Barongan Krido Budoyo: Jantung Kesenian Rakyat Jawa
Barongan, sebagai simbol kekuatan primal dan warisan leluhur.
I. Pendahuluan: Menguak Esensi Krido Budoyo
Barongan Krido Budoyo bukanlah sekadar tontonan seni pertunjukan; ia adalah manifestasi spiritual, narasi historis, dan wadah kearifan lokal yang terukir dalam gerak tari, irama Gamelan, dan topeng kayu yang sarat makna. Istilah Krido Budoyo sendiri merujuk pada "Gerak Kebudayaan" atau "Perwujudan Kesenian melalui Aksi," menekankan bahwa kesenian ini adalah sebuah proses dinamis yang terus hidup dan berinteraksi dengan komunitasnya.
Di wilayah Jawa Tengah bagian timur dan Jawa Timur bagian barat, terutama di daerah yang dikenal sebagai kawasan budaya Mataraman, Barongan telah mengakar kuat. Meskipun memiliki kemiripan elemen dengan Reog Ponorogo atau Jathilan, Barongan Krido Budoyo mempertahankan identitas khasnya, terutama dalam desain topeng Barongnya yang seringkali lebih menyerupai harimau atau singa mitologis dengan hiasan gembeng yang dramatis. Fokus utama pertunjukan ini adalah duel simbolis, kepahlawanan, dan yang paling mencolok, fenomena janturan (trance) yang melibatkan interaksi mistis antara pemain dan roh pelindung.
Aktivitas pementasan Barongan Krido Budoyo merupakan ritual sosial yang memadukan hiburan rakyat dan upacara spiritual. Dalam konteks masyarakat Jawa, kesenian ini berfungsi sebagai media komunikasi massa, alat pendidikan moral, serta cara untuk menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan alam gaib. Keberadaannya menjadi penanda identitas regional yang diwariskan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Seluruh elemen pertunjukan, mulai dari pemilihan kayu untuk topeng hingga urutan tabuhan kendang, diikat oleh norma-norma tradisi yang ketat, memastikan bahwa roh kesenian ini tetap murni dan lestari.
Untuk memahami kedalaman Barongan Krido Budoyo, seseorang harus melampaui sekadar melihat visualnya. Perlu diresapi semangat kolektif yang mendasarinya—semangat gotong royong dalam mempersiapkan panggung, kekhusyukan saat sesajen disiapkan, dan energi yang dilepaskan ketika musik mulai menghentak. Kesenian ini adalah cerminan dari filosofi Jawa yang menghargai harmoni, keberanian, dan pengakuan terhadap dimensi spiritual yang tak terlihat.
Setiap kelompok seni Barongan, termasuk yang mengusung nama "Krido Budoyo," membawa tanggung jawab besar dalam menjaga pakem (aturan baku) pertunjukan. Pakem ini mencakup tidak hanya urutan adegan, tetapi juga tata krama spiritual yang harus dipatuhi. Kegagalan dalam mematuhi pakem dipercaya dapat mengundang konsekuensi negatif, menunjukkan betapa eratnya ikatan antara seni pertunjukan ini dengan keyakinan kosmologis masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, persiapan sebelum pertunjukan selalu melibatkan ritual pensucian dan pemanjatan doa, memastikan bahwa pertunjukan berlangsung dalam restu alam semesta.
II. Akar Historis dan Landasan Filosofis
Sejarah Barongan Krido Budoyo, seperti banyak kesenian rakyat Jawa lainnya, seringkali bersumber dari cerita lisan dan babad. Diyakini bahwa Barongan merupakan turunan atau adaptasi dari kisah-kisah kerajaan kuno, terutama yang berkaitan dengan figur singa atau macan sebagai lambang kekuasaan dan keberanian. Beberapa pakar menghubungkannya dengan tradisi pra-Islam di Jawa, di mana kekuatan alam dan roh binatang menjadi objek pemujaan atau penghormatan.
III.A. Dari Mitos Lokal hingga Seni Pertunjukan
Dalam konteks Jawa Timur dan sekitarnya, Barongan sering dikaitkan dengan narasi historis yang melibatkan tokoh legendaris atau peristiwa penting di masa lalu. Meskipun detail kisahnya bervariasi antar daerah, inti ceritanya selalu berkisar pada perjuangan melawan kejahatan, penaklukkan, atau upaya untuk mengusir wabah penyakit. Karakter Barong, dengan wujudnya yang menyeramkan namun agung, melambangkan kekuatan mistis yang mampu menyeimbangkan kekacauan.
Filosofi utama yang diemban oleh Krido Budoyo adalah dualitas. Pertunjukan ini selalu menampilkan kontras: kekuatan Barong vs. kelincahan Jathil, kekocakan Bujang Ganong vs. keseriusan Gamelan. Kontras ini mencerminkan pandangan hidup Jawa tentang Rwa Bhineda, yaitu dua hal yang berbeda namun saling melengkapi dan tak terpisahkan—seperti siang dan malam, baik dan buruk. Dalam setiap gerak tari, ada unsur kekerasan dan kelembutan, keganasan dan kesucian, yang semuanya berpadu dalam sebuah koreografi kehidupan.
Elemen Trance (Janturan) adalah inti dari dimensi filosofis Barongan. Trance bukanlah sekadar akting, melainkan sebuah proses di mana pemain membuka diri terhadap energi spiritual yang diyakini bersemayam dalam topeng atau pusaka. Ini adalah penegasan bahwa manusia adalah bagian dari kosmos yang lebih besar, dan bahwa interaksi dengan dunia gaib adalah keniscayaan. Pemain yang memasuki kondisi trance, atau *ndadi*, dianggap sedang menyalurkan energi leluhur atau roh penunggu, menjadikannya perantara antara dua dunia. Prosesi ini menuntut penghormatan tinggi, baik dari pemain maupun penonton.
Krido Budoyo sebagai Sarana Pembersihan. Selain hiburan, fungsi filosofis Barongan seringkali adalah *ruwatan* (pembersihan). Ketika sebuah desa dilanda musibah atau ketika ada hajatan besar (seperti pernikahan atau sunatan), pementasan Barongan diyakini dapat mengusir aura negatif, melindungi komunitas, dan mendatangkan berkah. Energi yang dilepaskan oleh Barong, meskipun terlihat liar, pada dasarnya adalah energi pelindung yang membersihkan batas-batas wilayah spiritual desa tersebut.
Pengajaran moral yang disampaikan sangat halus. Meskipun topeng Barong tampak menakutkan, ia bukanlah iblis. Ia adalah penjaga yang menuntut keberanian, kejujuran, dan kepatuhan terhadap tatanan sosial. Karakter-karakter pendukung seperti Jathil dan Bujang Ganong juga membawa pelajaran tentang kesetiaan, kelincahan dalam menghadapi masalah, dan pentingnya humor dalam kehidupan yang keras. Semua ini dirajut dalam narasi yang sederhana namun mendalam.
Filosofi Bopo lan Biung (Ayah dan Ibu) juga sering tercermin. Barong dapat diinterpretasikan sebagai figur kebapakan yang kuat dan melindungi, sementara para Jathil atau elemen penari kuda lumping yang lembut bisa melambangkan unsur keibuan. Keseimbangan antara maskulin dan feminin ini adalah kunci harmoni dalam pertunjukan, dan juga dalam kehidupan masyarakat Jawa.
III. Anatomi Pertunjukan Krido Budoyo: Tokoh dan Peran
Pementasan Barongan Krido Budoyo terdiri dari beberapa komponen inti yang masing-masing memainkan peran krusial dalam membangun alur cerita, irama, dan suasana spiritual. Tanpa kehadiran salah satu elemen, pertunjukan tidak akan utuh.
III.A. Barong (Dhadhak): Inti dari Pertunjukan
Barong adalah maskot utama dan figur sentral. Di Jawa, Barong ini dikenal dengan topeng besar yang terbuat dari kayu kuat, seperti kayu randu atau sejenisnya, dengan hiasan gembeng (mahkota) yang megah terbuat dari rambut ekor kuda atau ijuk yang dihias cermin atau kain berwarna cerah. Barong dimainkan oleh satu atau dua orang, tergantung jenisnya. Barong gaya Blora/Cepu, yang sering diacu oleh kelompok Krido Budoyo, memiliki karakteristik visual yang khas: mata melotot, taring tajam, dan dominasi warna merah, hitam, dan emas.
Detail Konstruksi Topeng Barong. Pembuatan Barong adalah proses yang sakral. Kayu yang dipilih tidak boleh sembarangan; seringkali kayu yang sudah mati secara alami atau yang dianggap memiliki energi tertentu. Sebelum diukir, kayu harus melalui ritual pensucian. Proses ukirannya sendiri membutuhkan ketelitian tinggi, terutama pada bagian ekspresi wajah dan penempatan taring. Bagian penting lainnya adalah dhadhak atau rangka bambu yang berfungsi sebagai tubuh Barong, ditutupi ijuk atau karung goni untuk menciptakan kesan bulu yang lebat dan menakutkan. Barong sering memiliki berat yang signifikan, menuntut kekuatan fisik dan spiritual tinggi dari sang Pembarong.
Peran Barong dalam drama adalah sebagai penjelajah, penyerang, atau pelindung. Gerakannya kasar, menghentak, dan penuh energi. Barong sering kali menjadi tokoh yang pertama kali memasuki kondisi trance, memancarkan aura mistis yang menguasai arena pementasan. Ketika Barong "bermain" diiringi tabuhan gamelan yang dinamis, penonton diajak merasakan kekuatan primal yang tak terkendali.
III.B. Jathil (Jaranan): Prajurit Kuda Lumping
Jathil, penari yang menggunakan properti kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu (kuda lumping), melambangkan prajurit yang setia atau pasukan berkuda. Dalam Barongan Krido Budoyo, Jathil seringkali ditampilkan sebagai kelompok yang harmonis dan disiplin, kontras dengan sifat liar Barong. Gerakan Jathil dinamis, lincah, dan ritmis, menuntut stamina luar biasa.
Jathil, sebagai simbol kesetiaan prajurit.
Dalam perkembangannya, seringkali penari Jathil adalah perempuan atau laki-laki yang berpenampilan feminin, menambahkan unsur keindahan dan kelembutan. Namun, ketika mereka memasuki kondisi trance, gerakan mereka berubah menjadi kuat, seringkali melakukan aksi-aksi ekstrem seperti memakan pecahan kaca, arang, atau benda keras lainnya, yang melambangkan kekebalan dan kesaktian yang didapat dari roh.
III.C. Bujang Ganong (Ganongan): Si Lincah Penuh Lelucon
Bujang Ganong adalah tokoh yang paling humanis dan sering menjadi penghubung antara pertunjukan dan penonton. Ia adalah seorang patih atau abdi yang loyal, namun dengan sifat yang kocak, lincah, dan penuh improvisasi. Topengnya khas: hidung panjang, mata besar, dan senyum lebar yang sering disalahartikan sebagai topeng komedi, padahal ia adalah lambang kecerdasan dan kelincahan berpikir.
Peran Bujang Ganong sangat penting untuk menjaga dinamika pertunjukan agar tidak terlalu tegang akibat elemen spiritual Barong. Ia bertanggung jawab atas dagelan (komedi) dan interaksi. Gerakannya adalah akrobatik, salto, dan tarian cepat. Dalam beberapa versi cerita, Bujang Ganong adalah yang berusaha menenangkan Barong yang sedang mengamuk atau membantu para Jathil yang sedang kesurupan. Ia adalah mediator antara kekacauan dan keteraturan.
III.D. Pembarong dan Warok: Pengendali Spiritual
Pembarong adalah orang yang memainkan Barong. Ia harus memiliki fisik kuat dan spiritualitas yang matang, karena dialah yang pertama kali berhadapan langsung dengan energi spiritual topeng. Pembarong seringkali harus menjalani puasa atau ritual tertentu sebelum pementasan. Warok adalah figur penting lainnya; ia bertindak sebagai pemimpin spiritual dan penanggung jawab keamanan selama pertunjukan, terutama saat janturan terjadi. Warok memiliki tugas berat untuk mengontrol pemain yang kesurupan dan mengembalikan kesadaran mereka setelah ritual selesai. Warok inilah yang sering terlihat membacakan mantra atau memercikkan air suci.
Keseimbangan antara semua tokoh ini menciptakan narasi yang kaya. Barong membawa kekuatan, Jathil membawa keindahan dan kesetiaan, Bujang Ganong membawa kecerdasan dan humor, dan Warok membawa kendali spiritual. Mereka adalah sebuah orkestra visual dan spiritual.
IV. Wirama Krido Budoyo: Kekuatan Musik Gamelan Pengiring
Mustahil membicarakan Barongan Krido Budoyo tanpa mendalami musik pengiringnya. Gamelan dalam pertunjukan ini bukanlah sekadar latar belakang, melainkan napas yang memompa energi, pemicu trance, dan penentu ritme pementasan. Irama yang digunakan biasanya lebih cepat, keras, dan repetitif dibandingkan Gamelan keraton yang lebih halus, mencerminkan sifat kerakyatan dan primal dari pertunjukan Barongan.
IV.A. Alat Musik Utama
Struktur Gamelan Barongan cenderung lebih sederhana, namun intensitasnya luar biasa. Alat musik yang dominan meliputi:
- Kendang: Jantung dari seluruh ansambel. Kendang menetapkan tempo dan ritme dasar. Dalam Barongan, Kendang dimainkan dengan penuh semangat (greget), seringkali memimpin transisi antara adegan biasa dan adegan trance. Teknik tabuhan yang sangat dinamis menciptakan getaran yang secara fisik memengaruhi penonton dan pemain.
- Gong dan Kempul: Memberikan penekanan pada siklus irama (gongan). Gong besar menandai akhir dari satu siklus melodi yang panjang, memberikan jeda dramatis, sementara Kempul mengisi interval dengan aksen yang lebih ringan. Suara Gong yang berat dan bergaung memiliki resonansi spiritual yang kuat.
- Kenong dan Bonang: Instrumen penentu melodi dan pengisi harmoni. Mereka memainkan melodi utama dengan pola yang berulang, menciptakan hipnosis audio yang penting untuk memicu kondisi trance. Pukulan Bonang yang cepat sering digunakan untuk menggambarkan kegembiraan atau konflik yang memuncak.
- Saron dan Demung (Balungan): Meskipun tidak selalu sekompleks Gamelan lengkap, instrumen balungan ini memainkan kerangka melodi utama, memberikan struktur yang kuat pada musik yang didominasi oleh kendang dan gong.
- Slompret/Terompet: Instrumen tiup yang paling ikonik dalam Barongan. Suara Slompret yang melengking dan meliuk-liuk menjadi suara Barong itu sendiri. Slompret seringkali improvisatif, mengikuti gerakan Barong, meningkatkan tensi, dan berfungsi sebagai panggilan bagi roh-roh untuk hadir.
Kendang, penentu irama dan energi dalam Gamelan Barongan.
IV.B. Fungsi Musik dalam Pemicuan Trance
Irama dalam Barongan Krido Budoyo dirancang untuk menciptakan gelombang energi yang spesifik. Musik tidak hanya menghibur telinga, tetapi juga mempengaruhi kesadaran pemain. Terdapat lagu-lagu atau pola irama khusus yang dikenal sebagai "Iringan Janturan." Ketika iringan ini dimainkan, tempo meningkat secara drastis, volume memuncak, dan ritme menjadi sangat monoton namun menghentak (repetitif). Transisi ini adalah kunci spiritual; ia membantu pemain melepaskan kontrol rasional dan memasuki kondisi kesurupan.
Musik Gamelan Barongan juga mencerminkan konsep Wirama (ritme), Wirasa (rasa/emosi), dan Wiraga (gerak). Ketiga elemen ini harus selaras. Jika musik kehilangan wiramanya, gerak tarian akan hambar; jika rasa spiritualnya hilang, Barong hanyalah topeng kosong. Oleh karena itu, para penabuh Gamelan dalam Krido Budoyo harus memiliki kepekaan tinggi terhadap perkembangan emosi di panggung.
IV.C. Kekuatan Vokal dan Mantra
Selain instrumen, vokal (sinden atau penembang) juga hadir, membawakan lagu-lagu berbahasa Jawa yang berisi pujian, nasihat, atau narasi cerita. Namun, yang lebih penting dalam aspek spiritual adalah mantra-mantra yang diucapkan oleh Warok di sela-sela musik. Mantra-mantra ini berfungsi sebagai pengaman, penarik energi, atau penenang, memastikan bahwa interaksi spiritual tetap berada di bawah kendali kelompok.
Intensitas musik yang dihasilkan Gamelan Barongan Krido Budoyo adalah representasi dari energi bumi yang liar dan tak terjamah. Ini adalah musik yang menggerakkan massa, bukan hanya pemain. Ketika Barong mulai menghentak dan kendang berdentum keras, seluruh desa yang menonton secara tidak langsung ikut terseret ke dalam pusaran energi pertunjukan tersebut, menciptakan pengalaman komunal yang tak tertandingi.
V. Prosesi Pertunjukan: Dari Persiapan Hingga Penutup
Sebuah pementasan Barongan Krido Budoyo adalah sebuah ritual yang terstruktur, bukan sekadar urutan adegan acak. Prosesinya terbagi menjadi tiga fase besar: Persiapan (Pensucian), Puncak (Inti Pertunjukan dan Janturan), dan Penutup (Pengembalian Kesadaran).
V.A. Tahap Persiapan dan Ritual Pensucian
Sebelum pertunjukan dimulai, ritual wajib dilakukan. Ini melibatkan penyiapan sesajen (persembahan), yang biasanya terdiri dari kembang tujuh rupa, kopi pahit, rokok, nasi tumpeng, dan kemenyan (dupa). Sesajen ini diletakkan di dekat topeng Barong atau di tempat Gamelan berada. Tujuannya adalah memohon izin dan keselamatan kepada roh-roh pelindung (dhanyang) wilayah setempat dan arwah leluhur yang diyakini bersemayam dalam topeng pusaka.
Setiap pemain harus membersihkan diri, baik secara fisik maupun spiritual. Pakaian dikenakan dengan tata krama tertentu. Warok akan memimpin doa, memercikkan air suci (tirta) kepada alat musik dan properti. Topeng Barong, yang dianggap memiliki daya magis tertinggi, hanya boleh disentuh oleh orang-orang tertentu yang telah diizinkan atau disucikan. Fase ini sangat khusyuk dan menentukan keberhasilan pertunjukan secara spiritual.
V.B. Puncak Pertunjukan dan Janturan
Pertunjukan dibuka dengan penampilan Gamelan dan tari pembuka yang lambat dan harmonis. Kemudian, Jathil akan masuk, menampilkan koreografi barisan yang rapi, melambangkan disiplin prajurit. Musik berangsur-angsur naik temponya.
Barong akan memasuki arena, diikuti oleh Bujang Ganong. Interaksi antara Barong dan Bujang Ganong (seringkali berupa perkelahian yang lucu atau pengejaran) menjadi hiburan utama. Di tengah-tengah keramaian, ketika musik mencapai puncaknya (iringan janturan), energi spiritual mulai bekerja.
Fase Trance (Kesurupan). Kondisi trance biasanya dimulai dari Jathil yang paling rentan atau dari Pembarong. Tubuh pemain mulai gemetar, mata mereka kosong, dan gerakan mereka berubah drastis menjadi liar, tidak terduga, dan kadang-kadang agresif. Mereka mungkin meniru perilaku kuda (Jathil) atau singa (Barong). Pada titik ini, Warok dan tim spiritual harus bekerja keras mengamankan pemain, memastikan mereka tidak melukai diri sendiri atau penonton, sambil tetap membiarkan energi spiritual tersebut terlepas.
Adegan makan arang, kaca, atau api adalah bagian dari ritual trance yang menunjukkan kekebalan yang didapat dari roh. Aksi-aksi ini adalah demonstrasi kekuatan spiritual yang diyakini masyarakat sebagai bukti nyata dari kehadiran gaib dalam pertunjukan. Puncak ketegangan ini bisa berlangsung puluhan menit, tergantung bagaimana Warok mengendalikan situasi.
V.C. Tahap Pengembalian Kesadaran (Ngrogoh)
Prosesi paling sensitif adalah pengembalian kesadaran (dikenal sebagai *ngrogoh* atau *pemulihan*). Ketika energi trance harus diakhiri, Warok akan mendekati pemain yang kesurupan. Dengan menggunakan mantra, air suci, dan sentuhan fisik yang ditujukan pada titik-titik tertentu di tubuh (seperti ubun-ubun atau punggung), Warok secara bertahap menarik kembali roh yang merasuki pemain.
Setelah kesadaran pulih, pemain seringkali tidak mengingat apa pun yang mereka lakukan selama trance. Prosesi ditutup dengan tari penutup yang tenang, dan Gamelan memainkan lagu yang lembut, mengembalikan suasana damai ke arena. Akhir pertunjukan selalu ditandai dengan penghormatan terakhir kepada Barong dan topengnya, yang kemudian disimpan kembali di tempat yang terhormat.
VI. Barongan Krido Budoyo di Tengah Arus Modernitas
Sebagai kesenian rakyat yang mengandalkan tradisi lisan dan ritual spiritual, Barongan Krido Budoyo menghadapi tantangan adaptasi yang kompleks di era modern. Globalisasi, media digital, dan pergeseran nilai-nilai masyarakat kontemporer menuntut kesenian ini untuk menemukan keseimbangan baru antara konservasi pakem dan kebutuhan untuk tetap relevan.
VI.A. Tantangan Pelestarian
Salah satu tantangan terbesar adalah regenerasi. Menjadi Pembarong atau anggota Gamelan Barongan membutuhkan dedikasi spiritual yang tinggi, sesuatu yang sulit dipertahankan oleh generasi muda yang terpapar hiburan instan. Pelatihan untuk menguasai irama Janturan atau kemampuan memasuki trance secara terkontrol membutuhkan waktu bertahun-tahun dan bimbingan guru spiritual (Warok) yang kredibel.
Selain itu, aspek ritualistik Barongan seringkali bertentangan dengan pandangan modern yang lebih rasional. Beberapa masyarakat perkotaan cenderung memandang trance sebagai fenomena yang harus dijelaskan secara medis atau psikologis, mengurangi dimensi spiritualnya. Kelompok Barongan Krido Budoyo harus berjuang keras untuk menjelaskan bahwa nilai mistis adalah inti, bukan sekadar bumbu penyedap.
VI.B. Adaptasi dan Inovasi yang Hati-hati
Untuk bertahan, banyak kelompok Barongan, termasuk Krido Budoyo, mulai melakukan adaptasi. Adaptasi ini seringkali terlihat dalam tiga aspek:
- Durasi Pertunjukan: Pertunjukan tradisional bisa berlangsung semalam suntuk. Kini, untuk festival atau acara komersial, durasi dipersingkat menjadi 1-2 jam, menuntut pemadatan narasi tanpa menghilangkan momen-momen krusial.
- Penggunaan Properti: Meskipun topeng utama harus tetap tradisional, properti lain seperti kostum Jathil dan tata panggung mulai menggunakan bahan yang lebih modern dan tahan lama, serta pencahayaan yang lebih dramatis.
- Media dan Dokumentasi: Pemanfaatan media sosial dan dokumentasi video telah membantu Barongan Krido Budoyo menjangkau audiens yang lebih luas. Dokumentasi ini juga berfungsi sebagai arsip visual untuk pakem tari dan musik, membantu dalam proses pembelajaran.
Namun, inovasi ini dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemimpin kelompok harus memastikan bahwa inti spiritual, yaitu ritual pensucian dan proses Janturan, tidak dikompromikan. Barong yang dimainkan untuk hiburan semata tanpa ritual pendahuluan dianggap kehilangan wahyu (anugerah spiritual) dan hanya menjadi patung kayu biasa.
VI.C. Barongan Krido Budoyo sebagai Sumber Pendidikan Karakter
Peran penting Barongan dalam masyarakat modern juga bergeser menjadi sumber pendidikan karakter. Disiplin dalam tari Jathil mengajarkan kekompakan, sementara tuntutan spiritual pada Pembarong mengajarkan kesabaran dan pengendalian diri. Kesenian ini menjadi sekolah tak resmi bagi para pelakunya, menanamkan nilai-nilai unggah-ungguh (sopan santun) dan rasa cinta terhadap budaya leluhur.
Barongan Krido Budoyo berdiri sebagai monumen hidup. Ia adalah jembatan antara masa lalu yang mistis dan masa kini yang pragmatis. Keberhasilannya di masa depan sangat bergantung pada seberapa jauh komunitas pendukungnya mampu menanamkan kembali rasa hormat dan kekhusyukan terhadap nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam setiap hentakan kaki Jathil, setiap dentuman kendang, dan setiap tatapan mata Barong yang terbuat dari kayu suci.
VII. Simbolisme dalam Gerak, Warna, dan Kostum Krido Budoyo
Setiap elemen visual dan gerak dalam Barongan Krido Budoyo adalah bahasa simbolis. Kesenian ini tidak pernah bertujuan untuk realisme; sebaliknya, ia mencari makna yang lebih dalam melalui representasi yang dilebih-lebihkan.
VII.A. Simbolisme Warna Topeng
Warna yang dominan pada topeng Barong dan riasan Bujang Ganong memiliki arti yang spesifik dalam kosmologi Jawa:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, nafsu (dalam arti energi primal), dan keganasan. Dominasi merah pada wajah Barong menunjukkan kekuatan yang tak terkendali dan sifatnya sebagai makhluk penakluk.
- Emas dan Kuning: Melambangkan kemuliaan, kekuasaan, dan status dewa atau raja. Digunakan pada hiasan mahkota (gembeng) Barong, menunjukkan bahwa ia adalah makhluk agung.
- Hitam: Melambangkan kekuatan magis, misteri, dan dimensi spiritual yang gelap atau tidak terlihat. Digunakan pada bulu Barong dan garis mata.
Topeng Bujang Ganong, dengan warna kulit yang cerah (merah muda atau putih) dan seringkali rambut gimbal yang acak-acakan, melambangkan figur yang dekat dengan rakyat, namun tetap memiliki kesaktian. Hidungnya yang panjang sering diinterpretasikan sebagai simbol kepekaan dan kemampuan untuk mencium bahaya atau kebohongan.
VII.B. Simbolisme Gerak Tarian
Gerak dalam Barongan bukanlah sekadar koreografi, melainkan ekspresi energi spiritual. Terdapat tiga kategori utama:
- Gerak Barong: Gerak yang kasar, menghentak, dan melibatkan ayunan kepala yang dramatis. Ini melambangkan kekuatan alam yang tak terduga, badai, atau gempa bumi. Ketika Barong menggerakkan ekornya ke tanah, itu bisa diartikan sebagai upaya mengusir roh jahat dari bumi.
- Gerak Jathil: Gerakan yang teratur, ritmis, dan elegan, meskipun cepat. Jathil melambangkan disiplin militer dan kemampuan untuk menari di tengah kekacauan (Barong). Kuda lumping yang mereka tunggangi melambangkan kendaraan spiritual yang membawa mereka melintasi batas-batas dunia nyata.
- Gerak Bujang Ganong: Gerakan akrobatik, melompat tinggi, dan berputar. Ini melambangkan kecerdasan yang lincah, kemampuan untuk beradaptasi, dan penguasaan teknik bela diri yang tinggi.
Transisi dari gerak teratur ke gerak liar saat janturan terjadi adalah simbol paling kuat: runtuhnya batas antara rasionalitas manusia dan energi spiritual alam semesta. Ini adalah momen katarsis bagi penonton, penegasan bahwa kekuasaan spiritual masih jauh lebih besar daripada kekuasaan fisik manusia.
Simbolisme juga ditemukan dalam properti. Pecut (cambuk) yang digunakan oleh Warok atau Jathil bukan hanya alat musik atau penanda ritme, tetapi juga simbol otoritas untuk mengusir makhluk halus. Bunyi pecut yang keras berfungsi sebagai pengantar ke kondisi trance dan penutup ritual tersebut.
VIII. Krido Budoyo: Menjaga Api Semangat Budaya
Barongan Krido Budoyo adalah warisan yang jauh lebih besar daripada kumpulan topeng dan alat musik. Ia adalah sebuah sistem pengetahuan lokal yang memuat sejarah lisan, etika sosial, dan pandangan dunia yang unik. Menjaga kesenian ini berarti menjaga kontinuitas sejarah komunitas tersebut.
Komitmen terhadap "Krido Budoyo"—aksi budaya—menuntut kelompok seni untuk secara aktif terlibat dalam pendidikan masyarakat. Kelompok ini sering menjadi pusat pelatihan informal di desa, di mana anak-anak diajari tabuhan gamelan, dasar-dasar tari, dan yang terpenting, tata krama spiritual yang mengikat seluruh pertunjukan.
Meskipun tantangan modernisasi dan komersialisasi mengintai, kelompok Barongan Krido Budoyo terus berupaya memperkuat pakem inti. Mereka memahami bahwa menghilangkan ritual pensucian demi kepraktisan, atau menghilangkan aspek trance demi keamanan, sama saja dengan mencabut nyawa spiritual dari kesenian itu sendiri. Oleh karena itu, kolaborasi dengan tokoh agama lokal dan sesepuh adat menjadi kunci dalam memastikan bahwa tradisi spiritual tetap terjaga otentisitasnya.
Kekuatan Barongan terletak pada kemampuannya untuk berinteraksi secara intim dengan penonton. Tidak seperti pertunjukan panggung modern, Barongan sering kali dimainkan di tanah lapang, di tengah kerumunan, bahkan melibatkan penonton dalam adegan trance. Interaksi langsung ini menegaskan peran Barongan sebagai seni yang inklusif, milik seluruh lapisan masyarakat, dan bukan sekadar milik elite.
Barongan Krido Budoyo adalah panggilan untuk mengingat akar spiritual kita, untuk menghargai kekuatan yang datang dari alam dan leluhur, dan untuk merayakan kehidupan melalui gerak dan irama yang penuh semangat. Ia adalah cerminan dari jiwa Jawa yang berani, dinamis, dan selalu mencari harmoni di tengah dualitas dunia.
Sebagai penutup, kita melihat Barongan Krido Budoyo bukan sebagai relik masa lalu yang beku, melainkan sebagai sungai budaya yang terus mengalir, membawa serta kearifan para pendahulu, siap untuk diwariskan kepada generasi mendatang. Warisan ini menuntut tanggung jawab kolektif untuk memastikan bahwa tabuhan kendang dan auman Barong akan terus bergema di bumi Nusantara.