Barongan Kepruk-an: Manifestasi Energi Liar dalam Warisan Jawa Timur
Barongan Kepruk-an adalah salah satu wujud seni pertunjukan rakyat yang paling dinamis, intens, dan terkadang paling mistis di Jawa Timur. Istilah 'Kepruk-an' sendiri merujuk pada ritme musik yang cepat, agresif, dan 'memukul' (dari kata dasar *kepruk* atau *gepuk* yang berarti memukul). Berbeda dengan Reog Ponorogo yang lebih terstruktur dan berfokus pada narasi dramatis, Barongan Kepruk-an lebih mengutamakan ekstasi, kecepatan, interaksi langsung dengan penonton, dan manifestasi energi spiritual yang dikenal sebagai *ndadi* atau trance.
Seni ini bukan sekadar tontonan; ia adalah denyut nadi komunitas, sebuah ritual kolektif yang merayakan batas antara hiburan dan dunia gaib. Di tengah gempuran modernisasi dan budaya global, Barongan Kepruk-an tetap bertahan di desa-desa dan sudut-sudut kota, menjadi pengingat yang keras dan nyaring akan warisan leluhur yang tak pernah tidur. Artikel ini akan menelusuri secara mendalam segala aspek dari pertunjukan Barongan Kepruk-an, mulai dari akar historisnya, anatomi pertunjukan, signifikansi musikalitasnya yang khas, hingga perannya dalam masyarakat kontemporer.
I. Akar Historis dan Posisi dalam Genealogi Reog
Untuk memahami Barongan Kepruk-an, kita harus meletakkannya dalam konteks seni kuda lumping dan Reog. Secara umum, Barongan adalah sebutan untuk Singa Barong, karakter utama yang mengenakan topeng besar berbentuk singa atau harimau mitologis. Meskipun Reog Ponorogo dianggap sebagai bentuk paling mapan dan formal, di daerah lain seperti Kediri, Jombang, Blitar, dan Malang, tradisi Barongan berkembang menjadi varian lokal yang jauh lebih berorientasi pada kecepatan dan kekuatan spiritual.
1. Hubungan Barongan dengan Jathilan
Barongan Kepruk-an sering kali merupakan bagian integral dari pertunjukan Jathilan atau Kuda Lumping. Jathilan menampilkan prajurit berkuda (kuda kepang) yang menari dengan gerakan ritmis. Barongan (Singa Barong) berfungsi sebagai entitas pengganggu atau simbol kekuatan alam yang liar. Dalam konteks kepruk-an, porsi Jathilan mungkin lebih singkat, dan fokus utama beralih pada interaksi intens antara Pembarong (penari Barongan) dengan irama gamelan yang memacu trance.
Filosofi di baliknya adalah upaya meniru dan mengendalikan kekuatan binatang buas dan energi alam yang tak terduga. Kecepatan dan keganasan yang dipertontonkan bukanlah tanpa makna. Ia mencerminkan semangat rakyat yang gigih dan kemampuan mereka untuk menghadapi kekacauan, menjadikannya seni yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari dan perjuangan sosial. Kehadiran Singa Barong yang besar dan menakutkan melambangkan wibawa, sekaligus ancaman yang harus ditundukkan, baik melalui tarian maupun melalui ritual penjinakan spiritual.
2. Evolusi Istilah 'Kepruk-an'
Istilah 'Kepruk-an' bukanlah nama resmi genre, melainkan deskriptor yang digunakan oleh masyarakat untuk membedakan gaya pertunjukan yang menggunakan tempo musik yang jauh lebih cepat dibandingkan gaya 'alus' (halus) atau gaya baku Reog Ponorogo. Ciri khas musikalitas ini menentukan segalanya: gerak tarian menjadi lebih spontan, lebih keras, dan lebih mengarah pada kondisi trans (ndadi). Musik *kepruk* berfungsi sebagai katalisator, pemukul psikologis yang mendorong penari melampaui batas kesadaran normal.
Varian Barongan Kepruk-an sering tumbuh subur di lingkungan pinggiran atau pedesaan yang kurang memiliki akses ke pendanaan dan fasilitas panggung formal. Keterbatasan ini justru melahirkan kreativitas dan keberanian dalam mengeksplorasi energi murni, menghasilkan seni yang mentah, jujur, dan penuh semangat. Lokasi pementasan yang biasanya di jalanan atau lapangan terbuka juga menambah elemen interaksi yang kasar dan langsung dengan penonton.
Sebagai seni yang bersifat komunal, sejarah Barongan Kepruk-an tidak tercatat dalam arsip kerajaan, melainkan terukir dalam ingatan kolektif dan diturunkan melalui lisan dari satu generasi penabuh dan penari ke generasi berikutnya. Setiap kelompok (disebut *paguyuban* atau *grup*) mungkin memiliki sedikit modifikasi, tetapi inti dari energi dan kecepatan *kepruk* selalu dipertahankan.
II. Anatomi dan Karakteristik Pertunjukan Kepruk-an
Sebuah pertunjukan Barongan Kepruk-an memiliki struktur dasar yang terdiri dari beberapa elemen kunci. Meskipun urutannya dapat bervariasi, intensitas selalu meningkat seiring dengan peningkatan ritme musik *kepruk* yang dimainkan oleh gamelan pengiring.
1. Pembarong dan Topeng Barongan
Pembarong adalah jantung dari pertunjukan. Sosok ini memikul beban Barongan, sebuah topeng besar yang terbuat dari kayu (biasanya kayu dadap atau nangka), dihiasi dengan ijuk atau rambut kuda sebagai surai. Berat topeng dan kostum yang bisa mencapai puluhan kilogram menuntut kekuatan fisik luar biasa, stamina, dan kontrol pernapasan yang presisi.
A. Teknik Ngosek dan Nglendang
Gerakan khas Pembarong dalam gaya kepruk-an adalah Ngosek dan Nglendang. *Ngosek* adalah gerakan Barongan yang menggaruk-garuk tanah atau melakukan gerakan mengorek yang cepat dan agresif, sering kali diiringi dengan hentakan kaki yang kuat. Ini melambangkan nafsu makan dan sifat buas Barongan. *Nglendang* adalah gerakan Barongan yang mengangkat atau mengayunkan kepalanya dengan kuat ke samping atau ke atas, sering kali berdekatan dengan penonton atau penabuh kendang, menciptakan ketegangan dramatis dan risiko fisik.
B. Fungsi Gendaman
Ketika Pembarong mulai memasuki kondisi trance, ia sering kali melakukan *gendaman*, yaitu menirukan suara auman atau lengkingan Barong. Suara ini biasanya dimanipulasi melalui teknik pernapasan perut yang dalam, menciptakan resonansi yang menakutkan dan memperkuat suasana mistis. Dalam Barongan Kepruk-an, gendaman ini seringkali lebih spontan dan agresif dibandingkan dengan gaya klasik.
2. Penari Kuda Lumping (Jathil)
Penari Jathil, yang menunggangi kuda kepang, berfungsi sebagai pelengkap dan seringkali sebagai pemicu awal kondisi *ndadi*. Di awal pertunjukan, tarian mereka mungkin masih teratur, mengikuti pola koreografi. Namun, seiring ritme *kepruk* meninggi, para Jathil inilah yang biasanya pertama kali jatuh ke dalam kondisi trance, menunjukkan kekuatan, kekebalan, dan kemampuan supranatural (seperti memakan beling atau mengupas kelapa dengan gigi).
3. Peran Bujang Ganong dan Klono Sewandono (Jika Ada)
Meskipun Barongan Kepruk-an sangat fokus pada Barong dan ekstasi, karakter lain seperti Bujang Ganong (punggawa yang lincah dan jenaka) dan Prabu Klono Sewandono (raja yang gagah) sering tetap hadir. Dalam kepruk-an, peran mereka mungkin lebih menekankan pada humor kasar atau gerakan yang sangat akrobatik, berfungsi sebagai penyeimbang sebelum atau sesudah puncak ketegangan Barongan.
III. Magis Musikalitas: Gamelan Kepruk
Apa yang secara definitif membedakan Barongan Kepruk-an dari varian Barongan lainnya adalah musik pengiringnya. Istilah *kepruk* merujuk langsung pada gaya penabuhan, khususnya Kendang, yang menjadi komandan utama irama. Gamelan kepruk menghasilkan suara yang keras, cepat, berulang, dan sangat hipnotis.
1. Kendang: Komandan Irama
Kendang (atau Kendang Gedhe/Jejer) adalah instrumen terpenting. Penabuh kendang dalam gaya kepruk-an harus memiliki stamina yang luar biasa dan pemahaman mendalam tentang pola ritmis yang memicu trance. Pola yang dominan adalah pola dhung-dung-tek yang diulang-ulang dengan tempo yang semakin dipercepat. Kualitas suara kendang kepruk cenderung lebih 'kering' dan tajam, memastikan setiap pukulan dapat menembus keramaian dan memukul psikologis penari.
Penabuh kendang tidak hanya memainkan musik, tetapi juga berperan sebagai dalang non-verbal. Mereka mengamati kondisi penari Barongan dan Jathilan, dan menyesuaikan tempo serta intensitas pukulan untuk mendorong atau menahan kondisi *ndadi*. Sinkronisasi antara Pembarong dan penabuh kendang dalam gaya kepruk-an sangatlah intim; Pembarong bergerak mengikuti 'perintah' ritmis yang dilemparkan oleh kendang.
2. Instrumen Pelengkap dan Akselerator Trance
Selain Kendang, instrumen gamelan lainnya juga memiliki peran krusial dalam menciptakan suasana hipnotis:
- Kempul dan Kenong: Memberikan struktur melodis dan tanda penutup frasa musikal, meskipun dalam kepruk-an, mereka sering dimainkan lebih cepat dan tegas, menghilangkan nuansa lembut.
- Gong: Tetap menjadi penanda siklus besar, tetapi frekuensi penggunaannya mungkin lebih jarang dibandingkan musik gamelan klasik, untuk menjaga energi tetap pada tempo cepat.
- Slenthem/Demung: Menambah lapisan melodi dasar yang berulang (ostinato), yang bekerja secara subliminal untuk membius penari.
Energi musikalitas Barongan Kepruk-an dapat dijelaskan sebagai musik trance yang berbasis tradisi. Irama yang konstan, repetitif, dan agresif ini menciptakan getaran resonansi yang tinggi, yang diyakini secara tradisional dapat membuka gerbang dimensi spiritual, memungkinkan roh atau entitas non-fisik memasuki raga penari. Kekuatan ritme ini adalah inti magis dari pertunjukan tersebut.
IV. Spiritualitas dan Ekstasi: Proses Ndadi
Aspek yang paling mencolok dari Barongan Kepruk-an, dan sering kali paling diperdebatkan, adalah kondisi *ndadi* (trance) atau kerasukan. Fenomena ini adalah puncak dari interaksi antara musik, tarian, dan persiapan spiritual yang dilakukan oleh para seniman.
1. Tahapan Menuju Trance
Trance dalam Barongan Kepruk-an bukanlah simulasi, melainkan kondisi mental dan fisik yang diyakini sebagai hasil intervensi supranatural. Prosesnya meliputi:
- Fase Pemanasan (Puji-pujian): Musik dimulai dengan tempo sedang, diiringi pembacaan mantra atau puji-pujian oleh pawang (pemimpin spiritual grup).
- Akselerasi Ritme: Kendang mulai meningkatkan tempo ke gaya *kepruk*. Tekanan suara dan ritme yang cepat membuat jantung berdebar kencang dan mengurangi fokus kognitif penari.
- Puncak Emosi dan Energi: Penari (baik Barongan, Jathil, atau karakter lain) mulai menunjukkan tanda-tanda hilang kendali, gerakan menjadi liar, tidak teratur, dan menunjukkan kekuatan yang melebihi batas manusia normal.
- Manifestasi: Dalam kondisi *ndadi*, penari diyakini telah dirasuki oleh roh pelindung grup (*danyang*) atau entitas tertentu (misalnya roh macan untuk Barongan, roh kuda untuk Jathil).
2. Etika dan Pengendalian dalam Trance
Meskipun tampak liar, *ndadi* dalam Barongan Kepruk-an dikendalikan melalui etika dan ritual yang ketat. Selalu ada seorang pawang (*dhukun* atau *sesepuh*) yang bertanggung jawab atas keamanan penari. Pawang bertindak sebagai mediator, memastikan roh yang masuk tidak membahayakan penari atau penonton. Tugas pawang sangat vital; mereka harus mampu berkomunikasi dengan entitas tersebut dan akhirnya "menarik" roh keluar dari raga penari ketika pertunjukan usai, melalui mantra dan air suci.
Kondisi ndadi sering diekspresikan melalui tindakan yang ekstrim dan berbahaya, seperti mengupas dan memakan kulit buah kelapa, mengunyah beling, atau berjalan di atas bara. Tindakan ini dipandang sebagai bukti fisik dari kekuatan spiritual yang merasuki mereka, menunjukkan bahwa dalam kondisi tersebut, tubuh mereka menjadi kebal terhadap rasa sakit atau cedera fisik.
Intensitas Barongan Kepruk-an adalah cermin dari dualitas budaya Jawa: di satu sisi, ia menyajikan hiburan yang riuh rendah; di sisi lain, ia adalah ritual serius yang melibatkan interaksi langsung dengan dunia spiritual, sebuah dialog antara manusia dan kekuatan yang tak terlihat.
V. Barongan Kepruk-an dalam Konteks Urban dan Sosial Ekonomi
Barongan Kepruk-an berbeda dengan seni panggung formal karena ia adalah seni jalanan. Lokasinya, biasanya di persimpangan ramai, depan rumah hajatan, atau lapangan desa, menentukan sifat interaktif dan ekonomi pertunjukannya.
1. Fungsi Ekonomi: Saweran dan Kebutuhan Komunal
Sistem pendanaan utama grup Barongan Kepruk-an adalah melalui saweran (pemberian uang secara langsung oleh penonton). Interaksi ini sangat langsung. Pembarong atau Jathil yang sedang dalam kondisi trance sering mendekati penonton, dan tindakan ini merangsang penonton untuk memberikan sumbangan, baik sebagai bentuk apresiasi maupun sebagai 'tolak bala' (penangkal bahaya) dari energi yang begitu kuat. Sistem saweran ini memastikan keberlanjutan ekonomi grup tanpa harus bergantung pada dana pemerintah atau sponsor besar, menjadikannya seni yang murni rakyat.
Selain saweran, grup ini juga sering dipanggil untuk acara hajatan seperti pernikahan atau khitanan. Dalam konteks ini, pertunjukan Barongan Kepruk-an berfungsi ganda: sebagai hiburan dan sebagai ritual pengusir bala, membawa keselamatan dan kegembiraan bagi keluarga yang menyelenggarakan acara.
2. Adaptasi di Era Digital
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak grup Barongan Kepruk-an mulai aktif menggunakan media sosial (seperti YouTube dan TikTok) untuk mempromosikan pertunjukan mereka. Konten yang menampilkan aksi *ndadi* yang ekstrem, gerakan cepat Barongan, dan irama kendang yang memukau sering kali menjadi viral. Adaptasi ini membantu melestarikan seni ini, tetapi juga menghadirkan tantangan: tekanan untuk tampil lebih ekstrem demi konten sering kali mengaburkan batas antara ritual spiritual dan hiburan semata.
VI. Analisis Mendalam Mengenai Gerak dan Ritme Barongan Kepruk-an
Kecepatan bukan hanya tentang musik, tetapi termanifestasi dalam setiap aspek gerakan Barongan. Jika Reog klasik menekankan keindahan dan kewibawaan yang lambat, Barongan Kepruk-an adalah tentang kecepatan, kejutan, dan kekuatan.
1. Sinkronisasi Denyut Nadi
Dalam kondisi normal, denyut nadi Pembarong yang sedang bergerak cepat sudah tinggi. Ketika ritme *kepruk* mencapai puncaknya (sekitar 180-200 BPM), denyut nadi penari dan tempo musik seolah menjadi satu. Keadaan ini, yang secara ilmiah mendekati stimulasi hipnotis, memaksa penari masuk ke kondisi ambang batas kesadaran. Gerakan Barongan yang melonjak-lonjak, menghentak, dan tiba-tiba membanting kepala Singa Barong ke tanah, adalah hasil dari interaksi fisik dan spiritual yang dipicu oleh Kendang.
A. Siklus Emosi dalam Tarian
Tarian Kepruk-an memiliki siklus emosi yang jelas: dimulai dari kegembiraan dan keriangan, beralih ke ketegangan dan agresivitas, mencapai puncak pada ekstasi *ndadi*, dan diakhiri dengan ketenangan saat Pawang mengakhiri ritual. Pembarong harus mampu mengartikulasikan perubahan emosi ini hanya melalui gerak tubuh, meskipun wajahnya tertutup topeng besar.
2. Peran Topeng sebagai Amplifikasi
Topeng Barongan yang berukuran besar dan berat (sering lebih besar dari topeng Reog Ponorogo) memaksa Pembarong menggunakan seluruh tubuhnya—leher, bahu, pinggul—untuk menggerakkannya. Dalam gaya *kepruk*, gerakan kepala topeng cenderung lebih patah-patah, cepat, dan horizontal, memberikan kesan serangan dan keganasan yang ekstrem. Berat topeng juga berkontribusi pada kelelahan fisik yang pada akhirnya mempermudah masuknya kondisi trance.
VII. Ragam Dialek Barongan di Jawa Timur
Barongan Kepruk-an bukanlah entitas tunggal. Ada variasi regional yang mendefinisikan gaya dan intensitas pertunjukan, meskipun benang merah ritme cepat tetap menyatukan mereka.
1. Barongan Kediren (Kediri Style)
Kediri adalah salah satu pusat perkembangan Jathilan dan Barongan yang paling kuat. Gaya Kediren cenderung memiliki Barongan yang lebih besar dan berat, dengan penekanan pada gerakan *nglendang* yang kuat. Musik *kepruk* di Kediri sering kali sangat kasar dan bertenaga, dirancang untuk memicu *ndadi* yang kolektif, melibatkan banyak penari Jathil sekaligus.
2. Barongan Malang dan Jombang
Di Malang, Barongan seringkali lebih terintegrasi dengan cerita rakyat lokal, dan meskipun menggunakan ritme cepat, terkadang disisipkan unsur teatrikal yang sedikit lebih terstruktur. Sementara di Jombang, Barongan Kepruk-an dikenal karena ritmenya yang sangat eksplosif dan fokus pada kecepatan Kendang yang ekstrim, menjadikan Jombang salah satu wilayah di mana istilah 'kepruk-an' sangat terasa harafiahnya.
Perbedaan regional ini menunjukkan bagaimana seni rakyat selalu beradaptasi dengan lingkungan sosial dan spiritualnya. Di daerah yang memiliki tradisi mistis yang kuat, seperti Kediri dan Blitar, aspek *ndadi* menjadi lebih dominan. Di daerah yang lebih urban atau transit, aspek hiburan dan saweran lebih menonjol, tetapi intesitas ritme *kepruk* tetap menjadi daya tarik utama.
VIII. Mempertahankan Nyala Api: Tantangan Barongan Kepruk-an
Sebagai seni rakyat yang lahir dari jalanan, Barongan Kepruk-an menghadapi serangkaian tantangan yang unik di tengah arus modernitas.
1. Stigma dan Opini Publik
Karena melibatkan trance dan aksi-aksi yang ekstrim, Barongan Kepruk-an terkadang mendapat stigma negatif. Masyarakat modern sering kali memandang trance sebagai hal yang primitif atau bahkan menakutkan, berbeda dengan seni pertunjukan yang lebih 'beradab'. Selain itu, pertunjukan yang diadakan di jalanan seringkali dianggap mengganggu ketertiban umum. Kelompok-kelompok Barongan harus bekerja keras untuk mendidik publik bahwa aspek spiritual adalah bagian dari warisan budaya, bukan sekadar atraksi horor.
2. Regenerasi Seniman dan Penabuh
Kendang Kepruk membutuhkan keahlian dan stamina yang tidak biasa. Menemukan generasi muda yang bersedia mendedikasikan diri pada latihan fisik dan spiritual yang intens menjadi tantangan besar. Banyak anak muda lebih tertarik pada musik modern. Upaya pelestarian harus fokus pada transmisi ilmu dari maestro kendang tua kepada murid-murid baru, menekankan bukan hanya teknik, tetapi juga filosofi di balik ritme tersebut.
3. Tekanan Komersialisasi
Ketika seni ini menjadi komersial (dipakai untuk pariwisata atau konten media sosial), ada risiko bahwa aspek ritual yang mendalam akan dikorbankan demi pertunjukan yang lebih sensasional dan cepat. Tekanan untuk menampilkan *ndadi* yang lebih cepat atau lebih berbahaya dapat membahayakan penari dan mengurangi makna sakral dari ritual tersebut.
IX. Filosofi Ekstasi: Melampaui Batas Diri
Inti filosofis dari Barongan Kepruk-an terletak pada pencarian ekstasi—kondisi di mana penari melampaui keterbatasan fisik dan kesadaran normal. Ini adalah seni yang mengajarkan pelepasan dan penguasaan diri sekaligus.
1. Penguasaan versus Pelepasan
Paradoks Barongan Kepruk-an adalah bahwa untuk mencapai pelepasan spiritual (trance), dibutuhkan penguasaan fisik yang luar biasa. Pembarong harus menguasai setiap ototnya agar mampu menahan beban topeng sambil menari cepat. Proses *ndadi* itu sendiri adalah bentuk pelepasan kontrol kesadaran ego, namun dilakukan dalam kerangka ritual yang terkontrol. Filosofi ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati seringkali ditemukan di luar batas zona nyaman dan rasionalitas sehari-hari.
2. Harmoni Kekacauan
Meskipun Barongan Kepruk-an terlihat kacau dan liar, terutama saat kondisi trance terjadi, ada harmoni mendasar yang dipertahankan oleh musik. Irama *kepruk* yang cepat dan keras adalah pusat gravitasi yang menahan kekacauan agar tidak menjadi kekerasan fisik yang tak terkendali. Kekacauan yang ditampilkan adalah representasi dari kekacauan dunia dan nafsu manusia, yang pada akhirnya 'dijinakkan' atau 'dikelola' melalui tarian dan ritual.
Seni ini adalah pernyataan budaya yang kuat, menegaskan bahwa budaya rakyat Jawa Timur tidak hanya lembut dan filosofis (seperti Keraton), tetapi juga memiliki sisi yang berani, kasar, dan penuh energi yang berasal dari kehidupan nyata, dari tanah, dan dari semangat komunitas yang gigih.
X. Penutup: Warisan yang Berdenyut Kencang
Barongan Kepruk-an adalah lebih dari sekadar tarian topeng dan kuda lumping; ia adalah mesin waktu budaya yang membawa kita pada energi spiritual masa lalu, didorong oleh ritme gamelan yang tak kenal lelah. Ia menyajikan perpaduan unik antara seni pertunjukan, ritual mistis, dan interaksi sosial-ekonomi jalanan.
Kecepatan dan keganasan ritme *kepruk* adalah simbol vitalitas budaya yang menolak untuk mati suri, yang terus berjuang untuk relevansi dan keberadaannya. Selama Kendang masih berbunyi dengan tempo cepat yang memukul, dan selama penari masih bersedia merangkul batas antara dunia nyata dan dunia gaib, Barongan Kepruk-an akan terus menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang paling hidup, paling keras, dan paling memukau.
Melalui keringat Pembarong, melalui hentakan kaki Jathil, dan melalui pukulan Kendang yang berirama konstan, Barongan Kepruk-an terus menyuarakan kisah rakyat Jawa Timur—kisah tentang keberanian, penguasaan spiritual, dan perayaan energi kolektif yang tak tertandingi.
Kesinambungan tradisi ini bergantung pada apresiasi kita terhadap intensitasnya. Ia bukan untuk dinikmati dengan pasif; ia menuntut perhatian, energi, dan penghormatan terhadap kekuatan yang dilepaskannya. Barongan Kepruk-an adalah suara keras budaya yang menari di atas api ekstasi.
Setiap detail gerak Barongan yang cepat, setiap hentakan kaki Jathil yang teratur, dan setiap pukulan Kendang yang berulang adalah bagian dari ritual panjang yang menopang struktur seni pertunjukan ini. Transmisi nilai-nilai ini melalui ritual non-verbal memastikan bahwa pemahaman tentang Barongan Kepruk-an tidak hanya datang dari pengetahuan tekstual, tetapi juga dari pengalaman langsung merasakan energi pementasannya.
Dalam konteks modernitas yang serba cepat, Barongan Kepruk-an menawarkan antitesis yang menarik: sebuah seni yang cepat, tetapi berakar pada tradisi yang mendalam. Ia adalah seni yang mampu menyerap dan memproses kecepatan kehidupan modern, mengubahnya menjadi irama spiritual yang membebaskan. Oleh karena itu, penelitian dan pelestarian terhadap nuansa musikal dan ritualistik Barongan Kepruk-an harus terus digalakkan agar generasi mendatang dapat merasakan denyutan kencang warisan ini.
Pengkajian mendalam terhadap penggunaan mantra, simbolisme warna pada topeng Barong, dan variasi instrumen gamelan antara satu grup dengan grup lain di Jawa Timur menunjukkan betapa kompleksnya ekosistem budaya yang melahirkan Barongan Kepruk-an. Meskipun istilah 'kepruk-an' terdengar sederhana dan merujuk pada kekasaran, di baliknya tersembunyi sistem kepercayaan, teknik musikalitas, dan disiplin spiritual yang telah diasah selama berabad-abad.
Kelangsungan hidup Barongan Kepruk-an juga bergantung pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial yang terus berubah. Kemampuan grup-grup Barongan untuk menjaga keseimbangan antara memenuhi permintaan pasar (hiburan) dan menjaga kemurnian ritual (trance) adalah kunci. Jika aspek spiritual hilang, maka yang tersisa hanyalah tarian cepat tanpa jiwa; jika aspek hiburan hilang, maka ia akan kesulitan untuk menarik regenerasi dan dukungan publik.
Aspek seni rupa dalam pembuatan topeng dan kostum Barongan Kepruk-an juga patut mendapat perhatian. Setiap topeng adalah karya seni unik, mencerminkan interpretasi lokal tentang Singa Barong. Mata yang melotot, taring yang tajam, dan hiasan surai yang lebat dirancang untuk memaksimalkan kesan menakutkan, memperkuat transformasi Pembarong saat ia mulai dirasuki oleh semangat Barong yang liar dan tak terkendali.
Transendensi yang dicapai dalam Barongan Kepruk-an juga terkait erat dengan konsep gotong royong dan kebersamaan. Pertunjukan ini adalah hasil kerja kolektif, dari Pawang yang memimpin, Pembarong yang menanggung beban fisik, Jathil yang menari, hingga penabuh Kendang yang mengendalikan energi. Tanpa sinergi sempurna antara semua elemen ini, puncak ekstasi yang menjadi ciri khas Barongan Kepruk-an mustahil tercapai.
Dalam bingkai yang lebih luas, Barongan Kepruk-an adalah contoh bagaimana seni tradisional dapat tetap relevan tanpa harus menghilangkan esensi spiritualnya. Ia membuktikan bahwa kekuatan ritme dan tarian dapat menjadi media ampuh untuk menghubungkan manusia dengan dimensi yang lebih tinggi, bahkan di tengah keramaian jalanan yang riuh dan modern.
Pengalaman menonton Barongan Kepruk-an adalah pengalaman yang imersif dan mendebarkan. Debu yang mengepul dari tanah saat Barongan *ngosek*, suara Kendang yang bergetar hingga ke dada, dan tatapan mata penari yang kosong saat *ndadi*—semuanya berkontribusi menciptakan atmosfer yang tiada duanya, sebuah perayaan kekuatan primordial yang terus berdenyut di jantung budaya Jawa Timur.
Adalah kewajiban bagi para akademisi, budayawan, dan masyarakat umum untuk mengapresiasi Barongan Kepruk-an, tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai teks hidup yang menyimpan kearifan lokal, filosofi kehidupan, dan metode pengendalian diri melalui pelepasan terkontrol. Keberlanjutannya adalah penanda bahwa akar budaya kita masih kuat, didorong oleh irama *kepruk* yang tak pernah padam.
Barongan Kepruk-an adalah cermin yang memantulkan jiwa masyarakatnya: keras, gigih, spiritual, dan selalu bergerak maju dengan kecepatan yang menggelegar.
Kajian mendalam mengenai teknik pukulan Kendang dalam gaya *kepruk* mengungkapkan kompleksitas yang tersembunyi di balik kecepatan. Seorang penabuh Kendang kepruk yang mahir tidak hanya memukul cepat, tetapi harus mampu mengubah dinamika (keras-lembut) dan timbre (warna suara) pukulan dalam sepersekian detik. Perubahan ini berfungsi sebagai sinyal rahasia, memandu Pembarong dan Jathil melalui fase-fase trance yang berbeda. Ini adalah bahasa musikal yang sangat tersembunyi dari pandangan mata awam, namun sangat vital bagi keseluruhan ritual.
Lebih jauh lagi, peran Pawang atau 'dhukun' dalam Barongan Kepruk-an sering kali diwariskan secara turun temurun, membawa serta pengetahuan spiritual tentang entitas yang diundang untuk merasuki penari. Pengetahuan ini mencakup mantra (*aji-aji*), sesajen yang tepat untuk memanggil dan melepaskan roh, serta ramuan herbal untuk mengobati penari yang kelelahan atau terluka setelah keluar dari kondisi trance. Tanpa peran Pawang yang kuat, pertunjukan Barongan Kepruk-an berisiko menjadi tidak terkendali dan berbahaya.
Pakaian dan perlengkapan Jathilan dalam Barongan Kepruk-an juga memiliki simbolisme mendalam. Warna-warna cerah, seperti merah dan kuning, melambangkan keberanian dan semangat prajurit, yang dipadukan dengan aksen hitam dan putih yang melambangkan dualitas alam semesta. Kuda kepang (*jaranan*) yang mereka tunggangi, meskipun terbuat dari bambu atau kulit tipis, melambangkan tunggangan perkasa yang siap menghadapi pertempuran spiritual dan fisik.
Dalam konteks sosial, Barongan Kepruk-an juga berfungsi sebagai katarsis kolektif. Di tengah tekanan kehidupan sehari-hari, pertunjukan ini memberikan kesempatan bagi komunitas untuk melepaskan ketegangan, baik melalui saweran yang meriah, tawa atas tingkah Bujang Ganong, maupun melalui pengalaman menyaksikan batas spiritual yang dipertontonkan. Energi yang dilepaskan melalui trance kolektif diyakini dapat membersihkan energi negatif dalam lingkungan tersebut.
Perbedaan mencolok antara Barongan Kepruk-an dan Reog Ponorogo terletak pada intensitas interaksi dengan penonton. Sementara Reog Ponorogo menempatkan penonton sebagai pengamat narasi, Barongan Kepruk-an menarik penonton masuk ke dalam energi pertunjukan, sering kali dengan Barongan yang mendekati penonton secara agresif, menuntut saweran, atau bahkan 'menggoda' penonton dengan gerakan cepat dan tiba-tiba. Interaksi langsung ini adalah fitur yang membuat seni ini tetap relevan dan menarik bagi masyarakat akar rumput.
Sebagai seni yang mentah dan jujur, Barongan Kepruk-an adalah studi kasus tentang bagaimana seni tradisional dapat mempertahankan kekuatannya tanpa memerlukan formalitas panggung modern. Ia adalah seni yang bangga dengan asal-usulnya yang berbasis tanah dan spirit. Kekuatan visual dari Barongan, dipadukan dengan kekuatan sonik dari Kendang kepruk, menciptakan pengalaman multisensori yang sulit dilupakan. Kecepatan ritme tersebut bukan hanya musik, melainkan denyutan kehidupan yang dipercepat hingga mencapai klimaks spiritual. Ini adalah tarian spiritual yang diresapi oleh irama palu Kendang yang tak kenal ampun.
Konsistensi dan durasi Barongan Kepruk-an dalam mempertahankan elemen *ndadi* yang ekstrem di tengah gempuran rasionalitas abad ke-21 membuktikan bahwa kebutuhan manusia akan koneksi spiritual dan pengalaman transendental masih sangat kuat. Seni ini berfungsi sebagai saluran bagi ekspresi spiritualitas yang tidak dapat diakomodasi oleh institusi keagamaan formal, menjadikannya praktik budaya yang sangat penting bagi identitas lokal.
Oleh karena itu, upaya pelestarian tidak boleh hanya terfokus pada topeng atau kostum, tetapi harus mencakup konservasi pengetahuan tentang ritme *kepruk* yang otentik, serta etika spiritual dalam memimpin ritual trance. Barongan Kepruk-an adalah permata budaya yang berdenyut kencang, sebuah warisan yang menuntut untuk dilihat, didengar, dan dihargai dengan segala intensitasnya.
Dalam setiap gerak Barongan Kepruk-an, kita menyaksikan sebuah epik rakyat yang terus ditulis ulang di setiap persimpangan jalan dan setiap lapangan desa. Energi yang terkandung di dalamnya adalah energi abadi Jawa Timur.