Topeng Barongan Hijau Representasi visual Barongan Devil dengan dominasi warna hijau yang garang.

Barongan Devil Warna Hijau: Mitos, Magis, dan Kekuatan Spiritual Alam Liar

Kesenian Barongan, yang seringkali menjadi jantung kebudayaan Jawa dan Bali, bukanlah sekadar pertunjukan tari topeng biasa. Ia adalah wadah manifestasi spiritual, sejarah, dan mitologi yang kaya. Di antara berbagai varian Barongan yang dikenal—seperti Barong Ket, Barong Gajah, atau Reog Ponorogo—muncul satu varian yang menantang dan memukau: Barongan Devil Warna Hijau. Varian ini, sering diasosiasikan dengan kekuatan gaib, sifat liar, dan energi alam yang tak terkendali, membawa nuansa yang jauh lebih gelap dan primordial dibandingkan Barongan klasik yang melambangkan kebaikan atau harmoni.

Warna hijau yang mendominasi topeng (Bopo) dan busana Barongan ini bukanlah pilihan estetika yang sembarangan. Dalam konteks spiritual Nusantara, hijau memiliki dua makna ekstrim: kemakmuran, kesuburan, dan kesejukan di satu sisi; namun, di sisi lain, ia juga melambangkan kekuatan magis kuno, roh-roh penjaga hutan (sering disebut *Buto Ijo* atau raksasa hijau), serta energi yang belum terjamah oleh peradaban manusia. Barongan Devil Hijau adalah perwujudan dari keseimbangan yang berbahaya ini—sebuah entitas yang menuntut penghormatan dan memicu ketakutan.

I. Simbolisme Warna Hijau dalam Perspektif Spiritual Nusantara

Untuk memahami kedalaman Barongan Devil, kita harus terlebih dahulu mengurai makna mendalam dari warna hijau dalam konteks budaya dan spiritual Jawa Kuno dan tradisi lisan. Hijau tidak hanya mewakili dedaunan atau sawah; ia adalah jembatan antara dunia manusia dan dimensi gaib.

Kekuatan Primal dan Buto Ijo

Asosiasi paling kuat dari Barongan berwarna hijau adalah koneksinya dengan Buto Ijo. Sosok raksasa hijau ini adalah penjaga alam, roh hutan, dan entitas yang memiliki kekuatan material dan spiritual yang luar biasa. Dalam banyak mitos, Buto Ijo adalah sosok yang ditakuti namun dihormati karena kemampuannya untuk memberikan kekayaan atau, sebaliknya, membawa bencana kelaparan dan penyakit. Ketika Barongan mengambil warna hijau dan atribut "Devil" (yang diartikan sebagai *Leak* atau *Buto* yang liar), ia mereplikasi energi Buto Ijo: kekuatan yang brutal, cepat marah, namun esensial untuk menjaga keseimbangan alam.

Penggunaan hijau ini juga menyiratkan bahwa kekuatan yang diwujudkan oleh Barongan tersebut berasal dari lapisan bumi terdalam dan vegetasi yang tak terjamah, sebuah sumber energi yang berada di luar kontrol dewa-dewa langit atau entitas yang lebih 'beradab'. Hal ini menjadikan Barongan Devil Hijau sebagai representasi dari sisi gelap ekosistem, di mana hukum rimba dan naluri dasar berkuasa.

Hijau sebagai Media Transisi Spiritual

Dalam pertunjukan Jaranan atau Reog di Jawa Timur, Barongan yang kerasukan (ngluweng/janturan) seringkali menjadi media transisi. Warna hijau, yang secara mistis terhubung dengan dimensi astral, memfasilitasi masuknya roh-roh spesifik yang memiliki energi tinggi. Hijau di sini berfungsi sebagai portal visual dan spiritual. Ketika penari mengenakan topeng hijau, mereka bukan hanya berakting; mereka mengundang energi yang selaras dengan warna tersebut—energi kesaktian, kekebalan, dan kemarahan suci.

Di wilayah Banyuwangi, yang memiliki percampuran kuat antara budaya Jawa dan Bali, konsep Barong yang kerasukan seringkali berhadapan langsung dengan roh Leak. Jika Barongan Devil mengambil warna hijau, ini bisa jadi merupakan upaya untuk "menjinakkan" atau "memanggil" entitas Leak yang sering digambarkan dalam aura hijau kehitaman. Ini adalah upaya magis untuk menyerap kekuatan yang paling ditakuti agar bisa dikendalikan oleh komunitas.

II. Anatomia dan Estetika Topeng Hijau

Barongan Devil Warna Hijau memiliki ciri khas yang membedakannya dari Barong Jawa klasik atau Singo Barong dalam Reog. Perbedaan ini terletak pada detail pahatan, hiasan, dan keseluruhan aura yang dipancarkan oleh topeng yang dikenal sebagai Bopo.

Raut Wajah yang Agresif dan Brutal

Topeng Barongan Devil (Bopo) tidak menampilkan senyum atau raut wajah yang netral. Sebaliknya, ia dipahat dengan ekspresi yang sangat agresif. Mata melotot besar, seringkali dicat merah menyala atau kuning pucat, menunjukkan kemarahan abadi. Hidungnya lebar dan cekung, dan mulutnya terbuka lebar menampakkan taring panjang dan runcing yang menonjol keluar, melambangkan karnivora buas atau roh pemakan. Taring ini, yang sering dihiasi dengan cat merah darah, memperkuat citra 'Devil' atau *Diyos* yang ganas.

Dominasi warna hijau pada seluruh permukaan topeng seringkali diperkaya dengan pola sisik atau urat-urat yang menonjol, memberikan tekstur menyerupai reptil atau kulit raksasa. Warna hijau yang digunakan umumnya adalah hijau lumut, hijau tua, atau hijau kekuningan yang menyerupai warna racun atau penyakit, bukan hijau cerah yang melambangkan kesuburan.

Mahkota dan Rambut (Gimbal)

Hiasan kepala Barongan Devil Hijau juga sangat berbeda. Rambut gimbalnya (sering terbuat dari ijuk, tali raffia, atau bulu binatang) biasanya dicampur dengan warna-warna kontras seperti merah menyala, hitam pekat, atau bahkan putih. Campuran ini menekankan dualitas sifatnya—kehidupan (hijau) bertemu kematian (hitam) dan amarah (merah). Kadang-kadang, hiasan berupa tanduk besar atau tengkorak mini ditambahkan ke mahkota, menguatkan asosiasi dengan kekuatan bawah tanah dan roh jahat.

Pola hiasan mahkota sering menggunakan motif naga atau ular, yang juga memiliki kaitan erat dengan energi bumi dan elemen air. Ular dalam mitologi Jawa adalah penjaga harta karun dan kekayaan magis, yang sangat relevan dengan peran Buto Ijo.

Kostum Penari dan Aspek Ritual

Penari Barongan Devil (yang membawa Bopo) mengenakan kostum yang serasi, biasanya didominasi warna hitam atau merah sebagai penyeimbang hijau. Kostum ini seringkali ditambahkan ornamen seperti lonceng atau jimat yang diyakini dapat meningkatkan daya tahan penari saat mengalami *trance* (kesurupan). Bagian tubuh yang terbuka sering dilukis dengan motif magis (rajah) berwarna hijau atau merah untuk perlindungan spiritual, memastikan bahwa kekuatan yang masuk ke tubuh penari dapat dikendalikan dan diarahkan hanya selama pertunjukan berlangsung.

III. Asal-Usul dan Diferensiasi Regional Barongan Devil

Konsep Barongan Devil, khususnya yang didominasi warna hijau, bukanlah warisan tunggal, melainkan evolusi dari berbagai tradisi topeng di Nusantara. Evolusi ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan lokal untuk menyeimbangkan cerita kebaikan dan kejahatan.

Perbedaan dari Barong Bali dan Reog Ponorogo

Meskipun memiliki akar yang sama (mitologi Singa/Barong), Barongan Devil Hijau harus dibedakan dari Barong Ket Bali dan Singo Barong Reog Ponorogo. Barong Ket Bali adalah representasi dari kebaikan (Dharma) yang selalu berhadapan dengan Rangda (kejahatan), dan umumnya berwarna emas, putih, atau merah. Fokusnya adalah pada harmoni kosmik.

Sementara itu, Singo Barong Reog Ponorogo berfokus pada kekuatan raksasa Singo Barong yang mengangkut penari Jathil di atasnya. Meskipun raut wajah Singo Barong ganas, ia lebih melambangkan keagungan dan kekuasaan raja. Barongan Devil Hijau, sebaliknya, lebih kecil, lebih portabel, dan fokus utamanya adalah manifestasi kekuatan gaib lokal, bukan representasi kerajaan atau kisah epik besar.

Pengaruh Leak dan Jaranan Buto

Kesenian yang paling dekat dengan Barongan Devil Hijau adalah Jaranan Buto yang populer di kawasan Blitar, Kediri, dan Banyuwangi. Jaranan Buto secara eksplisit menampilkan roh-roh raksasa (Buto) yang seram dan garang. Topeng-topeng ini hampir selalu berwarna hijau, merah, atau hitam, dan diyakini mampu memanggil roh-roh pelindung atau roh yang haus kekerasan.

Barongan Devil Hijau dapat dilihat sebagai fusi atau penyederhanaan dari tradisi Jaranan Buto, di mana unsur-unsur keseraman Leak (Bali) dan Buto (Jawa Timur) digabungkan. Warna hijau menjadi penanda kunci bahwa kekuatan yang dipertunjukkan adalah murni kekuatan magis, seringkali melibatkan ilmu hitam atau energi dari alam kubur.

Evolusi Post-Modern dan Media

Dalam perkembangannya di era kontemporer, Barongan Devil Hijau juga menjadi populer karena daya tarik visualnya yang unik dan 'horror'. Banyak kelompok seni modern mengadopsi Barongan jenis ini untuk pertunjukan yang lebih teatrikal dan dramatis, seringkali mengaitkannya dengan kisah-kisah urban legend atau film horor lokal. Meskipun ini mengurangi aspek ritual murni, ini mempertahankan citra Barongan Devil sebagai entitas yang kuat dan tak terkalahkan.

IV. Ritual dan Energi: Fenomena 'Ngluweng'

Inti dari pertunjukan Barongan Devil Hijau adalah ritual mistis yang mengiringinya, yang sering berpuncak pada fenomena *Ngluweng* atau *Janturan* (trance/kesurupan massal). Ini adalah momen di mana batas antara penampil dan entitas spiritual hilang.

Persiapan Spiritual (Pamuja)

Sebelum pertunjukan dimulai, penari dan pawang (dukun atau sesepuh kelompok) melakukan serangkaian ritual yang ketat. Ini bisa meliputi puasa, pembacaan mantra (*jampe*), dan persembahan sesajen yang spesifik untuk roh-roh yang diasosiasikan dengan Barongan hijau (seringkali persembahan yang disukai Buto Ijo, seperti bunga tujuh rupa, darah ayam, atau kopi pahit tanpa gula).

Pamuja ini bertujuan untuk menyucikan topeng dan busana, sekaligus membuka jalan bagi entitas spiritual untuk masuk. Karena Barongan Devil Hijau mewakili kekuatan yang keras dan liar, ritual persiapannya harus lebih intensif dan hati-hati untuk memastikan bahwa roh yang masuk bersifat protektif, bukan merusak.

Puncak Kerasukan dan Kekebalan

Saat musik Gamelan (Gending Jaranan) mencapai puncak irama, entitas hijau diundang. Penari Barongan akan mulai menunjukkan gerakan yang tidak wajar, seringkali mencakar tanah, mengaum, atau menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa. Inilah momen *Ngluweng*. Dalam keadaan trance, Barongan Devil Hijau sering melakukan atraksi ekstrem:

Warna hijau di sini menjadi simbol dari kekebalan alam yang diberikan oleh roh Buto Ijo. Roh ini melindungi tubuh penari dari cedera fisik, memungkinkan mereka untuk menunjukkan kehebatan magis yang merupakan daya tarik utama pertunjukan ini.

Keseimbangan Magis dan Pengendalian

Meskipun tampak liar, seluruh proses *ngluweng* sangat terkendali. Pawang memainkan peran vital dalam menjaga agar Barongan Devil tidak lepas kendali sepenuhnya. Pengendalian ini diperlukan karena energi hijau yang diundang adalah energi yang sangat kuat dan berpotensi berbahaya. Ketika pertunjukan selesai, ritual pelepasan roh harus dilakukan dengan sempurna, memastikan bahwa energi liar tersebut kembali ke alamnya tanpa meninggalkan sisa-sisa negatif pada penari atau lokasi pertunjukan.

V. Barongan Hijau dalam Perspektif Budaya dan Konservasi

Di tengah modernisasi, Barongan Devil Warna Hijau menghadapi tantangan ganda: konservasi otentisitas ritual dan adaptasi agar tetap relevan di mata generasi muda.

Jalur Konservasi Tradisional

Banyak kelompok seni di pedesaan Jawa Timur sangat berpegangan pada pakem (aturan) tradisional Barongan Devil Hijau. Konservasi di sini berarti menjaga keaslian ritual *pamuja*, pemilihan bahan topeng (sering menggunakan kayu sakral seperti Pule atau Nagasari), dan penghormatan terhadap roh penjaga. Dalam konteks ini, Barongan bukan hiburan, melainkan ritual sakral yang berfungsi sebagai penolak bala (tolak balak) bagi desa.

Kelompok konservatif percaya bahwa penyimpangan dari warna hijau otentik, atau penambahan ornamen yang tidak sesuai, akan melemahkan kekuatan magis Barongan. Bagi mereka, hijau adalah warna yang ditentukan oleh roh leluhur, bukan sekadar warna cat.

Adaptasi Kontemporer dan Seni Pertunjukan

Di sisi lain, seniman kontemporer sering menggunakan Barongan Devil Hijau sebagai alat kritik sosial atau ekspresi artistik. Mereka mungkin memodifikasi raut wajah menjadi lebih futuristik, atau menggabungkan Barongan dengan musik modern (misalnya, Jathilan dengan sentuhan rock atau elektronik). Dalam adaptasi ini, fokus bergeser dari ritual murni ke estetika visual yang mencolok dan dramatis.

Warna hijau dalam konteks modern sering diinterpretasikan ulang sebagai simbol lingkungan yang rusak atau kekuatan alam yang memberontak melawan industrialisasi. Barongan Devil Hijau menjadi metafora dari alam liar yang marah, sebuah peringatan bagi manusia modern tentang batas-batas eksploitasi alam.

VI. Analisis Mendalam: Hijau dan Energi Kosmik

Dalam kosmologi Jawa (Kejawen), setiap warna memiliki kaitan erat dengan arah mata angin, elemen, dan entitas spiritual tertentu. Hijau secara tradisional sering dikaitkan dengan selatan atau air, tetapi dalam konteks 'Buto' atau 'Devil', ia memiliki koneksi yang lebih dalam ke lapisan energi bumi.

Koneksi dengan Elemen Tanah (Bumi)

Hijau adalah warna utama tanaman dan tanah yang subur. Barongan Devil Hijau mewakili kekuatan yang lahir dari elemen tanah—kokoh, berat, dan mampu menahan segala serangan. Energi yang dipancarkan Barongan ini disebut sebagai *kekuatan jagat raya* yang bersumber dari bumi, bukan dari langit. Ini menjelaskan mengapa entitas Barongan Devil seringkali kuat dalam hal kekebalan fisik dan daya tahan, karena mereka menarik energi langsung dari bumi.

Kekuatan tanah ini juga membawa sifat keras kepala, naluriah, dan keengganan untuk tunduk pada otoritas lain, yang tercermin dalam gerakan Barongan yang kasar, menghentak, dan sulit dikendalikan saat kerasukan.

Pusat Energi Manusia dan Warna Hijau

Dalam tradisi mistik Jawa dan India (yang saling terkait), warna hijau dikaitkan dengan cakra Anahata (cakra jantung). Meskipun cakra ini sering dikaitkan dengan cinta dan kasih sayang, ketika dihubungkan dengan entitas yang "Devil" atau liar, ia bisa merepresentasikan emosi yang paling murni dan tak tersentuh—yaitu naluri bertahan hidup dan kemarahan yang jujur. Barongan Devil Hijau memanifestasikan naluri ini, menunjukkan emosi yang tidak disaring oleh akal budi, melainkan murni reaksi terhadap rangsangan spiritual atau fisik.

Pengaktifan cakra hijau secara paksa melalui ritual kerasukan memungkinkan penari mengakses kekuatan penyembuhan diri (kekebalan) dan energi fisik yang luar biasa, namun juga membuka mereka pada risiko kelelahan spiritual dan mental yang serius setelah pertunjukan berakhir.

VII. Bahan dan Kerajinan: Menciptakan Keangkeran Hijau

Proses pembuatan topeng Barongan Devil Hijau adalah seni ritual tersendiri. Pemilihan bahan dan teknik pengecatan sangat menentukan kekuatan magis yang melekat pada topeng tersebut.

Pemilihan Kayu dan Waktu Pahat

Untuk topeng yang dimaksudkan sebagai pusaka atau benda ritual yang kuat, kayu yang dipilih haruslah kayu yang sudah dikenal memiliki kekuatan magis, seperti kayu Pule, Jati Tua (khususnya bagian yang terendam lumpur), atau kayu Nagasari. Pemahatan seringkali harus dilakukan pada hari-hari tertentu dalam penanggalan Jawa (misalnya, Selasa Kliwon atau Jumat Legi), dan pemahat harus menjalankan puasa atau pantangan.

Detail pada pahatan harus sangat halus, terutama pada bagian taring dan mata, karena bagian inilah yang dipercaya menjadi pintu masuk utama roh. Semakin detail dan menyeramkan pahatannya, semakin kuat roh yang dapat dipanggil oleh Barongan tersebut.

Teknik Pewarnaan Hijau Abadi

Pewarnaan hijau tidak hanya menggunakan cat akrilik biasa. Secara tradisional, pigmen hijau sering dicampur dengan bahan-bahan alami yang diyakini memiliki kekuatan protektif, seperti tumbukan daun sirih atau getah tanaman tertentu. Setelah topeng dicat, proses pengeringan seringkali dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker (seperti makam tua atau bawah pohon besar) selama beberapa malam untuk 'mengisi' topeng dengan energi gaib lokal.

Pengecatan ulang topeng adalah ritual penting. Topeng Barongan Devil yang sudah tua dan sering digunakan, jika catnya memudar, tidak boleh dicat sembarangan. Proses pengecatan ulang harus disertai dengan sesajen dan doa agar roh yang menempati topeng tidak marah atau pergi. Warna hijau yang kusam seringkali dianggap lebih 'berisi' energi magis daripada hijau yang baru dan cerah.

VIII. Interaksi dengan Karakter Pendukung

Barongan Devil Hijau jarang tampil sendirian. Kehadirannya selalu didukung oleh karakter lain dalam kelompok Jaranan atau Reog, yang peranannya menjadi penyeimbang spiritual atau penambah humor untuk meredakan ketegangan ritual.

Bujang Ganong dan Kepribadian Kontras

Bujang Ganong (atau Ganongan) adalah penari lincah dengan topeng merah berhidung panjang. Ia sering menjadi antitesis Barongan Devil Hijau. Jika Barongan melambangkan kekuatan kasar dan serius, Ganong melambangkan kecerdikan, kelincahan, dan humor. Dalam pertunjukan yang menampilkan Barongan Devil Hijau, Ganong berperan sebagai 'juru damai' yang mengganggu atau menenangkan Barongan agar kemarahannya tidak meluas ke penonton.

Kontras warna (Hijau vs. Merah) dan sifat (Serius vs. Lucu) ini menciptakan dinamika dramatis yang penting. Ganong memastikan bahwa keganasan Barongan Devil tetap berada dalam kerangka hiburan ritual, bukan ancaman nyata.

Jathilan (Penari Kuda Lumping)

Penari Jathilan (Kuda Lumping) adalah korban pertama dari energi Barongan Devil Hijau. Ketika Barongan kerasukan, seringkali Jathilan ikut kerasukan. Dalam konteks Barongan Devil Hijau, kerasukan Jathilan seringkali lebih brutal dan melibatkan atraksi ekstrem. Roh yang masuk ke Jathilan adalah 'prajurit' atau 'pengikut' dari Barongan Buto Hijau, dan mereka menunjukkan kekuatan serupa: memakan rumput, mencakar tanah, atau menunjukkan kekebalan.

Interaksi antara Barongan Devil yang besar dan Jathilan yang lebih kecil dan lincah menekankan hierarki spiritual: Barongan adalah master, dan roh-roh yang memasuki Jathilan adalah pelayannya yang harus tunduk pada kemarahan hijau sang penguasa hutan.

IX. Kesimpulan: Barongan Hijau sebagai Cerminan Dualitas

Barongan Devil Warna Hijau adalah sebuah masterpiece budaya yang menyajikan kompleksitas spiritual dan filosofis Nusantara. Ia adalah perwujudan dualitas yang melekat pada alam dan jiwa manusia: kekuatan yang mematikan namun esensial, keindahan yang brutal, dan energi liar yang harus dihormati.

Melalui warna hijau, Barongan ini menarik perhatian pada akar-akar mitologi yang paling kuno—mitos tentang penjaga bumi (Buto Ijo) yang tidak mengenal kompromi. Ia mengajarkan bahwa kekuatan terbesar seringkali berasal dari tempat yang paling ditakuti, dan bahwa harmoni seringkali dicapai melalui manifestasi dan pengendalian kekacauan.

Di era modern, Barongan Devil Hijau terus menjadi simbol resistensi budaya dan pengingat akan kekuatan mistis yang masih mengalir di dalam darah dan tanah Nusantara, memastikan bahwa warisan magis dan ritual dari masa lalu tetap hidup dan bernapas di setiap gerak tarinya yang liar dan menggetarkan.

Ekspansi Thematic: Peran Hijau dalam Tiga Dunia

Dalam pandangan Jawa kuno, alam semesta terbagi menjadi tiga tingkatan: *Loka Jaba* (Dunia Luar/Manusia), *Loka Tengah* (Dunia Antara/Roh halus), dan *Loka Jero* (Dunia Dalam/Gaib). Barongan Devil Hijau berfungsi sebagai representasi dari energi yang berasal dari Loka Jero, di mana Buto dan Leak bersemayam.

Warna hijau yang mendominasi topeng adalah kunci yang membuka komunikasi dengan Loka Jero ini. Tanpa nuansa hijau ini, koneksi dengan roh-roh bumi yang kuat akan terputus. Ini berbeda dengan Barong yang dominan merah atau emas yang cenderung terkoneksi dengan roh-roh dari Loka Jaba atau Loka Tengah (misalnya, roh leluhur yang sudah disucikan atau dewa-dewa yang lebih tinggi).

Aspek Pelindung (Tolak Balak)

Meskipun disebut 'Devil', Barongan ini sering berfungsi sebagai pelindung desa. Di banyak pertunjukan tradisional, Barongan Devil Hijau diarak mengelilingi batas desa untuk membersihkan aura negatif atau mengusir roh jahat lainnya yang lebih lemah. Ia menggunakan energi yang sama dengan kejahatan, tetapi diarahkan untuk tujuan kebaikan komunal. Ini adalah konsep 'racun melawan racun' dalam ilmu spiritual Jawa, di mana kekuatan jahat yang terorganisir digunakan untuk memerangi kekacauan spiritual.

Ritual ini sangat penting pasca bencana alam atau wabah penyakit. Masyarakat percaya bahwa kemarahan alam (yang direpresentasikan oleh Barongan Hijau) harus dihormati dan ditenangkan agar tidak membawa malapetaka. Persembahan kepada Barongan sebelum pertunjukan adalah bentuk permintaan izin dan peredaan amarah alam.

Perkembangan Busana dan Detail Ornamentasi

Busana Barongan Devil Hijau modern telah mengalami perubahan detail. Selain ijuk dan bulu, banyak kelompok kini menggunakan sulaman benang emas atau perak pada kostumnya. Meskipun warna dasarnya tetap hijau gelap, penambahan elemen berkilauan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kekuatan liar ini juga memiliki aspek kemewahan dan keagungan, layaknya raja hutan yang agung dan menakutkan.

Di wilayah pegunungan, penari mungkin menambahkan elemen flora liar seperti daun pakis atau akar-akaran pada hiasan kepala, memperkuat koneksi langsung dengan alam yang spesifik di daerah tersebut. Setiap detail ornamentasi adalah narasi visual yang menjelaskan asal-usul Barongan tersebut: apakah ia Buto dari gunung, Leak dari rawa, atau penjaga makam kuno.

Falsafah Gerakan

Gerakan tari Barongan Devil Hijau berbeda dengan gerakan Barongan klasik yang cenderung ritmis dan teratur. Gerakannya lebih banyak menyertakan hentakan kaki yang kuat (menunjukkan koneksi bumi), gerakan kepala yang tiba-tiba dan menyentak (meniru binatang buas yang sedang mengintai), dan auman yang mendalam. Tempo musik Gamelan yang mengiringi Barongan ini juga cenderung lebih cepat, bersemangat, dan sering kali diselingi dengan teriakan-teriakan atau mantra dari Pawang, menambah intensitas ritual.

Setiap gerakan kasar dan tiba-tiba dalam tari Barongan Devil adalah upaya untuk mengeluarkan energi yang terpendam, baik energi penari maupun energi spiritual yang merasukinya. Hal ini menjadikan pertunjukan Barongan Devil Hijau sebagai salah satu seni pertunjukan yang paling membutuhkan stamina dan persiapan mental yang ekstrem.

Barongan Devil Hijau dan Keseimbangan Ekologis

Dalam interpretasi kontemporer yang lebih mendalam, Barongan Devil Hijau seringkali dikaitkan dengan pesan ekologis. Hilangnya hutan, pencemaran sungai, dan eksploitasi alam di mata spiritual Jawa dianggap sebagai pemicu kemarahan Buto Ijo. Barongan yang dihiasi warna hijau ini menjadi manifestasi dari kemarahan ekologis tersebut.

Pertunjukan Barongan Devil di tengah-tengah upacara adat pelestarian alam berfungsi sebagai peringatan: hormati alam, atau kekuatan liar (yang diwujudkan Barongan) akan bangkit dan menghukum manusia. Konsep ini memberikan relevansi baru pada tradisi kuno, menjadikannya bukan hanya kisah sejarah, tetapi juga alat aktivisme budaya untuk konservasi lingkungan.

Dengan demikian, Barongan Devil Warna Hijau tetap menjadi entitas yang hidup, dinamis, dan terus berevolusi. Ia adalah cermin yang memantulkan mitos masa lalu, ketegangan spiritual masa kini, dan harapan untuk masa depan yang lebih harmonis antara manusia dan alam liar yang tak terkalahkan.

🏠 Homepage