Misteri dan Keagungan Barongan Kucingan Lawas
Dalam khazanah seni pertunjukan Jawa Timur, khususnya yang berpusat pada tradisi Reog Ponorogo dan varian-varian Jathilan, terdapat satu sosok penari yang sering kali luput dari sorotan utama, namun memegang peranan vital: Barongan Kucingan. Istilah "lawas" yang disematkan kepadanya merujuk pada bentuk-bentuk asli, teknik tari yang ketat, dan filosofi mendalam yang diwariskan dari generasi ke generasi sebelum adanya modernisasi dan simplifikasi gerak.
Barongan Kucingan Lawas bukanlah sekadar penari pelengkap. Ia adalah representasi kelincahan, kecepatan, dan seringkali berfungsi sebagai penjaga spiritual atau mata-mata dalam narasi pertunjukan. Keberadaannya menghubungkan aspek dunia spiritual yang gaib dengan realitas pertunjukan yang tampak. Memahami Kucingan Lawas adalah upaya menyelami pakem (standar baku) yang hampir punah, menelusuri bagaimana kayu dan kain dihidupkan dengan roh kawicaksanan (kebijaksanaan) dan kasatriyan (kesatriaan).
Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek yang melekat pada Barongan Kucingan Lawas, mulai dari akar sejarah yang tersembunyi di balik riwayat Majapahit dan mitologi lokal, anatomi topeng yang mengandung kode-kode visual, hingga kompleksitas teknik gerak yang menuntut penguasaan olah tubuh dan batin tingkat tinggi. Kucingan Lawas adalah cerminan dari filosofi Jawa yang menghargai kecepatan tanpa gegabah, keberanian tanpa kesombongan, dan keindahan dalam kesederhanaan gerak.
Topeng Barongan Kucingan Lawas. Mengedepankan bentuk primitif, mata yang menatap tajam, dan komposisi warna yang cenderung gelap dan bersahaja.
Menelusuri Akar Sejarah dan Mitos Kucingan
Sejarah Barongan Kucingan tidak bisa dilepaskan dari sejarah kesenian Reog itu sendiri, yang diyakini berakar dari masa Kerajaan Kediri atau bahkan lebih tua, Majapahit. Namun, identitas Kucingan sebagai sosok penari lincah mulai menguat ketika kesenian Reog bertransformasi menjadi bentuk yang kita kenal sekarang, terutama di wilayah Ponorogo dan sekitarnya. Kucingan Lawas menyimpan memori kolektif akan perlawanan, strategi, dan adaptasi.
Simbolisme Fauna dalam Mitologi Jawa Kuno
Mengapa sosok kucing? Kucing, dalam tradisi Jawa kuno, bukanlah sekadar hewan peliharaan. Ia adalah simbol kelincahan tanpa suara (silent agility), kecerdasan insting, dan kemampuan bergerak di antara dua alam—nyata dan gaib. Kucing sering diasosiasikan dengan penjaga pintu atau utusan spiritual yang mampu lolos dari pengawasan musuh. Dalam konteks lawas, Kucingan dipandang sebagai perwujudan prajurit yang cekatan, bergerak cepat mendahului pasukan besar.
Kisah-kisah lisan menyebutkan bahwa Kucingan Lawas sering digambarkan sebagai pengawal atau abdi dalem yang memiliki kemampuan spionase tingkat tinggi. Ia bergerak di bawah bayangan, mengumpulkan informasi, dan kadang-kadang, mengganggu formasi musuh sebelum Warok dan Barong Singo Barong turun ke medan laga. Detail ini menjelaskan mengapa tari Kucingan selalu dipenuhi dengan gerakan melompat, berguling, dan merunduk, meniru gerak-gerik kucing yang mengintai.
Hubungan dengan Bujang Ganong dan Jathil
Dalam struktur pertunjukan Reog Lawas, Kucingan menempati posisi yang unik, berbeda dari Bujang Ganong yang lebih bersifat humoris atau Jathil yang merepresentasikan ksatria berkuda. Kucingan Lawas sering kali memiliki tata rias dan topeng yang lebih menyeramkan atau primitif dibandingkan versi modern. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa hormat sekaligus ketakutan. Ia adalah sosok yang serius, bukan penghibur semata.
Beberapa versi sejarah lokal mengaitkan Kucingan dengan tokoh-tokoh spesifik yang berperan sebagai pembuka jalan atau pengusir roh jahat sebelum pertunjukan utama dimulai. Peran ini menekankan aspek ritualistik dari Kucingan Lawas. Kostumnya yang lawas, yang minim hiasan mewah dan dominan warna hitam, putih, atau merah tua (darah), semakin memperkuat citra kesakralan dan keotentikan sejarahnya yang panjang dan penuh liku.
Kucingan Lawas di beberapa daerah bahkan disebut sebagai "Barongan Cilik" (Barongan Kecil), yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang tidak kalah besar dari Singo Barong, hanya saja manifestasinya lebih cepat dan tersembunyi. Kekuatan ini didapat melalui laku spiritual dan puasa yang dilakukan oleh penarinya, sebuah tradisi yang kini semakin sulit ditemukan pada penari-penari generasi baru.
Aspek Spiritual dan Pembuatan Topeng Lawas
Proses pembuatan topeng Kucingan Lawas adalah ritual tersendiri. Kayu yang dipilih haruslah kayu yang dipercaya memiliki energi baik, seperti kayu Dadap Serep atau Pule, yang ringan namun kuat. Pemilihan kayu ini tidak sembarangan; harus melalui ritual njangkar (memohon izin) kepada penunggu hutan. Setelah diukir, topeng tidak langsung di cat, melainkan dijemur dan diberi perlakuan khusus agar "berisi" atau memiliki energi spiritual.
Warna yang digunakan pada era lawas cenderung terbatas pada pigmen alami. Merah tua melambangkan keberanian dan darah. Hitam melambangkan kekuatan mistis dan alam bawah sadar. Putih melambangkan kesucian atau kematian. Kombinasi warna ini pada Kucingan Lawas menciptakan ekspresi topeng yang lebih stoic (tenang namun penuh daya) dibandingkan topeng modern yang lebih ekspresif dan cerah.
Bulu atau rambut pada Kucingan Lawas seringkali menggunakan ijuk atau serat alam yang kasar, yang memberikan kesan liar dan primal, sangat berbeda dengan penggunaan benang wol atau rambut sintetis pada Kucingan kontemporer. Detail kecil ini—dari pemilihan bahan hingga ritual pengisian—menunjukkan kedalaman spiritualitas material yang menjadi ciri khas seni pertunjukan lawas.
Penari Kucingan Lawas diwajibkan menjalani tirakat dan pantangan tertentu sebelum dan selama pertunjukan. Hal ini dilakukan agar roh yang disalurkan melalui topeng dapat berinteraksi secara harmonis dengan penari, menghasilkan gerakan yang bukan hanya indah secara estetika, tetapi juga memiliki kekuatan magis yang memukau penonton. Tanpa penguasaan batin ini, Kucingan hanya akan menjadi tarian akrobatik biasa, kehilangan dimensi sakralnya.
Anatomi Kucingan Lawas: Topeng dan Kostum yang Bersahaja
Kucingan Lawas dapat dikenali dari ciri khas visual yang kontras dengan versi modern. Jika versi baru seringkali dipenuhi dengan ornamen berkilauan dan warna neon, versi lawas menjunjung tinggi kesederhanaan dan fungsi, di mana setiap elemen memiliki makna yang terikat erat dengan konteks ritual dan strategi perang zaman dahulu.
Ciri Khas Topeng Lawas (Gedhogan)
- Mata (Soca): Mata Kucingan Lawas umumnya lebih besar, melotot, dan bulat, namun pahatannya tidak terlalu halus. Ini menciptakan kesan ketegasan dan kewaspadaan yang konstan. Pupil mata sering diwarnai hitam pekat atau merah darah, mencerminkan mata yang siap mengintai di kegelapan.
- Bentuk Muka: Bentuk wajahnya lebih meruncing, meniru struktur wajah karnivora kecil. Pengecatan cenderung menggunakan teknik gradasi sederhana atau blok warna (hitam, putih, merah) tanpa detail realistis yang berlebihan, menekankan ekspresi emosional daripada visual.
- Gimbal (Rambut): Penggunaan ijuk atau serat nanas/lidah mertua adalah penanda utama lawas. Serat ini diikat kuat, menghasilkan gimbal yang kaku dan mengembang, memberikan kesan ukuran yang lebih besar dan liar ketika penari bergerak cepat. Bulu ini bukan sekadar hiasan; ia berfungsi sebagai penangkal bala (bahaya) dan penambah aura mistis.
- Taring dan Gigi: Taring Kucingan Lawas biasanya kecil namun tajam, berbeda dengan taring Singo Barong yang besar. Ini menunjukkan bahwa Kucingan menyerang dengan cepat, mendadak, dan mematikan, seperti serangan tikaman yang mendalam dan terfokus.
Topeng lawas seringkali terasa lebih berat karena penggunaan kayu padat dan teknik pengeringan alami. Berat ini justru dianggap sebagai bagian dari latihan spiritual penari, yang harus mampu bergerak lincah meski terbebani topeng kayu yang solid.
Pakaian dan Atribut Pendukung
Pakaian Kucingan Lawas sangat dipengaruhi oleh busana petani atau prajurit rendahan yang harus bergerak tanpa hambatan. Tidak ada penggunaan beludru mahal atau payet-payet modern.
- Celana Komprang: Celana longgar yang tebal, seringkali berwarna hitam, yang memungkinkan penari melakukan gerakan split, lompatan, dan guling tanpa robek. Celana ini kadang dilapisi dengan kain tenun kasar yang memberikan perlindungan fisik.
- Stagen dan Sabuk Lawas: Sabuk lebar yang digunakan untuk menopang punggung dan perut. Sabuk ini tidak hanya fungsional tetapi juga sebagai tempat menyimpan jimat atau pusaka kecil yang dipercaya menambah kekuatan penari.
- Kemul atau Sampur: Kain panjang (sampur) yang digunakan penari Kucingan Lawas cenderung lebih pendek dan tebal daripada sampur Jathil. Ini digunakan untuk gerakan sabetan (cambukan) yang cepat dan terarah, menambah ilusi kecepatan dan kekuatan angin saat ia berputar.
Setiap jahitan, setiap warna, dan setiap serat pada kostum Kucingan Lawas di era lampau adalah hasil dari sebuah perhitungan filosofis dan kebutuhan performa, bukan hanya sekadar ornamen estetika belaka. Mereka harus tahan banting, menyatu dengan alam, dan mendukung gerakan akrobatik yang ekstrem.
Gerakan Kucingan menekankan manuver akrobatik, kecepatan, dan penguasaan ruang, mencerminkan peran sebagai pengintai atau penyerang kilat.
Filosofi Gerak dan Teknik Tari Lawas
Gerak Barongan Kucingan Lawas adalah manifestasi dari filosofi titis lan tapis (cermat dan rapi). Berbeda dengan Reog modern yang terkadang fokus pada pamer kekuatan fisik murni, Kucingan Lawas menekankan efisiensi, keluwesan, dan penguasaan energi (tenaga dalam). Teknik tarian ini dipengaruhi kuat oleh Pencak Silat Aliran Jawa Timur, terutama yang berorientasi pada kecepatan dan serangan rendah.
Unsur-Unsur Utama Gerak Kucingan
1. Gerak Dasar: Langkah Kuda-Kuda Rendah (Jongkok Lawas)
Kucingan Lawas jarang menari dengan posisi berdiri tegak. Sebagian besar gerakannya dilakukan dalam posisi kuda-kuda rendah (jongkok atau jengking). Posisi ini memungkinkan transisi yang sangat cepat ke gerakan melompat atau berguling. Kuda-kuda rendah melambangkan kerendahan hati namun menyimpan kekuatan ledak yang luar biasa. Penari harus memiliki kekuatan paha dan pinggul yang prima untuk mempertahankan posisi ini selama durasi tarian yang panjang.
2. Sabetan dan Geol (Sentuhan Cepat)
Gerakan sabetan adalah gerakan tangan dan sampur (selendang) yang cepat, seperti cambukan udara. Gerakan ini digunakan untuk menciptakan ilusi pukulan atau pertahanan yang sangat lincah. Sementara itu, geol adalah gerakan pinggul yang gemulai namun tetap tajam. Geol pada Kucingan Lawas tidak bersifat erotis, melainkan manipulatif—digunakan untuk mengalihkan perhatian musuh atau mencari celah dalam pertahanan.
3. Akrobatik dan Lompatan (Solah Lawas)
Salah satu ciri paling menonjol dari Kucingan Lawas adalah penguasaan akrobatik murni yang tidak diperantarai oleh alat bantu. Lompatan tinggi, gulingan maju (ndlosor), dan putaran di udara (plintiran) harus dilakukan dengan kontrol penuh. Versi lawas menuntut kesempurnaan pendaratan; penari harus mendarat tanpa suara, seperti seekor kucing yang menyergap mangsa. Kegagalan dalam pendaratan dianggap mengurangi nilai spiritual dan estetika tarian.
Kucingan Lawas mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan pada volume, melainkan pada ketepatan. Setiap gerakan adalah hasil dari perhitungan energi yang presisi. Berbeda dengan Bujang Ganong yang akrobatiknya lebih terbuka dan jenaka, akrobatik Kucingan Lawas cenderung lebih terkontrol, cepat, dan bernuansa mistis, seolah-olah penari didorong oleh kekuatan tak kasat mata.
Iringan Gamelan Lawas
Tari Kucingan Lawas sangat bergantung pada tempo dan ritme Gamelan Reog tradisional. Instrumen seperti Kendang Dhodhog dan Kempul memegang peranan kunci. Ritme untuk Kucingan Lawas cenderung lebih cepat dan staccato (terputus-putus) daripada iringan untuk Jathil atau Warok, mencerminkan sifatnya yang bergerak terburu-buru dan penuh kejutan.
Tempo musik ini dikenal sebagai Gending Kucingan, yang memiliki pola ketukan yang mendorong penari untuk melakukan gerakan ngigel (berputar) dengan kecepatan tinggi, diikuti jeda sesaat yang mengharuskan penari membeku dalam posisi waspada sebelum kembali melompat. Penguasaan irama adalah kunci; penari lawas harus mampu 'berbicara' dengan kendang, bukan sekadar mengikuti tempo, tetapi memimpinnya.
Pendalaman Filosofi: Kucingan sebagai Representasi Spiritual
Di luar aspek seni pertunjukan, Kucingan Lawas adalah simbolisasi dari perjuangan batin manusia. Kucingan mewakili Nafsu Amarah yang terkendali. Kecepatan dan keganasannya adalah manifestasi dari semangat juang yang tinggi, tetapi ia selalu tunduk pada otoritas Singo Barong (Raja) dan Warok (Guru Spiritual), menunjukkan pentingnya hirarki dan pengendalian diri.
Prinsip Keselarasan Batin dan Tubuh
Dalam tradisi Lawas, penari Kucingan tidak hanya melatih otot, tetapi juga cipta, rasa, dan karsa. Latihan pernapasan (olah napas) sangat penting untuk menjaga stamina selama akrobatik intens dan untuk membangun wibawa (kharisma) yang terpancar melalui topeng. Filosofi ini mengajarkan bahwa seni tari adalah jalan menuju kesempurnaan spiritual, bukan hanya ajang pamer fisik.
Gerakan Kucingan yang sering melompat ke atas dan kemudian segera merunduk ke bawah melambangkan siklus kehidupan dan kematian, kejayaan dan kerendahan hati. Melompat adalah puncak kekuatan dan ambisi, sementara merunduk adalah pengakuan akan keterbatasan manusia dan hubungan dengan Bumi (ibu pertiwi). Seorang penari Kucingan Lawas yang baik adalah mereka yang mampu menyampaikan narasi filosofis ini tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun.
Kucingan dan Dualitas Penjaga
Beberapa interpretasi Lawas menyebut Kucingan sebagai representasi dari Duo Penjaga yang mendampingi Raja. Salah satunya lincah dan cepat (Kucingan), yang lain kuat dan tegar (Warok). Kucingan bergerak di wilayah abu-abu, mampu menggunakan tipu daya dan kecepatan (kecerdasan instingtif), sementara Warok bergerak dengan kekuatan moral dan fisik yang tak tergoyahkan.
Dualitas ini menciptakan keseimbangan dalam pertunjukan. Kucingan menyiapkan medan perang psikologis, menguji reaksi penonton, dan membangun energi, sebelum Singo Barong muncul sebagai klimaks kekuatan absolut. Tanpa kelincahan Kucingan, pertunjukan akan terasa berat dan kurang dinamis. Ia adalah pembawa energi kinetik dalam keseluruhan ensemble.
Tantangan Pelestarian Kucingan Lawas di Era Modern
Istilah "lawas" bukan hanya merujuk pada bentuk fisik topeng, tetapi juga pada metode pelatihan, penguasaan batin, dan interpretasi gerak yang kini terancam hilang. Globalisasi dan tuntutan pasar pertunjukan yang menginginkan kesenian lebih spektakuler dan cepat, seringkali mengorbankan kedalaman filosofis dan teknik tari lawas yang membutuhkan dedikasi luar biasa.
Degradasi Teknik dan Visual
Salah satu tantangan terbesar adalah degradasi teknik. Banyak kelompok tari modern memilih gerakan yang lebih mudah dikuasai, mengorbankan kuda-kuda rendah dan akrobatik berisiko tinggi yang menjadi ciri khas Lawas. Kucingan modern cenderung lebih menyerupai akrobat sirkus daripada tarian ritual yang berakar pada silat dan laku spiritual.
Secara visual, perubahan juga sangat terasa. Penggunaan cat yang cerah, hiasan manik-manik yang berlebihan, dan rambut sintetis yang mudah didapat, membuat topeng kehilangan aura mistisnya. Kucingan Lawas, dengan kesederhanaan dan warna gelapnya, sering dianggap "kurang menarik" bagi penonton awam, padahal kesederhanaan itulah yang menyimpan nilai otentisitas yang tak ternilai.
Pelestarian pakem lawas membutuhkan transmisi pengetahuan yang dilakukan secara personal (dari guru ke murid) dan melibatkan puasa, meditasi, serta pemahaman mendalam tentang mitologi lokal. Ini adalah proses yang memakan waktu bertahun-tahun, jauh berbeda dengan pelatihan cepat yang ditawarkan sanggar modern yang bertujuan untuk pementasan instan.
Peran Warok dan Sesepuh
Dalam konteks lawas, peran Warok (tetua atau guru spiritual) sangat krusial dalam menjaga kemurnian Kucingan. Warok tidak hanya melatih fisik, tetapi juga ngopeni (merawat) jiwa penari. Mereka memastikan bahwa topeng yang digunakan memiliki energi yang tepat dan bahwa penari memahami tanggung jawab spiritual yang diemban saat mengenakan Barongan Kucingan. Ketika Warok-Warok sepuh ini berpulang, pengetahuan tentang pakem lawas seringkali ikut terkubur.
Upaya pelestarian kini berpusat pada dokumentasi mendalam mengenai setiap detail pahatan topeng lawas, jenis kayu, dan rekaman gerakan otentik. Para peneliti dan budayawan berjuang untuk meyakinkan generasi muda bahwa keindahan sejati Kucingan terletak pada keotentikan spiritual dan ketegasan gerak, bukan pada kemeriahan visual semata. Kucingan Lawas adalah warisan yang mengajarkan bahwa kekuatan sejati berada dalam kendali diri dan ketaatan pada tradisi.
Salah satu gerakan yang muncul adalah pembentukan komunitas-komunitas kecil yang secara sengaja kembali menggunakan instrumen gamelan lawas, kostum dari bahan alami, dan menari dengan teknik kuda-kuda rendah yang menantang. Komunitas ini berusaha mengembalikan rasa berat dan kesakralan pada setiap penampilan Kucingan, menolak tren pertunjukan yang terlalu mengedepankan hiburan massa.
Detail Ekstrem Gerak Lawas: Kecepatan dan Ketepatan
Untuk lebih memahami kompleksitas yang harus dikuasai penari Kucingan Lawas, mari kita bedah beberapa detail gerak yang membedakannya secara signifikan dari tarian modern.
Pola Langkah Kaki (Pencak Lawas)
Langkah kaki Kucingan Lawas sangat dipengaruhi oleh pola langkah pencak silat beraliran Madiun/Ponorogo yang fokus pada pergerakan diagonal dan melingkar, bukan garis lurus. Penari harus mampu melakukan sikutan (perubahan arah tiba-tiba) tanpa mengangkat tumit terlalu tinggi, menjaga pusat gravitasi tetap rendah. Ini dikenal sebagai Langkah Sembunyi. Tujuan dari langkah ini adalah untuk menciptakan ilusi bahwa Kucingan dapat muncul dan menghilang dalam sekejap mata.
Kontras utama terlihat pada kecepatan. Ketika Kucingan bergerak lambat, setiap langkahnya penuh dengan ketegasan yang tertahan (mirip gerakan macan yang mengintai). Ketika bergerak cepat, seluruh tubuh berubah menjadi kabut kecepatan, yang membutuhkan sinkronisasi sempurna antara otot, nafas, dan irama gamelan. Kesalahan sekecil apa pun dalam sinkronisasi akan merusak trance (kesurupan terkontrol) yang dicari dalam penampilan lawas.
Gerakan Kepala dan Ekspresi Topeng
Karena topeng Kucingan Lawas memiliki ekspresi yang relatif statis, penari harus menggunakan leher dan tubuh bagian atas untuk "menghidupkan" topeng. Gerakan kepala yang cepat dan tiba-tiba (dhegan) dilakukan untuk menciptakan kesan tatapan yang tajam ke segala arah. Penari harus mampu menjaga leher tetap kuat dan fleksibel, karena gerakan kepala yang terlalu kaku atau terlalu gemulai dapat mengurangi kredibilitas karakter ganas Kucingan.
Pada momen-momen tertentu, penari Kucingan Lawas akan melakukan getar, yaitu menggetarkan tubuh secara ritmis, yang dipercaya dapat menyalurkan energi spiritual ke topeng. Getaran ini harus dilakukan secara halus namun terlihat, menandakan bahwa Kucingan sedang "mengisi" dirinya atau sedang dalam puncak kemarahan. Getar adalah teknik batin yang hampir sepenuhnya hilang dalam tarian kontemporer.
Hubungan dengan Penonton (Magis dan Interaktif)
Kucingan Lawas memiliki peran unik dalam interaksi dengan penonton. Karena ia adalah penjaga spiritual, Kucingan sering mendekati penonton, bukan untuk bercanda, melainkan untuk mengecek energi. Tatapan mata topeng yang melotot, yang dibantu oleh gerak tubuh penari, dipercaya dapat mengusir aura negatif dari kerumunan.
Dalam pertunjukan Lawas, jika ada penonton yang dirasuki roh atau mengalami kesurupan, Kucingan Lawas adalah salah satu sosok pertama yang bertindak, menggunakan gerak tariannya (yang berakar pada silat) dan energi batinnya untuk menenangkan situasi. Peran ini menggarisbawahi bahwa Kucingan Lawas adalah seni yang berfungsi, bukan sekadar hiburan visual. Keahlian ini, sebagai penari sekaligus penyembuh atau pengusir roh, adalah inti dari tradisi Kucingan Lawas yang harus dipertahankan.
Ritual pembukaan arena (tari pembuka) oleh Kucingan Lawas selalu mengandung elemen pagar gaib, di mana ia menari mengelilingi area pertunjukan untuk memastikan batas-batas spiritual telah aman sebelum tokoh-tokoh besar lainnya masuk. Detail ritualistik ini adalah lapisan kedalaman yang sering diabaikan dalam versi pertunjukan yang sudah dikemas secara komersial.
Penguasaan Barongan Kucingan Lawas, pada akhirnya, adalah tentang menyeimbangkan keganasan dan pengendalian, kecepatan dan ketenangan, antara dunia material dan dunia spiritual. Ia adalah simbolisasi dari kemampuan adaptasi yang tinggi, di mana bahkan dalam bentuk yang paling kecil dan lincah, terdapat kekuatan yang mampu melindungi seluruh komunitas.
Simbologi Warna dan Kain Lawas pada Kucingan
Dalam tradisi Kucingan Lawas, setiap elemen visual memiliki makna yang tidak bisa diubah-ubah. Warna pada kain dan topeng adalah kode komunikasi visual yang mendalam.
Hitam: Kekuatan dan Kegelapan
Hitam pada celana dan rambut (ijuk) Kucingan Lawas melambangkan kekuatan mistis, alam semesta yang belum terjamah, dan kegelapan di mana ia beroperasi sebagai pengintai. Hitam juga adalah warna Tirakat (asketisme), mengingatkan bahwa kekuatan didapat dari pengekangan diri.
Merah Tua (Abang Dluwang): Keberanian dan Energi Primal
Warna merah tua pada topeng lawas (sering disebut merah seperti warna kertas tua atau darah yang mengering) melambangkan keberanian, api, dan energi yang tak tertahankan. Ini adalah manifestasi dari Amarah yang dimanfaatkan untuk tujuan yang baik. Warna ini haruslah gelap, bukan merah menyala, untuk menjaga kesan angker (kharismatik dan misterius).
Putih/Kuning Pucat: Kemurnian Batin
Warna putih yang sering muncul pada mata atau taring melambangkan kemurnian niat. Meskipun Kucingan terlihat ganas, niatnya adalah untuk melayani dan melindungi. Kuning pucat atau krem pada kulit topeng melambangkan kayu alami yang dihormati, menjaga koneksi dengan alam dan asal muasal kayu tersebut.
Pola kostum juga sering menggunakan kain lurik atau kain tenun kasar. Lurik adalah pola garis-garis sederhana yang melambangkan kesederhanaan hidup masyarakat Jawa. Penggunaan lurik pada Kucingan lawas adalah pengingat bahwa meskipun ia memiliki kemampuan luar biasa, ia tetap berasal dari rakyat biasa yang setia kepada rajanya atau komunitasnya. Setiap helai kain Kucingan Lawas adalah catatan sejarah yang dapat dibaca oleh mereka yang mengerti.
Kucingan Lawas: Warisan yang Harus Bernapas
Barongan Kucingan Lawas adalah cagar budaya tak benda yang terwujud dalam kayu, ijuk, dan gerak lincah seorang penari. Keberadaannya menantang kita untuk melihat lebih dalam dari sekadar pertunjukan; ia adalah pelajaran tentang filosofi kecepatan terkendali, penguasaan batin dalam seni, dan kesetiaan pada akar tradisi.
Mempertahankan Kucingan Lawas berarti mempertahankan keindahan dalam kesederhanaan, menolak godaan visual yang dangkal, dan memastikan bahwa teknik-teknik silat tradisional yang menjadi fondasinya tetap hidup. Generasi penerus memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya meniru gerakannya, tetapi juga menghayati lakon (peran spiritual) yang melekat pada topeng purba tersebut.
Kucingan Lawas akan terus menjadi pengingat bahwa dalam setiap tradisi kuno, terdapat rahasia kekuatan yang menunggu untuk digali, dan bahwa seni pertunjukan terbaik adalah yang mampu menjembatani masa lalu, masa kini, dan dimensi spiritual yang tak terlihat.
Elaborasi Mendalam: Detail Ritual, Laku, dan Teknik Ngluruk Kucingan
Untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang Kucingan Lawas, kita harus mendalami aspek-aspek mikro yang jarang terekspos di panggung modern. Bagian ini akan mengupas tuntas ritual persiapan, teknik pernapasan, dan varian-varian gerak yang menjadi penanda otentisitas Lawas.
Ritual Pembersihan dan Pengisian (Ngluwari Topeng)
Sebelum topeng Kucingan Lawas dapat digunakan, ia harus melalui ritual Ngluwari atau pembersihan dan pengisian energi. Ritual ini biasanya dilakukan pada malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Sang penari atau Warok akan membersihkan topeng dengan air bunga tujuh rupa dan memberinya persembahan (sesajen) yang terdiri dari kemenyan, kopi pahit, dan rokok klembak menyan. Prosesi ini adalah bentuk penghormatan kepada roh penjaga (khodam) yang dipercaya bersemayam dalam kayu topeng.
Selama prosesi Ngluwari, penari akan melakukan meditasi pendopo, duduk menghadap topeng, dan menyatukan napasnya dengan energi topeng. Mereka melafalkan mantra-mantra tertentu (sering kali diambil dari Kidung Jawa kuno) yang bertujuan untuk memohon kelancaran gerak, kecepatan, dan perlindungan spiritual selama pertunjukan. Kegagalan dalam ritual ini diyakini dapat membuat topeng terasa berat atau membuat penari kehilangan kontrol saat menari. Ketaatan pada ritual adalah pembeda utama antara seniman Lawas dan penampil biasa.
Teknik Pernapasan untuk Akrobatik Ekstrem (Olah Napas Lawas)
Gerak Kucingan Lawas membutuhkan cadangan energi yang sangat besar karena intensitasnya. Penari Lawas dilatih menggunakan teknik pernapasan perut (pernapasan diafragma) yang sangat dalam. Latihan ini disebut Olah Napas Siluman atau Napas Pendek Cepat, di mana penari harus mampu mengambil napas dalam-dalam seolah-olah mereka sedang tertidur, namun segera melepaskannya dengan cepat saat melakukan lompatan atau putaran. Hal ini memungkinkan mereka melakukan serangkaian gerakan akrobatik tanpa terengah-engah.
Salah satu latihan yang ketat adalah menari selama puluhan menit dalam posisi jongkok penuh sambil membawa beban di punggung, hanya mengandalkan pernapasan pendek dan cepat ini. Ini melatih otot inti dan paru-paru untuk efisiensi maksimum. Penguasaan olah napas ini juga terkait dengan kemampuan penari untuk memasuki kondisi trance ringan, yang memungkinkannya menampilkan gerakan-gerakan yang secara fisik mustahil dalam keadaan sadar normal.
Varian Gerak Kucingan Lawas Regional
Meskipun Ponorogo adalah pusat Reog, Kucingan memiliki varian gerak di daerah sekitarnya (seperti Kediri, Tulungagung, dan Blitar) yang memiliki ciri khas Lawas masing-masing:
1. Kucingan Lawas Gaya Kediri (Cakraningrat)
Gaya Kediri cenderung lebih menekankan pada geol dan permainan sampur yang elegan namun mematikan. Gerakannya lebih banyak melibatkan putaran horisontal di lantai dan gerakan tangan yang menyerupai cakaran harimau (meskipun topengnya kucing). Topeng Kediri seringkali memiliki mata yang lebih sipit dan pahatan yang sedikit lebih halus daripada Ponorogo, mencerminkan pengaruh estetika Keraton Jawa Tengah yang lebih dekat.
Tari Kucingan Kediri juga memasukkan unsur pola langkah zig-zag yang rumit, meniru taktik pasukan yang bergerak di medan lumpur atau sawah. Busana lawas Kediri seringkali menggunakan dominasi warna hijau tua selain hitam dan merah, melambangkan kesuburan dan kemampuan adaptasi alam.
2. Kucingan Lawas Gaya Blitar (Bumi Panataran)
Gaya Blitar dikenal paling primitif dan kasar, dengan penekanan pada kekuatan fisik dan bantingan. Gerakan akrobatiknya sangat mengutamakan kontak dengan tanah, seperti gulingan yang keras dan berdiri dengan satu tangan (handstand) yang tiba-tiba. Topeng Blitar seringkali paling minim cat, menonjolkan tekstur kayu alami dan memiliki ijuk yang sangat liar.
Musik pengiring Blitar cenderung lebih didominasi oleh suara Kendang dengan tempo yang sangat cepat dan menghentak (dinamika tinggi), mendorong penari untuk mencapai batas fisik mereka. Filosofi Kucingan Blitar adalah kekuatan yang lahir dari bumi, menekankan koneksi spiritual dengan gunung dan hutan. Penari lawas Blitar dikenal tahan banting dan memiliki stamina yang tidak tertandingi.
Pemanfaatan Ruang (Taktik Ngluruk)
Penari Kucingan Lawas tidak hanya bergerak secara acak; mereka menggunakan teknik Ngluruk (menyerang atau menyergap) yang sangat taktis. Arena pertunjukan dibagi menjadi zona-zona: zona tengah (untuk akrobatik), zona tepi (untuk mengintai dan menenangkan penonton), dan zona Warok (zona hormat).
Kucingan Lawas harus mampu berpindah dari zona ke zona dalam hitungan detik. Ketika berada di zona tepi, gerakannya harus tenang, waspada, dan mengancam, menciptakan ketegangan psikologis. Ketika masuk zona tengah, ia melepaskan energi penuh dengan teriakan pendek (suara kucing yang terdesak) dan akrobatik yang eksplosif. Penguasaan taktik Ngluruk ini menunjukkan bahwa tarian ini adalah simulasi strategi perang, bukan hanya tontonan fisik.
Koneksi dengan Tokoh Epik
Meskipun Kucingan adalah sosok hewan, dalam narasi Lawas, ia sering dikaitkan dengan karakter pewayangan atau legenda lokal yang memiliki sifat cerewet (lincah) dan setia. Dalam beberapa lakon Reog tua, Kucingan berfungsi sebagai pembawa surat rahasia atau pengantar pesan antara pihak yang berperang. Kisah-kisah ini memperkaya latar belakang Kucingan, mengubahnya dari sekadar topeng hewan menjadi duta yang cerdik dan tak kenal lelah.
Penghayatan karakter Lawas menuntut penari untuk memahami psikologi tokoh epik yang mendasarinya: bagaimana cara kucingan merangkak, bagaimana cara ia membersihkan diri (gestur-gestur kecil), dan bagaimana ia bereaksi terhadap ancaman. Ini adalah seni total yang menggabungkan olah raga, olah rasa, dan olah pikir. Kucingan Lawas adalah penjaga rahasia, sebuah jembatan yang menghubungkan mitos dengan panggung kehidupan.
Kelengkapan dan kedalaman pemahaman ini adalah harta karun yang terkandung dalam setiap detail Barongan Kucingan Lawas. Ia adalah penanda keagungan seni tradisi Jawa Timur yang patut dihormati dan terus dipelajari. Melalui setiap lompatan dan geolnya, Kucingan Lawas terus menceritakan kisah abadi tentang strategi, spiritualitas, dan kegigihan.
Penguasaan tari Kucingan Lawas tidak selesai setelah penari dapat melakukan semua gerakan akrobatik. Puncak penguasaan adalah ketika penari mampu ngrogoh sukmo—mengeluarkan jiwa spiritual topeng sehingga topeng tersebut seolah-olah bergerak sendiri, dilepaskan dari kendali fisik penari. Pada tingkat ini, penonton tidak melihat manusia di balik topeng; mereka melihat perwujudan energi primal yang diwakili oleh Kucingan.
Hal ini membutuhkan pengendalian emosi yang luar biasa. Meskipun Kucingan tampil agresif dan cepat, penari harus berada dalam kondisi batin yang sangat tenang dan terpusat. Kontradiksi antara gerakan fisik yang eksplosif dan ketenangan batin inilah yang menghasilkan wibawa otentik dari Kucingan Lawas.
Perbedaan Material: Ijuk versus Rambut Sintetis
Perbedaan material yang paling signifikan dalam konteks lawas adalah penggunaan ijuk (serat pohon aren) sebagai rambut (gimbal). Ijuk memiliki tekstur yang kasar, kaku, dan berwarna hitam pekat, yang ketika kering memberikan kesan gimbal yang berat dan liar. Ijuk juga memiliki karakteristik yang unik saat bergerak; ia tidak melayang seperti rambut sintetis, melainkan melompat dan memental secara tiba-tiba, menambah efek dramatis pada gerakan kepala yang cepat.
Di masa lawas, ijuk tidak hanya dipilih karena ketersediaannya, tetapi juga karena keyakinan bahwa ia memiliki daya tahan terhadap gangguan spiritual. Proses pemasangan ijuk pada topeng Kucingan Lawas seringkali disertai dengan ritual penanaman jimat kecil di dalam rongga topeng, menjadikannya benda yang sakral dan harus dirawat dengan penuh kehati-hatian. Kucingan modern yang menggunakan rambut sintetis, meskipun lebih ringan dan lebih mudah diatur, kehilangan dimensi sakral dan otentisitas gerak rambut yang unik ini.
Nilai Ekonomis dan Sosial Kucingan Lawas
Di masa lalu, memiliki topeng Kucingan Lawas yang otentik adalah penanda status dalam kelompok Reog. Topeng tersebut adalah investasi spiritual dan sering kali menjadi warisan turun-temurun. Kucingan Lawas yang telah berusia puluhan tahun dan melalui banyak ritual pembersihan dan pengisian diyakini memiliki energi yang sangat kuat dan bernilai sangat tinggi, jauh melampaui harga materialnya. Ini mencerminkan penghargaan masyarakat Lawas terhadap kualitas batin dan sejarah, bukan hanya penampilan luar.
Secara sosial, penari Kucingan Lawas dihormati karena disiplin dan kekuatan spiritualnya. Mereka sering kali adalah pemuda-pemuda pilihan yang telah membuktikan kesetiaan dan ketahanan fisik. Status sosial ini memberikan motivasi kuat bagi generasi muda untuk menguasai pakem Lawas, meskipun tuntutan pelatihannya sangat berat. Sayangnya, di era modern, penekanan ini telah bergeser ke arah kemampuan menghibur, mengurangi fokus pada kedalaman laku spiritual dan teknik yang ketat.
Upaya pelestarian harus fokus pada rekonstruksi. Rekonstruksi yang bukan sekadar membuat replika, tetapi menghidupkan kembali seluruh ekosistem: dari prosesi pembuatan topeng di bawah bimbingan sesepuh, penggunaan material yang sesuai pakem, hingga pelatihan fisik dan batin yang meniru disiplin para penari lawas. Hanya dengan pendekatan holistik ini, esensi Barongan Kucingan Lawas dapat diselamatkan dari kepunahan, dan ia dapat terus menjadi cermin keagungan budaya nusantara.
Kucingan Lawas adalah kesaksian bisu akan periode sejarah di mana seni, spiritualitas, dan strategi militer menyatu dalam satu wujud tarian. Ia mengajarkan kepada kita bahwa hal-hal kecil, lincah, dan cepat, dapat memegang peran yang sama pentingnya dengan kekuatan besar dan lambat, dalam menjaga harmoni dan keutuhan sebuah tradisi. Dan kisah ini, yang terukir pada pahatan kayu tua dan terjalin dalam setiap getar sampur, harus terus diceritakan.
Tari Kucingan Lawas, dengan segala kekhasannya, adalah pengejawantahan dari pepatah Jawa: Alon-alon waton kelakon, nanging yen perlu, lincah tanpa kawatir. Pelan-pelan asal tercapai, tetapi jika diperlukan, lincah tanpa rasa cemas.
Penguasaan gaya lawas juga mencakup pemahaman mendalam tentang posisi tubuh saat diam (jeda). Dalam pertunjukan lawas, jeda bukanlah waktu istirahat, melainkan momen ketegangan maksimal. Penari Kucingan Lawas yang berpengalaman dapat berdiri diam dalam posisi kuda-kuda rendah dengan mata topeng yang seolah menatap menembus penonton, menciptakan aura dingin dan misterius. Keahlian mengendalikan energi saat tubuh tidak bergerak ini adalah tolok ukur tertinggi dari seorang seniman Kucingan lawas.
Penelitian mendalam menunjukkan bahwa beberapa gerakan lawas Kucingan juga mengandung unsur permohonan hujan atau tolak bala. Misalnya, gerakan bergulingan cepat di tanah diyakini sebagai simbol membersihkan bumi dari energi negatif. Sementara lompatan tinggi merupakan upaya untuk menarik perhatian dewa-dewa langit. Fungsi ritualistik ini memastikan bahwa pertunjukan Barongan Kucingan Lawas memiliki nilai fungsional bagi masyarakat setempat, jauh melampaui nilai hiburan semata.
Kucingan Lawas adalah manifestasi dari keberanian yang tersembunyi, kekuatan yang tidak perlu diumbar. Ia adalah bayangan yang bergerak lebih cepat dari penglihatan, suara yang hanya bisa didengar oleh telinga batin. Dengan menghormati dan melestarikan warisan ini, kita tidak hanya menjaga sebuah seni tari, tetapi juga menjaga kearifan lokal yang telah membimbing masyarakat Jawa selama berabad-abad.
Iringan Gending Kucingan Lawas ditandai dengan tempo cepat, didominasi oleh ritme Kendang Dhodhog yang mendorong akrobatik.
Kesimpulan akhirnya adalah bahwa Barongan Kucingan Lawas adalah sebuah monumen bergerak, sebuah teks hidup yang menceritakan sejarah, mitologi, dan disiplin spiritual Jawa Timur. Melalui upaya pelestarian yang berfokus pada Pakem dan Laku Batin, warisan ini dapat terus bernapas, mengajarkan kepada dunia bahwa seni tradisional memiliki kedalaman yang tak terhingga.