Di jantung tradisi seni pertunjukan Nusantara, tersembunyi sebuah entitas yang melampaui sekadar topeng atau tarian. Inilah Barongan—perwujudan dualitas kosmik yang kompleks, di mana dimensi spiritual bertemu dengan agresi elemental. Meskipun sering disalahartikan sebagai sekadar hiburan rakyat, esensi Barongan, terutama dalam manifestasi yang paling ekstrem dan kerasukan, mewakili 'Barongan Devil Yang': kekuatan Yang (positif, maskulin, agresif) yang dilepaskan melalui saluran 'Devil' (primal, liar, tak terkontrol).
Artikel ini menelusuri kedalaman filosofis, historis, dan ritualistik dari Barongan yang paling sangar, mulai dari mitologi Jawa kuno hingga fenomena trance (ndadi atau kerauhan) yang memukau dan terkadang menakutkan. Kita akan melihat bagaimana entitas penjaga ini, ketika dimanifestasikan, melepaskan energi yang melampaui batas kewarasan manusia, menjadi jembatan antara dunia manusiawi dan alam spiritual yang tak terjamah.
Secara etimologis, Barong merujuk pada Barwa (binatang buas) atau Bahr (penjaga). Ia adalah figur totemik yang kehadirannya telah dicatat jauh sebelum era kerajaan besar, berakar pada animisme purba di mana alam semesta dipenuhi roh-roh yang harus dihormati dan ditaklukkan. Barong bukan hanya representasi seekor binatang, melainkan enkarnasi dari Pamomong—roh penjaga yang menjaga keseimbangan desa atau komunitas.
Namun, dalam konteks ‘Devil Yang’ atau kekuatan yang keras, Barong tidak hanya bersikap protektif. Ia juga mengandung sifat destruktif yang diperlukan untuk pemurnian. Kekuatan Yang, dalam filsafat Tiongkok yang meresap ke budaya Jawa dan Bali, merujuk pada cahaya, panas, gerakan, dan agresi. Ketika dipasangkan dengan konotasi ‘Devil’ (dalam konteks lokal: buto, raksasa, atau energi liar/tak tercerahkan), Barongan Devil Yang melambangkan kekuatan Yang yang dilepaskan tanpa filter moralitas manusia. Ini adalah energi perangai, amarah dewa, atau bahkan roh leluhur yang belum tenang.
Salah satu fondasi naratif paling penting bagi konsep Barongan Devil Yang adalah legenda Calon Arang dari abad ke-11. Kisah ini menggambarkan konflik abadi antara kekuatan spiritual protektif dan energi destruktif yang harus diseimbangkan. Calon Arang, seorang janda sakti yang menyebarkan wabah, sering disamakan dengan Rangda di Bali, simbol adegan negatif atau kekuatan murni kehancuran (Yin). Barong hadir sebagai penyeimbang, namun kehadirannya seringkali ditandai dengan kekerasan dan agresi yang setara.
Dalam konteks Jawa Timur, khususnya Reog Ponorogo, Barongan (disebut Dadak Merak) mewakili keberanian, keperkasaan, dan kekuatan Raja Singo Barong. Keberanian ini adalah manifestasi Yang murni yang harus menaklukkan lawan atau medan spiritual. Energi yang dipancarkan oleh Dadak Merak, yang beratnya bisa mencapai 50 kg dan menuntut kekuatan leher luar biasa dari penarinya, adalah personifikasi fisik dari ‘Devil Yang’—kekuatan yang melampaui kemampuan fisik manusia biasa.
Kekuatan Yang dalam Barongan adalah api purba. Ia membersihkan, tetapi ia juga membakar. Inilah yang membedakan Barongan sejati dari sekadar replika; ia membawa aura 'sangar' yang tak terhindarkan.
Penciptaan topeng Barongan (caplokan) adalah ritual yang memperkuat energi Devil Yang. Kayu yang digunakan seringkali adalah kayu suci seperti Pule (di Bali) atau Dadap (di Jawa), yang dipercaya memiliki kemampuan untuk menampung roh. Proses pemahatan harus dilakukan dengan upacara dan sesajen, memastikan bahwa roh yang masuk ke dalam topeng adalah roh yang memiliki kekuatan (sakti), bukan roh lemah.
Mata Barongan seringkali dicat lebar dan melotot, berwarna merah atau kuning keemasan, melambangkan Angkara Murka (kemarahan primal). Taringnya menjorok keluar, bukan sebagai kejahatan, melainkan sebagai peringatan bahwa kekuatan ini tidak boleh dianggap remeh. Bulu atau rambut yang digunakan (seringkali ijuk, serat, atau rambut kuda) memberikan volume dan kesan gerakan dinamis yang memperkuat aspek Yang: selalu bergerak, selalu menyerang.
Titik kulminasi dari Barongan Devil Yang terjadi dalam fenomena trance. Di Jawa, ini dikenal sebagai ndadi atau janturan (terutama dalam Jathilan/Kuda Lumping), sementara di Bali disebut kerauhan. Trance bukanlah akting; itu adalah momen ketika sang penari (atau roh pengikut) melepaskan kontrol rasional dan menjadi wadah bagi kekuatan Yang yang buas.
Ketika roh Barong turun, perilaku penari berubah drastis. Mereka menunjukkan kekuatan fisik supranatural: mampu memakan benda-benda berbahaya (kaca, bunga, arang), menahan rasa sakit, atau menunjukkan ketahanan fisik yang mustahil. Kekuatan fisik ini adalah manifestasi murni dari Devil Yang—energi Yang yang dimanifestasikan melalui kegilaan (devil) sementara.
Kekuatan Devil Yang sangat berbahaya jika tidak dikendalikan. Oleh karena itu, kehadiran Pawang atau Balian sangat penting. Mereka bertindak sebagai katup pengaman spiritual. Pawang tidak berusaha menekan kekuatan Barongan, melainkan mengarahkan agresi Yang ke saluran yang aman—biasanya dalam bentuk tarian yang eksplosif atau interaksi simbolis dengan roh lain (seperti roh celeng atau kera). Tanpa Pawang, energi liar ini bisa berbalik menyerang penari atau penonton, menyebabkan kekacauan spiritual yang nyata.
Dalam pertunjukan Reog Ponorogo, konsep Devil Yang terwujud paling jelas melalui interaksi antara Dadak Merak dan Jathilan (penari kuda lumping). Jathilan sering menjadi yang pertama mengalami ndadi, karena mereka adalah prajurit yang tunduk pada Raja Singo Barong. Ketika Jathilan kerasukan, mereka tidak lagi menari; mereka menyeruduk, berlari liar, dan menunjukkan agresi binatang. Ini adalah demonstrasi bahwa roh primal yang dihidupkan oleh Barong telah merembes ke seluruh pertunjukan.
Sementara itu, Dadak Merak sendiri, meskipun tidak selalu mengalami trance yang sama, memancarkan aura Yang melalui ukurannya yang kolosal dan gerakan kepalanya yang agresif dan cepat. Penguasa yang membawa topeng Dadak Merak harus memiliki energi spiritual yang kuat untuk mengimbangi beban fisik dan spiritual topeng tersebut. Jika penarinya lemah, ia akan ditelan oleh ‘Devil Yang’ topeng itu sendiri.
Di Bali, konsep Barongan Devil Yang seringkali dianalisis melalui lensa perang abadi antara Barong Ket (protagonis kebaikan/dharma) dan Rangda (protagonis adharma/keburukan). Meskipun Barong secara eksplisit mewakili kebaikan, metode yang digunakannya untuk melawan Rangda seringkali brutal dan primal. Ini menegaskan bahwa untuk menaklukkan kekuatan iblis, diperlukan kekuatan Yang yang setara, keras, dan tidak kenal ampun.
Ketika penari yang berada di pihak Barong mengalami kerauhan, mereka sering melakukan tindakan yang secara rasional tidak mungkin, seperti menusuk diri dengan keris (ngurek). Dalam keadaan trance, keris tersebut tidak melukai mereka. Fenomena ngurek adalah manifestasi Barongan Devil Yang yang paling ekstrem; ia adalah demonstrasi bahwa roh Barong telah memberikan perlindungan tak terkalahkan (Yang) melalui jalur agresi primal (Devil). Kekuatan Barong haruslah sangar dan menakutkan, karena Rangda juga sangar.
Barongan memiliki banyak varian lokal, dan tidak semuanya seekstrem Dadak Merak, namun semuanya menyimpan esensi Devil Yang. Di daerah seperti Blora, Kudus, atau Pati, dikenal Barongan Kucing atau Barongan Gembong. Meskipun secara fisik mungkin lebih kecil, aura yang dipancarkan oleh penarinya tetaplah energi Yang yang kuat.
Barongan Kedindingan di Jawa Timur memiliki karakteristik yang sangat menakutkan, seringkali digambarkan dengan mata merah darah dan gerakan yang lebih cepat, lebih sporadis, dan tidak terduga, melambangkan roh penjaga yang mudah marah. Kekuatan sangar yang dipancarkan oleh Barongan inilah yang menjadi pembeda utama. Jika Barongan tidak memiliki ‘Yang’ yang liar, ia hanyalah topeng mati, tanpa energi yang mampu memicu trance.
Mengapa tradisi Nusantara membutuhkan entitas yang ‘devilish’ (primal, liar, agresif) untuk menjaga keseimbangan? Jawabannya terletak pada pandangan kosmik bahwa dunia tidak hanya terdiri dari kebaikan mutlak. Kekuatan gelap, kekacauan (Yin), dan penyakit ada. Untuk melawan kekacauan, dibutuhkan kekuatan Yang yang setara brutalnya—kekuatan yang tidak terikat oleh moralitas manusiawi, melainkan oleh hukum alam semesta.
Barongan Devil Yang adalah mekanisme budaya untuk mengintegrasikan dan mengarahkan energi yang paling berbahaya. Dengan mewujudkannya dalam bentuk tarian dan ritual, masyarakat tidak menolaknya; mereka memanggilnya, menghormatinya, dan memintanya bertarung atas nama mereka. Ini adalah proses alokasi: energi destruktif dialihkan menjadi energi protektif yang agresif.
Bagi penari Barongan, ritual ini adalah kontemplasi mendalam mengenai kontrol diri. Sebelum trance terjadi, penari harus mempersiapkan diri secara fisik dan mental. Mereka tahu bahwa mereka memanggil kekuatan Yang yang liar. Mampu menjadi wadah, dan kemudian kembali ke kesadaran normal setelah ritual, adalah bukti kekuatan spiritual penari. Kegagalan untuk mengendalikan pelepasan energi ini dapat mengakibatkan kerusakan spiritual atau fisik permanen.
Untuk menjaga agar ‘Devil Yang’ Barongan tetap berada dalam kerangka protektif, ritual pemujaan (sesajen) sangat krusial. Sesajen berfungsi sebagai umpan balik dan pengakuan terhadap kekuatan yang dipanggil. Biasanya, sesajen melibatkan darah, kembang tujuh rupa, dan makanan tertentu yang disukai roh penjaga. Ritual ini bukan hanya persembahan, tetapi juga kontrak spiritual:
Jika sesajen diabaikan, kekuatan Devil Yang akan menjadi marah, lepas kendali, dan mungkin berbalik menjadi roh jahat yang sebenarnya. Inilah mengapa pertunjukan Barongan selalu diselimuti oleh aura kesakralan yang kuat.
Barongan hampir selalu berbentuk singa, harimau, atau harimau-singa campuran. Pemilihan binatang buas ini bukan kebetulan; ia adalah simbol kemuliaan (Yang), kekuatan, dan dominasi. Di banyak kebudayaan Asia, Singa (atau Singa Barong) adalah Raja hutan, yang melambangkan kekuatan teritorial dan perlindungan tak terbatas.
Dalam konteks Barongan Devil Yang, sifat binatang buas ini ditekankan. Ia bukanlah singa yang jinak; ia adalah binatang yang siap merobek-robek. Sifat predator yang agresif ini adalah inti dari Yang yang dilepaskan. Gerakan penari, yang sering meniru raungan, cakar, dan serudukan, adalah upaya untuk menanggalkan rasionalitas manusia dan sepenuhnya merangkul naluri primal yang haus kekuatan.
Para peneliti antropologi seni sering menempatkan Barongan sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan paling sakral karena fungsinya sebagai medium. Barongan bukanlah drama; ia adalah upacara yang didramatisasi. Aspek pertunjukan (kostum, musik, tari) berfungsi untuk menciptakan atmosfer yang memungkinkan komunikasi dengan roh (niskala). Gamelan yang mengiringi Barongan, terutama komposisi yang cepat dan berdentum, dirancang untuk menginduksi perubahan kesadaran, baik pada penari maupun penonton.
Ritmen musik adalah kunci untuk melepaskan Devil Yang. Ritme yang bergejolak, cepat, dan repetitif, seperti yang ditemukan dalam musik Reog atau Gamelan Bali untuk Calon Arang, memicu resonansi dalam pikiran penari, membuka portal bagi roh untuk masuk. Tanpa resonansi ini, trance tidak akan terjadi, dan kekuatan Yang tidak akan terwujud.
Di era modern, Barongan sering dipertunjukkan untuk tujuan pariwisata atau festival budaya, yang berisiko mengurangi aspek spiritual dan ‘Devil Yang’ di dalamnya. Ketika topeng Barongan dibuat secara massal tanpa ritual, dan ketika pertunjukan difokuskan hanya pada estetika visual daripada pelepasan energi, esensi primal itu hilang.
Komunitas Barongan yang otentik berjuang keras untuk mempertahankan ‘kesangaran’ ini. Mereka menegaskan bahwa Barongan harus tetap menjadi kekuatan yang dihormati dan ditakuti. Jika energi Yang yang liar ini dilemahkan, Barongan kehilangan kekuatannya sebagai pelindung spiritual. Konservasi Barongan sejati berarti konservasi ritual, konservasi respek terhadap roh, dan konservasi potensi untuk trance (ndadi).
Untuk menjadi penari Barongan yang dapat menampung kekuatan Devil Yang, diperlukan inisiasi (tapa atau laku spiritual) yang ketat. Kekuatan ini sering diwariskan melalui garis keturunan spiritual atau melalui pembelajaran dari Pawang yang sangat dihormati. Inisiasi ini memastikan bahwa penari tidak hanya menguasai gerakan tarian tetapi juga memiliki energi batin (tenaga dalam) yang cukup untuk mengontrol entitas yang kuat tersebut. Inilah yang membedakan penari Barongan sejati dari peniru. Penari sejati membawa aura Yang yang nyata, bahkan ketika mereka tidak sedang dalam trance.
Proses ini memerlukan puasa, meditasi, dan pembersihan diri. Tujuannya adalah untuk memperkuat cangkang spiritual agar ketika Devil Yang masuk, penari tersebut tidak hancur. Ini adalah dialog batin yang rumit: menawarkan diri sebagai wadah bagi kekuatan yang liar namun tetap memegang kendali atas pintu masuk dan keluarnya.
Pada akhirnya, Barongan Devil Yang adalah cermin bagi masyarakat Nusantara. Ia mengajarkan bahwa dalam diri setiap individu dan setiap komunitas terdapat kekuatan Yang yang primal, liar, dan mampu menghancurkan—tetapi juga mampu melindungi secara mutlak. Tradisi Barongan menawarkan sebuah model bagaimana mengelola kekuatan yang paling keras dan paling berbahaya dalam jiwa manusia: mengakui keberadaannya, menghormatinya, dan mengarahkannya untuk keseimbangan (dharma).
Kekuatan Yang yang dilepaskan melalui 'Devil' ini adalah pengingat bahwa perlindungan sejati seringkali tidak datang dalam bentuk kelembutan, melainkan dalam bentuk kekuatan yang ganas dan tidak kenal kompromi, siap menghadapi kegelapan mutlak dengan kekuatan primal yang setara. Melalui ritual, Barongan memastikan bahwa keganasan ini tetap berada di pihak yang benar—menjadi Pamomong yang menakutkan, yang melindungi desa dari segala ancaman spiritual dan fisik.
Dalam terminologi spiritual Jawa dan Bali, terdapat perbedaan antara ‘mistik halus’ (lemes) dan ‘mistik keras’ (sangar). Barongan Devil Yang secara definitif termasuk dalam kategori sangar. Mistik halus melibatkan komunikasi yang tenang dan kontemplatif dengan roh atau dewa. Sebaliknya, sangar melibatkan manifestasi energi yang kuat, bising, dan seringkali mengintimidasi.
Sangar pada Barongan diwujudkan bukan hanya melalui topengnya, tetapi juga melalui kualitas suaranya—raungan yang dalam dan menggetarkan. Suara ini adalah frekuensi yang membelah dimensi, memaksa roh-roh lain tunduk atau menjauh. Ini adalah arogansi spiritual yang diperlukan. Kekuatan Yang yang liar menuntut ruang dan pengakuan. Ketika Barongan tampil, ia tidak meminta izin; ia menuntut perhatian. Kualitas inilah yang membuat Barongan Devil Yang begitu ampuh dalam upacara pengusiran roh jahat atau pembersihan desa (ruwatan).
Dalam pertunjukan Barongan, terutama yang melibatkan trance, interaksi dengan senjata tradisional seperti keris, tombak, atau bahkan pecut (cambuk) adalah elemen penting. Senjata-senjata ini bertindak sebagai konduktor energi Yang. Keris, khususnya, dalam tradisi Jawa dan Bali, adalah benda pusaka yang memiliki roh penjaga sendiri. Ketika penari yang kerasukan memegang keris, dua kekuatan Yang bertemu: roh Barongan dan roh keris.
Adegan ngurek (menusuk diri) adalah puncak dari konvergensi kekuatan ini. Perlindungan yang dirasakan penari (kebal) adalah bukti nyata bahwa Devil Yang telah mengaktifkan energi protektif yang melingkupinya. Keadaan kebal ini bukan sihir dalam arti fantasi, melainkan penggunaan kekuatan batin (roh) untuk menolak kerusakan fisik, sebuah demonstrasi otentik dari energi Yang yang superior.
Pilihan warna pada topeng Barongan sangat sarat makna, dan memperkuat aspek Devil Yang:
Mengapa masyarakat rela menyaksikan dan bahkan mencari pertunjukan yang mengandung unsur kekerasan dan trance yang menakutkan? Jawabannya terletak pada fungsi Barongan sebagai katarsis kolektif. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa dan Bali hidup di bawah sistem sosial yang terstruktur dan sopan (Yin sosial). Namun, emosi negatif, ketakutan, dan agresi (Devil Yang pribadi) tetap ada.
Pertunjukan Barongan memberikan saluran aman bagi pelepasan emosi kolektif ini. Dengan menyaksikan kekuatan yang paling liar diwujudkan dan kemudian dikendalikan oleh Pawang, penonton mengalami pembersihan emosional. Ketakutan diubah menjadi kekaguman, dan agresi dialihkan menjadi tontonan yang diatur. Barongan secara spiritual ‘membersihkan udara’ desa.
Dalam beberapa kasus, kekuatan Barongan Devil Yang begitu kuat sehingga ia dapat memicu trance massal. Ketika banyak penari, atau bahkan penonton, tersentuh oleh energi ini, seluruh komunitas terhubung dalam sebuah pengalaman spiritual yang intens. Pengalaman komunal ini memperkuat ikatan sosial dan menegaskan kembali keyakinan kolektif terhadap eksistensi alam gaib dan kekuatan para penjaga.
Ini adalah bukti bahwa Devil Yang bukanlah fenomena individual; ia adalah energi yang meresap dan menuntut pengakuan dari semua yang hadir. Kekuatan spiritual Barongan melayani tujuan kolektif: mengingatkan masyarakat bahwa di balik kesibukan modern, roh-roh kuno masih berdiam, menuntut rasa hormat dan persembahan.
Musik Gamelan yang mengiringi Barongan memiliki peranan yang jauh melampaui iringan melodi. Gamelan adalah matriks suara yang berfungsi sebagai panggilan, pembersih, dan pemandu spiritual. Instrumen seperti kendang (gendang) dan gong, dengan suara dentumannya yang dalam dan resonan, mewakili denyut jantung kosmik dan memicu energi Yang yang agresif.
Tempo yang semakin cepat, dikenal sebagai sor-soran atau gending ngamuk, secara sengaja digunakan untuk memicu trance. Ketika Barongan mulai mengamuk, Gamelan harus mengikutinya, menciptakan pusaran suara yang mendalam. Musik menjadi jembatan antara dimensi sekala (kasat mata) dan niskala (gaib), tempat di mana Devil Yang bersemayam.
Koreografi Barongan Devil Yang selalu menampilkan kontras tajam. Tarian dimulai dengan gerakan yang relatif teratur dan agung, melambangkan aspek Yang yang terhormat (Raja). Namun, ketika trance mulai mengambil alih, gerakan berubah menjadi amukan (Devil). Ini ditandai dengan:
Kontras inilah yang merayakan kekuatan Yang: kemampuan untuk beralih dari kedaulatan yang tenang ke keganasan yang tak terkendali dalam sekejap mata. Seluruh rangkaian pertunjukan adalah narasi tentang bagaimana kekuatan primal dilepaskan, diekspresikan, dan pada akhirnya, ditundukkan kembali ke dalam harmoni. Energi yang dilepaskan haruslah besar untuk memastikan bahwa tujuannya tercapai: membersihkan energi negatif dan menegakkan kembali tatanan spiritual komunitas.
Dengan demikian, Barongan Devil Yang bukan hanya warisan masa lalu. Ia adalah sebuah sistem filosofis yang hidup, sebuah manifestasi visual dan ritualistik dari kebutuhan manusia untuk bernegosiasi dengan kekuatan paling liar dalam diri dan alam semesta, memastikan bahwa agresivitas yang diperlukan untuk bertahan hidup selalu diarahkan untuk tujuan yang suci dan protektif.
Kedalaman dan luasnya pengaruh spiritual Barongan memastikan bahwa kekuatannya akan terus bergema melintasi zaman, terus menjadi simbol kekuatan Yang yang liar, sangar, dan tak tertandingi di tengah hiruk pikuk peradaban modern.
Kontemplasi atas Barongan Devil Yang membawa kita pada pemahaman bahwa budaya Nusantara memiliki kerangka kerja yang sangat canggih untuk mengelola dan memuja ambivalensi. Ia mengajarkan kita bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada penolakan terhadap sisi liar kita, melainkan pada kemampuan untuk merangkulnya dan mengarahkannya. Barongan adalah arketipe yang sempurna untuk kekuatan ini—entitas yang menakutkan, namun pada saat yang sama, adalah pelindung terbesar. Ia mengingatkan setiap individu bahwa di dalam diri mereka bersemayam energi Yang yang luar biasa, menunggu untuk dilepaskan dan dimanfaatkan. Entah itu dalam konteks Reog yang gagah, atau Barong Bali yang khidmat, esensi ‘Devil Yang’ Barongan tetap tak tersentuh: kekuatan murni, tak terelakkan, dan selamanya sakral. Kekuatan ini akan terus hidup, selama ritual dan rasa hormat terhadap roh-roh penjaga tetap dipertahankan oleh generasi penerus. Sangar, agung, dan tak terlupakan.