Barongan itu sendiri.
3. Peringatan Moral akan Keangkuhan
Mitos ini juga berfungsi sebagai peringatan moral bagi masyarakat. Ketika suatu komunitas menjadi terlalu angkuh, melupakan tradisi, atau meremehkan kekuatan spiritual di balik topeng, maka ‘pemangsaan’ ini terjadi. Bocah yang menjadi korban sering kali dilihat sebagai konsekuensi kolektif atas kelalaian ritual dan kurangnya penghormatan terhadap dhanyang (roh penjaga) Barongan. Mereka adalah cerminan dari kegagalan masyarakat dalam menjaga harmoni dengan alam gaib.
Peran Pawang dan Perlindungan Ritual
Mengingat bahaya yang melekat, setiap pertunjukan Barongan yang dihormati selalu didampingi oleh seorang pawang yang mahir. Pawang (atau dalam beberapa daerah disebut *Juru Kunci*) adalah figur sentral yang menjembatani dunia manusia dan entitas Barongan.
Tugas utama pawang adalah bukan hanya mengendalikan Barongan agar tidak melukai diri sendiri atau orang lain, melainkan juga memastikan agar roh yang merasuk tidak berlama-lama mengambil alih tubuh penari. Mereka menggunakan mantra, jimat, dan wewangian tertentu untuk ‘mendinginkan’ energi panas Barongan.
Ritual Penjagaan Bocah
Secara khusus, untuk melindungi anak-anak dari risiko ‘pemangsaan’ spiritual, pawang seringkali melakukan ritual perlindungan di awal pertunjukan. Ini dapat berupa penaburan beras kuning di sekeliling area pertunjukan, atau penempatan sesajen di sudut-sudut panggung untuk mengalihkan perhatian roh-roh yang haus. Anak-anak juga sering diwanti-wanti untuk tidak menatap langsung ke mata Barongan saat ia sedang dalam kondisi kesurupan, karena mata dianggap sebagai gerbang spiritual yang paling mudah ditembus.
Kisah-kisah horor ini pada dasarnya adalah instruksi spiritual yang disamarkan. Jika Barongan yang merasuk dibiarkan lepas kendali, tanpa ada pawang yang kuat, maka kekacauan yang terjadi bukanlah sekadar kerusakan panggung, melainkan hilangnya nyawa spiritual yang diwakili oleh bocah-bocah penonton.
Manifestasi Fisik Kerasukan Barongan yang Mengerikan
Meskipun ‘pemangsaan bocah’ seringkali bersifat simbolis, manifestasi fisik dari kesurupan Barongan dapat menjadi sangat menakutkan, yang secara langsung memicu lahirnya mitos-mitos tersebut.
Kekuatan Superhuman dan Kebutuhan Akan Darah
Ketika Barongan kerasukan, penari yang biasanya berbadan kecil bisa tiba-tiba menunjukkan kekuatan yang jauh melebihi batas manusia normal. Mereka mampu mengangkat beban berat, menahan tusukan benda tajam (demonstrasi kekebalan), dan melakukan lompatan akrobatik yang berbahaya. Energi ini sangat besar, dan membutuhkan 'pelampiasan' yang mendesak.
Dalam beberapa kasus kerasukan yang paling ekstrem, Barongan dilaporkan menunjukkan kebutuhan aneh untuk melahap atau menggigit benda-benda mentah, seperti ayam hidup, atau bahkan meminum darah binatang yang telah disembelih sebagai sesajen. Tindakan ini, yang dikenal sebagai *ngamuk getih* (amukan darah), sangat mirip dengan perilaku predator buas. Ketika perilaku ini terjadi dekat dengan kerumunan anak-anak, imajinasi kolektif dengan mudah menafsirkannya sebagai ancaman langsung, bahwa sang Barongan siap ‘memangsa’ makhluk terdekat, yaitu bocah.
Peristiwa-peristiwa langka di mana penari yang kerasukan tanpa sengaja menggigit penonton yang terlalu dekat, meskipun kemudian segera dihentikan oleh pawang, menjadi inti dari semua cerita seram. Rasa sakit yang ditimbulkan bukan hanya fisik; luka yang ditinggalkan diyakini membawa semacam kutukan atau ikatan spiritual dengan entitas Barongan, memperkuat klaim bahwa korban telah ‘dicicipi’.
Amukan Dalam Ruang Tertutup
Bahaya Barongan semakin meningkat jika pertunjukan diadakan di ruang tertutup atau area yang terlalu padat. Energi yang dilepaskan tidak memiliki tempat untuk mengalir keluar. Dalam kondisi tertekan, Barongan yang kerasukan akan mencari jalan keluar bagi amukannya, dan dalam kondisi ini, anak-anak yang berdesakan sering menjadi sasaran energi yang terarah. Ini bukan agresi yang disengaja, melainkan reaksi primal dari makhluk yang terperangkap dan sedang mencari ruang bebas untuk bermanifestasi.
Warisan Ketakutan dan Etika Pertunjukan
Mitos ‘Barongan makan bocah’ telah meninggalkan warisan yang mendalam pada etika pertunjukan Barongan di seluruh wilayah Jawa. Ada aturan-aturan tak tertulis yang harus ditaati demi keamanan spiritual dan fisik.
1. Larangan Mendekati Panggung Barongan
Di banyak desa, anak-anak dilarang mutlak untuk mendekati area panggung Barongan ketika gamelan sudah mulai berdentum keras, terutama saat instrumen *kendang* (gendang) dimainkan dengan tempo cepat, yang menandakan mendekatnya fase kerasukan. Jarak aman yang harus dipertahankan seringkali lebih jauh daripada tarian lain, sebuah pengakuan implisit terhadap potensi bahaya yang ditimbulkan oleh energi Barongan yang tak terduga.
2. Pentingnya Keikhlasan dan Niat Suci
Persiapan spiritual sang penari sangat ditekankan. Penari harus menjalankan puasa dan ritual dengan niat yang murni (*ikhlas*) agar roh yang datang adalah roh pelindung (*dhanyang* yang baik), bukan roh pengganggu atau pemangsa (*lelembut* atau *jin* jahat). Jika penari memiliki niat yang kotor, atau melakukan ritual hanya untuk kesombongan, maka roh yang dipanggil akan memiliki sifat yang serupa—agresif dan cenderung mencari korban.
Dalam konteks ini, ketika Barongan ‘memakan bocah’, itu seringkali dilihat sebagai hukuman bagi sang penari dan bukan hanya bagi si anak. Itu menunjukkan bahwa penari gagal menguasai dirinya sebelum topeng menguasainya, dan kini kekuatan yang ia panggil telah berbalik menuntut korban.
Perbandingan dengan Mitos Kerasukan Lain
Mitos Barongan tidak berdiri sendiri. Ia memiliki kemiripan dengan berbagai kisah kerasukan dalam tradisi Jawa dan Bali (misalnya Reog Ponorogo atau Leak), namun Barongan memiliki intensitas predator yang unik.
Barongan vs. Reog Singo Barong
Meskipun Barongan sering dikaitkan dengan Singo Barong dalam Reog Ponorogo, ada perbedaan signifikan dalam fokus mitosnya. Singo Barong lebih menekankan pada kekuatan politik dan pertarungan antar kerajaan, di mana topengnya melambangkan kegagahan dan ambisi. Sementara Reog juga mengenal kerasukan, fokus horornya tidak selalu terletak pada ‘pemangsaan bocah’, melainkan pada demonstrasi kekebalan tubuh yang ekstrem (seperti memakan pecahan kaca atau menelan bara api).
Barongan, khususnya dalam tradisi Jawa Timur pedalaman, memiliki koneksi yang lebih erat dengan roh-roh hutan (dhanyang alas) dan leluhur setempat, menjadikannya lebih primal dan kurang terstruktur dibandingkan Reog. Oleh karena itu, agresivitasnya lebih bersifat naluriah dan kurang terkendali, yang memicu narasi ‘pemangsa’.
Psikologi Ketakutan Kolektif
Mengapa masyarakat begitu memegang teguh mitos ini, bahkan ketika insiden fisiknya sangat jarang? Jawaban terletak pada psikologi ketakutan kolektif dan kebutuhan untuk menamai ancaman yang tak terlihat.
Barongan, sebagai simbol kekuatan yang tidak rasional (roh), mewakili semua hal yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia: penyakit, bencana alam, atau kegilaan. Dengan menciptakan narasi bahwa Barongan ‘memangsa bocah’, masyarakat menciptakan sebuah narasi yang dapat diatasi—jika kita mematuhi aturan, menjaga jarak, dan menghormati ritual, kita bisa melindungi anak-anak kita dari kekacauan spiritual.
Ketakutan ini adalah katarsis. Ia memungkinkan masyarakat untuk menghadapi kegelapan dalam jiwa manusia yang bisa muncul ketika kendali diri hilang. Anak-anak menjadi lambang kemurnian yang harus dijaga dari ancaman kekuatan liar, baik yang berasal dari dunia gaib maupun dari naluri primitif yang tersembunyi di dalam diri setiap penari.
Penafsiran Modern: Hilangnya Batasan
Di era modern, di mana pertunjukan Barongan semakin sering digelar sebagai hiburan semata daripada ritual spiritual, bahaya ‘pemangsaan’ mengambil bentuk baru. Hilangnya tradisi dan minimnya persiapan spiritual oleh para penari muda justru bisa menjadi sumber masalah yang lebih besar.
Ketika penari Barongan tidak memiliki pengetahuan ritual yang memadai atau tidak didampingi oleh pawang yang mumpuni, mereka rentan terhadap kerasukan yang tidak murni. Mereka mungkin tidak merasuki roh leluhur yang bijaksana, melainkan energi negatif yang kebetulan lewat. Dalam kondisi ini, amukan menjadi murni kekerasan, tanpa tujuan ritual, dan tindakan berbahaya yang dilakukan oleh Barongan menjadi ancaman nyata yang tidak lagi hanya bersifat simbolis.
Barongan yang menabrak penonton, atau yang menunjukkan agresivitas tidak beralasan terhadap anak kecil, dalam penafsiran modern, adalah bukti dari gagalnya etika tradisi. Barongan ‘memakan bocah’ hari ini berarti tradisi spiritual telah dikorupsi dan kekuatan purba dilepaskan tanpa ada pagar pembatas. Hilangnya hormat terhadap ritual sama saja dengan mengundang kekacauan, dan yang paling menderita dari kekacauan ini adalah yang paling polos dan rentan.
Dampak Jangka Panjang Terhadap Korban Spiritual
Bagi mereka yang pernah menjadi korban kontak spiritual yang buruk dengan Barongan, dampak jangka panjangnya bisa berupa trauma psikologis dan spiritual. Dalam tradisi, korban ‘pemangsaan’ Barongan sering kali membutuhkan ritual penyembuhan yang kompleks, yang melibatkan pemanggilan kembali roh atau *sukma* yang diyakini telah dicuri.
Ritual ini sering dilakukan dengan media air suci, bunga tujuh rupa, dan mantra penetral. Tujuannya adalah untuk memutuskan ikatan spiritual yang tercipta antara jiwa bocah dan entitas Barongan. Jika tidak disembuhkan, diyakini bahwa korban akan terus diikuti oleh energi liar tersebut, menyebabkan mimpi buruk, kesulitan belajar, atau bahkan penyakit yang tidak dapat dijelaskan secara medis.
Kisah-kisah tentang bocah yang menjadi kurban ini berfungsi ganda: sebagai kisah horor yang menghibur dan menakutkan, sekaligus sebagai panduan praktis tentang bagaimana menghadapi kekuatan spiritual yang tidak terlihat. Mitos ‘pemangsaan’ adalah peringatan: jangan pernah meremehkan apa yang ada di balik topeng berwajah singa itu.
Kesimpulannya, legenda Barongan yang ‘memakan bocah’ bukanlah tentang kekejaman fisik, melainkan tentang batas-batas energi spiritual. Ia adalah pengingat abadi bahwa alam semesta memiliki kekuatan yang agung sekaligus mengerikan, dan bahwa setiap kali manusia berusaha memanfaatkan kekuatan tersebut melalui ritual, mereka harus siap menghadapi konsekuensi terburuk: kehilangan kendali, kekacauan, dan penyerapan murni terhadap kepolosan yang paling dijaga, yang diwakili oleh jiwa seorang anak kecil.
Misteri Barongan akan terus hidup, bukan hanya dalam gerak tari yang mempesona, tetapi dalam bisikan ketakutan yang menjalar di malam hari, mengingatkan setiap orang tua untuk menjaga anak-anak mereka agar tetap berada di luar jangkauan auman singa purba yang haus akan energi murni.
Barongan, dengan segala kemegahan dan kengeriannya, tetap menjadi penjaga tradisi yang menuntut penghormatan absolut. Jika penghormatan itu hilang, maka mitos ‘pemangsa jiwa’ akan menjadi kenyataan, berulang kali, dalam bentuk amukan yang tidak terkendali, mencuri keriangan dan sukma anak-anak yang hanya ingin menyaksikan keajaiban sebuah tarian. Inilah tragedi abadi di balik topeng singa yang menari.
Kepercayaan bahwa Barongan bisa memilih korban termudanya untuk dijadikan tumbal spiritual atau wadah sementara bagi energi yang meluap telah membentuk landasan bagi banyak pantangan dan larangan dalam tradisi pertunjukan. Para penari yang memegang topeng Barongan tidak hanya dituntut memiliki keahlian fisik yang mumpuni, tetapi juga kematangan spiritual yang kokoh. Tanpa pondasi spiritual yang kuat, mereka hanya akan menjadi boneka bagi entitas yang lebih dominan, meningkatkan risiko Barongan melepaskan amarahnya secara destruktif.
Dalam konteks ritual penyembuhan, Barongan seringkali dipanggil untuk mengusir roh jahat (ruwatan). Ironisnya, roh yang dipanggil untuk mengusir bala haruslah roh yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar. Kekuatan ini, bila tidak dihormati dengan benar, dapat berbalik arah dan mengincar kelemahan yang ada di sekitar, dan kelemahan terbesar seringkali adalah kepolosan bocah. Oleh karena itu, persiapan ritual tidak hanya berfokus pada topeng dan penari, tetapi juga pada area pertunjukan secara keseluruhan, menjadikannya zona aman secara spiritual.
Penggambaran 'memangsa' juga dapat dikaitkan dengan tradisi mistis Jawa tentang 'Ngrogoh Sukmo', di mana entitas gaib mencabut atau menarik jiwa seseorang keluar dari raganya tanpa menyebabkan kematian fisik instan. Anak-anak, dengan pertahanan spiritual yang minim, adalah sasaran ideal untuk proses Ngrogoh Sukmo ini oleh entitas yang sangat kuat dan kejam. Barongan yang kerasukan diyakini mampu melakukan tindakan ini melalui tatapan mata yang membara atau melalui auman yang mengandung energi magis tertentu, sebuah 'pemangsaan' yang tak meninggalkan bekas gigitan, hanya menyisakan kekosongan jiwa.
Legenda ini juga berperan dalam menjaga kerahasiaan dan kekhususan Barongan. Di masa lalu, tidak semua orang diizinkan menonton Barongan, terutama anak-anak kecil dan wanita hamil, kecuali mereka telah melalui ritual perlindungan tertentu. Larangan ini bukan hanya soal etiket, tetapi sebuah upaya nyata untuk meminimalkan paparan terhadap energi Barongan yang tidak stabil. Bagi masyarakat tradisional, menantang larangan ini sama saja dengan secara sukarela mempersembahkan diri atau, dalam konteks legenda, 'membiarkan bocah dimakan'.
Perluasan narasi tentang Barongan juga mencakup hubungan antara topeng dan sang *dhanyang* penjaga daerah. Setiap Barongan yang dianggap memiliki kekuatan mistis pasti terikat pada dhanyang tertentu. Jika dhanyang tersebut bersifat jahat atau menuntut persembahan berkala, kegagalan dalam memberikan sesajen yang tepat dapat mengakibatkan dhanyang tersebut marah, dan amarahnya dimanifestasikan melalui Barongan. Dalam skenario ini, Barongan yang 'memangsa bocah' adalah alat pembalasan dhanyang terhadap komunitas yang lalai, sebuah tindakan yang bertujuan untuk mengingatkan bahwa kekuatan alam gaib tidak boleh dilupakan atau diremehkan.
Kisah-kisah mengerikan ini kemudian diabadikan dalam bentuk tembang atau lagu daerah, yang dinyanyikan para ibu untuk menidurkan anak-anak mereka—ironisnya, sebuah lagu pengantar tidur yang berisi peringatan untuk menjauhi pertunjukan di malam hari. Tembang tersebut, yang seringkali menggunakan lirik metaforis tentang 'singa yang mencari makanan di desa', memperkuat mitos tersebut dalam kesadaran kolektif generasi yang lebih muda, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari lanskap budaya dan spiritualitas lokal.
Dalam analisis yang lebih mendalam, Barongan mewakili siklus kehidupan dan kematian. Barongan yang mengamuk adalah simbol kematian yang datang tiba-tiba, yang tidak pandang bulu, yang dapat mengambil siapa saja, terutama yang paling tidak siap. Bocah, dalam kefanaannya, mengingatkan kita akan kerapuhan hidup. Dengan menjadikan anak sebagai target 'pemangsaan', mitos ini secara brutal namun efektif menyampaikan pesan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal terhadap kuasa alam dan spiritual.
Oleh karena itu, ketika Barongan muncul di panggung, ia membawa serta bukan hanya hiburan, tetapi juga memori kolektif akan potensi tragedi. Setiap auman, setiap hentakan kaki, adalah pengulangan kembali kisah purba tentang sang predator mistis yang selalu mengintai, menanti saat yang tepat untuk mengambil bagian dari jiwa manusia. Inilah sebabnya mengapa seniman Barongan yang sejati tidak pernah melihat topeng mereka hanya sebagai properti; mereka melihatnya sebagai entitas hidup yang perlu dijaga, diberi makan (sesajen), dan, yang terpenting, dikendalikan agar amukannya tidak beralih dari tarian spiritual menjadi tragedi nyata yang mengorbankan kepolosan.
Masyarakat yang menghormati tradisi Barongan tahu bahwa topeng itu adalah pedang bermata dua: kekuatan pelindung dan ancaman pemusnah. Keseimbangan ini dijaga dengan ritual yang ketat, dan ketakutan akan 'pemangsaan bocah' adalah harga spiritual yang harus dibayar oleh komunitas untuk dapat menggunakan energi purba Barongan demi kebaikan dan keselamatan mereka sendiri.
Pada akhirnya, narasi Barongan yang memakan bocah adalah sebuah kisah tentang tanggung jawab spiritual. Tanggung jawab pawang untuk mengendalikan roh, tanggung jawab penonton untuk menjaga jarak hormat, dan tanggung jawab komunitas untuk memastikan bahwa kekuatan yang mereka panggil adalah kekuatan yang dapat mereka kuasai. Tanpa tanggung jawab ini, sang Singa Hutan akan selalu menuntut haknya, dan bocah-bocah polos akan selamanya menjadi simbol dari jiwa-jiwa yang hilang dalam amukan purba.
Legenda ini terus berkembang, namun intinya tetap sama: Barongan adalah cermin dari sisi gelap spiritualitas Jawa, sebuah pengingat bahwa di balik tawa dan kemeriahan, ada kekuatan yang begitu besar dan mendalam sehingga memerlukan pengorbanan non-fisik—simbolis ataupun nyata—untuk dipuaskan, menjadikan Barongan sebagai salah satu tarian yang paling dihormati sekaligus paling ditakuti dalam warisan budaya Indonesia.
Terkadang, 'pemangsaan' tersebut tidak terjadi di tengah kerumunan, tetapi melalui mimpi. Diceritakan bahwa Barongan dapat masuk ke dalam mimpi anak-anak yang memiliki bakat spiritual atau yang terlalu penasaran. Dalam mimpi itu, Barongan akan 'mencicipi' energi mereka, meninggalkan anak tersebut dalam keadaan kelelahan kronis atau ketakutan yang mendalam setelah bangun. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuatan Barongan melampaui batas fisik panggung, memasuki ranah psikis dan sub-sadar, membuktikan bahwa ancamannya bersifat menyeluruh.
Tradisi Barongan juga mengajarkan tentang pentingnya warisan darah dalam seni ini. Seringkali, hanya mereka yang memiliki garis keturunan spiritual yang terkait dengan Barongan yang diizinkan untuk menjadi penarinya. Hal ini diyakini sebagai cara untuk memastikan bahwa roh yang merasuk adalah leluhur yang dikenal dan dihormati, yang memiliki ikatan darah dengan penari. Jika seorang 'orang luar' yang tidak memiliki ikatan darah mencoba menari Barongan sakral, risiko kerasukan oleh roh liar dan pemangsa akan meningkat secara eksponensial, karena roh tersebut tidak memiliki kewajiban untuk melindungi penari tersebut, apalagi penonton di sekitarnya.
Pengendalian diri penari, bahkan saat kerasukan, menjadi kunci keselamatan. Pawang tidak hanya bertugas mengeluarkan roh, tetapi juga melatih penari agar di alam bawah sadar sekalipun, ada sisa-sisa kendali yang mencegah tindakan-tindakan destruktif, seperti menyerang penonton atau, sesuai mitos, 'memangsa' bocah. Pelatihan ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, melibatkan meditasi mendalam dan isolasi, sebagai upaya untuk memperkuat 'pagar' batin sang penari.
Filosofi di balik mitos ini adalah dualitas tak terhindarkan. Barongan, sebagai lambang singa, adalah raja hutan—pelindung dan sekaligus predator. Ia melindungi desa dari roh jahat lain, tetapi ia juga berhak menuntut 'pajak' dari desa itu sendiri, dan pajak itu bisa saja berupa jiwa. Inilah perjanjian kuno yang melahirkan Barongan; ia melayani manusia, tetapi ia tidak sepenuhnya tunduk pada hukum manusia. Ia adalah entitas yang hidup di ambang batas antara kultural dan primal.
Kehadiran anak-anak di sekitar panggung Barongan selalu menjadi titik fokus perhatian. Setiap orang dewasa di komunitas merasa bertanggung jawab untuk menjaga anak-anak agar tetap berada dalam perlindungan. Ini menciptakan atmosfer ketegangan yang unik selama pertunjukan: kekaguman terhadap seni yang ditampilkan bercampur dengan kewaspadaan yang konstan terhadap potensi bahaya yang sewaktu-waktu bisa lepas kendali. Ketegangan inilah yang memberi Barongan aura mistis yang tak tertandingi.
Mitos Barongan makan bocah, dengan demikian, adalah sebuah narasi yang mengikat komunitas dalam kesadaran spiritual kolektif. Ia memaksa mereka untuk menghargai keseimbangan rapuh antara dunia yang terlihat dan yang tidak terlihat, antara tawa dan teror. Dan selama topeng singa itu masih menari, legenda tentang pemangsa jiwa yang haus akan kemurnian akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi budaya Jawa.
Tindakan simbolis ini juga menjelaskan mengapa Barongan tradisional seringkali memiliki sesajen yang sangat detail dan spesifik, termasuk makanan kesukaan roh yang merasuk. Sesajen ini dilihat sebagai 'makanan' yang ditujukan kepada Barongan agar ia tidak perlu mencari 'makanan' di antara kerumunan penonton. Kegagalan untuk memenuhi tuntutan sesajen diyakini menjadi pemicu utama Barongan beralih fungsi dari pelindung menjadi predator. Dalam pandangan ini, bocah yang menjadi korban adalah pengganti dari sesajen yang kurang, sebuah pengorbanan tak terduga yang harus diterima.
Akhir kata, Barongan tidak hanya menawarkan tontonan, tetapi juga pelajaran abadi tentang batasan manusia saat berhadapan dengan kekuatan kosmik. Kisah 'pemangsaan bocah' adalah pagar spiritual yang melindungi kita dari kekacauan, menjamin bahwa tarian antara manusia dan alam gaib tetap terkontrol, meskipun selalu diwarnai oleh resonansi ketakutan purba.