Ketika membicarakan Guru Sekumpul (KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani), seringkali yang terlintas adalah citra seorang ulama kharismatik yang penuh dengan keberkahan dan ilmu laduni. Namun, di balik kepribadiannya yang agung, terselip kisah-kisah menarik yang menunjukkan sisi kemanusiaan beliau, salah satunya adalah kedekatannya dengan secangkir kopi. Bagi banyak orang, kopi lebih dari sekadar minuman; ia adalah teman setia dalam kesibukan, sumber energi, dan bahkan pelengkap momen refleksi. Guru Sekumpul pun demikian. Beliau dikenal memiliki selera yang khas terhadap kopi, dan momen menikmati kopi seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian beliau, bahkan dalam konteks spiritual dan keilmuan.
Lebih dari Sekadar Minuman
Kisah-kisah tentang Guru Sekumpul dan kopi seringkali diceritakan turun-temurun oleh para santri dan jamaahnya. Minuman pahit ini tidak hanya menjadi asupan energi bagi beliau untuk menjalankan aktivitas dakwah yang padat, namun juga terkadang menjadi katalisator bagi pemikiran dan perenungan mendalam. Diceritakan bahwa di tengah kesibukan beliau mengajar, menerima tamu, atau menulis kitab, secangkir kopi seringkali hadir menemani. Aroma kopi yang khas disinyalir mampu membangkitkan semangat dan kejernihan pikiran.
Bagi Guru Sekumpul, kopi bukan sekadar tren atau kebiasaan semata. Ia memiliki nilai tersendiri, mungkin sebagai pengingat akan kesederhanaan, atau sebagai alat bantu untuk menjaga kewaspadaan spiritual di tengah hiruk pikuk dunia. Kopi dalam pandangan beliau bisa jadi adalah simbol perjuangan dalam menghadapi godaan dan kemalasan, sebuah ritual kecil yang membantu beliau tetap terhubung dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembawa cahaya ilmu.
Kopi Sebagai Pemicu Refleksi
Banyak ulama salaf dan juga ulama kontemporer yang menjadikan kopi sebagai bagian dari tradisi intelektual mereka. Konon, kopi membantu mereka untuk tetap terjaga di malam hari saat merangkai kata, menyelesaikan karya tulis, atau beribadah. Guru Sekumpul pun demikian adanya. Momen menyeruput kopi, terutama di waktu-waktu yang sunyi, seringkali menjadi saat-saat beliau merenungi ayat-ayat Al-Qur'an, hadis Nabi, atau berbagai permasalahan umat. Pahitnya kopi mungkin disimbolkan sebagai pahitnya perjuangan di jalan Allah, sedangkan kenikmatan yang didapatkannya adalah anugerah dari-Nya.
Setiap tegukan kopi bisa jadi adalah jeda, sebuah momen untuk menyegarkan jiwa dan raga sebelum kembali melanjutkan perjuangan. Beliau mengajarkan melalui amaliahnya bahwa segala sesuatu, bahkan secangkir kopi, bisa memiliki makna mendalam jika disikapi dengan niat yang benar dan penuh kesadaran. Kedekatan beliau dengan kopi juga menunjukkan sisi kemanusiaan yang membumi, bahwa seorang ulama besar pun memiliki kesukaan dan preferensi pribadi yang bisa dinikmati dalam batas-batas syariat.
Ajaran Tersirat Melalui Kebiasaan
Melalui kebiasaannya menikmati kopi, Guru Sekumpul secara tidak langsung mengajarkan kepada kita beberapa hal. Pertama, pentingnya menjaga energi dan fokus dalam menjalankan tugas-tugas penting, terutama yang berkaitan dengan agama dan ilmu. Kedua, bagaimana menemukan momen refleksi dan spiritualitas bahkan dalam hal-hal yang paling sederhana. Ketiga, bahwa kesederhanaan dalam menikmati hidup adalah sebuah nilai yang patut dijaga.
Bagi para santri dan pecintanya, meminum kopi dengan cara yang mungkin mengingatkan pada kebiasaan Guru Sekumpul, bisa menjadi sebuah bentuk penghormatan dan kenangan. Kopi menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan sosok ulama yang dicintai, mengingatkan akan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan. Kisah Guru Sekumpul tentang kopi ini menjadi bukti bahwa spiritualitas tidak harus selalu dalam ritual yang formal dan kaku, tetapi bisa terjalin dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam menikmati secangkir minuman hangat.