Barongan Seto

Menguak Kedalaman Filosofi Kesucian dan Wibawa dalam Seni Tradisi Jawa

Pengenalan Barongan Seto: Simbol Kemurnian dalam Pertunjukan

Barongan, sebagai salah satu warisan seni pertunjukan rakyat yang paling ikonik di Pulau Jawa, seringkali menampilkan sosok singa raksasa yang gagah, penuh warna, dan berkarakteristik dinamis. Namun, di antara ragam variasi Barongan yang dikenal luas, munculah satu entitas yang memiliki kekhasan, keagungan, dan kedalaman filosofis yang berbeda: Barongan Seto. Nama 'Seto' sendiri merupakan turunan dari bahasa Jawa Kuno yang berarti 'putih' atau 'suci'. Keberadaan Barongan Seto tidak sekadar merujuk pada warna fisik topengnya yang didominasi putih gading atau perak, melainkan melambangkan puncak spiritualitas, kemurnian niat, dan otoritas spiritual yang jarang ditemukan pada Barongan jenis lainnya.

Secara geografis, Barongan Seto banyak ditemukan dan dijaga otentisitasnya di kantong-kantong budaya yang masih kental memegang teguh tradisi adiluhung, seringkali di wilayah Jawa Tengah bagian selatan atau Jawa Timur bagian barat daya. Ia bukanlah Barongan yang lazim tampil dalam keramaian pasar atau hajatan biasa, melainkan lebih sering dikaitkan dengan upacara adat yang sakral, seperti ritual ruwatan, tolak balak besar, atau peringatan hari-hari besar keraton atau desa-desa tua yang memiliki garis keturunan luhur. Perbedaan fundamental ini menempatkan Barongan Seto pada strata yang lebih tinggi dalam hirarki seni pertunjukan rakyat, menjadikannya pusaka budaya yang dijaga dengan ketat melalui laku spiritual dan tradisi turun-temurun.

Pemahaman mengenai Barongan Seto harus dimulai dari interpretasi warna putih itu sendiri. Dalam kosmologi Jawa, putih (Seto) adalah representasi dari kesucian sejati, awal mula penciptaan (sangkan paraning dumadi), dan juga simbol dari kekuatan gaib yang bersifat murni (cahya Illahi). Ini kontras dengan Barongan merah atau hitam yang lebih sering mewakili sifat-sifat duniawi, keberanian, atau kekuatan magis yang lebih bersifat agitatif. Seto menghadirkan ketenangan, kewibawaan yang hening, serta aura kepemimpinan spiritual yang mampu menenangkan dan menetralisir energi negatif. Pementasan Barongan Seto, oleh karena itu, tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi sebagai ritual pembersihan dan penegasan kembali harmoni kosmik dalam komunitas.

Tradisi lisan yang mengelilingi Barongan Seto seringkali menghubungkannya dengan kisah-kisah para wali atau bangsawan yang mencapai moksa (pencerahan spiritual), yang kemudian mewariskan energi pelindung mereka kepada topeng tersebut. Beberapa narasi menyebutkan bahwa Barongan Seto adalah jelmaan dari Singo Barong yang telah disucikan, atau bahkan merupakan manifestasi dari hewan tunggangan para dewa atau leluhur agung yang ditugaskan menjaga tanah Jawa dari mara bahaya. Kedalaman mitologi ini menuntut para penggiat Barongan Seto—mulai dari penari, pemusik, hingga perajin topeng—untuk menjalani berbagai pantangan dan tirakat (asketisme) sebelum dan selama pementasan, menjamin bahwa kekuatan spiritual topeng tetap utuh dan berdaya guna.

Kepala Singo Barong Seto Representasi sederhana kepala Barongan Seto berwarna putih gading dengan hiasan emas dan mahkota. Melambangkan kesucian dan kewibawaan.

Visualisasi simbolis Kepala Singo Barong Seto, menekankan warna putih suci dan hiasan emas sebagai lambang kewibawaan spiritual.

Kedalaman Filosofi Seto: Manifestasi Sangkan Paraning Dumadi

Filosofi yang melekat pada Barongan Seto jauh melampaui sekadar pertunjukan visual. Ia adalah media kontemplasi (sarana pangajab) mengenai hakikat keberadaan, yang disarikan dalam konsep Seto. Dalam ajaran Kejawen, empat warna utama—merah (nafsu amarah), hitam (nafsu lawwamah), kuning (nafsu supiah), dan putih (nafsu mutmainah)—melambangkan empat nafsu atau sedulur papat yang mengiringi setiap manusia sejak lahir. Barongan Seto, yang identik dengan warna putih, secara eksplisit merepresentasikan 'Nafsu Mutmainah'—nafsu yang telah mencapai ketenangan, kedamaian, dan kepasrahan total kepada Yang Maha Kuasa.

Seto sebagai Puncak Perjalanan Spiritual

Mutmainah dianggap sebagai tingkatan spiritual tertinggi, di mana kesadaran diri telah mengatasi keinginan duniawi dan kembali kepada fitrah yang suci. Ketika Barongan Seto menari, ia bukan sekadar menirukan gerakan singa, melainkan menarikan perjalanan batin seorang individu yang berjuang mencari kesempurnaan hidup. Gerakannya cenderung lebih lambat, lebih berwibawa, dan penuh 'isi' (kekuatan batin), berbeda dengan Barongan biasa yang mungkin lebih atraktif dan akrobatik. Setiap hentakan kaki, setiap kibasan rambut putihnya, mengandung wejangan moral tentang pentingnya pengendalian diri (laku prihatin) dan pencapaian hati yang bersih.

Warna putih juga secara implisit mengandung makna wangsa atau garis keturunan suci. Di masa lalu, Barongan Seto sering dikaitkan dengan kerajaan-kerajaan Jawa yang ingin menonjolkan klaim mereka atas legitimasi spiritual dan kekuasaan yang bersih dari korupsi atau hawa nafsu. Penggunaan Seto menegaskan bahwa pemimpin atau komunitas yang mementaskannya adalah pewaris tradisi spiritual yang murni. Ini menciptakan sebuah aura perlindungan batin (pagar gaib) bagi desa atau wilayah yang memelihara tradisi ini, karena diyakini bahwa kesucian Seto mampu menangkal energi negatif atau sihir hitam yang dikirim oleh musuh.

Bukan hanya itu, filosofi Seto merangkul konsep Dzat yang tak terdefinisikan, ruang hampa sebelum terciptanya alam semesta, atau sering disebut ‘alam kelanggengan’. Ini membuat Barongan Seto memiliki koneksi yang mendalam dengan alam spiritual, berfungsi sebagai jembatan antara dunia manusia (jagad cilik) dan dunia spiritual (jagad gede). Pementasannya seringkali disertai dengan pembacaan mantra-mantra kuna atau kidung-kidung (lagu sakral) yang dimaksudkan untuk memanggil roh pelindung atau meminta restu dari leluhur yang telah mencapai kesempurnaan. Peran sang pawang atau danyang (pemimpin spiritual kelompok) dalam Barongan Seto menjadi sangat sentral, jauh melebihi sekadar koordinator pertunjukan.

Detail Simbolis pada Rupa Seto

Setiap bagian dari topeng Barongan Seto dibuat dengan penuh perhitungan simbolis. Rambut atau manenya, yang terbuat dari ijuk atau tali serat putih murni, melambangkan cahya (cahaya) yang dipancarkan oleh jiwa yang bersih. Mata Barongan Seto seringkali digambarkan sedikit lebih tenang atau 'menerawang' dibandingkan Barongan lain yang matanya melotot penuh amarah. Bahkan aksen warnanya pun dipilih dengan hati-hati. Jika ada aksen lain, biasanya hanya warna emas (prada) atau perak, yang melambangkan kemuliaan dan status bangsawan, mempertegas bahwa kesucian Seto adalah kesucian yang berwibawa (berkekuatan).

Keseluruhan wujud Barongan Seto adalah paripurna—sempurna, utuh, dan tanpa cela. Ia mewakili idealisme moral dan spiritual tertinggi dalam masyarakat Jawa. Kesenian ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada agresi atau dominasi fisik, melainkan pada pengendalian diri, keheningan batin, dan kepemimpinan yang berlandaskan moral murni. Bagi generasi muda, Barongan Seto adalah pengingat visual akan akar budaya dan pentingnya menjaga integritas spiritual di tengah gempuran modernisasi yang serba cepat dan materialistis.

Prosesi pembuatan topeng Barongan Seto sendiri merupakan ritual yang panjang, meliputi pemilihan kayu dari pohon yang dianggap sakral (misalnya, pohon randu alas atau pule), dilanjutkan dengan puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih) oleh sang perajin selama beberapa hari, serta pembacaan doa-doa tertentu untuk 'mengisi' topeng dengan energi positif. Kayu yang dipilih haruslah kayu yang 'mati ngurip' (kayu yang mati namun masih memancarkan aura kehidupan) atau kayu yang jatuh sendiri tanpa ditebang, sebagai simbol restu alam. Semua detail ini menunjukkan bahwa Barongan Seto adalah benda pusaka hidup, bukan sekadar properti seni.

Genealogi Barongan Seto: Jejak Historis dan Legenda

Menelusuri asal-usul Barongan Seto membawa kita kembali ke masa-masa penting dalam sejarah Jawa, khususnya periode transisi antara era Hindu-Buddha (Majapahit) menuju era Islam (Demak dan Mataram). Meskipun Barongan secara umum sering dikaitkan dengan Raja Singo Barong dari kisah Jathil, Barongan Seto memiliki narasi tambahan yang mengaitkannya langsung dengan tokoh-tokoh suci atau waliyullah.

Koneksi dengan Majapahit dan Transisi Agama

Salah satu teori yang populer adalah bahwa Barongan Seto merupakan reinterpretasi dari simbol Singa Emas Majapahit, yang kemudian disucikan atau diubah warnanya menjadi putih sebagai respons terhadap masuknya ajaran Islam yang menekankan pada konsep tauhid dan kesucian mutlak. Transformasi ini memungkinkan seni pertunjukan lama untuk bertahan, tetapi dengan pesan filosofis yang baru, menjadikannya alat dakwah budaya yang halus namun kuat. Warna putih Seto di sini dapat diartikan sebagai "cahaya iman" yang menggantikan kegelapan kemusyrikan.

Legenda lain yang sangat kuat adalah keterkaitannya dengan Ki Ageng Seto atau tokoh spiritual lokal yang memiliki nama Seto. Ki Ageng Seto sering digambarkan sebagai seorang pertapa suci atau pemimpin desa yang memiliki kesaktian luar biasa berkat kemurnian hatinya. Sebelum wafat, ia diyakini mewariskan kekuatan atau wujud perlindungannya kepada masyarakat dalam bentuk topeng Singo Seto. Oleh karena itu, di beberapa wilayah, pementasan Barongan Seto dianggap sebagai bentuk penghormatan dan permohonan perlindungan kepada Ki Ageng Seto atau leluhur agung lainnya.

Relasi dengan Reog Ponorogo dan Barongan Non-Seto

Penting untuk membedakan Barongan Seto dari Reog Ponorogo, meskipun keduanya memiliki akar Singo Barong. Reog Ponorogo, dengan Dhadhak Merak yang megah, lebih fokus pada narasi heroik dan pertarungan. Sementara itu, Barongan Seto, meski tetap gagah, lebih fokus pada elemen ritual dan ketenangan magis. Jika Barongan biasa seringkali menjadi simbol kekuatan fisik (kedigdayaan), Barongan Seto adalah simbol kekuatan spiritual (kewaskitaan).

Dalam pertunjukan, kelompok Barongan Seto biasanya memiliki struktur yang lebih formal dan hierarkis. Peran pembarong (penari Barongan Seto) sangat dijaga kesuciannya. Mereka dituntut untuk berpuasa, menjauhi maksiat, dan memiliki ketahanan fisik serta mental yang luar biasa, karena mereka harus mampu menahan beban topeng sambil berada dalam kondisi setengah kesurupan (trance) yang dipandu oleh kekuatan Seto. Trance dalam konteks Seto bukanlah trance yang liar, melainkan trance yang tenang dan berwibawa, sering disebut ndadi sejati (kemasukan sejati) yang membawa pesan atau ramalan.

Kisah-kisah babad dan serat kuno di beberapa wilayah juga mencatat bahwa Barongan Seto dulunya merupakan perlengkapan wajib bagi pasukan khusus keraton yang bertugas sebagai garda depan spiritual. Mereka akan mementaskan Seto sebelum berperang bukan untuk menakuti musuh, melainkan untuk membentengi diri mereka dengan energi putih yang dipercaya kebal terhadap segala bentuk serangan gaib. Barongan Seto berfungsi ganda: sebagai senjata batin dan sebagai simbol moral yang membangkitkan semangat prajurit untuk berjuang demi kebenaran (Seto).

Seiring waktu, meskipun kerajaan-kerajaan telah surut, fungsi Barongan Seto tidak hilang, melainkan bertransformasi menjadi penjaga tradisi di tingkat desa atau komunitas. Proses pewarisan Seto seringkali melibatkan ritual inisiasi yang ketat, di mana calon pembarong harus melewati ujian spiritual yang menguji kemurnian niat mereka. Hanya mereka yang dianggap memiliki 'darah Seto' atau kemurnian batin yang setara dengan filosofi topeng tersebut yang diizinkan untuk memegang dan menarikan Barongan Seto, memastikan bahwa energi spiritualnya tidak luntur atau disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang kotor.

Kontinuitas historis ini membuktikan bahwa Barongan Seto bukanlah sekadar kreasi seni yang muncul tiba-tiba, melainkan evolusi spiritual dari seni pertunjukan yang telah ada ribuan tahun, selalu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, namun tetap berpegang teguh pada inti ajaran kesucian dan kewibawaan Jawa. Pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, semuanya terintegrasi dalam simbolisme Seto, menciptakan warisan budaya yang kaya dan berlapis makna.

Anatomi Pementasan Barongan Seto: Gending dan Gerakan Adiluhung

Pementasan Barongan Seto memiliki protokol dan estetika yang sangat berbeda dari pertunjukan Barongan pada umumnya. Karena sifatnya yang sakral dan ritualistik, seluruh elemen pertunjukan—mulai dari tata rias, busana, hingga irama gamelan—dirancang untuk mendukung penciptaan aura magis dan agung.

Tata Busana dan Properti

Pembarong (penari) yang membawa Seto biasanya mengenakan pakaian yang dominan berwarna putih atau hitam legam (sebagai penyeimbang Seto dan simbol ketegasan) dengan hiasan prada emas yang minimalis, jauh dari kesan ramai atau mencolok. Fokus utama tetap pada Topeng Singo Seto. Topeng ini seringkali dilengkapi dengan cemeti (cambuk) atau keris yang diyakini telah melalui proses ritual pengisian energi. Properti ini bukan hanya pajangan, melainkan alat untuk mengusir roh jahat atau menetralisir energi negatif di lokasi pertunjukan.

Elemen pendukung lainnya, seperti Jathilan (kuda lumping) yang menyertai Seto, juga harus menyesuaikan diri. Kuda lumping Seto mungkin menggunakan kuda-kudaan berwarna putih atau hitam, dan penarinya harus menjaga sikap yang lebih sopan dan khidmat. Tidak seperti Jathilan biasa yang mungkin menampilkan adegan kesurupan yang enerjik, Jathilan pendamping Seto lebih fokus pada gerakan tari yang luwes dan penuh makna filosofis, melambangkan pengikut setia yang berjuang di bawah panji kesucian.

Irama Gending dan Kekuatan Suara

Musik pengiring (Gending) memainkan peran krusial dalam Barongan Seto. Gamelan yang digunakan biasanya harus ‘dipersucikan’ terlebih dahulu. Irama yang dimainkan cenderung lebih pelan, mengalun, dan repetitif pada awalnya, membangun ketegangan spiritual secara bertahap. Beberapa Gending khusus yang sering digunakan dalam ritual Seto antara lain Gending Seto Budoyo, Ladrang Seto Wibowo, atau Ketawang Seto Mulyo. Gending-gending ini memiliki tangga nada (laras) yang khas, seringkali menggunakan laras pelog yang memberikan nuansa mistis dan khusyuk.

Instrumen yang paling menonjol adalah Kendang Gendhing, yang dipukul dengan ritme yang stabil dan berwibawa, berfungsi sebagai ‘jantung’ pertunjukan. Suara gong besar yang ditiup (di-gong) pada interval tertentu melambangkan kesempurnaan (utuh) dan seringkali menjadi penanda puncak dari suatu adegan spiritual. Kekuatan suara dari Sinden atau Wiraswara yang menyanyikan Kidung Jawa Kuno berfungsi sebagai narasi batin, memanggil roh, dan memberikan wejangan lisan kepada audiens. Lirik-lirik yang dinyanyikan biasanya berisi pujian kepada leluhur, permohonan keselamatan, dan ajaran moral tentang kehidupan yang lurus.

Choreografi dan Trance Seto

Gerakan tari Barongan Seto bersifat alusan (halus) namun manteb (mantap). Transisi dari satu gerakan ke gerakan lain dilakukan dengan penuh perhitungan, melambangkan pengendalian diri sang Singo Barong Putih. Jika Barongan biasa mungkin menampilkan gerakan ‘menggigit’ yang agresif, Seto lebih sering menampilkan gerakan ‘mengayun’ yang anggun, melambangkan penebaran energi positif ke seluruh penjuru mata angin.

Momen klimaks terjadi ketika pembarong memasuki kondisi trance (ndadi). Berbeda dari kesurupan Barongan lain yang menampilkan kekuatan fisik ekstrem, trance Seto ditandai dengan ketenangan mata, namun kekuatan internal yang luar biasa. Pembarong dalam kondisi ini diyakini mampu melakukan atraksi yang berhubungan dengan pembersihan, seperti memakan pecahan kaca atau bara api, tetapi dilakukan dengan tenang dan tanpa emosi yang berlebihan, karena mereka berada di bawah kendali Mutmainah. Tindakan ini merupakan visualisasi dari kemampuan Seto untuk menyerap dan menetralkan bahaya duniawi melalui kesucian batin.

Ritual penutup, yang disebut ngluwari (melepaskan), juga sangat penting. Pawang harus memastikan bahwa energi Seto telah kembali ke topeng dan roh pelindung telah dilepaskan dengan hormat. Prosesi ini diiringi gending penutup yang pelan dan doa, menekankan bahwa seluruh pertunjukan adalah persembahan suci dan bukan sekadar atraksi belaka. Kegagalan dalam proses ngluwari diyakini dapat membawa ketidakseimbangan spiritual bagi kelompok dan desa yang bersangkutan.

Oleh karena kerumitan ritual dan spiritual yang terlibat, pertunjukan Barongan Seto biasanya hanya dapat diselenggarakan oleh kelompok yang telah mendapatkan izin dan restu spiritual dari sesepuh atau juru kunci desa, yang memegang otorisasi atas tradisi Seto yang telah diwariskan secara turun-temurun. Hal ini menjaga keaslian Seto dari komersialisasi dan profanisasi.

Simbol Persembahan Suci Visualisasi Piring Sesajen (Canang Sari) dan Keris, melambangkan ritual dan kesucian sebelum pementasan Barongan Seto.

Elemen ritual dan persembahan, menunjukkan kesiapan batin yang dibutuhkan untuk menggerakkan energi Seto.

Konservasi Barongan Seto di Tengah Arus Globalisasi

Dalam era modern yang didominasi oleh media digital dan budaya pop, Barongan Seto menghadapi tantangan ganda: mempertahankan otentisitas spiritualnya sambil memastikan kelangsungan hidupnya di tengah masyarakat yang berubah. Sifatnya yang sangat ritualistik dan eksklusif membuatnya sulit untuk diadaptasi menjadi hiburan massal, namun justru keengganan beradaptasi inilah yang menjadi kunci kekuatannya.

Ancaman Profanisasi

Ancaman terbesar bagi Barongan Seto adalah profanisasi, yaitu penghilangan makna sakral dan pengubahan fungsi menjadi murni komersial. Ketika Barongan Seto dipaksa tampil di panggung-panggung yang bertujuan semata-mata mencari uang tanpa menjalankan ritual pra-pementasan dan menjaga laku prihatin pembarong, energi spiritual yang diwakilinya diyakini akan melemah. Ini bukan hanya merusak nilai seni, tetapi juga merusak tatanan kepercayaan komunitas yang memeliharanya.

Upaya konservasi harus fokus pada pendidikan dan transmisi tradisi lisan yang benar. Kelompok-kelompok penjaga tradisi Seto saat ini berusaha mendokumentasikan gending-gending kuna, mantra, dan tata cara ritual melalui media modern, namun dengan pembatasan yang jelas. Dokumentasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa generasi penerus memiliki panduan yang akurat, sementara aspek sakralnya tetap terproteksi dari mata publik yang tidak berkepentingan.

Peran Komunitas dan Pemerintah Lokal

Pemerintah daerah di wilayah yang menjadi pusat tradisi Seto (misalnya di sekitar eks-Karesidenan Kedu atau Madiun) mulai menyadari pentingnya melindungi aset budaya ini. Dukungan diberikan melalui penetapan Barongan Seto sebagai warisan budaya tak benda dan alokasi dana untuk pemeliharaan sanggar yang benar-benar menjamin otentisitas. Namun, pendanaan ini haruslah disalurkan dengan bijak agar tidak mendorong kelompok Barongan Seto untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip spiritual mereka demi popularitas. Mereka harus didukung untuk tetap tampil dalam konteks ritual adat, bukan hanya pariwisata.

Di tingkat komunitas, konservasi Seto dipertahankan melalui sistem pamomong (pengasuh atau juru kunci) yang bertugas menjaga topeng pusaka. Topeng Barongan Seto yang asli seringkali disimpan di tempat khusus (petilasan) dan hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu yang telah ditetapkan oleh kalender adat. Prosesi mengeluarkan dan menyimpan kembali topeng ini sendiri merupakan sebuah ritual besar yang melibatkan seluruh desa, menegaskan peran Seto sebagai pelindung komunal.

Regenerasi dan Pelatihan Spiritual

Tantangan regenerasi juga signifikan. Tidak mudah mencari pembarong muda yang bersedia menjalani tirakat spiritual yang berat. Pelatihan Barongan Seto tidak hanya mencakup kemampuan menari dan fisik, tetapi yang terpenting adalah pelatihan batin, termasuk meditasi, puasa, dan pendalaman filosofi Kejawen. Ini membutuhkan komitmen total yang seringkali bertentangan dengan gaya hidup generasi muda saat ini. Oleh karena itu, sanggar-sanggar Seto kini berusaha merumuskan metode pengajaran yang relevan tanpa mengorbankan kedalaman spiritualnya, misalnya dengan mengintegrasikan pendidikan moral dan etika Jawa ke dalam kurikulum tari mereka.

Keberlangsungan Barongan Seto bergantung pada keseimbangan antara keterbukaan untuk regenerasi dan kekakuan dalam menjaga nilai-nilai inti kesucian (Seto). Jika nilai-nilai ini hilang, maka yang tersisa hanyalah topeng putih tanpa ruh, sebuah artefak mati yang kehilangan daya magisnya. Barongan Seto harus terus menjadi manifestasi hidup dari Nafsu Mutmainah, sebuah pengingat abadi bahwa kekuatan tertinggi adalah kekuatan batin yang murni dan berwibawa.

Barongan Seto, dengan demikian, bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan sebuah panduan filosofis yang relevan bagi masyarakat masa kini. Ia mengajarkan tentang pentingnya keselarasan kosmik, kewibawaan yang berasal dari kesucian, dan kekuatan sejati yang tersembunyi dalam keheningan batin. Melalui ketenangan gerakannya, kemurnian warnanya, dan kedalaman gending pengiringnya, Seto terus berdiri sebagai monumen spiritual yang megah dalam lanskap budaya Nusantara.

Untuk memahami sepenuhnya dampak dan makna Barongan Seto, seseorang harus melihat lebih dari sekadar atraksi fisik; harus ada kemauan untuk meresapi aura ritual yang melingkupinya. Keindahan Seto terletak pada kontrasnya: sebuah singa yang seharusnya buas, namun di sini hadir dalam balutan keagungan dan ketenangan putih, melambangkan harapan abadi Jawa akan kepemimpinan yang adil dan spiritual yang murni. Keberadaan Barongan Seto adalah pengakuan bahwa spiritualitas dan seni dapat menyatu menjadi entitas yang melindungi dan mencerahkan komunitasnya.

Filosofi Seto bahkan meluas ke dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi ini. Warna putih dianggap sebagai perlindungan dan simbol niat baik saat memulai usaha baru, pernikahan, atau pembangunan rumah. Ketika Barongan Seto ditampilkan dalam ritual ‘bersih desa’ (pembersihan desa), fungsinya adalah untuk menyerap segala kotoran spiritual, penyakit, dan kesialan yang mungkin menempel pada komunitas sepanjang tahun. Ia adalah katalisator pembersihan kolektif, membawa keselarasan kembali kepada jagad cilik (mikrokosmos desa) agar selaras dengan jagad gede (makrokosmos alam semesta).

Penting untuk dicatat bahwa dalam beberapa kelompok Barongan Seto yang paling otentik, topeng Seto tidak pernah menyentuh tanah secara langsung, bahkan saat tidak sedang ditarikan. Ia diletakkan di atas bantal putih yang disucikan atau di atas altar khusus. Penghormatan terhadap properti ini mencerminkan penghormatan terhadap entitas spiritual yang diyakini bersemayam di dalamnya. Jika topeng Seto rusak atau hilang, itu dianggap sebagai pertanda buruk yang memerlukan ritual penyucian besar-besaran, yang disebut ruwatan agung, untuk mengembalikan keseimbangan spiritual yang hilang. Ini menunjukkan betapa tinggi nilai pusaka Barongan Seto dalam pandangan masyarakat adat.

Selain itu, aspek kolaborasi artistik dalam Barongan Seto juga unik. Meskipun fokusnya adalah pembarong, peran musisi, penyanyi, dan pawang adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Gamelan tidak sekadar mengiringi; ia 'berdialog' dengan gerakan Seto. Pawang harus memiliki kepekaan batin yang tinggi untuk merasakan kapan Seto memasuki trance dan kapan ia harus 'dibangunkan' kembali, semua dikomunikasikan melalui kode-kode visual dan ritme gamelan yang sangat spesifik. Kesatuan harmonis ini, yang disebut greget, saut, lan wirama (semangat, respon, dan irama), merupakan kunci keberhasilan sebuah pementasan Seto yang sakral.

Dalam konteks modernisasi, upaya untuk memperkenalkan Barongan Seto kepada khalayak yang lebih luas seringkali menghadapi dilema etis. Bagaimana cara mempromosikan keindahan seni pertunjukan ini tanpa mengkhianati kesakralannya? Beberapa sanggar memilih untuk menampilkan fragmen-fragmen tertentu yang menonjolkan estetika tanpa melibatkan ritual trance yang mendalam, sementara ritual utuh hanya dilakukan secara internal atau pada acara adat yang sudah ditentukan. Pendekatan hibrida ini diharapkan dapat menjaga agar nyawa Seto tetap hidup, sambil tetap memberikan ruang apresiasi bagi masyarakat yang tidak terafiliasi langsung dengan tradisi tersebut. Masa depan Barongan Seto terletak pada kemampuan para penjaga tradisi untuk bernegosiasi antara masa lalu yang suci dan masa depan yang menuntut keterbukaan.

🏠 Homepage