I. PENGANTAR MENUJU MAKNA 'MAKAN' DALAM TRADISI BARONGAN
Tradisi Barongan, sebagai salah satu warisan seni pertunjukan Jawa yang paling energetik dan mistis, tidak hanya menampilkan tarian topeng singa yang garang dan gerakan akrobatik yang memukau. Di balik hiruk pikuk gamelan dan jubah yang berkilauan, tersembunyi sebuah jantung spiritual yang sangat penting: ritual 'makan' atau penyajian sesaji. Konsep 'makan' dalam konteks Barongan melampaui kebutuhan biologis; ia adalah sebuah prosesi sakral, jembatan antara dunia manusia dan dimensi spiritual para penunggu, roh pelindung, serta energi yang menghidupkan topeng.
Bagi masyarakat Jawa, khususnya komunitas yang memelihara kesenian ini, Barongan adalah entitas hidup. Topeng bukan sekadar kayu ukiran, melainkan wadah bagi kekuatan yang disebut ‘Danyang’ atau ‘Jaranan’. Agar entitas ini berkenan hadir, memberikan restu, dan menampilkan kekuatannya yang luar biasa—termasuk atraksi ‘ndadi’ (trance)—maka harus dipenuhi kebutuhan spiritualnya. Kebutuhan inilah yang diwujudkan melalui sajian. Dengan demikian, ritual barongan makan adalah kunci untuk membuka energi pertunjukan, menjaga keselamatan para pemain, dan memastikan kelancaran upacara secara keseluruhan.
Ritual sajian ini adalah manifestasi dari keyakinan kosmologis Jawa kuno yang menjunjung tinggi keseimbangan alam semesta (manunggaling kawula lan Gusti). Setiap elemen makanan yang disajikan, dari nasi tumpeng yang menjulang hingga jajan pasar yang berwarna-warni, membawa simbolisme yang mendalam, mencerminkan harmoni antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam gaib). Memahami sajian Barongan berarti menyelami akar sejarah, filosofi, dan spiritualitas Jawa yang tiada habisnya.
II. FILOSOFI SAJIAN: KESEIMBANGAN KOSMIS DAN ENERGI SPIRITUAL
Sajian dalam tradisi Barongan, yang sering disebut sebagai ubo rampe atau sajen, bukanlah sekadar persembahan. Ia adalah komunikasi, sebuah kontrak spiritual yang harus dipenuhi. Filosofi dasarnya terletak pada konsep pamong, yaitu merawat dan menghormati kekuatan gaib yang diyakini bersemayam dalam Barongan.
Pentingnya Kekuatan 'Danyang'
Topeng Barongan seringkali diyakini dirasuki oleh roh penjaga tempat atau leluhur pendiri kelompok. Roh-roh ini, yang dikenal sebagai Danyang, memerlukan ‘makanan’ energi. Sajian berfungsi sebagai medium transfer energi positif dan penghormatan. Ketika sajen disajikan dan mantra diucapkan, energi makanan tersebut dikonversi menjadi energi spiritual yang kemudian 'dikonsumsi' oleh entitas di dalam Barongan, memberikan mereka kekuatan untuk merasuk dan bergerak. Tanpa ritual ini, Barongan dianggap 'lemas' atau bahkan berbahaya bagi pemain.
Trilogi Sajian: Penghormatan Tiga Dimensi
Sajian selalu mencakup komponen yang merepresentasikan tiga dimensi kehidupan Jawa:
- Dimensi Atas (Dewa/Leluhur Agung): Diwakili oleh dupa, kemenyan, dan wangi-wangian yang asapnya membubung ke langit. Ini adalah penghormatan kepada Yang Maha Kuasa dan roh leluhur yang telah mencapai kesempurnaan.
- Dimensi Tengah (Manusia/Bumi): Diwakili oleh makanan pokok seperti nasi tumpeng, lauk-pauk, dan hasil bumi, melambangkan kehidupan sehari-hari dan keberkahan.
- Dimensi Bawah (Penunggu/Bumi): Diwakili oleh sajen yang diletakkan di tanah, seperti kembang setaman, rokok, dan kopi pahit, untuk menghormati roh penunggu yang menjaga lokasi pertunjukan dan roh-roh yang belum sempurna.
Seluruh proses barongan makan ini memastikan bahwa seluruh elemen alam semesta—atas, tengah, dan bawah—telah dihormati dan diajak berpartisipasi, sehingga pertunjukan dapat berlangsung dalam harmoni sempurna, jauh dari gangguan atau musibah.
III. RAGAM SAJIAN RITUAL: SIMBOLISME WARNA DAN RASA
Ilustrasi Sajen Utama dalam Ritual Barongan: Sebuah manifestasi syukur dan kontrak spiritual.
Setiap makanan yang dipersiapkan untuk ritual barongan makan memiliki makna yang baku dan tidak bisa diubah-ubah. Persiapan harus dilakukan dengan hati yang bersih, karena energi si pembuat akan ikut terserap dalam makanan tersebut.
1. Nasi Tumpeng (Gunungan Kehidupan)
Nasi tumpeng, biasanya berwarna kuning (dari kunyit), adalah sajian terpenting. Bentuk kerucutnya melambangkan gunung Mahameru, tempat bersemayamnya para dewa, sekaligus simbol hubungan vertikal antara manusia dan Sang Pencipta. Nasi kuning melambangkan kemuliaan, kekayaan, dan rasa syukur yang berlimpah.
- Tumpeng Putih: Kadang digunakan untuk meminta kesucian dan niat yang tulus.
- Tumpeng Rogoh: Tumpeng yang di dalamnya terdapat ayam utuh (ingkung), melambangkan penyerahan diri secara total.
2. Ingkung Ayam (Penyerahan Diri)
Ayam ingkung adalah ayam utuh yang dimasak dalam posisi bersila, seolah sedang berdoa. Ingkung (dari kata ingkang) melambangkan ketaatan dan penyerahan jiwa raga. Penyajian ingkung utuh melambangkan bahwa manusia harus menyerahkan dirinya secara utuh tanpa cacat kepada Tuhan dan entitas yang dihormati. Ayam yang digunakan harus ayam jantan, yang dianggap memiliki energi kejantanan dan keberanian, selaras dengan karakter Barongan yang gagah.
3. Jajan Pasar (Rezeki dan Kemakmuran)
Jajan pasar (berbagai macam kue tradisional) melambangkan rezeki yang berasal dari berbagai arah. Warna-warni jajan pasar—merah, putih, hijau, cokelat—melambangkan ragam kehidupan dan perputaran roda nasib. Sajian ini dimaksudkan agar pertunjukan Barongan selalu mendatangkan rezeki bagi para pelakunya dan kelompoknya.
Jajan pasar wajib terdiri dari elemen dasar: beras (kekuatan), gula (kemanisan hidup), dan kelapa (manfaat dari akar hingga ujung daun). Contoh wajibnya adalah apem (memohon ampun), klepon (kebaikan yang tersembunyi), dan jadah (persatuan yang erat).
4. Bunga dan Kemenyan (Penyambutan Spiritual)
Meskipun bukan makanan fisik, bunga setaman (melati, kenanga, mawar) dan kemenyan adalah 'makanan' bagi indra spiritual. Aroma wangi yang dihasilkan berfungsi sebagai undangan bagi roh-roh untuk hadir. Asap kemenyan menjadi jalan (dalan) yang menghubungkan dimensi gaib dengan tempat ritual, membersihkan aura, dan menciptakan suasana sakral yang mendukung prosesi ndadi (trance).
5. Kopi Pahit dan Teh Manis (Dualitas Kehidupan)
Dua jenis minuman ini harus selalu disajikan berdampingan, melambangkan dualitas alam semesta (Rwa Bhineda): kebaikan dan keburukan, pahit dan manis, siang dan malam. Kopi pahit disajikan tanpa gula, sebagai simbol kesediaan menerima kepahitan hidup dan menghormati roh-roh penunggu yang sifatnya keras. Sementara teh manis melambangkan harapan akan kemanisan dan kelancaran hidup.
IV. PROSESI 'NGAWERUHAN' ATAU PENYAJIAN ENERGI KEPADA BARONGAN
Ritual inti dari barongan makan bukanlah Barongan secara fisik mengunyah makanan, melainkan prosesi Ngaweruhan atau Nyawiji, di mana energi sajen diintegrasikan ke dalam topeng dan pemain. Ritual ini dilakukan di tempat yang sunyi sebelum pertunjukan dimulai, dipimpin oleh seorang sesepuh atau pawang (dhukun Barongan).
Tahap Meditasi dan Penjagaan
Sebelum makanan disajikan, para penari inti (terutama yang memegang topeng Barongan) melakukan meditasi singkat. Mereka membersihkan diri (mandi kembang) dan mengenakan pakaian khusus. Ini adalah tahap persiapan wadah, memastikan tubuh mereka siap menerima kekuatan gaib.
Pemberian 'Cok Bakal'
Cok Bakal adalah sajian minimalis yang seringkali terdiri dari telur, pisang raja, dan rokok kretek, diletakkan tepat di depan topeng. Pawang akan membacakan mantra khusus (japa) untuk memanggil Danyang Barongan. Dalam proses ini, asap kemenyan menjadi inti, membawa pesan ritual kepada entitas. Pawang akan mengusapkan asap tersebut ke seluruh bagian topeng dan peralatan, 'memberi makan' Barongan dengan energi wewangian.
Kontak Spiritual (Nyawiji)
Setelah mantra selesai, seringkali air suci (tirta) dari sajen utama dipercikkan ke Barongan. Ini adalah momen kontak spiritual. Pemain Barongan kemudian menghirup aroma sajen dan asap kemenyan dalam-dalam. Tindakan menghirup ini secara simbolis adalah 'makan' energi sajen tersebut, yang kemudian akan memicu kondisi trance (ndadi) saat pertunjukan berlangsung. Makanan fisik di sini menjadi katalis, bukan konsumsi harfiah.
Perluasan makna 'makan' dalam konteks ini sangat esensial. Barongan 'memakan' kehormatan, 'memakan' keseriusan niat, dan 'memakan' energi murni dari bumi yang diwakili oleh sajian. Tanpa asupan spiritual ini, Barongan hanyalah properti mati, tanpa daya magis yang menjadi ciri khasnya.
Pentingnya Ketelitian Dalam Persiapan Sajian
Kesalahan dalam menyiapkan sajian—misalnya lupa menyajikan kopi pahit atau meletakkan Ingkung dengan posisi yang salah—diyakini dapat menyebabkan kemarahan Danyang. Kemarahan ini bisa bermanifestasi sebagai kegagalan pertunjukan, cedera pada pemain, atau bahkan kesurupan yang tidak terkendali. Oleh karena itu, persiapan ubo rampe ini dianggap sama pentingnya dengan latihan koreografi.
Para ibu dan sesepuh yang bertugas menyiapkan sajen harus berpuasa atau menjaga pantangan tertentu sebelum memasak. Ini adalah upaya purifikasi diri agar makanan yang dihasilkan murni dan layak dikonsumsi oleh energi luhur. Mereka percaya bahwa integritas moral dan spiritualitas si juru masak adalah bagian tak terpisahkan dari sajian yang menjadi makanan spiritual bagi Barongan.
V. BARONGAN DAN MAKAN KOMUNAL: FUNGSI SOSIAL 'SLAMETAN'
Setelah ritual spiritual selesai dan pertunjukan Barongan sukses dilaksanakan, fase kedua dari tradisi barongan makan dimulai: yakni Slametan atau Kenduri. Jika fase pertama berfokus pada makanan spiritual untuk Danyang, fase kedua adalah makanan fisik yang berfungsi mempererat tali persaudaraan dan rasa syukur.
Puncak Acara: Berkah Tumpeng
Slametan adalah ritual syukuran yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh anggota kelompok Barongan, keluarga mereka, dan masyarakat yang hadir. Makanan yang digunakan adalah makanan sajen yang sebelumnya telah didoakan. Ini adalah prosesi sakral di mana makanan diubah dari persembahan menjadi berkah.
Tumpeng yang tadinya tegak di puncak ritual, kini dipotong dan dibagikan. Memakan tumpeng yang sudah didoakan (disebut berkat) diyakini membawa keselamatan, keberkahan, dan menghilangkan segala bentuk kesialan atau bahaya yang mungkin muncul selama pertunjukan.
Pembagian Lauk Pauk: Simbol Kebersamaan
Ayam Ingkung yang tadinya utuh kini dirobek-robek (tidak dipotong dengan pisau) dan dibagikan secara merata. Setiap bagian ayam memiliki makna:
- Kepala: Diberikan kepada sesepuh atau pawang, melambangkan kepemimpinan dan kebijaksanaan.
- Sayap: Untuk penari (pemain Barongan), melambangkan ringan langkah dan kekuatan untuk bergerak.
- Kaki: Untuk pemain musik (gamelan), melambangkan pijakan yang kuat dan irama yang stabil.
Prosesi makan bersama ini menegaskan prinsip gotong royong dan kesetaraan dalam kelompok. Tidak peduli status sosial, semua duduk melingkar dan menyantap makanan yang sama, yang telah diberkati oleh roh Barongan.
Dimensi Ekonomi dari Kenduri
Tradisi Slametan ini juga menggerakkan ekonomi lokal. Semua bahan makanan, dari beras, ayam, bumbu, hingga jajan pasar, umumnya dibeli dari pasar tradisional di sekitar desa. Hal ini memastikan bahwa keberlangsungan seni Barongan secara tidak langsung menjaga perputaran ekonomi mikro masyarakat setempat. Setiap pelaksanaan kenduri Barongan adalah pesta bagi pasar, petani, dan peternak di wilayah tersebut.
Selain itu, konsep barongan makan yang meluas hingga Kenduri menunjukkan bahwa seni pertunjukan Jawa tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terikat erat dengan sistem pangan, sistem kepercayaan, dan sistem sosial yang menopang kehidupan kolektif.
VI. AKAR SEJARAH DAN EVOLUSI RITUAL SAJIAN BARONGAN
Tradisi sajian dalam Barongan bukanlah fenomena baru; ia adalah sintesis dari lapisan-lapisan budaya kuno yang berpadu di tanah Jawa. Ritual barongan makan membawa jejak sejarah yang panjang, mulai dari animisme prasejarah hingga pengaruh Hindu-Buddha dan Islam.
Jejak Animisme dan Dinamisme
Akar tertua dari sajian Barongan adalah keyakinan animisme (pemujaan roh alam) dan dinamisme (pemujaan kekuatan benda). Sebelum datangnya agama besar, masyarakat Jawa sudah mengenal konsep memberi makan roh penjaga (Danyang) dan roh leluhur agar mereka tidak mengganggu dan memberikan perlindungan. Sajian kopi, rokok, dan kembang setaman adalah peninggalan jelas dari tradisi ini, ditujukan langsung kepada roh-roh bumi.
Pengaruh Hindu-Buddha (Konsep Yadnya)
Masuknya Hindu dan Buddha memperkenalkan konsep Yadnya atau persembahan suci. Tumpeng (Gunung Mahameru) dan penggunaan beras kuning (simbol kemuliaan dan Dewa Wisnu/Brahma) adalah contoh pengaruh yang kuat. Ingkung Ayam, yang merefleksikan penyerahan utuh, juga memiliki kemiripan dengan ritual kurban yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan alam semesta.
Sinkretisme dalam Sajian
Ketika Islam masuk, tradisi ini tidak hilang, melainkan mengalami sinkretisme. Ritual penyajian sajen tetap ada, namun prosesi doa diiringi dengan pembacaan surat-surat dari Al-Qur'an (seperti Surat Yasin atau doa-doa keselamatan). Sajen kini berfungsi ganda: sebagai penghormatan kepada Danyang dan sebagai media untuk memanjatkan doa keselamatan kepada Allah SWT. Tradisi slametan pasca-pertunjukan adalah bentuk nyata dari perpaduan ini, di mana berkah spiritual dari makanan diakui dalam kerangka keyakinan Islam.
Studi Kasus Regional: Variasi Sajian
Meskipun inti sajian relatif sama, detail dari ritual barongan makan berbeda-beda di setiap daerah:
- Barongan Blora/Grobogan (Jawa Tengah): Sajian seringkali lebih menekankan pada keberadaan sesaji yang berhubungan dengan hutan dan pertanian, mengingat latar belakang geografis daerah tersebut. Kadang diperlukan daun-daunan khusus (daun pisang raja, daun sirih) yang melambangkan kekayaan alam.
- Jawa Timur (Jember/Banyuwangi): Sajian Barongan (yang sering disebut Jaranan Buto) terkadang membutuhkan sesaji yang berbau mistis laut atau Gunung, seperti air dari tujuh sumber atau kembang tujuh rupa yang dikumpulkan dari tempat-tempat keramat.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun filosofinya universal—menyeimbangkan alam—praktik ritualnya selalu kontekstual, menyesuaikan dengan roh penjaga lokal dan ekosistem di mana Barongan itu hidup dan berkembang.
VII. SAJIAN SEBAGAI PENGGERAK RODA EKONOMI MASYARAKAT
Penyelenggaraan pertunjukan Barongan dan ritual barongan makan yang menyertainya memerlukan logistik yang tidak sedikit. Kebutuhan akan bahan-bahan ritual inilah yang secara substansial berkontribusi pada ekonomi desa dan pasar tradisional.
Permintaan Tetap untuk Komoditas Ritual
Kelompok Barongan yang aktif dapat menggelar pertunjukan puluhan kali dalam setahun, terutama pada musim hajatan (pernikahan, khitanan, bersih desa). Setiap kali tampil, mereka wajib menyiapkan ubo rampe baru. Permintaan konstan ini menciptakan pasar yang stabil untuk:
- Petani Beras dan Kunyit: Untuk tumpeng kuning dan nasi uduk ritual.
- Peternak Ayam: Menyediakan ayam jantan utuh (Ingkung) yang harus memenuhi standar kriteria tertentu (tidak cacat).
- Pedagang Pasar Tradisional: Menyediakan jajan pasar, tebu, kelapa, pisang raja (jenis pisang termahal dan paling sakral), dan bumbu-bumbu ritual.
Tanpa ritual sajian ini, sebagian besar komoditas khusus yang hanya digunakan untuk upacara adat akan kehilangan daya jualnya. Jadi, seni Barongan, melalui perut spiritualnya, secara harfiah menghidupi para produsen lokal.
Spesialisasi Juru Masak Ritual
Kualitas sajian sangat menentukan keberhasilan ritual. Oleh karena itu, di banyak komunitas, muncul spesialisasi Juru Masak Ritual atau Juru Sajen. Mereka adalah individu yang memiliki keahlian memasak khas ritual (memasak tanpa mencicipi, menggunakan metode tradisional) dan juga memiliki kemampuan spiritual untuk menjaga niat murni saat proses memasak.
Juru Sajen ini mendapatkan penghasilan dari jasa mereka, memastikan bahwa pengetahuan turun-temurun tentang simbolisme makanan terus dipertahankan. Mereka adalah jembatan antara kebutuhan spiritual Barongan dan logistik dapur manusia.
Rantai Komunikasi Logistik
Ritual barongan makan juga menciptakan rantai komunikasi logistik yang rumit namun terorganisir. Mulai dari pemesanan bahan mentah, pengumpulan bunga tujuh rupa dari berbagai tempat, hingga penataan sesaji yang harus sesuai pakem (aturan adat). Koordinasi logistik ini melibatkan banyak anggota komunitas, memperkuat jaringan sosial di luar konteks pertunjukan semata.
VIII. ASPEK MISTIS DAN PANTANGAN DALAM SAJIAN MAKAN BARONGAN
Sajian Barongan tidak hanya berisikan daftar makanan yang harus ada, tetapi juga daftar makanan atau tindakan yang menjadi pantangan. Pelanggaran terhadap pantangan ini dipercaya dapat memicu energi negatif yang merusak pertunjukan.
Warna dan Rasa Pantangan
Dalam banyak tradisi Barongan, terdapat pantangan keras terhadap bahan-bahan modern atau yang dianggap asing bagi roh penjaga. Makanan cepat saji, minuman berkarbonasi, atau bahan kimia (misalnya pewarna buatan) sangat dihindari. Sajian harus murni (organik) dan diproses secara tradisional.
Selain itu, penggunaan bahan berbau amis yang berlebihan atau daging hewan tertentu (seperti babi atau anjing) adalah pantangan mutlak, karena dianggap mengotori energi luhur Danyang. Bahkan bumbu masak pun harus dipertimbangkan; rasa yang terlalu pedas atau terlalu asam seringkali dihindari demi menjaga keseimbangan rasa netral yang disukai oleh roh.
Pantangan Saat Memasak
Seperti yang telah disinggung, juru masak ritual harus menjaga pantangan fisik dan spiritual:
- Pantangan Mencicipi: Makanan ritual tidak boleh dicicipi, karena itu akan mengurangi energi persembahan. Makanan harus dimasak berdasarkan firasat dan intuisi.
- Pantangan Kata-kata Kasar: Saat memasak, tidak boleh ada ucapan kotor, umpatan, atau pertengkaran, karena energi negatif dari kata-kata tersebut akan meresap ke dalam sajen.
- Pantangan Status Tubuh: Juru masak harus dalam keadaan suci (tidak sedang haid bagi wanita, dan telah bersuci bagi pria).
Setiap makanan yang disiapkan untuk ritual barongan makan adalah sebuah manifestasi dari niat suci. Jika niat tersebut ternoda, maka efek spiritualnya pun akan berbalik menjadi petaka bagi kelompok Barongan.
Fenomena 'Makan Kembang' atau 'Makan Pecahan Kaca'
Dalam beberapa pertunjukan Barongan yang ekstrem, setelah mencapai puncak trance (ndadi), pemain Barongan seringkali menunjukkan perilaku yang terkait dengan ‘makan’ hal-hal yang tidak lazim, seperti memakan kembang setaman yang sudah disajikan, atau bahkan memakan pecahan kaca, arang, atau benda tajam lainnya. Tindakan ini bukan konsumsi fisik, melainkan demonstrasi dari kekuatan Danyang yang telah sepenuhnya merasuki raga pemain.
Ini adalah bukti visual bahwa sajen spiritual telah bekerja. Kekuatan Danyang yang telah diberi ‘makan’ melalui ritual memungkinkan tubuh manusia menjadi kebal terhadap rasa sakit. Kaca dan kembang yang 'dimakan' adalah simbol pembebasan dari keterbatasan fisik manusia biasa.
IX. MENJAGA KELANGSUNGAN TRADISI MAKAN BARONGAN DI ERA MODERN
Di tengah modernisasi dan tantangan perubahan zaman, menjaga tradisi barongan makan menjadi semakin sulit. Generasi muda sering kali mempertanyakan relevansi sesaji yang memakan biaya dan waktu. Namun, kelompok Barongan yang bertahan teguh pada keyakinan bahwa sajen adalah fondasi spiritual mereka.
Adaptasi Ritual, Bukan Penghilangan
Meskipun beberapa kelompok mungkin mengurangi jumlah atau keragaman sajian karena biaya, mereka jarang sekali berani menghilangkan elemen inti seperti Tumpeng, Ingkung, Kopi Pahit, dan Kemenyan. Mereka memahami bahwa adaptasi bisa diterima, tetapi penghilangan total adalah bunuh diri spiritual bagi entitas Barongan.
Misalnya, alih-alih menggunakan ayam ingkung utuh, beberapa kelompok mungkin menggantinya dengan kepala ayam atau bagian tertentu saja. Ini adalah kompromi logistik yang tetap menjaga simbolisme penyerahan jiwa, namun disesuaikan dengan kemampuan finansial kelompok.
Edukasi dan Pelestarian Filosofi
Salah satu cara terpenting untuk melestarikan ritual sajian adalah melalui edukasi. Para sesepuh kini semakin giat menjelaskan filosofi di balik setiap komponen makanan kepada generasi muda. Mereka menekankan bahwa makanan itu adalah 'bahasa' komunikasi dengan leluhur dan alam, bukan sekadar pemujaan benda mati.
Edukasi ini memastikan bahwa meskipun mungkin ada penyesuaian bahan, makna mendalam dari keseimbangan (Rwa Bhineda), penyerahan (Ingkung), dan syukur (Tumpeng) tetap tertanam dalam setiap pelaku Barongan. Tanpa pemahaman filosofis, ritual barongan makan akan tereduksi menjadi takhayul kosong.
Ritual Sajian sebagai Identitas Kultural
Dalam konteks global, ritual sajian ini menjadi penanda identitas yang unik. Ketika Barongan ditampilkan di panggung nasional atau internasional, ritual sajen yang mendahului pertunjukan berfungsi sebagai pengingat akan kedalaman spiritual dan akar budaya Nusantara. Sajian bukan hanya makanan; ia adalah narasi visual dari kosmologi Jawa.
X. KESIMPULAN: MAKANAN ADALAH JIWA BARONGAN
Ritual barongan makan adalah sebuah konsep holistik yang merangkum keyakinan, sejarah, dan sistem sosial masyarakat Jawa. Ia adalah ritual wajib yang melampaui sekadar tradisi; ia adalah nafas yang menghidupkan topeng kayu menjadi entitas spiritual yang memiliki kekuatan dahsyat.
Dari Tumpeng yang menjulang tinggi melambangkan syukur, Ingkung yang melambangkan penyerahan total, hingga Kopi Pahit yang merayakan dualitas hidup, setiap elemen makanan memiliki peran vital dalam menjaga kontrak spiritual dengan Danyang Barongan. Makanan ini memastikan bahwa energi negatif dihindari, sementara energi positif untuk ndadi (trance) dapat diakses dengan aman.
Lebih dari sekadar ritual individual, Slametan (Kenduri) pasca-pertunjukan menegaskan peran makanan sebagai perekat sosial dan ekonomi. Tradisi Barongan mengajarkan bahwa sebuah seni pertunjukan tidak akan utuh tanpa melibatkan perut spiritual dan perut kolektif. Selama masyarakat Jawa terus menghormati Sajen sebagai makanan bagi roh dan berkah bagi komunitas, maka gairah dan kekuatan mistis Barongan akan terus menyala, mengaum di tengah hiruk pikuk perubahan zaman.
Kekayaan detail dan kompleksitas ritual sajian ini menjadikannya salah satu warisan budaya tak benda yang paling berharga, sebuah manifestasi nyata dari pepatah Jawa: Adat diagem, urip dislametake—adat dipegang teguh, hidup diselamatkan. Barongan makan adalah esensi dari kehidupan itu sendiri.
Elaborasi Detail Filosofi Pisang Raja dan Tebu
Selain sajian utama, dua komoditas pertanian yang memiliki nilai simbolis sangat tinggi dan wajib hadir adalah Pisang Raja dan Tebu Wulung. Pisang Raja, yang merupakan salah satu jenis pisang terbaik, melambangkan harapan agar pertunjukan Barongan dapat mencapai kejayaan (Raja). Pisang disajikan dalam satu sisir utuh, melambangkan kesatuan dan keberkahan yang tak terputus. Filosofi 'makan' di sini adalah memakan keberkahan dan kemakmuran.
Sementara Tebu (Tebu Wulung/Hitam) melambangkan ‘mantap ing kalbu’ (ketetapan hati yang teguh). Tebu diletakkan di sisi-sisi sajen, seringkali masih dalam bentuk batangan utuh. Rasa manis tebu mewakili harapan akan kemudahan dan kelancaran, namun batangnya yang keras melambangkan kekuatan spiritual yang tidak mudah goyah. Tebu juga melambangkan dari kata anteb (berat/penting) yang menegaskan pentingnya ritual yang sedang dijalankan. Pemain Barongan dan pawang seringkali mengunyah sedikit tebu sebelum pertunjukan untuk mendapatkan keteguhan hati dan energi manis yang dibutuhkan saat berhadapan dengan energi gaib.
Peran Sesajian dalam Pemanggilan Spirit 'Naga Barongan'
Dalam beberapa varian Barongan, terutama yang memiliki elemen Naga (seperti pada Jaranan Buto), sajian harus diperluas untuk mencakup elemen yang disukai oleh makhluk air. Hal ini seringkali mencakup ikan, atau setidaknya air dari tujuh sumur/sungai. Konsep barongan makan tidak hanya berpusat pada singa Barongan, tetapi juga entitas pendampingnya. Jika Naga Barongan dirasuki, maka ia 'memakan' energi air dan kekayaan bumi. Sajian ini diletakkan di wadah yang menyerupai perahu kecil atau diletakkan di dekat sumber air terdekat sebagai penghormatan, menunjukkan betapa kompleksnya sistem kepercayaan yang terintegrasi dalam sajian Barongan.
Komunikasi Melalui Asap dan Doa
Ritual membakar kemenyan dan dupa sebelum ‘makan’ dimulai adalah momen komunikasi yang paling intens. Asap yang membumbung tinggi adalah alat kirim pesan (telepati spiritual) yang efektif. Pawang akan membisikkan niat tulus (niyat) dan permohonan agar para roh berkenan hadir. Niat ini seringkali berupa janji untuk selalu merawat dan memberi 'makan' Barongan. Tanpa niat dan asap yang menghubungkan bumi dan langit, sajen fisik hanyalah makanan biasa yang tidak memiliki daya magis, menekankan bahwa ritual Barongan makan adalah prosesi energi dan niat, bukan hanya konsumsi materi.